BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun dan ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting dan diawali dengan matangnya organ-organ fisik secara seksual sehingga mampu berproduksi. Remaja juga merupakan masa perkembangan sikap tergantung terhadap orang tua kearah kemandirian, minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika. Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence adalah berasal dari bahasa adolescere yang artinya tumbuh untuk menjadi dewasa atau mencapai kematangan (Dewi, 2012). 2.1.2 Dinamika Masa Remaja Masa remaja adalah peralihan dari masa pubertas menuju masa dewasa. Selama periode ini, anak remaja banyak mengalami perubahan-perubahan. Untuk memudahkannya, maka masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Pieter & Namora, 2010) :
8 Universitas Sumatera Utara
1.
Remaja awal (12-15 tahun) , ciri-ciri dinamika remaja awal : a. Mulai menerima kondisi dirinya. b. Berkembangnya cara berpikir. c. Menyadari bahwa setiap manusia memiliki perbedaan potensi. d. Proporsi tubuh semakin proporsional. e. Sikap dan moralitasnya masih bersifat egosentris. f. Selalu merasa kebingungan dalam status.
2.
Remaja tengah (15-18 tahun), ciri-ciri dinamika remaja tengah : a. Bentuk fisik makin sempurna dan mirip dengan orang dewasa. b. Perkembangan intelektual dan sosial lebih sempurna. c. Pergaulan sudah mengarah pada heteroseksual. d. Belajar bertanggung jawab. e. Ingin mendapatkan kebebasan sikap, pendapat, dan minat. f. Keinginan untuk menolong dan ditolong orang lain.
3.
Remaja akhir (19-22 tahun), ciri-ciri dinamika remaja akhir : a. Disebut dewasa muda dan meninggalkan dunia kanak-kanak. b. Kematangan emosional dan belajar mengendalikan emosi. c. Belajar menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku. d. Membina hubungan sosial secara heteroseksual. e. Berlatih mandiri dalam membuat keputusan.
9 Universitas Sumatera Utara
2.1.3
Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Pieter dan Namora (2010) ciri-ciri masa remaja yaitu : 1. Sebagai periode peralihan Peralihan adalah proses perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Apa yang tertinggal pada satu tahap akan memberikan dampak di masa akan datang. 2. Periode mencari identitas diri Remaja mencari identitas diri guna menjelaskan dirinya dan apa peranannya. Mencari identitas dan mengangkat harga diri akan membuat remaja memakai simbol status harga diri. 3. Usia bermasalah Dikatakan periode remaja sebagai usia banyak masalah karena tindakan-tindakan remaja selalu mengarah kepada keinginan untuk menyendiri, kegelisahan, kurang percaya diri, timbulnya minat seks, dan kekuasaan berkhayal. 4. Masa tidak realistik Remaja melihat kehidupan ini menurut pandangan dan penilaian pribadinya, bukan melihat menurut fakta, terutama pemilihan citacita. Semakin tak realistik cita-citanya, maka semakin mudah marah, sakit hati, dan frustasi. 5. Perubahan sikap dan perilaku Selama masa remaja akan mengalami perubahan sikap dan perilaku. Faktor penyebabnya yaitu perubahan nilai-nilai.
10 Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja antara lain adalah pengaruh keluarga, pengaruh gizi, gangguan emosional, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kesehatan, dan pengaruh bentuk tubuh. Disamping itu pengaruh lingkungan juga mempengaruhi perkembangan fisik remaja. Menurut pandangan Gunarsa (dalam Dewi, 2012) bahwa secara umum ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan individu yakni endogen, exogen, dan interaksi antara endogen dan exogen. 1.
Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orang tuanya, misalnya postur tubuh (tinggi badan), bakat-minat, kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa kondisi fisik, psikis atau mental yang sehat, normal, dan baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya.
2.
Faktor exogen (nurture). Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Faktor ini
diantaranya berupa lingkungan
fisik
maupun
lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas, cuaca, dan iklim. Sedangkan lingkungan sosial ialah
11 Universitas Sumatera Utara
relasi atau interaksi antar individu atau kelompok seperti teman, keluarga, dan lembaga pendidikan. 3. Interaksi antara endogen dan exogen. Faktor ini terjadi interaksi antara faktor internal dan eksternal yang membentuk dan mempengaruhi perkembangan individu. 2.1.5 Proses Perubahan pada Masa Remaja Masa remaja dikenal sebagai periode rentang kehidupan manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Secara ringkas , proses perubahan dan interaksi antara beberapa aspek yang berubah selama masa remaja diuraikan seperti berikut ini (Agustiani, 2009). 1.
Perubahan fisik Perubahan yang paling jelas terlihat pada remaja adalah perubahan biologis dan fisiologis berlangsung pada masa pubertas atau remaja awal sekitar umur 11-15 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria. Hormon-hormon baru yang diproduksi oleh kelenjar endokrin sehingga membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi sudah mulai bekerja.
