BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Normative Social Influence
2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah proses yang rasional di mana orang-orang menyusun atau membentuk sebuah norma berdasarkan perilaku orang lain untuk menentukan apakah perilaku tersebut benar dan pantas untuk diri mereka. Hingga ia melakukan sebuah penelitian di mana sebanyak 74% partisipannya terbukti melakukan konformitas. Konformitas
dapat
disimpulkan
sebagai
perubahan
perilaku,
pemikiran, atau keyakinan individu agar selaras dengan teman-teman sekelompoknya, atau agar sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompok sebagai hasil dari tekanan kelompok baik secara langsung maupun tidak langsung (Kelman, 1958; Lahey, 2007; Hogg & Vaughan, 2005). Aronson, Wilson, dan Akert (2010) menyatakan bahwa konformitas adalah perubahan perilaku seesorang yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain baik nyata maupun tidak. Mereka mengungkapkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa individu melakukan konformitas, salah satunya adalah normative social influence. Menurut Aronson, Wilson, dan Akert (2010) normative social influence adalah pengaruh orang lain yang memicu kita untuk berkonformitas agar disukai dan diterima oleh mereka. Individu berkonformitas karena mereka tidak ingin dikucilkan karena ia berbeda dengan orang-orang di 9
10
sekitarnya. Ia bertindak sebagaimana yang diharapkan oleh kelompoknya untuk menghindari penolakan atau agar tidak dianggap remeh oleh kelompoknya, walaupun sebenarnya ia tidak sependapat atau tidak setuju dengan mereka. 2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Normative Social Influence Walaupun konformitas adalah sebuah hal yang umum, orang-orang tidak selalu tunduk pada konformitas. Aronson, Wilson, dan Akert (2010) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan normative social influence: a.
Ukuran Kelompok Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa normative
social
influence
akan
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya jumlah kelompok, namun akan menurun setelah jumlah anggota mencapai empat atau lima (Bond, 2005; Campbell & Fairey, 1989; Gerard, Wilhelmy, & Connolley, 1968; Asch, 1955, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2010) b.
Signifikansi Kelompok Tekanan normatif akan lebih kuat jika datang dari orang-orang yang kita cintai, hargai, dan kita jaga pertemanannya. Oleh karena itu, preferensi kita terhadap sebuah kelompok dapat mempengaruhi konformitas. Sebuah kelompok yang memiliki keterkaitan lebih dalam terhadap kita akan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kelompok yang memilki ikatan yang kecil terhadap kita. (Abrams,
11
Wetherell, Cochrane, Hogg, & Turner, 1990; Guimond, 1999; Hogg, 1992; Nowak, Szamrej, & Latane, 1990; Wolf, 1985, dalam Aronson, Wilson, dan Akert, 2010) c.
Kekompakan Kelompok Normative Social Influence sangat terasa kuat ketika semua orang dalam kelompok mengatakan atau meyakini hal yang sama. Menolak keyakinan yang sedemikian menyatu
sangatlah sulit atau bahkan
tidak mungkin. d.
Budaya Kelompok Dalam penelitian menggunakan metode garis Asch yang dilakukan terhadap 17 negara, para peneliti menemukan bahwa nilai-nilai budaya mempengaruhi normative social influence (Bond & Smith, 1996).
Responden
yang
tinggal
dalam
budaya
kolektivisme
menunjukkan konformitas yang lebih tinggi daripada responden dengan budaya individualisme. Karena budaya kolektif lebih menekankan kepentingan kelompok, bukan individual, masyarakat dalam budaya kolektivisme menjunjung tinggi normative social influence karena hal tersebut meningkatkan harmoni dan hubungan yang saling mendukung diantara anggota kelompok. 2.1.3. Dampak Normative Social Influence Reisman (Monks, 2002) menekankan bahwa semakin besar konformitas yang terjadi akibat normative social influence maka semakin besar tekanan yang mereka alami. Maka dampak negatif pun akan muncul
12
meskipun aturan dalam kelompok tersebut positif. Hal itulah yang membuat mereka sulit mencapai keyakinan diri dan kehilangan identitas diri. Sedangkan Aronson, Wilson, dan Akert (2010) menyatakan bahwa dengan lingkungan yang tepat, konformitas memungkinkan seseorang untuk mengadopsi perilaku yang pantas untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Konformitas mempengaruhi bentuk dan memelihara norma sosial dan membantu masyarakat untuk berfungsi dengan baik. 2.2.
