BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Stres
2.1.1. Definisi stres Stres merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif dan perilaku yang dapat diramalkan di mana diarahkan baik terhadap usaha untuk mengubah kejadian stres ataupun mengakomodasikan efek dari stres tersebut (Taylor, 2009). Stres menyatakan dirinya dalam bentuk penolakan, ketegangan, frustrasi ataupun interupsi pada keseimbangan fisiologis dan psikologis. Stres juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan di mana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang (Robbins, 2001). Sedangkan menurut Hans Selye, stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik
terhadap apapun
permintaan untuk perubahan (Taylor, 2009).
2.1.2. Tahapan Stres menurut Selye’s General Adaptation Syndrome Hans Selye berpendapat bahawa ketika suatu organisme berhadapan dengan stresor ia akan menggerakkan dirinya untuk bertindak. Respon yang dipamerkan berupa tidak spesifik dan tergantung kepada stresor tersebut. Dari waktu ke waktu, paparan stres yang berkepanjangan dan berulang akan merugikan sistem tubuh. Selye’s GeneralAadaptation Syndrome terdiri dari 3 tahapan: 1) Alarm response 2) Stage of resistance 3) Stage of exhaustion
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. The Three Phases of Selye’s (1974) General Adaptation Syndrome Tahapan pertama adalah alarm response di mana tubuh kita pertama sekali bereaksi dengan stresor. Pada waktu ini, resistensi akan berkurang. Tahapan kedua merupakan stage of resistance akibat paparan stresor yang berterusan dan terjadinya adaptasi. Tahapan ketiga adalah stage of exhaustion. Tahap ini terjadi karena paparan stresor yang sama dalam jangka waktu yang panjang. Pada saat ini, tingkat resistensi mungkin akan balik hingga ke normal (homeostasis). Secara khusus, Hans Selye yakin bahwa stage of exhaustion yang berkepanjangan dan berulang bertanggung jawab untuk gangguan psikologi yang dapat memicu kepada penyakit (Brannon & Feist, 2007).
2.1.3. Klasifikasi Stres Berdasarkan Etiologinya 1. Stres Kepribadian (Personality Stress). Stres kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang kecil terkena stres keperibadian. 2. Stres Psikososial (Psychosocial Stress). Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan raya dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Stres Bio-ekologi (Bio-Ecological Stress). Stres bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal yang kedua adalah kondisi biologis seperti menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan lain-lain. 4. Stres Pekerjaan (Job Stress). Stres pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan di kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target yang terlalu tinggi, usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stres akibat karir pekerjaan. 5. Stres mahasiswa (Student stress). Stres mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu perkuliahan terdapat tiga kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial, gaya hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor akademis kuliah itu sendiri (Rice, 1999). 2.1.4. Fisiologi Stres Sistem stres manusia terdiri dari hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis dan sistem saraf simpatik (Tsatsoulis et al. 2006). Kedua sistem ini bekerja secara koordinasi untuk memberi respon "fight or flight" terhadap anggapan ancaman. Respon tersebut dapat mengajukan peningkatan tekanan arteri, perpindahan darah dari visceral ke otot aktif dan otak, peningkatan kadar metabolisme selular, peningkatan glikolisis, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivasi mental dan peningkatan kadar koagulasi darah (Guyton, 2006). Tubuh manusia memberi respon-respon tersebut karena terjadinya pembebasan neurotransmiter dan hormon-hormon yang khusus. HPA
axis
bertanggung
jawab
untuk
mengaktivasi
pelepasan
glucocoticoids, di mana 95% dalam bentuk kortisol (juga dikenali sebagai
Universitas Sumatera Utara
hydrocortisone) dari korteks adrenal (Guyton, 2006). Efek dari kortisol adalah mobilisasi protein dari otot dan asam lemak yang berasal dari adipose, peningkatan lemak di hepar, dan juga sebagai suatu respon anti-inflamasi (Guyton, 2006). Sistem saraf simpatis bertanggung jawab untuk menstimulasi simpatis baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu dengan aktivasi pelepasan catecholamines dari medula adrenal (Guyton, 2006). Seperti epinefrin dan nonepinefrin, hormon ini juga memberi efek kepada organ target dengan cara yang sama yaitu peningkatan nadi jantung, inhibisi fungsi sistem pencernaan, dilatasi pupil dan respon lain yang berkaitan dengan aktivasi simpatis (Guyton, 2006). Kedua cabang simpatis dan parasimpatis sistem saraf otonom diaktivasi secara terus-berterusan dan kronis akan menyebabkan terjadinya degenerasi dan disfungsi. Jika
stres
tersebut
bersifat
kronis,
bahan
kimia
termasuk
neurotransmiter dan hormon akan menetap di aliran darah. Stres yang berkepanjangan boleh menyebabkan nyeri kepala, penurunan fungsi sistem imun, lelah, kelainan jantung, depresi dan gangguan mental emosional yang lain (Carruthers, 2006).
