BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
ANATOMI RONGGA MULUT Tonsil adalah satu struktur yang sangat penting dalam sistem pertahanan
tubuh terutama pada protein asing yang dimakan atau dihirup. Sifat mekanisme pertahanan pada tonsil adalah secara spesifik atau non spesifik. Sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen apabila patogen menembus lapisan epitel. Tonsil berbentuk oval dan berada di ruang berbentuk segitiga yang dibentuk oleh palatum dan lidah (palatoglossus) yang juga dikenal sebagai plika anterior dan ruang antara palatum dan faring (palatofaringeus) yang juga dikenali sebagai plika posterior. Pada masa anak, ukuran tonsil adalah paling besar dan ukuran ini akan mengecil secara bertahap pada saat pubertas (Farokah et al., 2007). Jaringan limfoid di dalam mulut tidak berhubungan dengan mulut, tidak seperti jaringan limfoid pada usus yang berhubungan dengan usus (gut-associated lymphoid tissues) serta jaringan limfoid pada paru-paru yang berhubungan dengan bronkus. Agregasi limfoid di dalam mulut terdiri dari 3 tipe yang utama dan berperanan sebagai pengawasan imunologi jaringan mulut. 1. Tonsil palatum : Tonsil palatum merupakan massa limfoid yang berpasangan antara mulut dan faring yang tertanam di antara glosso-palatinal dan lengkungan faringopalatinal. Tonsil ini dibungkus oleh sel-sel gepeng yang menyusup ke dalam jaringan limfoid membentuk 10-20 lubang. Sel-sel retikulum dan limfosit ditemukan di bawah epitel. Peningkatan permeabilitas benda-benda asing dikawal oleh epitel kripta yang dapat ditemukan di dalam makrofag. Folikel limfoid mengandung sel-sel B yang berpoliferasi dalam pusat germinal dan bergerak sebagai limfosit B atau sel plasma; karena itu selsel ini berkembang secara lokal di dalam tonsil. Studi imunofluresensi menunjukkan bahwa sel selaput IgG yang terwarnai jauh lebih banyak dibanding dengan IgA dan selaput IgA sebaliknya lebih banyak dibandingkan dengan sel IgM, IgD sedangkan yang paling jarang adalah sel IgF. Antigen
Universitas Sumatera Utara
serta mitogen sel-T dan sel-B yang dapat menimbulkan kekebalan primer dan sekunder bereaksi in vintro dengan sel tonsil yang menyerupai kelenjar getah bening. Jalur aferen antigen langsung melewati kripta, sehingga hanya antigen lokal yang dapat masuk. Antibodi dan sel-sel yang peka dapat melewati epitel dan oleh itu mempunyai fungsi perlindungan lokal dalam membentengi saluran pencernaan dan pernafasan. 2. Tonsil lidah : Merupakan struktur yang kurang menonjol pada tiap sisi lidah, di belakang papilla sirkumvalat. Kripta terhasil daripada epitel-epitel gepeng yang menyusup masuk ke dalam jaringan limfoid. Sel-sel dibersihkan dengan adanya duktus kelenjar mukosa yang bermuara ke dalam kripta. Semua ini memungkinkan tonsil lidah bebas dari sisa-sisa kotoran dan infeksi. 3. Tonsil faring (adenoid) : Merupakan massa jaringan limfoid yang sederhana, terdapat di bawah mukosa nasofaring. Walaupun terdapat di luar rongga mulut, adenoid melengkapi cincin jaringan limfoid yang memisahkan mulut dan hidung dari faring (Lehner, 1995).
2.2.
TONSILITIS KRONIK
2.2.1. Definisi Secara umum, tonsilitis kronik dapat didefinisikan sebagai infeksi atau peradangan pada tonsila palatina lebih dari 3 bulan. Kronik yang dimaksudkan adalah terjadinya perubahan histologi pada tonsil, dan terdapatnya jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang. Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber bakteri / kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produkproduknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi (Siswantoro, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Etiologi Tonsilitis kronik dapat disebabkan oleh tonsilitis akut yang tidak diterapi, diobati dengan obat yang tidak adekuat, atau menyebarnya infeksi kronik seperti sinusitis dan rinitis. Higiene mulut yang jelek, iritasi kronik akibat rokok atau makanan, sistem imun tubuh yang rendah, dan pengaruh cuaca dapat menjadi faktor risiko terjadinya tonsilitis kronik. Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena anak sering menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) atau karena tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) : streptokokus alfa merupakan penyebab tersering dan diikuti stafilokokus aureus, streptokokus beta hemolitikus grup A, stafilokokus epidermis dan kuman gram negatif yaitu enterobakter, pseudomonas aeruginosa,klebsiella dan E. coli yang didapat ketika dilakukan kultur apusan tenggorok. (Farokah et al., 2007) Produksi bahan-bahan oksidasi terjadi semasa
proses inflamasi
berlangsung. Antioksidan berperan dalam meneutralkan kerusakan yang berlaku akibat proses inflamasi. Oleh karena tonsilitis kronik merupakan proses peradangan
yang kronik pada orofaring dan nasofaring, terdapat satu
kemungkinan yang bermakna pada keseimbangan bahan oksidan dan antioksidan yang terlibat dalam proses dan tingkat keparahan penyakit ini. Walau bagaimanapun, patogenesis bagaimana bahan oksidan dan antioksidan ini dalam menyebabkan terjadinya tonsilitis kronik belum dapat difahami dengan sempurna (Yılmaz et al., 2004).
