6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang ingin diteliti, yaitu mengenai teori down syndrome, stres dari orangtua yang memiliki anak penyandang down syndrome, dan juga bagaimana coping terhadap stres tersebut. Hal-hal yang dibahas pada bab ini digunakan sebagai acuan dalam merencanakan prosedur dan melaksanakan penelitian.
2.1 Down Syndrome Down syndrome pada awalnya sudah diketahui sejak tahun 1866 oleh Dr. Longdon Down yang berasal dari Inggris, kemudian pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia pada umumnya secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46 kromosom. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 yang disebut trisomi 21 (Gerald dkk, 2006). Nama gangguan ini pada awalnya dikenal dengan sebutan Mongoloid atau Mongolism karena penyandangnya memiliki gejala klinik yang khas, yaitu mereka memiliki wajah seperti bangsa Mongol dengan karakteristik yang sama. Bangsa Mongol memiliki mata yang sipit membujur ke atas. Namun, setelah gangguan ini belakangan diketahui terdapat pada seluruh bangsa di dunia dan kemudian munculah tuntutan dari pemerintahan Negara Mongolia yang berpendapat dan
7 menganggap pemberian nama Mongoloid atau Mongolism kurang etis, maka dianjurkan untuk mengganti nama tersebut dengan down syndrome. Kata syndrome itu sendiri mengartikan kumpulan dari gejala-gejala klinik. Jadi, pengertian dari down syndrome
adalah kelainan yang merupakan kumpulan
gejala klinik tertentu yang ditemukan oleh Dr. Longdon Down (Fadhli, 2010). Down syndrome dapat dikatakan termasuk sebagai penyakit genetik karena kelainannya terdapat pada materi genetik tetapi bukan kelainan yang diturunkan. Penyebab dari terjadinya down syndrome adalah karena adanya penyimpangan jumlah kromosom yang membentuk sel-sel janin. Pada umumnya penyandang down syndrome mempunyai jumlah kromosom 47, karena adanya penambahan kromosom pada pasangan kromosom ke 21 sehingga kromosom tersebut berjumlah 3 (Selikowitz, 2001). 2.1.1 Definisi Down Syndrome Down Syndrome merupakan gangguan pada perkembangan yang dibawa sejak lahir. Penyandang down syndrome sendiri dapat dengan mudah dikenali karena mereka memiliki ciri fisik dan karakteristik yang khas atau menonjol. Selain itu juga, penyandang down syndrome ini mengalami sejumlah keterbatasan baik secara fisik maupun mental (Selikowitz, 2001). 2.1.2 Penyebab Down Syndrome Penyebab kelainannya berawal dari terbentuknya manusia dari satu sel yang terjadi akibat pertemuan sperma (mani) dan sebuah sel telur, setelah terjadinya proses pembuahan. Tubuh kita sendiri terdiri dari sel-sel yang mengandung kromosom-kromosom yang pada setiap sel terdapat 46 kromosom. Kromosom ini bukan saja menentukan penampilan diri kita, tetapi juga menentukan ciri-ciri dan sifat manusia. Kromosom ini juga menentukan bagaimana bentuk wajah kita, karakter, sifat, bakat, karena di dalam
8 kromosom ini terdapat unsur-unsur keturunan yang sebagian berasal dari ibu dan separuhnya lagi berasal dari ayah. Jadi dalam setiap sel kita ada 23 kromosom ibu dan 23 kromosom ayah. Seorang anak dengan down syndrome ini tidak memiliki 46 kromosom sebagaimana seharusnya melainkan 47 kromosom. Kelebihan satu pada jumlah kromosom ini selalu terdapat pada saudara kembar kromosom nomor 21. Hal tersebut menyebabkan anak dengan down syndrome memiliki tiga kromosom 21, bukan dua kromosom 21. Kelebihan kromosom 21 ini biasanya terjadi karena terdapat kesalahan pada waktu pembagian sel. Tanpa disengaja masuklah dua kromosom 21 ke dalam anak sel, sehingga sel yang lainnya tidak memiliki kromosom nomor 21 ini, akibatnya ia musnah, sedangkan sel dengan kelebihan kromosom tumbuh dan terus hidup. Pembagian yang salah ini dapat terjadi baik dalam sperma laki-laki maupun pada sel telur wanita sebelum terjadi pembuahan. Tetapi hal ini juga dapat juga terjadi kesalahan pembagian selama proses pemecahan yang telah dibuahi berlangsung (Mangunsong, 2009). Fadhli (2010) mengatakan angka kejadian down syndrome rata-rata di seluruh dunia adalah 1 dari setiap 700 kelahiran. Kejadian ini akan bertambah dikarenakan semakin tua usia ibu hamil. Biasanya calon-calon bayi dengan down syndrome 60% cenderung gugur dan 20% akan lahir mati. Selain pengaruh usia ibu pada anak down syndrome, menurut Soetjiningsih (1995) usia ayah juga dapat membawa pengaruh pada anak down syndrome. Orangtua dari anak dengan down syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan usia ibu.