2.1.5. Gejala dan tanda stres Respon stres dapat wujud secara fisologis ataupun berupa perilaku. Respon stres secara fisiologis mencakup simptom seperti sakit perut, sedangkan respon stres yang berupa perilaku termasuk pengurangan produktivitas dan absenteeism (Robbins, 2001). Jenis simptom dari stres: 1. Stres perilaku: Ketidaksabaran, kecemasan, sungguh impulsif, hiperaktivitas, cepat marah, terlalu agresif, menghindari situasi yang sulit dan bekerja secara berlebihan. 2. Stres kognitif:
Universitas Sumatera Utara
Kebingungan daya ingat yang sering, pemikiran negatif yang konstan, ketidakmampuan membuat keputusan, sulit untuk menyelesaikan tugas, bersikap kaku dan sulit untuk berkonsentrasi.
3. Stres somatik: Tekanan darah tinggi, senang terkena pilek, migrain, irritable bowel syndrome, ulser, serangan jantung, angina, strokes, asma dan ruam kulit (Cohen, 2002 dalam Ornelas and Kleiner, 2003). 2.1.6. Penanggulangan stres (Coping with stress) Setiap individu memberi respon yang berbeda terhadap stres. Penanggulangan stres merupakan pikiran dan perilaku yang dibutuhkan untuk mengelola permintaan secara internal dan eksternal yang ditafsirkan sebagai stres (Folkman & Moskowitz, 2004). Hubungan antara penanggulangan stres dengan kejadian stres adalah suatu proses dinamik (Folkman & Moskovitz, 2004). Jadi, penanggulangan stres bukan aksi yang berlaku sekali saja tetapi merupakan peristiwa yang berlangsung dari waktu ke waktu di mana individu dengan lingkungan saling mempengaruhi. Keperibadian seseorang dapat berpengaruh terhadap cara bagaimana individu tersebut menanggulangi peristiwa yang stres. Karakteristik ini boleh disebabkan oleh faktor genetik (Kozak, Strelau, & Mike, 2005) dan faktor lingkungan (Repetti, Taylor, & Seeman, 2002). Terdapat empat tipe metode penanggulangan stres yaitu kognitif, emosional, perilaku dan fisik.
Tabel 2.1. Metode penanggulangan stres (Bernstein & Nash, 2006) Tipe metode Kognitif
Penjelasan Menganggap stresor itu sebagai tantangan dan mengelakkan dirinya dari perfectionism.
Emosional
Mencari dukungan sosial dan mendapat nasehat dari yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku
Melaksanakan rencana manajemen waktu dan berusaha untuk mengubah pola hidup untuk eliminasi stresor.
Fisik
Pelatihan relaksasi yang progresif, berolahraga dan meditasi.