2.2.3. Patofisiologi Terdapat beberapa barier dalam rongga mulut yang dapat mencegah terjadinya penetrasi bakteri dari plak gigi ke jaringan : 1. Barier fisis pada permukaan epitel mukosa 2. Peptida pada epitel mukosa mulut
Universitas Sumatera Utara
3. Barier elektrik dimana terdapat beda muatan pada dinding sel antara pejamu dan mikroba 4. Barier imunologik dari sel-sel pembentuk imunologi 5. Barier fagosit yang terdiri dari sistem retikuloendotelial Penetrasi bakteri dapat dicegah dan dikurangi oleh sistem barier ini yang bekerjasama pada keadaan normal. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan faktor virulen (lipopolisakaraida=LPS) akan melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Tonsil yang bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis dengan mengaktivasi sel-sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil (Santoso et al., 2009). Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun (Siswantoro, 2003).
2.2.4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis tonsilitis ditandai oleh gejala-gejala di hidung, nyeri tenggorok, dan kemerahan yang menyeluruh pada tonsil. Umumnya disebabkan oleh virus. Tonsilitis streptokokus lebih jarang ditemukan dan biasanya ditandai dengan demam (Hull dan Johnston, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing (pancingan) di tenggorok. Pada tonsil yang mengalami infeksi kronik, akan terjadi fibrotasasi yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak dan digantikan oleh jaringan ikat. Tarikan-tarikan pada lobuli tonsil akan terjadi karena adanya fibrosis sehingga kripta akan melebar dan menyebabkan permukaan tonsil akan menjadi tidak rata dan berbenjol-benjol. Pembesaran kelenjar limfe subangulus dapat terjadi karena tonsil mempunyai saluran limfe eferen ke kelenjar tersebut dan menyebabkan infeksi kelenjar subangulus (Farokah et al., 2007). Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau persisten dan gangguan menelan atau pernafasan, walaupun yang terakhir disebabkan oleh kelenjar adenoid yang membesar. Tonsila akan memperlihatkan pelbagai darjat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal (Delf dan Manning, 1996).
2.2.5. Pemeriksaan Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini S, 2003). Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4. Cody& Thane (1993) membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :
Universitas Sumatera Utara
T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan melakukan beberapa tes. Dasar dari tes-tes ini adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan apabila tes dilakukan, terjadi transportasi bakteri, toksin bakteri, protein jaringan fokal, material lymphocyte yang rusak ke dalam aliran darah ataupun dengan perkataan lain akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan kenaikan pada jumlah lekosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah lekosit darah berkisar antara 4000-10000/mm3 darah. Tes yang dapat dilakukan adalah seperti : 1. Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5 menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan lekosit lebih dari 1200/mm3 atau kenaikan laju endap darah (LED) lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif. 2. Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4 jam kemudian diperiksa jumlah lekosit dan LED. Jika terdapat kenaikan jumlah lekosit lebih dari 2000/mm3 atau kenaikan LED lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif. 3. Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah lekosit, LED dan temperatur oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah diinjeksi, jika didapati kenaikan temperatur 0.3o C, kenaikan jumlah lekosit lebih dari 1000/mm3 serta kenaikan LED lebih dari 10 mm maka tes ini dianggap positif.
Universitas Sumatera Utara
Terjadinya peningkatan lekosit karena lekosit terutama akan tertarik terhadap produk-produk yang dihasilkan kuman dan dilepaskan oleh jaringan yang cedera. Namun, bakterimia yang terjadi karena rangsang terhadap fokal infeksi biasanya bersifat sementara dengan demikian akan terjadi kenaikan jumlah lekosit dan LED yang bersifat sementara juga (Siswantoro, 2003).
