BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Rekayasa jaringan adalah bidang interdisipliner yang menerapkan prinsip-prinsip teknik dan ilmu biologi dalam rangka untuk membuat suku cadang hidup bagi tubuh. Pendekatan yang paling umum untuk rekayasa jaringan adalah penggunaan scaffold (penyangga) yang mampu menstimulasi pertumbuhan struktur seluler buatan, proliferasi dan diferensiasi seluler. Scaffold adalah matriks atau struktur buatan yang diperlukan untuk infiltrasi sel dan pendukung fisik sel yang mengarah kepada proliferasi dan diferensiasi sel kedalam jaringan fungsional atau organ manusia (Robert et al., 2000 dan Ma et al., 2006).
2.1 Scaffold (Penyangga) Sel sering ditanamkan atau disemai dalam sebuah struktur buatan yang mampu menyangga bentuk jaringan tiga-dimensi, yang biasanya disebut scaffold. Scaffold bersifat sensitif, baik ex vivo maupun in vivo. Scaffold biasanya digunakan setidaknya untuk satu tujuan berikut: 1. Untuk melekatkan dan migrasi sel 2. Menyampaikan dan mempertahankan sel-sel dari faktor biokimia 3. Mengaktifkan difusi nutrisi sel-sel vital dan menghasilkan produk 4. Mengerahkan pengaruh mekanis dan biologis tertentu untuk memodifikasi perilaku fase sel.
Gambar 2.1. Contoh-contoh scaffold sintetis yang telah dipasarkan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai penyangga, scaffold harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, untuk dapat digunakan dalam rekonstruksi jaringan. Sifat porositas tinggi dan ukuran pori yang memadai, diperlukan untuk memfasilitasi penyemaian sel dan difusi nutrisi sepanjang seluruh struktur dari sel. Sifat biodegradasinya sering merupakan faktor penting karena scaffold sebaiknya diserap oleh jaringan sekitarnya, tanpa perlunya operasi pengangkatan. Tingkat dimana terjadi degradasi harus bertepatan sebanyak mungkin dengan tingkat pembentukan jaringan: ini berarti bahwa pada saat sel dibuat, struktur matriks alami sel ada di sekeliling sel. Scaffold mampu menyediakan integritas struktural dalam tubuh dan akhirnya akan pecah meninggalkan neotissue, yaitu jaringan yang baru terbentuk, yang akan mengambil alih beban mekanik (Robert et al., 2000). 2.2 Material Scaffold Scaffold yang baik memiliki kriteria sebagai berikut: tingkat porositas yang tinggi, memiliki ukuran pori yang cukup untuk memungkinkan difusi nutrisi dan sel pada keseluruhan struktur, dan sifat mudah untuk diurai, merupakan hal penting karena penyangga ini diharapkan dapat diserap oleh jaringan tanpa pembedahan. Diharapkan saat sel membentuk matriks pengikat, penyangga dapat memberi dukungan sruktural dan setelah jaringan terbentuk barulah terurai (Ma et al., 2003; Tangsadthakun et al., 2006; Tsai et al., 2007; dan Fernandes et al., 2011). Banyak material yang telah dicoba, dan banyak yang telah dipakai dalam bidang kedokteran, salah satunya seperti benang jahit luka, yang umumnya berupa kolagen atau polyester alifatik. Material scaffold ada yang bersumber dari bahan-bahan sintetik, ada yang berasal dari bahan-bahan alam. Sebagian besar bahan-bahan ini telah dikenal di bidang medis sebelum munculnya teknik jaringan sebagai topik penelitian. Biomaterial baru telah direkayasa untuk memiliki sifat yang ideal dan kustomisasi fungsional, seperti: injectability, pembuatan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparansi, skala nano serat, konsentrasi rendah, tingkat resorpsi, dan lain-lain (Ma et al., 2003). Bahan sintetis yang umum digunakan adalah seperti polylactic acid (PLA), yaitu merupakan bahan poliester yang dapat merusak tubuh manusia, dengan membentuk asam laktat, yaitu bahan kimia alami yang mudah dikeluarkan dari tubuh. Bahan serupa asam polyglycolic (PGA) dan polikaprolakton (PCL), yang memiliki mekanisme degradasi bahan sama dengan PLA, tetapi bahan-bahan ini masing-masing menunjukkan tingkat degradasi lebih lambat dibandingkan dengan PLA (Chen, et al,. 2002)
Universitas Sumatera Utara
Scaffold juga dapat dibangun dari bahan-bahan alami, yaitu turunan yang berbeda dari matriks ekstraseluler, yang telah dipelajari untuk mengevaluasi kemampuan mereka untuk mendukung pertumbuhan sel. Bahan proteic, seperti kolagen atau fibrin, dan bahan polysaccharidic, seperti kitosan dan glycosaminoglycans (GAG), yang terbukti cocok dengan sifat kompatibilitas sel, tetapi bermasalah dengan potensi imunogenisitas. Bentuk lain dari scaffold yang sedang diselidiki adalah ekstrak jaringan decellularised, dimana sisa-sisa yang tersisa selular/matriks ekstraseluler bertindak sebagai scaffold (Robert et al., 2000).
2.2.1 Kitosan Meningkatnya permintaan kitosan dipicu fakta keunikan karakteristik biologisnya seperti biodegradabilitas, biokompabilitas, dan tidak beracun, sehingga memungkinkan aplikasi di berbagai bidang. Meskipun sangat berlimpah di alam, namun pemanfaatan kitosan baru berkembang pada dua dekade terakhir. Kini kitosan banyak digunakan di bidang pangan, farmasi, medis, tekstil, pertanian, dan industri lain, misalnya untuk purifikasi limbah.
Gambar 2.2. Kitosan berbentuk serpihan berwarna putih kekuning-kuningan.
Pada Gambar 2.2, dapat dilihat rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa, struktur kitin murni mengandung gugus asetamido (NH-COCH 3 ), kitosan murni mengandung gugus amino (NH 2 ) sedangkan selulosa mengandung gugus hidroksida (OH). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia kitin, kitosan, dan selulosa. Sebenarnya kitin dan kitosan yang diproduksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamido dan gugus amino pada rantai polimernya, dengan beragam komposisi gugus tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Struktur Kitin, Kitosan, dan Selulosa (Muzzarelli, 2009). Kitin dan kitosan memiliki sifat-sifat kationik, biologi dan sifat kimia, sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sifat kationik: a. Linear polielektrolit pada pH asam, mempunyai muatan listrik yang relatif tinggi dimana satu muatan (charge) per glucosamine unit. b. Jumlah muatan positip bereaksi sangat kuat dengan permukaan negatif dari material memberikan kondisi netral. Melalui jumlah positif charge (-NH 3 + group), kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif dari serat. c. Untuk melarutkan kitosan dibutuhkan asam untuk merubah –NH 2 group (tidak larut) menjadi NH 3 + yang larut dalam air. Asam yang banyak digunakan adalah asam asetat dengan jumlah 1-4% (w/v) tergantung banyak polimer yang digunakan. d.