Self-esteem
2.2.1. Definisi Self-esteem Rosenberg mendefinisikan self-esteem sebagai perasaan seseorang atas nilai dirinya sebagai individu. Ia menyatakan bahwa self-esteem, adalah sebuah sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, yaitu diri sendiri. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi mengekspresikan perasaan bahwa ia merasa dirinya “cukup baik.” Individu tersebut merasa bahwa dirinya adalah orang yang berharga; ia menghargai dirinya sebagai dirinya sendiri, dan ia tidak merasa kagum ataupun meninginkan orang lain untuk merasa kagum atas dirinya. Ia tidak selalu menganggap bahwa dirinya lebih baik daripada orang lain (Rosenberg dalam Mruk, 2006). 2.2.2. Bentuk-Bentuk Self-esteem Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri kedalam 3 kategori :
13
a. Global self-esteem Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Peneliti menamai bentuk harga diri yang demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu. b. Feeling of self-worth Harga diri juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu. Contohnya seseorang mungkin merasa harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga dirinya turun setelah menjalani perceraian. Self-worth adalah perasaan bangga atau puas terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif). c. Self-Evaluations Self-Evaluations
merujuk
pada
cara
seseorang
mengevaluasi
kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya. Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic self-esteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat dikatakan memiliki athletic self-esteem yang tinggi. 2.2.3. Sumber-Sumber Self-esteem Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menemukan bahwa terdapat empat sumber self-esteem, yaitu kekuasaan (power), signifikansi, kebajikan, dan
14
kompetensi. Namun, Eipstein (dalam Mruk, 2006) mendeskripsikan empat sumber yang hampir mirip, namun lebih dinamis, dimana hal-hal positif yang dikemukakan oleh Coopersmith sebagai sumber self-esteem diimbangi dengan hal-hal negatif. a. Acceptance vs Rejection Penerimaan atau penolakan mempengaruhi perasaan kita terhadap diri sendiri melalui hubungan terhadap orangtua, keluarga, teman, atau lingkungan secara keseluruhan. Rasa peduli, pola asuh, dan daya tarik merupakan aspek merupakan aspek-aspek penting dari penerimaan yang dapat mempengaruhi self-esteem. Demikian pula dengan beberapa bentuk penolakan
seperti
diabaikan,
direndahkan,
dimanfaatkan,
atau
diperlakukan dengan buruk, dapat mempengaruhi self-esteem secara negatif. Penerimaan merupakan sumber dari self-esteem karena hal ini terhubung dengan keberhargaan atau perasaan berharga. b. Virtue vs Guilt Menurut Eipstein, virtue adalah kepatuhan terhadap standar etik dan moral yang berlaku. Hal ini mengimplikasikan bahwa terdapat nilai atau standar yang tinggi dari perilaku tertentu yang harus diikuti atau dipatuhi untuk menjadi seseorang yang berharga. Sedangkan guilt dapat dipahami sebagai kegagalan untuk mengikuti standar atau moral yang berlaku terhadap diri sendiri maupun kelompok tertentu. c. Influence vs Powerlessness Power dideskripsikan oleh Coopersmith dan Eipstein sebagai kemampuan
seseorang
untuk
mengontrol
atau
mempengaruhi
15
lingkungannya. Dengan kata lain, power dapat juga dideskripsikan sebagai pengaruh (influence), yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan, termasuk orang-orang di dalamnya dengan cara yang membentuk atau mengontrol suatu peristiwa. Hal ini merupakan sebuah kompetensi dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam hidup. Sebaliknya, kegagalan dalam hal tersebut dapat memunculkan rasa ketidakmampuan, ketidakberdayaan, atau bahkan keputusasaan. d. Achievement vs Failures Istilah
achievement
tidak
hanya
mendeskripsikan
kesuksesan
seseorang tidak hanya dalam aspek-aspek tertentu dalam hidup, tetapi lebih kepada hal-hal yang berhubungan dengan identitas individu. Ketika kita mencapai tujuan dengan menghadapi masalah atau rintangan secara efektif akan berpengaruh terhadap kebermaknaan diri kita, kita menunjukkan kompetensi yang lebih tinggi dari dalam menghadapi tantangan hidup. 2.2.4. Tingkat Self-esteem Mruk (2006) berdasarkan definisi-definisi dari ahli menyimpulkan tingkatan self-esteem ke dalam beberapa tingkatan: a. Self-esteem Rendah Individu dengan self-esteem yang rendah seringkali bersikap terlalu waspada, hati-hati, gelisah, kurang inisiatif, cemas, depresi dan menghindari
konflik.