2.2.6. Penatalaksanaan Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah
dan berisiko menimbulkan komplikasi
seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Amarudin dan Christanto, 2007). Tonsilitis kronik merupakan salah satu penyakit otorinolaring yang paling sering dan tonsilektomi merupakan satu dari bermacam prosedur operasi yang dilakukan sebagai tatalaksana untuk pasien yang menderita penyakit tonsilitis kronik. Masih terdapat kontroversi tentang keefektifan tonsilektomi yang dilakukan pada pasien yang dewasa karena kurangnya bukti tentang hal tersebut. Penelitian banyak menunjukkan bahwa kaedah tonsilektomi sangat efektif dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita tonsilitis berulang (Skevas et al., 2010). Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan penisilin V secara oral, cefalosporin, makrolid, klindamicin, atau injeksi secara intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang menggunakan penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh itu penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna (Desai et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7. Komplikasi Tonsil dan adenoid yang sangat besar dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas sehingga menimbulkan apnea ketika tidur dan hipertensi pulmonal yang jarang terjadi. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien dengan tonsilitis kronik adalah scarlet fever, glomerulonefritis akut dan demam rematik tetapi jarang dijumpai (Hull dan Johnston, 2008). Anak dengan tonsilitis kronik dapat terganggu fisiologisnya bahkan kadang sampai tidak sekolah karena sakit yang selanjutnya dapat mempengaruhi proses dan hasil belajarnya. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas atas yang dapat mengakibatkan gangguan pada kondisi fisiologis dan psikologis sehingga proses belajar menjadi terganggu yang pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajar. Ganong (1977) menyebutkan bahwa dalam keadaan hipoksia maka otak merupakan salah satu organ yang pertama terkena akibatnya. Hipoksia dapat menyebabkan mengantuk, gelisah, perasaan sakit yang samar-samar, sakit kepala, anoreksia, nausea, takikardi dan hipertensi pada hipoksia yang berat. (Farokah et al., 2007)
2.3.
KEBERSIHAN MULUT
2.3.1. Definisi Kebersihan mulut adalah kondisi atau perlakuan dalam menjaga jaringan dan struktur dalam rongga mulut tetap berada di tahap yang sehat. Rongga mulut telah diketahui dapat menjadi satu tempat yang efektif untuk patogen membiak. Kebersihan mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi pada rongga toraks dengan kebersihan mulut yang jelek. Penjagaan kebersihan mulut adalah sangat penting dan perlu dijadikan sebagai satu rutin kebersihan secara general pada seseorang (Satku, 2004). Penjagaan kebersihan mulut yang jelek dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mendapat penyakit pada mulut terutamanya akumulasi bakteri pada rongga mulut yang bisa menyebabkan tonsilitis. Hubungan antara kejadian
Universitas Sumatera Utara
infeksi terutamanya infeksi bakteri group A β-hemolytic Streptococcus (GABHS) sehingga berlanjut ke komplikasi yang lebih parah telah lama diketahui. Satu penelitian mendapati adanya hubungan antara infeksi GABHS yang persisten dan penggunaan sikat gigi yang dicuci dengan cairan steril mendapati kultur GABHS adalah negatif dalam masa 3 hari, dan pada sikat gigi yang tidak dicuci dengan cairan steril, kultur GABHS adalah persisten hingga 15 hari (Desai et al., 2008).
2.3.2. Pembersihan Rongga Mulut Secara Mekanik Kebersihan sisi-sisi mulut secara alami dipertahankan oleh kerja otot lidah, pipi dan bibir. Aktivitas ini banyak dibantu oleh saliva dengan penambahan lubrikasi pada pergerakan semasa berbicara, menghisap, menelan yang memungkinkan bakteria, leukosit, jaringan dan sisa-sisa makanan ke dalam perut, tempat di mana bakteria atau bahan-bahan yang dapat menyebabkan penyakit menjadi tidak aktif. Kebiasaan meludah, secara fisiologik adalah efektif bagi individu dalam mempertahankan kebersihan mulut, tetapi berbahaya terhadap lingkungan karena dapat menyebarkan jasad renik yang infeksius. Aliran terus-menerus dari saliva tanpa stimulasi ataupun pada keadaan istirahat, menunjukkan rata-rata 19 ml/jam. Jumlah ini akan meningkat dengan rangsangan psikis, seperti pada saat memikirkan makanan. Walau bagaimanapun, terdapat perbedaan yang besar pada aliran saliva pada masing-masing individu semasa keadaan istirahat (0,5111ml/jam). Pada suatu waktu penderita dengan demam dan dehidrasi sering mengalami infeksi sepanjang duktus kelenjar liur, yang disebabkan oleh penurunan aliran saliva dan seterusnya menyebabkan menurunnya tahap kebersihan mulut. Hal ini akan mengakibatkan stasis dan infeksi pada duktus, yang sering menyebabkan parotitis dan tonsilitis (Lehner, 1995). Penggunaan sikat gigi merupakan lini pertama dalam pembersihan mulut kecuali pada pasien yang sering mengalami perdarahan, nyeri atau
aspirasi.