Flokulan yang baik: gugus NH 3 + berinteraksi dengan muatan negatif dari koloid.
e. Mengikat ion-ion logam ( Fe,Cu, Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, Pu, dan U). f.
Sifat hidrolisa kitosan: struktur kimia kitosan sangat analog dengan selulosa dimana gugus hidroksil pada carbon atom (C-2) digantikan dengan amino group pada kitosan, akibatnya kitosan larut dalam suasana asam (pH 3-4).
g. Sifat larutan kitosan, dalam bentuk amina bebas kitosan tida larut dalam air pada pH netral. Pada pH asam (pH 3-4), amino yang bebas (-NH 2 ) terprotonasi
Universitas Sumatera Utara
membentuk amino grup dengan muatan kationik (-NH 3 +). Kelarutannya dicapai pada pH lebih rendah dari 5,5. 2. Sifat biologi: a. Dapat terdegradasi secara alami b. Polimer alami c. Nontoksik 3. Sifat Kimia: a. Linear poliamin (poli D-glukosamin) yang memiliki gugus amino yang baik untuk reaksi kimia dan pembentukan garam dengan asam. b. Gugus amino yang reaktif c. Gugus hidroksil yang reaktif (C3-OH, C6-OH) yang dapat membentuk senyawa turunannya. Berat molekul kitosan rata-rata 105-106, menurut Muzarelli kitosan dengan berat molekul 120.000 dapat diamati dengan Light Scattering Technique (LST). Hackman dan Goldberg menggambarkan kitin mempunyai BM rata-rata 1.036.000 dan derajat polimerisasi rata-rata 5.206. Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur BM kitosan yaitu: osmotic pressure measurements, end groups analysis, gel permeation chromatography dan steric exclusion chromatography serta yang banyak digunakan adalah solution viscosity measurements (Muzzarelli, 2009; Jayakumar, et al., 2010).
2.2.2
Kitosan Untuk Rekayasa Jaringan Kulit Jaringan lunak (soft tissue) seperti hati, paru-paru, otot, kulit, saraf, pembuluh
darah, kornea, vagina, katup jantung, trakea, dan jaringan adipose memiliki peran fungsional penting dalam tubuh. Berbagai scaffold polimer telah diteliti untuk meregenerasi jaringan lunak. Diantara polimer yang digunakan untuk persiapan scaffold jaringan lunak, adalah kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin, berasal dari kulit golongan krustacea, menarik perhatian lebih karena sifat yang menguntungkan seperti bioadhesiviti, biodegradasi dan biokompatibilitas. Selain itu, kitosan juga memiliki sifat bioaktif seperti hemostatis, menyembuhkan luka, antimikroba, dan lain-lain. Kesamaan struktural dengan komponen matriks ekstraseluler, kitosan menghasilkan stimulasi dari ikutan, proliferasi dan kelangsungan hidup jaringan sel. Penggunaan kitosan untuk scaffold dibuat dengan berbagai bentuk seperti sistim film, spons, gel, partikulat dan lainlain.
Selain itu, kitosan dapat dimodifikasi secara kimia dan enzimatis yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan peningkatan sifat dari scaffold. Derajat deasetilasi (DD) kitosan, menunjukkan kelompok amina bebas yang ada dalam struktur kitosan, yang menjadi parameter utama yang merubah sifat fisikokimia seperti kelarutan, konformasi rantai dan sifat elektrostatik. Karena gugus kationik amina, kitosan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk adhesi sel. Degradasi produk kitosan seperti sakarida dan glucosamines, yang sudah ada dalam metabolisme mamalia, dan senyawa ini dapat mengaktifkan makrophage yang memiliki reseptor untuk N-asetil-D-glukosamin dan mannose (Muzzarelli, 2009; dan Jayakumar, et al., 2010). Harry, A, 2006, melaporkan bahwa pada kitosan yang dilakukan ikatan silang dengan glutaraldehide menunjukkan gel glutaraldehide kitosan berupa membran (lapisan film tipis). Cross-linking scaffold berbasis kitosan merupakan metode yang efektif untuk memodifikasi tingkat biodegradasi dan untuk mengoptimalkan sifat mekanik ((Ma et al., 2003, Tsai et al., 2007). Oleh karena itu, pengolahan dengan metode kimia masih diperlukan pada hampir semua kasus. Penggunaan glutaraldehida, GA (C 5 H 8 O 2 ) sebagai reagen ikat-silang bifungsional yang dapat menjadi penghubung dua gugus rantai amino polipeptida yang berdekatan, menjadi pilihan utama dalam teknik jaringan kulit, karena kelarutannya dalam air, efisiensi crosslinking yang tinggi dan biaya rendah. Selain itu glutaraldehid bersifat larut dalam air, alkohol dan benzene. Sebagai bahan ikat silang, desinfectan, penyamakan kulit dan penstabil bakteri dan virus (Ma et al., 2003).
Gambar 2.4 Skematik kolagen cross-linked dengan glutaraldehid dalam kitosan (Ma, et al., 2003) 2.2.3 Kolagen Kolagen (C 102 H 149 N 31 O 38 ) adalah salah satu protein yang menyusun tubuh manusia, keberadaannya adalah kurang lebih mencapai 30% dari seluruh protein yang terdapat di tubuh. Merupakan struktur organik pembangun tulang, gigi, sendi, otot, dan
Universitas Sumatera Utara
kulit. Serat kolagen memiliki daya tahan yang kuat terhadap tekanan. Kolagen memiliki struktur primer Glicin-X-Hidroxiprolin atau Glicin-Prolin-X. Rantai polipeptida-nya disintesa dalam ribosom yang ada di sekitar retikulum endoplasma. Sebagai struktur tertier-nya berupa triple helix, artinya tiga rantai polipeptid spiral (left handed helix). Ketiga molekul helix-nya dihubungkan satu sama lain dengan ikatan hidrogen seperti pada α helix DNA. Kolagen biasanya di sintesa oleh sel fibroblast, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Intrasellular, berada dalam organel ribosom di sekitar retikulum endoplasma dari ribosom. 2. Ekstrasellular, yang terjadi dalam intersellular atau ekstrasellular adalah eliminasi dari N- dan C-terminal. Kemudian eliminasi gugus N dari rantai molekul lisina secara oxidativ. Akibatnya grup aldehid dari kollagen monomer disatukan menjadi kolagen fibrillar. Kolagen saat ini telah ditemukan dan dibagi menjadi 28 kelas, yatu: • Kolagen fibrillar, yaitu kolagen tipe I, II, III, V, dan XI. • Kolagen yang membentuk jaringan, yaitu kolagen Tipe IV (Lamina densa dari dasar
membran Hemidesmosom), VIII dan X. • Kolagen yang fibrillar terasosiasi (FACIT), yaitu kollagn tipe IX, XII, XIV, dan XXII. • Kolagen berbentuk rangkaian mutiara, yaitu kolagen tipe VI. • Verankerungsfibrillen, yaitu kolagen tipe VII.