9 Down syndrome terjadi pada setiap 800 atau 1000, tetapi akan semakin kecil kemungkinan ibu melahirkan anak down syndrome jika ibu tersebut melahirkan pada usia muda, akan tetapi semakin tua usia ibu (lebih dari 40 tahun) maka akan semakin besar peluang melahirkan anak down syndrome (Rosidah, 2010). Ibu dengan usia diatas 35 tahun harus waspada dengan adanya kemungkinan seperti ini, karena sel telur wanita telah dibuat pada saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut akil balik. Oleh karena itu pada saat wanita menjadi tua, kondisi sel telur tersebut kadang-kadang menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami pembelahan yang kurang sempurna (Fadhli, 2010). 2.1.3 Jenis-jenis Down Syndrome Terdapat 3 variasi genetik yang menjadi penyebab down syndrome (Selikowitz, 2001), yaitu : 1.
Trisomi 21 Keadaan ini disebabkan oleh adanya ekstra kromosom 21 dalam semua sel individu. Hal seperti itu terjadi karena salah satu dari orangtua memberikan dua kromosom 21 baik melalui sel telur maupun melalui sperma, bukannya satu seperti biasanya. Ini merupakan bentuk yang paling banyak terjadi (95%) pada anak-anak down syndrome yang lahir dari ibu dengan bermacam-macam usia.
2.
Translokasi Pada tipe ini, sebagian dari kromosom lain tersangkut pada kromosom 21. Hal itu terjadi ketika bagian atas yang kecil dari kromosom 21 dan sebuah kromosom lain pecah, lalu kedua bagian yang tersisa saling melekat satu sama lain pada bagian ujungnya.
10 Proses saling melekat tersebut dinamakan translokasi. Kromosom yang terlibat hanya tertentu saja, yaitu kromosom yang memiliki ujung-ujung kecil yang secara genetik tidak aktif, yang dapat putus dan hilang tanpa menimbulkan efek buruk seperti kromosom 13, 14, 15, 22 atau kromosom 21 lainnya. Kasus seperti ini terjadi hanya 34% pada anak-anak penyandang down syndrom. Jenis Translokasi ini bisa terjadi apabila salah satu orangtua merupakan pembawa. Yang dimaksud dengan pembawa adalah orang yang normal yang memiliki 23 pasang kromosom namun salah salah satu dari kromosom 21 melekat dengan kromosom lainnya. Maka masalah yang akan timbul adalah pada saat memproduksi sperma atau sel telur adalah sulitnya untuk membagi jumlah kromosom dengan merata, karena kedua kromosom tersebut sudah saling melekat satu sama lain. 3.