Rasional menggunakan sikat gigi karena sikat gigi sangat efektif untuk mengurangkan plak dan mengelakkan terjadinya infeksi pada mulut. Selain itu, sikat gigi juga berperan dengan lebih baik dalam membersihkan daerah yang
Universitas Sumatera Utara
aproksimal dan celah-celah gigi serta lebih ekonomis. Sikat gigi yang bagus digunakan adalah sikat gigi yang mempunyai bulu yang lembut dan ujung yang kecil karena dapat menyingkirkan plak dengan efisien dan meminimalkan kejadian trauma pada gusi. Gigi harus disikat sekurang-kurangnya 2 kali sehari, sebaiknya selepas bangun dari tidur dan sebelum tidur. Busa pembersih (foam swabs) pula kebanyakannya digunakan apabila penggunaan sikat gigi tidak direkomendasikan seperti pada orang-orang tua dan pasien yang sering mengalami pendarahan gusi. Rasionalnya adalah karena busa pembersih lebih lembut berbanding sikat gigi dan dapat mengurangkan terjadinya trauma pada rongga mulut. Pasien dengan jumlah platlet yang kurang lebih rentan terhadap terjadinya pendarahan gusi semasa menyikat gigi. Oleh itu, busa pembersih dapat digunakan sebagai pengganti sikat gigi untuk tetap menjaga kebersihan dan kesehatan mukosa pada rongga mulut serta mengurangkan terjadinya abrasi dan trauma pada rongga mulut. Busa pembersih juga dapat meningkatkan peredaran darah pada rongga mulut dan seterusnya meningkatkan produksi saliva yang bertindak secara alami dalam menjaga rongga mulut agar tetap bersih dan sehat. Walau bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa penggunaan busa pembersih tidak boleh digunakan berlama-lama tanpa keperluan. Berbanding sikat gigi, busa pembersih menyingkirkan debris dan plak lebih sedikit pada gigi, terutama di area yang terlindung pada gigi dan jaringan gusi. Penggunaan yang berlama-lama boleh memperparah masalah gigi tersebut (Satku, 2004).
2.3.3. Tingkat Kebersihan Mulut Secara klinis tingkat kebersihan mulut dinilai dalam suatu kriteria penilaian khusus yaitu Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari Greene dan Vermillion. Kriteria ini dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris dan karang gigi kalkulus. Indeks debris yang dipakai adalah Debris Index (D.I) Greene and Vermillion (1964) dengan kriteria sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3.3.1 Debris Index (D.I) Greene and Vermillion (1964) NILAI
KRITERIA DEBRIS LUNAK
0
tidak ada debris lunak
1
terdapat selapis debris lunak menutupi tidak lebih dari1/3 permukaan gigi
2
terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi
3
terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG USU, 2001
Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan adalah Calculus Index (C.I.) Greene and Vermillion (1964) yaitu :
Tabel 2.3.3.2 Calculus Index (C.I.) Greene and Vermillion (1964) NILAI
KRITERIA KALKULUS SUPRAGINGIVA
0
tidak ada kalkulus
1
kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari ⅓ permukaan gigi
2
kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅓ permukaan gigi tetapi tidak lebih dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus subgingival berupa bercak hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
3
kalkulus supragingiva menutupi lebih dari ⅔ permukaan gigi atau kalkulus subgingiva berupa cincin hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG USU, 2001
Universitas Sumatera Utara
Kriteria debris lunak dan kalkulus supragingiva diperiksa pada 1 buah gigi di setiap 6 segmen tertentu yaitu bukal kiri, labial dan bukal kanan untuk rahang atas dan rahang bawah. Jadi, jumlah gigi yang diperiksa adalah 6 buah. Untuk mengetahui indeks debris lunak, nilai kriteria debris lunak yang didapat pada setiap segmen dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah segmen yaitu 6. Pengiraan yang sama dilakukan untuk mengetahui indeks kalkulus supragingiva. Indeks kebersihan mulut diperoleh dengan menjumlahkan nilai indeks debris dan indeks kalkulus (Raharjanto, 2006).
2.3.4. Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kebersihan Mulut Kesehatan mulut tergantung pada keutuhan mukosa yang merupakan kesatuan sejumlah struktur anatomi berkaitan dengan kesinambungan kulit bibir pada pertemuan mukokutaneus dengan faring ataupun laring melalui orofaring. Terdapat faktor lain yang berperan dalam mempertahankan kesehatan mulut supaya tetap berada di tahap yang sehat yaitu aliran saliva, cairan saku gingival, dan sistem pertahanan humoral dan selular (Lehner, 1995). Pada bidang kesehatan gigi, kebersihan mulut mempunyai peranan penting, karena kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit baik lokal maupun sistemik. Tingkat kebersihan mulut yang telah dijelaskan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pola makan, kebiasaan menggosok gigi secara benar dan teratur, susunan gigi geligi dan komposisi dan sekresi saliva (Beck, 2002).
Universitas Sumatera Utara