Kolagen dengan domain transmembran, yaitu kolagen tipe XIII, XVII, XXIII, dan XXV (www.wikipedia.kolagen, 2013).
2.2.4 Kolagen Untuk Skin Tissue Engineering Scaffold yang terbuat dari kolagen telah digunakan dalam berbagai aplikasi karena banyak kelebihannya, seperti efek hemostatik, antigenisitas rendah, dan sifat mekanik yang baik untuk digunakan dalam aplikasi rekayasa jaringan lunak. Selain itu, kolagen scaffold telah diteliti untuk menghasilkan sel dan pertumbuhan jaringan tambahan. Kolagen mengandung residu dasar, seperti lisin dan arginin, dan sisi spesifik adhesi sel seperti grup arginine-glycine-aspartat (RGD). Kelompok RGD aktif menginduksi adhesi selular dengan mengikat reseptor integrin, dan interaksi ini memainkan peran penting dalam pertumbuhan sel, dan dalam diferensiasi dan regulasi keseluruhan fungsi sel. Kolagen dikenal sebagai material yang paling menjanjikan dalam aplikasi teknik jaringan
Universitas Sumatera Utara
dengan sifat biokompatibilitas dan biodegradasi yang sangat baik. Namun, biodegradasi yang cepat dan kekuatan mekanik yang rendah adalah masalah yang membatasi lebih lanjut menggunakan bahan ini. Untuk alasan ini, digunakan campuran dari biodegradabel polimer untuk menghasilkan scaffold (Gaspar, et al., 2008). Distribusi, biosintesis dan struktur molekul kolagen pada semua jaringan ikat menjadikannya salah satu biomolekul yang paling banyak dipelajari dari matriks ekstraseluler (ECM). Jenis protein berserat merupakan komponen utama dari kulit dan tulang dan mewakili sekitar 25% dari berat kering total mamalia. Kolagen dari jenis berbeda telah ditandai dan semua menampilkan struktur heliks tiga yang khas. Kolagen tipe I, II, III, V dan XI dikenal untuk membentuk serat kolagen. Molekul kolagen terdiri dari tiga rantai α yang berkumpul bersama karena struktur molekul mereka. Setiap rantai α terdiri dari lebih dari seribu asam amino berdasarkan urutan -Gly-X-Y-. Kehadiran glisin sangat penting disetiap ketiga posisi asam amino untuk memungkinkan kemasan yang kuat dari tiga rantai α pada molekul tropocollagen dan posisi X dan Y adalah sebagian besar diisi oleh prolin dan 4-hydroxyproline (Gaspar, et al., 2008). Ada sekitar dua puluh lima konformasi rantai α yang berbeda, masing-masing dihasilkan oleh gen mereka yang unik. Kombinasi rantai ini, di set tiga, berkumpul untuk membentuk dua puluh sembilan jenis kolagen yang dikenal saat ini. Meskipun banyak jenis kolagen telah dijelaskan, hanya beberapa jenis yang digunakan untuk menghasilkan biomaterial collagenbased. Kolagen tipe I saat ini merupakan standar emas dalam bidang jaringan-rekayasa. Fibroblast bertanggung jawab untuk sebagian besar produksi kolagen dalam jaringan ikat. Kolagen pro-α rantai mRNA disintesis dari dalam retikulum endoplasma kasar dan kemudian dipindahkan ke aparatus Golgi sel. Selama transfer ini, beberapa prolines dan lysines residu dihidroksilasi oleh enzim oxydase lysyl. Spesifik Lysines glikosilasi dan kemudian pro-rantai α merakit diri ke dalam prokolagen sebelum enkapsulasi dalam vesikel ekskretoris. Fibril kolagen pembentuk yang paling umum digunakan dalam produksi kolagen berbasis biomaterial. Kolagen tipe I hadir dalam fasciae, dermis dan tendon dan merupakan komponen utama dari jaringan parut. Dari 20 jenis kolagen, kolagen I, II, III, V dan XI berkumpul menjadi fibril. Kolagen membentuk jaringan lainnya, misalnya kolagen IV, komponen utama dari membran. Kolagen juga dapat membentuk transmembran protein, struktur manik-manik atau mengaitkan dengan fibril permukaan. Kolagen telah digunakan untuk beberapa waktu sebagai desain pengganti kulit, dan baru-baru ini telah digunakan untuk membuat model endothelialized,
Universitas Sumatera Utara
direkonstruksi dermis yang mempromosikan pembentukan kapiler manusia seperti jaringan secara spontan. Butler dan Orgill (2005), menggambarkan teknik jaringan yang menggabungkan autologus keratinosit terpilah dan, acellular kolagen-glikosaminoglikan matriks yang sangat berpori yang telah ditunjukkan dalam model babi untuk regenerasi dermis dan epidermis in vivo. Teknologi pengganti kulit tersebut merupakan aplikasi berguna bila dibuktikan secara klinis (Gaspar, et al., 2008; dan Bareil, et al., 2010).