Mosaik Pada keadaan ini, hanya sebagian sel yang mengandung ekstra kromosom sedangkan sel yang lain normal. Individu-individu ini dikatakan menunjukkan gambaran mosaik karena sel-sel tubuh mereka seperti mosaik yang tersusun dari potongan-potongan yang berbeda,
sebagian
normal
dan
sebagian
dengan
kromosom
tambahan. Kasus ini adalah kasus yang paling jarang terjadi pada anak down syndrome, jumlahnya hanya 1% saja. Penyandang jenis ini seringkali memiliki ciri-ciri fisik down syndrome yang kurang menonjol dan berkembang lebih mendekati normal. Meskipun sangat jarang terjadi, penyandang dengan bentuk seperti ini dapat memiliki intelektualitas yang normal.
11 2.1.4 Karakteristik Down Syndrome Beberapa ciri-ciri penyandang down syndrome meliputi karakteristik fisik, kognitif, dan kepribadian. a. Karakteristik Fisik Anak down syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang khas dan menonjol sehingga mudah bagi mereka untuk dikenali. Hal tersebut yang kemudian membedakan mereka dengan anak-anak yang normal. Selikowitz (2001) menyebutkan ciri-ciri yang penting dalam mengenali kelainan down syndrome, yaitu : a. Wajah Ketika mereka dilihat dari depan, anak penyandang down syndrome biasanya mempunyai karakteristik wajah yang bulat. Dari samping, bentuk wajah mereka cenderung datar. b. Kepala Sebagian besar penyandang down syndrome memiliki bagian belakang kepala yang sedikit rata. Ini dikenal dengan istilah brachycephaly. c. Mata Hampir semua penyandang down syndrome memiliki mata yang sedikit miring ke atas. Selain itu, seringkali ada lipatan kecil pada kulit secara vertikal antara sudut dalam mata dan jembatan hidung. Lipatan tersebut dikenal dengan lipatan epicanthic atau epicanthus. Hal tersebut memberikan kesan
mata terlihat juling.
Mata
mempunyai bintik putih atau kuning terang di sekitar pinggir selaput pelangi (bagian berwarna dari mata). Bintik itu disebut dengan
12 brushfield, yang dinamai sesuai dengan nama penemunya yaitu Thomas Brushfield. d. Rambut Penyandang down syndrome biasanya memiliki rambut yang lemas dan lurus. e. Leher Bayi-bayi yang baru lahir dengan mengidap down syndrome memiliki kulit berlebih pada bagian belakang leher namun hal ini biasanya berkurang seraya usia mereka bertambah. Anak-anak yang lebih besar dan dewasa cenderung memiliki leher yang pendek dan lebar. f.
Mulut Rongga mulut sedikit lebih kecil dan lidah sedikit lebih besar dari ukuran anak pada umumnya. Kombinasi ini membuat sebagian anak mempunyai kebiasaan menjulurkan lidahnya.
g. Tangan Kedua tangan cenderung lebar dengan jari-jari yang pendek. Jari kelingking kadang-kadang hanya memiliki satu sendi, bukan dua seperti biasanya. Jari kelingking mungkin juga sedikit melengkung ke arah jari-jari lain. Keadaan ini disebut dengan istilah klinodaktili. Telapak tangan hanya memiliki satu alur yang melintang dan apabila ada dua garis, keduanya memanjang melintasi tangan. h. Kaki Bentuk jari kaki cenderung pendek dan gemuk dengan jarak yang lebar antara ibu jari dengan telunjuk. Hal itu disertai dengan suatu
13 alur pendek pada telapak kaki yang berawal dari celah antar jari lalu ke belakang sepanjang beberapa sentimeter. i.
Tonus Tungkai dan leher penyandang down syndrome yang masih kecil seringkali terkulai. Lembeknya otot (Hipotonia) berarti mempunyai tonus rendah. Tonus adalah tahanan yang diberikan oleh otot terhadap tekanan pada waktu otot dalam relaksasi. Tonus ini selalu paling rendah pada tahun-tahun awal dan kembali secara spontan sewaktu anak tersebut bertambah besar. Tonus berbeda dengan kekuatan otot yang membutuhkan kontraksi otot yang aktif. Kekuatan otot-otot biasanya normal. Otot-otot mereka mungkin lembek, namun mereka tidak lemah.
j.