2.
Perubahan emosionalitas Perubahan fisik dan hormonal mengakibatkan perubahan dalam aspek emosionalitas. Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru.
12 Universitas Sumatera Utara
Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. 3.
Perubahan kognitif Menurut Piaget (1972 dalam Agustiani, 2009) perubahan dalam kemampuan berpikir sebagai tahap terakhir yang disebut tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Dalam tahap yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun ini, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis dan abstrak dari realitas. Kemampuan berpikir yang baru ini memberi peluang bagi individu untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal.
4.
Implikasi psikososial Remaja menghadapi keprihatinan yaitu dimana mereka tidak siap untuk berkutat dengan kerumitan dan ketidakpastian, berikutnya muncul faktor-faktor lain yang menimpa dirinya. Perubahan status sosial membuat remaja mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru. Banyak remaja yang dilema karena mereka tidak bisa menjalankan peran sosialnya.
2.1.6 Tugas-tugas Perkembangan Remaja Tugas perkembangan masa remaja difokuskan upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuannya bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (dalam Dewi, 2012) adalah berusaha :
13 Universitas Sumatera Utara
1. Mampu menerima keadaan fisiknya. 2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa. 3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis. 4. Mencapai kemandirian emosional. 5. Mencapai kemandirian ekonomi. 6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan. untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. 7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua. 8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. 9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan. 10.Memahami
dan
mempersiapkan
berbagai
tanggung
jawab
kehidupan keluarga.
2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1 Pengertian Pola Asuh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pengasuhan berarti cara atau perbuatan mengasuh. Mengasuh berarti menjaga/ merawat/ mendidik. Pengasuhan
anak
bertujuan
untuk
meningkatkan
atau
mengembangkan
kemampuan anak dan dilakukan dilandasi rasa kasih sayang tanpa pamrik
14 Universitas Sumatera Utara
(Lestari, 2012). Pola asuh adalah model ataupun cara yang digunakan orang tua dalam mendidik kita. Model tersebut biasanya bermacam-macam, sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh mereka. Meskipun tujuannya sama, yakni menjadikan kita tumbuh sebagai pribadi yang baik dan kuat (Paramitha, 2014). 2.2.2 Jenis-jenis Pola Asuh Gaya pengasuhan atau pendekatan tipologi memahami terdapat dua dimensi dalam pelaksanaan tugas pengasuhan yaitu demandingness dan responssiveness. Demandingness merupakan dimensi yang berkaitan dengan tuntutan orang tua kepada keinginan menjadikan anak sebagai bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku dewasa, dan disiplin. Faktor ini terwujud dalam tindakan kontrol dan regulasi yang dilakukan oleh orang tua. Responssiveness merupakan dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam membimbing kepribadian anak, membentuk ketegasan sikap, dan pengaturan diri. Faktor ini terwujud dalam tindakan suportif dan penerimaan (Lestari, 2012). Menurut Hardy dan Heyes (dalam Paramitha, 2014) ada empat macam pola asuh orang tua dalam keluarga, yaitu autokratis (otoriter), demokratis, permisif, dan laissez faire.
15 Universitas Sumatera Utara
1.
Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang mendidik anak supaya patuh dan tunduk kepada semua perintah dan aturan orang tua. Bentuk pola asuh ini cenderung kaku dan mutlak. Biasanya, anak
tidak
diberi
kebebasan
untuk
bertanya
ataupun
mengemukakan pendapatnya sendiri. Batasan yang diberikan orang tua harus ditaati tanpa kompromi ataupun memperhitungkan psikologi si anak. Komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak adalah komunikasi satu arah sehingga orang tua memerintah , mengatur, dan
anak
sebagai pelaksana tanpa membantah
sedikitpun. Jika anak membangkang maka tidak segan-segan untuk menghukumnya. Orang tua yang menerapkan pola ini biasanya beranggapan bahwa sikap keras dan kaku akan membuat anak menjadi penurut. Sikap otoriter akan menjadikan anak takut, sehingga terpaksa bersikap rajin, menurut, sopan, dan mandiri. Akan tetapi, dampak buruknya dapat membuat anak tertekan karena terus memaksakan aturan sepihak tanpa memperhatikan keadaan anak. Mereka menjadi tidak percaya diri dan cenderung menarik diri dari lingkungannya. Ketika dewasa mereka akan menjadi orang yang memiliki sifat otoriter dan suka menentang.
16 Universitas Sumatera Utara
2.
Pola asuh demokratis Pola asuh demokratis adalah bentuk pola asuh yang lebih lentur, sebab disini orang tua memberikan peraturan kepada anak dengan mempertimbangkan kondisi anak. Orang tua lebih menghargai anak, mereka memberikan kebebasan anak untuk berpendapat, sehingga model komunikasi akan berjalan dua arah. Kelebihan dari model ini adalah anak akan lebih terbuka kepada orang tua. Model pola asuh ini juga lebih hangat dan lemah lembut. Anak yang memiliki pola asuh demokratis sering ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2007).