2.3 Sintesis Scaffold Sejumlah metode yang berbeda telah dijelaskan pada literatur untuk pengolahan scaffold struktur berpori dalam teknik jaringan. Masing-masing teknik menyajikan keuntungan dan kelemahan sendiri, yaitu: a. Nanofiber Self-Assembly: molekul self-assembly adalah salah satu dari beberapa metode untuk membuat biomaterial dengan sifat yang sama untuk matriks alami ekstraselular vivo (ECM). Selain itu, scaffold hidrogel telah menunjukkan keunggulan di dalam toksikologi in vivo dan biokompatibilitas dibandingkan dengan macroscaffold tradisional dan bahan yang berasal dari hewan. b. Tekstil teknologi: teknik ini meliputi semua pendekatan yang telah berhasil digunakan untuk persiapan non-woven mesh dari polimer yang berbeda. Secara khusus, nonwoven struktur polyglycolide telah diuji untuk aplikasi teknik jaringan. Struktur berserat telah ditemukan berguna untuk menumbuhkan berbagai jenis sel. Kekurangannya adalah terkait dengan kesulitan dalam memperoleh porositas tinggi dan ukuran pori yang teratur. c. Solvent casting & Partikulate Leaching (SCPL): metode ini memungkinkan untuk persiapan struktur berpori dengan porositas biasa, tapi dengan ketebalan yang terbatas. Pertama, polimer dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok (misalnya asam polylactic bisa dilarutkan dalam diklorometana), maka larutannya dituang ke dalam cetakan yang diisi dengan partikel porogen. Porogen tersebut dapat menjadi garam anorganik seperti natrium klorida, kristal sakarosa, gelatin atau parafin granul. Ukuran partikel porogen akan mempengaruhi ukuran pori-pori scaffold, sedangkan polimer untuk rasio porogen secara langsung berkorelasi dengan jumlah porositas struktur akhir. Setelah larutan polimer dituangkan pelarut diuapkan, maka struktur komposit dalam cetakan direndam dalam bak cairan yang cocok untuk melarutkan porogen, seperti air dalam natrium klorida, sakarosa dan gelatin atau seperti pelarut
Universitas Sumatera Utara
alifatik heksan untuk digunakan dengan parafin. Setelah porogen sepenuhnya dilarutkan, struktur berpori diperoleh, selain rentang ketebalan kecil yang dapat diperoleh, kelemahan dari SCPL terletak dalam penggunaan pelarut organik yang harus sepenuhnya dihilangkan untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada selsel tertentu pada scaffold. d. Gas Foaming: untuk mengatasi kebutuhan menggunakan pelarut organik dan porogens padat, teknik penggunaan gas sebagai porogen telah dikembangkan. Pertama, struktur berbentuk cakram yang terbuat dari polimer yang diinginkan disusun dengan cara pencetakan kompresi menggunakan cetakan yang dipanaskan. Cakram kemudian ditempatkan dalam ruang dimana ditempatkan dalam CO 2 bertekanan tinggi selama beberapa hari. Tekanan di dalam ruangan secara bertahap dikembalikan ke tingkat atmosfer. Selama prosedur ini pori-pori yang dibentuk oleh molekul karbon dioksida yang meninggalkan polimer, menghasilkan struktur seperti spons. Masalah utama yang dihasilkan dari teknik tersebut disebabkan oleh panas yang berlebihan digunakan selama pencetakan kompresi (yang menghindari penggabungan dari bahan apapun ke dalam matriks polimer pada suhu yang labil) dan kenyataannya pori-pori tidak membentuk struktur saling berhubungan. e. Emulsifikasi/Freeze-drying: teknik ini tidak memerlukan penggunaan porogen padat seperti SCPL. Pertama, polimer sintetik dilarutkan ke dalam pelarut air yang sesuai (asam polylactic dalam diklorometana misalnya), kemudian ditambahkan ke dalam larutan polimer dan dua cairan dicampur untuk memperoleh emulsi. Sebelum tahap pemisahan, emulsi dituangkan ke dalam cetakan dan pembekuan cepat dengan cara pencelupan ke dalam nitrogen cair. Emulsi beku kemudian di freeze-drying untuk menghilangkan air yang tersebar dan pelarut, sehingga meninggalkan struktur, dan pemadatan polimer berpori. Sementara metode emulsifikasi dan freeze-drying lebih cepat bila dibandingkan dengan SCPL (karena tidak memerlukan langkah pencucian yang memakan waktu), masih membutuhkan penggunaan pelarut. Selain itu, ukuran pori-pori relatif kecil dan porositas sering tidak teratur. Pengeringan beku dengan sendirinya juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk pembuatan scaffold. Secara khusus, digunakan untuk mempersiapkan spons kolagen, dimana kolagen dilarutkan dalam larutan asam asam asetat atau asam klorida yang dituangkan ke dalam cetakan, dibekukan dengan nitrogen cair dan kemudian di-lyophilized. f. Thermally Induced Phase Separation (TIPS): sama dengan teknik sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
prosedur pemisahan fasa memerlukan penggunaan pelarut dengan titik leleh rendah yang mudah luruh. Misalnya dioksan dapat digunakan untuk melarutkan asam polylactic, maka pemisahan fasa diinduksi melalui penambahan sejumlah kecil air: polimer yang kaya dan fase polimer-kurang terbentuk. Setelah pendinginan di bawah titik leleh pelarut dan beberapa hari vakum-pengeringan untuk pelarut luruh, scaffold berpori diperoleh. Pemisahan fasa cair-cair menunjukkan kelemahan yang sama dengan proses emulsifikasi/pengeringan beku. g. Electrospinning: sebuah teknik serbaguna yang dapat digunakan untuk menghasilkan serat-serat kontinu dari submikron untuk diameter nanometer. Dalam electrospinning, larutan diumpankan melalui alat labu pemintal dan tegangan tinggi diterapkan pada akhir. Penumpukan tolakan elektrostatik dalam larutan, menyebabkan mengeluarkan aliran fibrosa tipis. Sebuah pelat kolektor dipasang atau batang dengan muatan yang berlawanan atau didasarkan atas menarik serat secara terus menerus, yang membentuk jaringan yang sangat berpori. Keuntungan utama dari teknik ini adalah kesederhanaan dan kemudahan variasi. Pada tingkat laboratorium, electrospinning membutuhkan listrik tegangan tinggi (sampai dengan 30 kV), jarum suntik, jarum ujung datar dan kolektor. Modifikasi variabel seperti jarak terhadap kolektor, besarnya tegangan yang diberikan, atau aliran larutan, peneliti dapat mengubah arsitektur scaffold secara keseluruhan. h. CAD/CAM Teknologi: karena sebagian besar teknik di atas terbatas kontrol porositas dan ukuran pori, dengan bantuan desain komputer dan teknik manufaktur telah diperkenalkan untuk teknik jaringan. Pertama, struktur tiga-dimensi ini dirancang dengan menggunakan perangkat lunak CAD, selanjutnya scaffold dibentuk dengan menggunakan jet tinta cetak dari polimer serbuk atau melalui pemodelan fused deposition dari lelehan polimer (Sachlos, 2003, Chen, G, 2003, dan Dhandayuthapani, 2011).