Ukuran tubuh Berat badan penyandang down syndrome biasanya kurang daripada berat rata-rata. Panjang tubuhnya sewaktu lahir juga lebih pendek. Semasa kanak-kanak, mereka tumbuh dengan lancar tetapi lambat. Sebagai orang dewasa umumnya mereka lebih pendek dari anggota keluarga yang lainnya. Tinggi mereka berkisar sekitar dibawah tinggi rata-rata orang normal.
b. Karakteristik Kognitif Ciri lain dari penyandang down syndrome yang merupakan keluhan
utama
pada
orangtua
adalah
retardasi
mental
atau
keterbelakangan mental. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa kaum profesional mengklasifikasikan anak down syndrome berdasarkan tingkat keparahan masalahnya. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tingkat kecerdasan atau skor IQ, yaitu :
14 1. Mild mental retardation (ringan) (IQ 55-70) Pada tingkatan ini dalam segi pendidikan termasuk yang bisa dididik, mereka masih bisa dididik di sekolah umum, meskipun hasilnya lebih rendah daripada anak-anak normal pada umumnya karena rentang perhatian mereka pendek sehingga sulit berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka juga tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok sekalipun perkembangan fisiknya lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Tinggi dan berat badannya tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya namun berdasarkan hasil observasi mereka kurang dalam hal kekuatan, kecepatan, dan koordinasi, serta sering memiliki masalah kesehatan. Terkadang sering merasa frustasi saat diminta berfungsi secara sosial atau akademis yang sesuai dengan usia mereka sehingga tingkah laku mereka menjadi tidak baik, misalnya ketika diminta untuk acting out atau menolak untuk melakukan tugas didalam kelas. Sikap yang ditunjukkan adalah malu dan diam. Namun hal-hal tersebut dapat berubah bila mereka banyak dilibatkan untuk berinteraksi dengan anak-anak lainnya. Di luar pendidikan, mereka dapat melakukan beberapa ketrampilan sendiri seperti makan, mandi, berpakaian, dan sebagainya. Pada mereka yang IQ-nya lebih tinggi mampu menikah dan berkeluarga. 2.
Moderate mental retardation (IQ 40-55) Pada tingkatan ini dapat dilatih untuk beberapa ketrampilan tertentu. Meski sering berespon lama terhadap pendidikan dan pelatihan, jika diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai maka mereka dapat dididik untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan
15 kemampuan tertentu. Mereka dapat dilatih untuk mengurus dirinya sendiri dan dilatih untuk membaca dan menulis sederhana. Mereka memiliki
kekurangan
dalam
kemampuan
mengingat
bahasa,
konseptual, perseptual, dan kreativitas, sehingga perlu diberikan tugas yang lebih simpel, singkat, relevan, berurutan. Mereka menampakkan kelainan fisik yang merupakan gejala bawaan, namun gejala fisik itu tidak seberat yang dialami anak-anak pada kategori severe dan profound. Mereka memiliki koordinasi fisik yang buruk dan mengalami masalah di banyak situasi sosial. Selain itu mereka juga menampakkan adanya gangguan pada fungsi bicara mereka. 3. Severe mental retardation (IQ 25-40) Pada tingkatan ini memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan meskipun mereka sudah disekolahkan pada sekolah khusus. Oleh karena
itu
mereka
membutuhkan
perlindungan
hidup
dan
pengawasan yang lebih teliti, pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus karena mereka tidak dapat mengurus diri mereka sendiri tanpa bantuan dari orang lain meskipun menghadapi tugastugas yang sederhana. Mereka jarang sekali dipekerjakan dan sedikit sekali dalam berinteraksi sosial. Mereka juga mengalami gangguan bicara, mereka hanya bisa berkomunikasi secara vokal setelah pelatihan intensif. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya ialah lidah yang seringkali terjulur keluar bersamaan dengan keluarnya air liur, ukuran kepala lebih besar dari biasanya. Kondisi fisik mereka lemah sehingga mereka hanya bisa