Ia
cenderung
menghindari
permasalahan-
permasalahan dan kesulitan untuk meraih kesuksesan atau kompetensi dalam hidup. Individu dengan self-esteem rendah merasa tidak berharga
16
dan tidak memiliki kompetensi dalam hidup. Ia berfokus untuk mempertahankan tingkat self-esteemnya yang sekarang daripada berusaha meningkatkannya untuk menghindari perasaan inferior yang lebih jauh. b. Self-esteem Tinggi Self-esteem yang tinggi merupakan tingkatan self-esteem yang relatif stabil. Individu dengan self-esteem yang tinggi merasa bahwa dirinya berharga dan memiliki kompetensi yang baik. Ia merasa senang atas dirinya secara umum, relative terbuka terhadap pengalaman baru, optimis, merasa diterima dan menerima lingkungannya dengan baik. Self-esteem yang tinggi juga berhubungan kebahagiaan, inisiatif, keterbukaan, spontanitas, dan dapat mengidentifikasi dirinya dengan baik. 2.3
Remaja
2.3.1 Definisi Remaja Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007), remaja merupakan sebuah tahap perkembangan yang berada di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Masa remaja biasanya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada awal usia dua-puluhan. Transisi perubahan primer yang terlihat pada masa remaja adalah perubahan bentuk tubuh yang spesifik, seperti pertumbuhan yang pesat dari tinggi badan, berat badan, bahkan perkembangan otot dan tulang. Sedangkan perubahan sekunder ditandai dengan perubahan sosial dan emosional. Remaja juga berusaha untuk mencapai kemampuan berpikir secara abstrak, walaupun ia masih mempertahankan sisa-sisa pemikiran egosentris. Dalam kata lain, remaja adalah transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa yang
17
diikuti dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial yang signifikan. Konsep antara remaja dan pubertas sebenarnya saling tumpang tindih, tetapi pubertas adalah periode yang didefinisikan secara biologis, sedangkan remaja adalah sebuah konstruksi sosial yang lebih luas (Spear, dalam Passer & Smith, 2007). Pubertas adalah salah satu aspek yang penting dalam remaja, tetapi remaja juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam pemikiran, minat, kondisi sosial, dan ekspektasi parental serta sosial. 2.3.2 Perkembangan Sosioemosional Remaja Erik Erikson (dalam Berk, 2009) menjelaskan delapan tahap perkembangan manusia yang dimulai dari masa bayi sampai dengan dewasa akhir. Setiap tahap ditandai oleh krisis psikososial dari dua kekuatan yang saling bertentangan. Dalam tahap perkembangan Erikson, remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai 19 tahun. Krisis psikososial yang dialami oleh remaja adalah identity vs identity confusion. Remaja berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya
sebagai
penyimpangan
atau
kenakalan.
Dorongan
pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
18
2.4
Kerangka Berpikir Self-esteem merupakan perasaan atau penilaian individu mengenai dirinya sendiri secara menyeluruh (Myers, 2008; Leary & Baumeister dalam Erol & Orth, 2011). Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan selfesteem sebagai perasaan seseorang atas nilai dirinya sebagai individu. Selfesteem yang tinggi dapat membuat seseorang merasa senang atas diri mereka (Hogg & Vaughan, 2008). Selain itu, Maslow (dalam Feist & Feist, 2009) menyatakan bahwa self-esteem atau kebutuhan untuk dihargai termasuk ke dalam salah satu tingkat kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar dapat mencapai aktualisasi diri. Self-esteem diketahui dapat diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan sosial. Erol & Orth (2011) mengungkapkan bahwa self-esteem menjadi lebih tidak stabil pada masa remaja. Salah satu sumber self-esteem adalah penerimaan atau penolakan sosial dari lingkungannya. Sebagai remaja, lingkungan sosial yang paling sering ditemuinya adalah teman-teman sebaya di lingkungan sekolah. Menurut Hosseini (2005), murid-murid di sekolah akan selalu mencari-cari kesalahan dari murid lain, terutama mereka yang dianggap berbeda atau tidak sesuai dengan standar moral atau norma mereka, dan merupakan hal yang umum bagi mereka untuk mengejeknya. Ketika berada dalam kelompok, individu cenderung tunduk terhadap tekanan teman sebaya (peer pressure), atau disebut juga dengan normative social influence. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa self-esteem yang rendah akan membuat remaja menjadi lebih rentan terhadap tekanan dari teman-teman sebayanya. Sehingga hal ini membuat peneliti bermaksud untuk mencari tahu apakah remaja dengan self-
19
esteem yang rendah akan berusaha menutupi kekurangannya dengan berkonformitas terhadap teman-teman sebayanya. 2.5
Hipotesis a. H0 : Tidak ada hubungan antara tingkat self-esteem dengan konformitas pada remaja dalam kelompok angkatan di SMA ‘X’. b. H1 : Ada hubungan antara tingkat self-esteem dengan konformitas pada remaja dalam kelompok angkatan di SMA ‘X’.