2.4 Kultur Jaringan (Tissue Culture) Banyak kasus penciptaan jaringan fungsional dan struktur biologis secara in vitro memerlukan kultur yang ekstensif untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan fungsi. Secara umum, persyaratan dasar sel harus dipertahankan dalam kultur, yang meliputi oksigen, pH, kelembaban, suhu, nutrisi dan pemeliharaan tekanan osmotik. Jaringan kultur yang direkayasa menimbulkan masalah tambahan dalam menjaga kondisi kultur.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kultur sel standar, difusi sering menjadi satu-satunya alat transportasi nutrisi dan metabolit. Namun, sebuah kultur menjadi lebih besar dan lebih kompleks, seperti halnya dengan organ dan jaringan direkayasa secara keseluruhan, mekanisme lain harus digunakan untuk mempertahankan kultur, seperti pembuatan jaringan kapiler dalam jaringan (Fedik, et al., 2011; Ian Freshney, 2005; Bernice, 1994). Masalah lain dengan kultur jaringan, yaitu faktor rangsangan yang tepat diperlukan untuk mendorong fungsi. Dalam banyak kasus, perawatan kultur sederhana tidak cukup. Faktor pertumbuhan, hormon, metabolit tertentu atau nutrisi, rangsangan kimia dan fisik kadang-kadang diperlukan. Misalnya, sel-sel tertentu merespon perubahan tekanan oksigen sebagai bagian dari perkembangan normal mereka, seperti kondrosit, yang harus beradaptasi dengan kondisi oksigen rendah atau hipoksia selama pengembangan tulang. Hal lainnya, seperti sel-sel endotel, menanggapi tegangan geser dari aliran fluida, yang ditemui dalam pembuluh darah. Rangsangan mekanik, seperti tekanan pulsa tampaknya bermanfaat untuk semua jenis jaringan kardiovaskular seperti katup jantung, pembuluh darah atau perikardium (Fedik, et al., 2011; Freshney, 2005; dan Bernice, 1994). Penciptaan jaringan yang berfungsi memerlukan kultur yang ekstensif dengan memperhatikan aneka faktor seperti oksigen, keasaman, kelembapan, suhu, nutrisi dan osmosis. Selain itu, kultur jaringan buatan ini menciptakan masalah baru. Umumnya, dalam kultur sel biasa, pemberian nutrisi cukup melalui difusi. Namun karena jaringan bertambah besar dan kompleks, cara yang digunakan pun bertambah rumit. Selain itu, diperlukan faktor atau rangsangan untuk menciptakan fungsionalitas. Hormon, growth factor, metabolit dan nutrisi, rangsangan kimia dan fisik juga perlu. Misalnya kondrosit memerlukan kondisi rendah oksigen dalam pembentukan rangkanya (Bernice, 1994).
2.5 Tipe Sel Jenis sel seringkali dikategorikan berdasarkan sumbernya, yaitu : 1. Autologos, yaitu sel yang diperoleh dari individu yang sama dengan yang akan diimplantasikan. Sel autologos paling kecil resikonya dari penolakan atau infeksi, tetapi seringkali tidak dapat digunakan, baik karena cacat genetik, penyakit atau kerusakan akibat luka bakar yang parah. Selain itu sel ini harus dibiakkan dari sampel sebelum digunakan, dan ini cukup memakan waktu. Dalam beberapa kasus, sel ini mungkin tidak tersedia. Misalnya dalam kasus penyakit genetik, orang yang sangat
Universitas Sumatera Utara
sakit atau lansia, serta pasien yang menderita luka bakar parah, mungkin tidak memiliki jumlah yang cukup sel-sel autologous untuk membangun jalur sel. Apalagi karena jenis sel ini perlu dikultur dari pasien, ada juga beberapa kekhawatiran berkaitan dengan perlunya melakukan operasi bedah seperti yang mungkin menyebabkan infeksi donor atau penyakit kronis. Sel autologous juga harus dikultur dari sampel sebelum mereka dapat digunakan: ini memakan waktu, sehingga solusi autologus mungkin tidak cepat. 2. Allogenik, yaitu sel yang diperoleh dari tubuh donor dengan spesies yang sama. Walaupun masih ada kontroversi, tetapi penggunaan sel manusia dalam penanaman kulit terbukti aman. 3. Xenogenik, yaitu sel yang diperoleh dari spesies yang berbeda, dan telah diuji secara ekstensif dalam upaya konstruksi organ transportasi tubuh. Sel xenogenic ini terisolasi dari individu spesies lain. Secara khusus sel-sel hewan telah digunakan cukup luas dalam eksperimen yang ditujukan untuk pembangunan implan kardiovaskular. 4. Singeneik, yaitu sel yang diambil dari organisme identik secara genetik, seperti kembar, klon, atau model penelitian hewan bawaan. 5. Primer, yaitu sel dari organisme. 6. Sekunder, yaitu sel dari bank sel. 7. Stem sel (sel induk), yaitu sel yang belum berdiferensiasi yang dapat membelah dalam kultur dan berubah menjadi aneka macam sel, adalah sel-sel terdiferensiasi dengan kemampuan untuk membagi dalam kultur dan menimbulkan berbagai bentuk sel-sel khusus (Bernice, 1994, dan Fedik et al., 2011).
2.6 Ekstraksi Sel Bersumber dari jaringan cair seperti darah, sel diekstrak dengan alat sentrifugal. Biasanya jaringan solid dicincang, lalu diberi enzim pencerna seperti tripsin atau kolagenase untuk menghilangkan matriks ekstraselular yang mengikat/menyatukan sel. Setelah itu sel akan mengambang bebas dan dapat diekstrak secara sentrifugal. Penggunaan tripsin sangat bergantung pada suhu, semakin tinggi suhu semakin cepat matriks diurai, tetapi kerusakan sel bertambah banyak. Kolagenase kurang bergantung pada suhu dan kerusakannya kecil tetapi lebih sulit (memakan waktu lebih lama) dan mahal (Fedik et al., 2009). .