16 dilatih
ketrampilan
khusus
selama
kondisi
fisik
mereka
memungkinkan. 4. Profound mental retardation (IQ di bawah 25). Pada tingkatan ini mereka mempunyai problem yang serius, baik itu menyangkut fisik, inteligensi serta program pendidikan yang tepat bagi mereka. Pada umumnya mereka memperlihatkan kerusakan pada otak serta kelainan fisik yang nyata, seperti hydrocephalus, mongolism, dan sebagainya. Mereka dapat makan dan berjalan sendiri namun, kemampuan berbicara dan berbahasa
mereka
sangat rendah begitupun dengan interaksi sosial mereka sangat terbatas. Kelainan fisik lain yang dimiliki mereka dilihat dari kepala yang lebih besar dan sering bergoyang-goyang. Mereka juga sangat kurang dalam hal penyesuaian diri sendiri seperti sewaktu mereka berdiri, mereka tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain dan mereka membutuhkan bantuan pelayanan medis yang baik dan intensif (Mangunsong, 2009). Meskipun demikian, Mangunsong (2009) menyatakan bahwa biasanya anak down syndrome memiliki IQ yang berkisar antara mild dan moderate mental retardation. Keterbelakangan mental ini menyebabkan penyandang down syndrome mengalami defisiensi dalam berbagai ketrampilan adaptif seperti ketrampilan komunikasi dan bahasa, sosial, akademik, merawat diri, dan hidup berumah tangga, mengatur atau mengarahkan diri, serta ketrampilan bekerja (Davidson dan Neale, 1998). Keterbatasan tersebut menjadi keluhan utama bagi orangtua karena dengan keterbatasan intelektual, anak menjadi tidak dapat mandiri sepenuhnya dan akan
17 selalu membutuhkan dukungan yang berkepanjangan dan terus menerus dari keluarga dan institusi-institusi tertentu (Hoffnung, 1997). Namun demikian, melalui pendidikan yang tepat, penyandang down syndrome dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal (Selikowitz, 2001). Hall dan Hill (1996) menyebutkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan anak penyandang down syndrome. c. Karakteristik Kepribadian Dari aspek kepribadian, stereotipe dari anak down syndrome adalah bersahabat, suka bergaul, dan terbuka. Hal itu memaksudkan bahwa mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungan secara baik meskipun keterbelakangan mental membatasi ketrampilan sosialnya. Hasil dari penelitian lain menunjukkan adanya variasi pada stereotipe kepribadian dari anak-anak penyandang down syndrome sehubungan dengan adanya perbedaan pada usia dan jenis kelamin (Wenar, 1994). Seperti halnya dengan perilaku dan emosinya yang juga bervariasi sangat luas, seorang anak penyandang down syndrome dapat lemah dan tidak aktif, sedangkan yang lainnya agresif dan hiperaktif. Sehingga gambaran stereotipe dimasa lalu tentang anak down syndrome yang pendek, gemuk, tak menarik dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah yang terjulur keluar, serta retardasi mental yang berat adalah deskripsi yang tidak sepenuhnya benar (Soetjiningsih, 1995). 2.1.5 Masalah kesehatan Kebanyakan dari anak dengan down syndrome mempunyai kesehatan yang baik. Bila mereka sakit, biasanya penyakit yang disandang adalah penyakit anak-anak normal pada umumnya yang tidak ada hubungannya
18 sama sekali dengan down syndrome sehingga tidak perlu ditangani dengan berbeda (Selikowitz, 2001). Namun demikian, Selikowitz (2001) menyebutkan beberapa keadaan yang lebih sering terjadi pada anak down syndrome adalah seperti
gangguan
pernapasan,
gangguan
pendengaran,
gangguan