2.2. Olahraga 2.2.1. Jenis Olahraga Meskipun olahraga boleh mencakup ratusan jenis aktivitas fisik, tetapi olahraga dapat dibagi kepada 5 jenis secara fisiologis yaitu: isometrik, isotonik, isokinetik, aerobik dan anaerobik. Setiap jenis olahraga tersebut memiliki tujuan, aktivitas dan penganjur yang berbeda. Setiap jenis olahraga tersebut dapat menyumbang kepada aspek kesehatan ataupun kesehatan jasmani, tapi hanya olahraga jenis aerobik berfaedah terhadap kesehatan kardiorespiratori (Brannon & Feist, 2007). 1. Olahraga isometrik: Olahraga isometrik dilakukan dengan kontraksi otot pada objek yang tidak bergerak. Walaupun tubuh kita tidak bergerak ketika melakukan olahraga isometrik, tetapi otot tetap mendorong kuat antara satu sama lain ataupun terhadap objek yang tidak bergerak tersebut. Oleh karena persendian tidak bergerak maka tidak jelas kelihatan bahwa olahraga dilakukan, tetapi kontraksi
otot
menghasilkan
kekuatan.
Olahraga
isometrik
dapat
meningkatkan kekuatan otot (Brannon & Feist, 2007). 2. Olahraga isotonik Olahraga isotonik memerlukan kontraksi otot dan gerakan persendian. Angkat besi dan olahraga yang berupa calisthenics termasuk dalam kategori olahraga isotonik. Olahraga isotonik dapat meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan otot (Brannon & Feist, 2007). 3. Olahraga isokinetik Seperti olahraga isometrik, olahraga isokinetik memerlukan aktivitas angkat besi dengan tambahan usaha untuk mengembalikan ke posisi asal.
Universitas Sumatera Utara
Olahraga ini memerlukan peralatan yang khusus untuk mengatur kuantitas resistensi berdasarkan kuantitas gaya yang telah diaplikasikan. Olahraga isokinetik sering digunakan untuk memulihkan kekuatan otot dan daya tahanan otot pada orang yang menderita luka-luka pada otot. Olahraga isokinetik merupakan tambahan yang berarti pada rehabilitasi fisik yang membantu orang yang terluka ototnya untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas secara aman daripada olahraga jenis yang lain (Brannon & Feist, 2007). 4. Olahraga anaerobik Olahraga anaerobik membutuhkan ledakan energi yang intensif dalam durasi yang pendek. Akan tetapi ia tidak memerlukan konsumsi oksigen yang tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya tahan otot, tetapi harus berhati-hati karena ia boleh menjadi bahaya pada orang yang menderita penyakit jantung koroner (Brannon & Feist, 2007). 5. Olahraga aerobik Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting untuk olahraga aerobik adalah intesitas dan durasinya. Dari segi intensitas, olaharaga aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke tingkat tertentu. Intensitas untuk olahraga aerobik bervariasi sebanyak 50-80% dari denyutan jangtung maksimal. Olahraga aerobik fokus pada peningkatan daya tahan kardiovaskular (Brannon & Feist, 2007). 2.2.2. Manfaat berolahraga Penyebab seseorang itu menyertai pada suatu program olahraga adalah bervariasi, antaranya termasuk kesehatan jasmani, kontrol berat badan, kesehatan kardiovaskular, memanjangkan umur, proteksi diri dari kanker, pencegahan osteoporosis, kontrol diabetes, meningkatkan harga diri (selfesteem) dan juga sebagai penyangga melawan depresi, ansietas dan stres (Bernstein & Nash, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Olahraga yang teratur dapat meningkatkan kesehatan jasmani. Kesehatan jasmani merupakan suatu kondisi kompleks yang terdiri dari kekuatan otot, daya tahan otot, fleksibilitas dan kesehatan kardiorespiratori (aerobic fitnesss) (Bernstein & Nash, 2006). Selain itu, olahraga yang teratur juga