Universitas Sumatera Utara
2.7 Metode Pemasangan Sel Umumnya masalah yang paling umum adalah keterbatasan sistem transpor. Jaringan buatan umumnya kekurangan suplai darah awal sehingga sulit untuk memperoleh oksigen dan nutrisi yang cukup untuk bekerja dengan baik. Karenanya, sangat penting untuk menciptakan struktur dengan skala yang tepat, agar mudah menyatu dengan pembuluh darah. Beberapa strategi pemasangan sel dalam rekayasa jaringan: a. Injeksi Sel Strategi ini dikembangkan dengan langsung melakukan transplantasi sel pada daerah yang akan diperbaiki jaringannya. b. Pendekatan konduksi Pada dunia kedokteran gigi telah digunakan pada perawatan penyakit periodontal yaitu menggunakan membran barier pada teknik bedah Guided Tissue Regeneration (GTR). c. Pendekatan Induksi Strategi ini meliputi aktivasi sel di daerah sekitar yang rusak dengan menggunakan signal biologis yang spesifik. Mekanisme induksi dimulai dengan ditemukannya protein pembentuk jaringan tulang yang dikenal dengan nama Bone Morphogenetics Protein (BMPs). d. Transplantasi sel Metode ini merupakan refleksi suatu kerja sama tim multi disiplin seperti ahli bedah dengan ahli bioengineering dan ahli biomaterial serta biologi molekuler. Klinisi atau ahli bedah untuk melakukan biopsi sebagian jaringan sehat dari donor, ahli biologi molekuker untuk proses mengembangbiakkan sel menjadi jutaan pada media scaffold yang telah dipersiapkan lebih dulu oleh ahli biomaterial di laboratorium. Ahli bioengineering bertugas memproduksi jaringan dari sel yang tumbuh dalam bioreaktor untuk ditransplantasikan ke individu penerima jaringan. Pada akhirnya, para klinis atau ahli bedah akan melakukan transplantasi untuk rekayasa jaringan menggantikan jaringan yang rusak atau hilang. Setelah transplantasi, biodegradable polymer yang berfungsi sebagai scaffold akan hancur melalui proses biologis dan terjadi remodeling atau pembentukan kembali jaringan yang rusak oleh tubuh sendiri (Bernice, 1994).
Universitas Sumatera Utara
2.8 Fisiologi Kulit Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7–3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5–1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung dan bahu. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat. a. Epidermis Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam): 1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum Lusidum. Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan, tidak tampak pada kulit tipis. 3. Stratum Granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. 4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, yang memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. 5. Stratum Basale (stratum germinativum). Terdapat aktivitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan. Hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Fungsi
Universitas Sumatera Utara
Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). b. Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True
Skin”.
Terdiri
atas
jaringan
ikat
yang
menyokong
epidermis
dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang dan lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. c. Subkutis Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis/hipodermis: melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber (Boyce, 2001; dan Schul, et al., 2000).
2.9 Karakterisasi Scaffolds Desain scaffold dan pemilihan material untuk setiap aplikasi spesifik tergantung pada beberapa variabel, terdiri dari sifat fisik (misalnya: mekanik, degradasi, pembentukan gel), sifat transportasi massa (misalnya difusi), dan sifat biologi (misalnya adhesi sel dan sinyal). 2.9.1 Tes Swelling Scaffold kolagen/kitosan ditempatkan dalam air suling pada suhu kamar dan berat basah (w) scaffold ditentukan setelah inkubasi selama 24 jam. Rasio pembengkakan scaffold didefinisikan sebagai rasio kenaikan berat scaffold (w-wo), terhadap berat awal (wo). Tiap pengukuran merupakan nilai rata-rata dari tiga pengukuran paralel (Ma, 2003). Sampel scaffold dipotong bundar dengan ketebalan awal (To) dan diameter (Do).
Universitas Sumatera Utara
Sampel-sampel diinkubasi dalam phosphate buffered saline (PBS, pH 7,4) pada suhu 37oC, film seluruhnya direndam. Ukuran scaffold dihitung satu jam untuk memperoleh swelling rate, tebal akhir (Tt) dan diameter akhir (Dt). Tingkat swelling dihitung dengan persamaan (2.1) di bawah ini: Tingkat swelling = 100(Dt/Do)2(Tt/To)
……………………… (2.1)
Uji dilakukan masing-masing tiga kali (Faikrua, 2009). Equilibrium swelling ratio (Es) dihitung dengan metode gravimetri konvensional. Berat kering scaffold dihitung sebelum direndam dalam PBS 0,05M (pH 7,4) pada suhu 37oC dan excess surface PBS dibersihkan dengan kertas absorbent. Berat basah (Ws) dari scaffold dihitung setelah inkubasi selama 24 jam. Ratio swelling kesetimbangan dihitung sebagai kenaikan berat (Ws-Wd) dengan berat awal (Wd) dari sampel kering. tiap nilai rata-rata dari tiga perhitungan paralel. Es dihitung menggunakan persamaan (2.2) berikut:
Es = (Ws-Wd)/Wd
……………………… (2.2)
dimana Ws dan Wd sebagai berat setelah mengembang dan berat kering (Tangsadthakun, 2006).
2.9.2 Water uptake Hydrophilicity adalah karakteristik penting dari biomaterial. untuk mendapatkan Hydrophilicity dari poros scaffold, bulk water absorption dari scaffold diperoleh dari kemampuan hydrophilicnya. Untuk menghitung water uptake, scaffold direndam dalam PBS pada 37oC untuk memperoleh perubahan dalam water uptake terhadap waktu. enam sampel dihitung untuk tiap jenis scaffold. Persentase dari water uptake dihitung menggunakan persamaan (2.3) berikut:
% water uptake =(W wet -W dry )/W dry x 100% ……………………… (2.3) Dimana W dry dan W wet adalah berat scaffold sebelum dan sesudah direndam dalam PBS (Tsai, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.9.3 Density dan porosity Densitas (d) dan porositas (ε) dari scaffold dihitung dengan menggunakan metode pemindahan air. sampel yang diketahui berat (w) direndam dalam suatu graded test tube yang diketahui volume air nya (v1). Sampel disimpan air 30 menit dan pressed, ke tekanan udara dari scaffold dan dibiarkan air berpenetrerasi dan mengisi pori-pori. Volume total dari air ditambah air sponge yang terimpregnasi sebagai (v2). Air yang terimpregnasi dalam scaffold dihilangkan dari test tube dan volume air residual dicatat sebagai (v3). Persamaan yang digunakan:
d = w/(v 2 -v 3 )
……………………… (2.4)
ε = (v 1 -v 3 )/(v 2 -v 3 ) x 100
……………………… (2.5)
Tiga perhitungan diambil untuk tiap nilai rata-rata (Gaspar, 2011).