penglihatan, gangguan pencernaan, disfungsi pada tiroid, gangguan pada gigi, penyakit kulit, leukimia, dan kelainan jantung. Hoffnung (1997) menyebutkan bahwa sebagian besar anak-anak dengan down syndrome hanya dapat bertahan hidup hingga dewasa muda (middle Adulthood) tetapi sekitar 14% meninggal pada usia satu tahun dan 21% meninggal pada usia sepuluh tahun. Pada awal abad ke 20, individu dengan down syndrome ditakdirkan hidup di lembaga-lembaga perawatan dan jarang yang dapat bertahan hidup hingga melewati usia 9 tahun. Namun belakangan peningkatan dalam intervensi terapeutik dan pendidikan, seperti treatmen medis yang lebih baik dan penyatuan anak-anak ke sekolah dan komunitas, telah berkontribusi meningkatkan harapan hidup mereka. Saat ini sebagian besar individu dengan down syndrome dapat hidup hingga usia sekitar 50 tahun. Akan tetapi kesehatan mereka yang hidup hingga usia
tersebut biasanya buruk, dan
hampir semuanya mengalami perubahan otak hampir sama dengan penderita Alzheimer (Halgin & Krauss, 2011). 2.1.6 Masalah Perilaku Ada dua pendapat yang bertolak belakang mengenai perilaku anak-anak dan otang dewasa penyandang down syndrome. Yang pertama adalah bahwa mereka adalah individu-individu yang tenang dan mudah diatur. Pendapat lainnya adalah bahwa mereka merupakan orang-orang yang keras kepala dan sulit dikontrol. Hal tersebut mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya
19 bahwa perilaku penyandang down syndrome adalah bervariasi (Selikowitz, 2001). Menurut Selikowitz (2001), tidak ada masalah perilaku yang unik pada anak-anak down syndrome. Jikapun ada masalah yang muncul, pada umumnya masalah ini serupa dengan yang ditemukan pada anak-anak normal yang berusia lebih muda. Hal tersebut dikarenakan anak-anak dengan down syndrome lebih lambat dalam pencapaian tingkatan perkembangan daripada anak-anak normal pada umumnya, sehingga mereka secara fisik terlihat lebih tua dan lebih besar daripada anak-anak normal ketika mereka berada pada tingkatan usia yang sama. Seperti contohnya tantrum yang biasanya pada anak-anak normal muncul di usia dua tahun, sedangkan pada anak down syndrome mungkin baru akan muncul pada usia empat tahun. Pada saat itu kelakuannya mungkin akan lebih menggangu karena anak lebih besar. Beberapa perilaku spesifik yang seringkali muncul pada anak-anak down syndrome (Selikowitz, 2001), adalah : 1. Menjulurkan lidah, hal ini disebabkan oleh kombinasi lidah yang berukuran lebih besar daripada ukuran rata-rata dan mulut yang berukuran lebih kecil. 2. Mencucurkan air liur, karena tonus pada anak-anak down syndrome rendah sehingga cendrerung membiarkan mulutnya terbuka dan mencucurkan air liur selama masa kanak-kanak dini. 3. Hiperaktif, kesulitan dalam menyalurkan perhatian kepada satu aktivitas untuk satu periode.
20 4. Menghilang secara diam-diam, hal ini dikarenakan sulit bagi anakanak dengan down syndrome untuk tetap berada disamping orang dewasa. 5. Tantrum, biasanya muncul pada saat anak sedang frustasi atau keinginannya dihalangi. 6. Memukul serta menggigit anak-anak lainnya, hal ini seringkali dimulai sebagai suatu usaha dari seorang anak dengan ketrampilan bahasa yang lemah untuk berkomunikasi dengan anak yang lain. 7. Perilaku destruktif, biasanya pada mainan dan benda-benda lainnya. Perilaku-perilaku di atas dapat diperbaiki dengan metode yang sederhana serta bisa melalui modifikasi perilaku. Dari karakteristik-karakteristik diatas dari mulai fisik, kognitif, dan kepribadian, keterbatasan yang dimiliki oleh anak down syndrome disesuaikan dengan ibu, serta bila kita amati dan lihat dari masalah-masalah yang muncul pada mereka, maka hal tersebut dapat berpotensi stres pada orang tua (ibu) dari anak penyandang down syndrome.