membantu dalam kontrol berat badan dan optimisasi berat badan. Obesitas dapat diperbaiki dengan berolahraga yaitu dengan durasi 60-90 menit setiap hari mungkin diperlukan (Hansen et al., 2005). Dalam tahun terakhir ini, ahli psikologis kesehatan telah meneliti tentang peranan olahraga aerobik dalam mempertahankan kesehatan mental dan fisik. Olahraga aerobik dapat menstimulasi dan memperkuatkan sistem kardiovaskular dan respiratori serta memperbaiki penggunaan oksigen pada tubuh. Olahraga aerobik juga memberi manfaat yang banyak terhadap kesehatan. Olahraga kira-kira hanya 30 menit sehari dapat menurunkan risiko untuk menderita penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker (Taylor, 2009). Selain daripada meningkatkan efisiensi sistem kardiorespiratori, olahraga yang teratur juga boleh meningkatkan kapasitas kerja fisik, penurunan ataupun kontrol hipertensi, memperbaiki kadar kolestrol dan toleransi glukosa, meningkatkan toleransi terhadap stres dan pengurangan kebiasaan yang buruk seperti merokok, konsumsi alkohol dan diet yang tidak baik (Taylor, 2009). Olahraga berserta perubahan pola makan juga dapat mengurangi risiko menderita diabetes tipe II pada golongan yang berisiko tinggi. Olahraga juga dapat mempercepatkan penyembuhan luka pada orang-orang yang terluka (Emery, Kiecolt-Glaser, Malarkey, & Frid, 2005). Olahraga yang teratur juga dapat memanjangkan umur. Laki-laki dan perempuan yang mempunyai tingkat kebugaran fisik yang lebih tinggi dapat menunda mortalitas yang dipicu oleh penyakit kardiovaskuler dan kanker (Taylor, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Hubungan stres dan olahraga Ketika seseorang mengambil bagian dalam suatu aktivitas fisik maka otak akan memberi respon kimia tertentu. Endorfin adalah polipeptida yang mengikat pada reseptor neuron di otak dan dapat menghilangkan efek dari stres (Carruthers, 2006). Mekanisme terjadi efek ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur dan fisiologis yang menghubungkan partisipasi olahraga yang berulang. Selain itu, olahraga yang teratur boleh meningkatkan kepekaan insulin. Kepekaan insulin meningkat karena peningkatan volume otot, aliran darah kepada otot-otot yang aktif dan kapasitas oksidatif bahan bakar dalam tubuh. Peningkatan kapasitas oksidatif yang disebabkan oleh proses biogenesis mitokondrial juga memberi efek yang positif terhadap homeostasis lipid di mana bisa juga meningkatkan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal dapat menyeimbangkan energi yang dikerahkan semasa aktivasi simpatis (Stewart. Et al., 2005). Olahraga juga membantu dalam memulihkan ekspresi genetik yang alamiah untuk menjamin survival ketika menghadapi suatu kejadian stres dan sembuh dari kejadian tersebut (Booth. Et al, 2002). Di samping itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahawa olahraga dapat menurunkan insiden dan keparahan gangguan mood ynag berkaitan dengan stres termasuk ansietas dan depresi. Efek ini berhubung dengan peningkatan neurotransmiter terutamanya serotonin dan dopamin dan juga sekresi endorfin (Greenwood, 2008). Maka, olahraga adalah salah satu cara yang sungguh bermanfaat untuk melawan efek stres terhadap kesehatan yang merugikan (Castro, Wilcox. O’Sullivan, Baumann, & King, 2002). Jadi, olahraga yang teratur dapat mempengaruhi tingkat stres dengan adanya perubahan kimia dalam otak setelah berolahraga. Perubahan tersebut mencakup transportasi dan metabolisme neurotransmiter yang mengubah aktivitas neurotransmiter (Brannon & Feist, 2007).
Universitas Sumatera Utara