2.9.4
Porosity of water absorbed scaffold Scaffold kering soaked semalaman dalam air. Tiga lembar kertas tissue
dikeringkan semalaman dalam oven 55oC dan ditimbang kertas tissue (W 1 ). Water absorbed scaffold diambil dari medium air dan diameter dan ketebalan scaffold dihitung dan volume dari water absorbed scaffold, V 1 = (πr2h) kemudian dihitung. Water absorbed scaffold ditempatkan pada bagian atas kertas tisu dalam centrifuge tube dan disentrifugasi pada 4500 rpm selama 5 menit. setelah scaffold dipindahkan dari kertas tissue dan berat basah kertas tissue (W 2 ) dihitung dan kemudian berat air dalam celah kosong dari scaffold, W 3 = (W 2 -W 1 ) dihitung. Volume dari air dalam celah kosong, V 2 ditentukan dengan membagi berat air dalam celah kosong dari scaffold, dengan W 3 dengan densitas air (= 1), persamaan: Porosity of water absorbed scaffold (%) = (V 2 /V 1 ) x 100
…………… (2.6)
(Nitar, 2009)
2.9.5 Pengamatan Mikrostruktur Struktur mikro scaffold dapat diamati antara lain dengan alat Scanning Elektron Mikroskop (SEM, Cambridge Stereoscan 260, Cambridge Instrument Ltd., Cambridge, UK) setelah diolah scaffold berpori diolah dengan 2,5% (w/v) GA selama 20 menit,
Universitas Sumatera Utara
diikuti dengan dehidrasi dengan etanol. Spesimen dikeringkan dalam suatu alat criticalpoint peralatan pengering. Sampel dilapisi dengan gold-palladium (kira-kira 2-5 nm) dan dianalisa dengan SEM (Han, 2010). Fourier-Transformed Infra-Red Spectroscopy (FTIR), spektrum infra-red dari scaffold dapat diperoleh dari spektrofotometer (spectrum 100 PERKIN ELMER) pada range 4000-650cm-1. Dari spektrum ini dapat dilihat kemungkinan interaksi kedua polimer dalam sampel campuran (Fernandes, 2011). Film campuran kolagen-kitosan diperoleh dengan pencetakan larutan dalam plate teflon. Setelah evaporasi 24 jam pada suhu kamar, scaffold dicrosslink secara vacuumheating pada 105oC selama 48 jam. Film yang digunakan tebal 10µm. Analisa dengan FT-IR berdasarkan pada identifikasi dari absorption bands dengan vibrasi gugus fungsional yang ditunjukkan dalam makromolekul (Tangsadthakun, 2006). Spectra infrared (panjang gelombang 4000-600 cm-1 dari campuran film scaffold yang dicatat dengan FT-IR spectrometry (model GX series, Perkin Elmer). sampel dicampur dengan potassium bromide powder dan dikompres menjadi pellet tipis untuk uji infrared (Faikrua, 2009).
2.9.6
Uji Termal dengan TGA/DSC (Thermal Gravimetri Analysis dan Differential Scaning Calorimetry) Uji DSC dilakukan untuk menganalisa endothermic peak temperature dari
scaffolds. Scaffold dipotong-potong ukuran kecil (2 mm3), menjadi 4-6 potongan kecil, berat kira-kira 5 mg, ditempatkan dalam pan aluminium. Analisa dilakukan dalam DSC (2010;TA Instrument, New Castle, DE) dari 50oC-250oC dengan kontrol laju pemanasan 5oC/menit. Uji dilakukan pada tiap sampel yang berbeda komposisi (Tsai, 2007). Stabilitas termal dapat diuji dengan Thermogravimetric (TG) dan Differential Thermogravimetric (DTG). Kurva TG/DTG diperoleh dalam atmosfir nitrogen, menggunakan TGA (Pyris 1 TGA PERKIN ELMER), dengan laju pemanasan 10oC/menit, dari temperatur kamar sampai 700oC (Fernandes, 2011)
2.9.7 Uji Mekanik (Tensile Strength dan Elongation) Uji Tensile Strength dan Elongation terhadap scaffold berpori menggunkan Universal testing machine (model LRX; LLOYD, Paoli, PA) pada kecepatan konstan 10mm/min dengan preload 0,5 N. Sampel dipotong berbentuk dog-bone mengikuti
Universitas Sumatera Utara
American Society for Testing Material (ASTM) D 4762-04 standard, dan setiap sampel ditimbang beratnya. Maksimum tensile strength (load to fracture) normal dengan berat tiap scaffold. Sebelum mengukur tensile strength dan elongation, semua specimen direndam dalam PBS selama 30 menit pada suhu kamar. Pengujian dilakukan pada tiap scaffold dengan komposisi yang berbeda (Tsai, 2007).
2.9.8 In Vitro Collagenase Degradation (uji degradasi kolagenase invitro)/uji degradasi enzymatik Dalam uji biodegradasi in vitro, scaffold kolagen/kitosan yang dicross-linked dengan GA dengan variasi konsentrasi yang berbeda (0-0,25%),
dilakukan dengan
diggested kolagenase. Setiap jenis scaffold dibenamkan dalam phosphate buffered saline (PBS, pH 7,4) yang mengandung 100 µg/ml (28 unit) kolagenase (tipe I, Sigma) pada 37oC selama 4, 16, 24 dan 48 jam. Degradasi dihentikan pada interval waktu yang dikehendaki dengan menginkubasi campuran uji dalam ice bath segera. Setelah sentrifugasi pada 1500 rpm selama 10 menit, supernatan yang bersih dihidrolisis dengan HCl 6M pada 120oC selama 12 jam. Kandungan hydroxyproline yang dihilangkan dari scaffold diukur dengan spektroskopi ultraviolet. Tingkat biodegradasi ditentukan sebagai persentase hydroxyproline yang dihilangkan dari scaffold pada waktu yang berbeda sampai satu terdegradasi lengkap dengan komposisi dan berat yang sama (Ma, 2003). Sampel scaffold diinkubasi pada 37oC dalam 10 ml larutan PBS (pH=7,4) yang mengandung collagenase pada konsentrasi 200U/5 g dari kolagen. Semua supernatan diambil setelah inkubasi 2,4,6,16,24, 48 dan 168 jam. Supernatan yang dikumpulkan dihidrolisa dengan 6M hydrochloric acid pada 120oC selama 12 jam. Konsentrasi hydroxyproline (Hyp) dihitung dengan uv spectrophotometer (Cary 1 E, varian Inc., Palo Alto) pada panjang gelombang 202 nm. Jumlah Hyp yang dilepaskan tiap waktu dihitung sebagai persentase dari jumlah awal hyp dalam scaffold (Faikrua, 2009). Test biodegradasi invitro dari scaffold dengan dan tanpa penambahan asam amino sebagai jembatan crosslingking terjadi dengan lysozyme digestion. Scaffold direndam dalam PBS (pH 7,4) mengandung 0,5 mg/mL lysozyme (L6876; Sigma-aldrich) pada 37oC diatas orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 1,2,3 dan 4 minggu. Pada akhir tiap periode scaffold dikeringkan pada 50oC selama 12 jam, dan kemudian ditimbang. Lima sampel dihitung untuk tiap scaffold. Berat yang dikandung scaffold diperoleh dengan persamaan (2.7) berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Remaining weight (%) = W/W i x 100%