2.2 Stres, Coping, dan STAI 2.2.1 Definisi Stres Stres bukanlah suatu yang mudah didefinisikan. Pada awalnya, istilah stress diambil begitu saja dalam ilmu fisika. Pada saat itu manusia diumpamakan serupa dengan logam yang mampu menahan kekuatan dari luar namun pada satu titik akan kehilangan kekuatannya bila dihadapkan pada satu tekanan yang lebih besar (Santrock, 1996). Menurut Selye (dalam Santrock, 1996) stres sebenarnya adalah kerusakan yang dialami tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan
21 padanya.
Berapapun
kejadian
dari
lingkungan
atau
stimulus
akan
menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Menurut Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutantuntutan yang mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan
sebagai
tekanan,
ketegangan,
atau
gangguan
yang
tidak
menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang
mengancam
dan
menggangu
kemampuan
seseorang
untuk
menanganinya (coping) (Santrock,1996). 2.2.2 Sumber Stres Sarafino (1998) mengatakan bahwa sumber stres terdiri dari 3 macam, yaitu : a. Stres dari dalam diri sendiri (Sources within the person) Tingkat stres tergantung seberapa besar suatu aktifitas memerlukan kekuatan fisik, sumber stres lain berasal dari dalam diri adalah adanya konflik yang timbul pada diri seseorang karena adanya kepentingan
yang
berlawanan.
Misalnya:
kelemahan
atau
ketidaksiapan secara fisik. b.
Stres dari dalam keluarga (Sources in the family) Keluarga Merupakan salah satu sumber stres. Kecemasan terhadap keadaan keluarga dirumah dan rasa rindu pada keluarga bisa menimbulkan stres. Misalnya : perasaan kangen terhadap keluarga yang berada dikampung halaman.
c.
Stres dari lingkungan dan pekerjaan (Sources in the community
22 and society) Stres yang berhubungan dengan lingkungan dan pekerjaan yang dialami oleh orang dewasa. Pada faktor lingkungan yang melibatkan
tuntutan
tugas
dan
tanggung
jawab
terhadap
kehidupan menyangkut keselamatan seseorang. Jadi stresor dapat disimpulkan sebagai kondisi fisik dan lingkungan sebagai mengancam merusak, membahayakan yang menghasilkan perasaan tertekan (Sarafino, 1998). 2.2.3 Gejala Stres Menurut Wijoyo (2011) ada seseorang yang mengatakan bahwa dirinya terkena stres padahal sebenarnya tidak. Sebaliknya para penderita stress justru tidak menyadari keadaannya. Menurut Donald (dalam Wijoyo, 2011) menunjukkan bahwa gejala seseorang mengalami stres pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu berdasarkan fisik, psikologis, dan perilaku. 1.
Gejala stres pada fisik a.
Mudah lelah, sesak napas, napas terengah-engah, nyeri kepala, nyeri rahang, pandangan tertekan, berkeringat meskipun suhu normal, mulut kering, rambut kusut, wajah pucat.
b.
Otot tegang di leher, bahu, pundak, lengan, dan kaki. Tangan terasa atau teraba dingin.
c.
Jantung berdebar, detak tak teratur. Rasa sesak atau kencang di dada dan didaerah jantung. Tangan gemetar (Tremor). Tekanan darah tinggi, gula darah dan zat pembeku darah naik.
23 d.
Nyeri perut, mual atau muntah, perut kembung dan banyak gas, gangguan pencernaan, mencret, dan sering buang air besar berlendir atau sebaliknya sembelit, sering buang air kecil lebih banyak dari biasanya, asam lambung bertambah (nyeri, sakit atau pana pada bagian ulu hati).
e.
Tubuh mudah diserang berbagai penyakit seperti alergi dan infeksi karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.
f.
Nyeri pinggang, sakit punggung bawah, nyeri atau radang sendi.
g. 2.
Pada wanita, siklus haid akan terganggu.
Gejala stres pada jiwa a.
Sedih, menangis, merasa seperti tidak berdaya.
b.
Perasaan yang berubah-ubah
c.
Sulit
berkonsentrasi,
proses
berpikir
dan
ingatan
terganggu. d.