3.
Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah bentuk pola asuh yang cenderung memanjakan anak. Orang tua lebih banyak mengikuti kemauankemauan dan sedikit saja memberikan larangan. Anak dibiarkan memiliki aturan sendiri dengan keinginan-keinginannya. Apabila anak melakukan kesalahan, orang tua akan membiarkan saja tanpa adanya teguran. Orang tua tipe ini biasanya sangat sedikit memberikan bimbingan dan pengawasan sehingga membuat anak bebas melakukan apa saja. Namun tipe orang tua seperti ini cenderung hangat sehingga anak menyukainya. Akibat dari pola
17 Universitas Sumatera Utara
asuh ini akan membentuk anak menjadi impulsif, manja, dan tidak patuh. 4.
Pola asuh laissez faire (penelantaran) Pola asuh laissez faire adalah bentuk pola asuh yang lebih dikenal dengan penelantaran. Orang tua disini tidak banyak berperan sehingga anak menjadi tidak terurus. Anak dibiarkan sebebasbebasnya melakukan apapun yang dikehendaki. Tanpa pengawasan ataupun kontrol sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang bebas. Akibat dari pola asuh ini biasanya anak cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mudah terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.
Dalam kenyataannya, seringkali orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Adakalanya, orang tua menggunakan pola asuh otoriter, tetapi adakalanya orang tua menerapkan pola asuh permisif atau demokrasi (Dariyo, 2004).
2.3 Harga Diri 2.3.1 Pengertian Harga Diri Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya, evaluasi global seseorang mengenai dirinya (Santrock, 2007). Menurut Stuart dan Sundeen
18 Universitas Sumatera Utara
(dalam Muhith 2015) Harga diri adalah evaluasi individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Menurut Ghufron dan Rini (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi : 1.
Faktor jenis kelamin Menurut Coopersmith (1967) wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu atau merasa harus dilindungi. Hal ini mungkin terjadi karena peran orang tua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun wanita.
2.
Intelegensi Intelegensi
sangat
erat
berkaitan
dengan
prestasi
karena
pengukuran intelegensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. Individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi karena memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras daripada individu dengan harga diri yang rendah. 3.
Kondisi fisik Ada hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi dengan harga diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.
19 Universitas Sumatera Utara
4.
Lingkungan keluarga Peran keluarga sangat menentukan perkembangan harga diri anak. Dalam keluarga, seorang anak pertama kalinya mengenal orang tua yang mendidik dan membesarkannya. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak yang baik
5.
Lingkungan sosial Pembentuk harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya berhasil atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya.
2.3.3
Ciri-ciri Harga Diri Coopersmith (1967) mengemukakan ciri-ciri individu dengan harga
diri tinggi sebagai berikut : 1.
Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga.
2.
Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik.
3.
Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif, dan dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.
4.
Memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis.
5.
Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.
20 Universitas Sumatera Utara
Purba dkk (2013) mengemukakan ciri-ciri individu dengan harga diri rendah sebagai berikut : 1.
Perasaan malu terhadap diri sendiri.
2.
Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
3.
Merendahkan martabat.
4.
Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri.
5.
Percaya diri kurang atau pandangan hidup yang pesimis.
6.
Perasaan tidak mampu (ketidakmampuan untuk menentukan tujuan).
7.
Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang suram bisa mengakibatkan ingin mengakhiri kehidupan.
2.3.4
Perkembangan Harga Diri Remaja Penelitian Robins dkk (2002 dalam Santrock, 2007) menunjukkan
bahwa harga diri akan tinggi pada masa kanak-kanak, menurun pada masa remaja, meningkat lagi pada masa dewasa sampai masa dewasa akhir. Penurunan masa remaja hanya sedikit. Menurut penelitian Baldwin dan Hoffman (2002 dalam Santrock, 2007) pada masa remaja penurunan harga diri terjadi pada remaja perempuan dari usia 12 hingga 17 tahun. Sebaliknya harga diri meningkat diantara remaja laki-laki dari usia 12 hingga 14 tahun, kemudian menurun hingga usia sekitar 16 tahun, sebelum akhirnya meningkat lagi. Fluktuasi harga diri selama masa remaja berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hidup dan kehidupan keluarga.
21 Universitas Sumatera Utara
Menurut Harter (2006 dalam Santrock, 2007) penurunan harga diri perempuan dimasa awal remaja didorong oleh body image yang negatif dan hal ini terjadi selama perubahan di masa puber dibandingkan dengan remaja laki-laki. Penjelasan yang lain berfokus ketertarikan yang lebih dari remaja perempuan untuk terlibat dalam hubungan sosial dan kegagalan masyarakat untuk menghargai minat mereka.
22 Universitas Sumatera Utara