…………… (2.7)
dimana W i berat kering awal dan W berat kering setelah degradasi enzymatik (Tsai, 2007). Scaffold yang sudah ditimbang berat keringnya disterilisasi dengan merendam dalam ethanol 70% dan diolah dalam PBS (pH 7,4) pada 37oC mengandung 1,6 µg/ml (112 units/ml) lysozyme (hen egg-white). Konsentrasi dari lysozyme yang digunakan berhubungan dengan konsentrasi human serum. larutan lysozyme direfresh setiap hari untuk memastikan aktivitas enzyme secara rutin. Setelah 7, 14, 21 dan 28 hari, sampel dipindahkan dari medium, dibilas dengan distilled water, dibekukan, diliofilisasi dan ditimbang. Uji dilakukan triplicate untuk tiap scaffold. Tingkat degradasi dihitung sebagai persentase berat yang dikandung scaffold kering setelah diolah dengan lysozyme. Untuk memisahkan antara degradasi enzymatik dan dissolution (terputusnya), sampel kontrol disimpan selama 28 hari dibawah kondisi yang sama tanpa penambahan lysozyme. Persentase dari berat yang dikandung dihitung menggunakan persamaan (2.8) berikutini:
Berat yang terkandung = (W i -W f )/W i x 100 …………… (2.8) dimana Wi merupakan berat awal scaffold dan Wf berat scaffold setelah diolah (digested) (Tangsadthakun, 2006).
2.9.9 Observasi Histologi dan Immunohistochemistry Contoh scaffold kolagen/kitosan yang diolah dengan GA 0,25% setelah ditanam selama 28 hari, dibentuk kedalam bentuk parafin. Setelah dewaxed dan blocked dengan 3% (b/v) bovine serum albumin dalam PBS (pH 7,4) (BSA/PBS) selama 20 menit pada 20oC, bagian scaffold diinkubasi selama 12 jam pada 4oC dengan mouse anti-bovine jenis I kolagen IgG (diencerkan 1:100) dan dicuci dengan PBS (pH 7.4) (3 kali, setiap 5 menit). Selanjutnya, bagian ini diinkubasi selama 30 menit pada 37o C dengan biotinylated goat anti-mouse IgG (diencerkan 1:300) dan dicuci dengan PBS (pH 7,4). Slide kemudian direaksikan dengan avidinconjugated peroksidase (diencerkan 1:30) pada 37oC selama 30 menit. Akhirnya, bagian yang ditampilkan dengan DAB dan ditanam dalam parafin untuk menghasilkan noda positif. Bagian-bagian dioservasi dengan light-microscope (Ma,
Universitas Sumatera Utara
2003). Pada selang waktu tertentu, sampel-sampel tissue-engineered skin ditempatkan dalam 4(%) formaldehyde semalaman, didehidrasikan dalam kenaikan konsentrasi etanol secara berurutan, dan ditanam dalam paraffin. Bagian-bagian (5µm) ditandai dengan haematoxylin and eosin (HE) untuk observasi histologi. Immunostaining terbentuk menggunakan primary mouse anti-human monoclonal antibody specific untuk pan-CK, CK-10 (Maixin_Bio, Fuzhou, Cina) dan normal host serum dimana disetujui sebagai kontrol negatif, diikuti dengan staining yang sesuai horse radish peroxidase (HRP)conjugated secondary antibodies. Slide diproses dalam diaminobenzidine dan redyed dengan larutan haematoxylin, dehydrated dan mounted in Permount. Gambar divisualisasikan diatas Olympus microscope (Olympus, Japan) dan penangkapan dengan kamera yang dihubungkan ke komputer (Han, 2010).
2.9.10 Kultur Sel Pada studi kultur sel dapat digunakan sel dari lapisan epidermis manusia. Sebelum mulai bekerja dengan sel-sel, harus dipastikan bahwa sejumlah medium, buffer dan enzim yang dibutuhkan telah di pra-hangat setidaknya sampai suhu kamar. Selalu menggunakan instrumen steril, teknik aseptik, dan bekerja di sebuah aliran laminar untuk mempertahankan sterilitas. Sebagai catatan penting: sel-sel dapat dibudidayakan pada 35 atau 37°C dengan 5% CO 2 . Sebagai misal keratinosit epidermis diisolasi dari kulit, inkubasi pada 35°C dapat dianggap suatu perlakuan yang lebih fisiologis. Namun sel dapat tumbuh sedikit lebih cepat ketika dikultivasi pada 37°C, dibandingkan denganinkubasi pada 35°C (Bernice, 1994).
2.9.11 Evaluasi Hewan In Vivo Dua belas tikus sehat, berat sekitar 200 g, yang diperoleh dari laboratorium hewan dan dibagi menjadi empat kelompok secara acak. Scaffold kolagen/kitosan (10 wt%) yang diolah dengan GA 0,25% disterilkan dengan direndam dalam 75% (v/v) etanol, selama 30 menit dan dicuci dengan PBS (pH 7,4) (5 kali setiap 5 menit). Sebelum implantasi, rambut permukaan dorsal tikus dicukur. Kemudian semua tikus dibius dengan administrasi intravena, ketamine-HCl 20 mg/kg. Permukaan dorsal tikus disterilkan dengan 5% PVP-I, dimana kantong subkutan dibuat. Dalam setiap kelompok, empat
Universitas Sumatera Utara
scaffold (0,5x1 cm2) tertanam dalam subkutan pada permukaan dorsal tikus. Harvest dilakukan secara acak dalam kelompok yang dipilih pada 3 hari, dan 1, 2, 4 minggu setelah implantasi. Pada saat dipanen, sisi implantasi dipotong dengan ketebalan penuh (termasuk kedua sisi kulit dan tulang rawan telinga). Bagian parafin diwarnai dengan reagen Hematoxylin-Eosin (HE) untuk pengamatan histologis (Ma, 2003).
Universitas Sumatera Utara