Kehilangan selera humor, minat dan tidak tertarik pada orang lain dan pada penampilannya sendiri. Kehilangan selera terhadap kesenangan dan seks.
e.
Menarik diri dari pergaulan dan orang lain.
f.
Merasa negatif pada diri sendiri, segala sesuatunya tidak berguna, merasa terjepit, dan menyalahkan diri sendiri.
3.
Gejala stres pada perilaku a.
Aktivitas berkurang, tidak ada tenaga, atau aktivitas berlebih dan tidak bisa istirahat.
b.
Banyak minum alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang seperti narkoba.
24 c.
Sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung, dan marah-marah, berbicara tanpa sadar dengan nada yang tinggi.
d.
Mudah kecewa, resah, gelisah, cemas, panik, dan menjadi pelupa.
e.
Sulit tidur atau insomnia tidur terlalu sedikit karena selalu memikirkan masalah yang ada. Tidur tidak tenang dan mudah terganggu.
2.2.4 Konflik Utama Stres Berbagai stimulus bukan hanya menjadi beban yang berat, namun bisa juga menjadi sumber konflik. Konflik ini sering terjadi ketika individu tersebut harus mengambil keputusan dari dua atau lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga konflik utama tersebut menurut Santrock (1996) adalah: 1.
Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict) Hal ini terjadi apabila individu harus memilih antara dua stimulus atau dua keadaan yang sama-sama menarik. Konflik mendekatmendekat ini adalah konflik yang tingkat stresnya paling rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya memberikan hasil yang positif.
2.
Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict) Hal ini terjadi ketika individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak menarik yang sebenarnya individu tersebut ingin menghindari keduanya, namun pada kenyataannya mereka harus menentukan atau membuat pilihan salah satu dari keduanya. Konflik ini lebih menyebabkan stres daripada memiliki keleluasaan memilih dua situasi yang menyenangkan seperti pada konflik yang sudah dibahas sebelumnya yaitu konflik mendekat
25 mendekat. Pada akhirnya banyak yang memilih untuk menunda mengambil
keputusan
dalam
konflik
menghindar-mengindar
sampai saat terakhir. 3.
Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict) Hal ini terjadi bila hanya ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif juga negatif. Konflik ini juga dapat menyebabkan stres. Dalam posisi seperti ini individu tersebut
seringkali
merasa
bimbang
sebelum
mengambil
keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan yang semakin dekat, kecendrungan menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller dalam Santrock, 1996). 2.2.5 Primary Appraisal dan Secondary Appraisal Lazarus (1984) mengatakan dalam menilai sesuatu sebagai stres, terjadi proses dalam diri individu meliputi Primary Appraisal dan Secondary Appraisal. Dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu : 1.
Primary appraisal Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa
yang
dialami
individu.
Peristiwa
tersebut
dapat
dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan
26 kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu: 1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya. 2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence. 3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang. 2.
Secondary appraisal Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu: 1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
27 2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya. 3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk. Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat diminimalkan (Lazarus, 1984). 2.2.6 Definisi Coping Menurut Wong (2002) Coping adalah tahapan khusus dari reaksi individu terhadap stresor, khususnya terhadap stresor yang menghapus, mengurangi, atau menggantikan status emosi yang diklasifikasikan sebagai penuh stres. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) Pengelolaan stres yang disebut dengan istilah coping
adalah proses mengelola tuntutan (internal ataupun
eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan individu. Definisi pengelolaan stres yang dikemukakan oleh Lazarus lebih menekankan pada proses, karena berhubungan dengan sesuatu yang secara aktual dipikirkan atau dilakukan individu dalam situasi khusus, disertai perubahan pikiran dan tindakan terhadap suatu peristiwa. Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan untuk mengelola seperti menuntaskan, ketabahan, mengurangi, atau meminimalkan tuntutan internal dan eksternal serta konflik diantaranya.
28 Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpukan bahwa coping stres atau pengelolaan stres merupakan suatu upaya mengelola tuntutan internal ataupun eksternal yang menjadi ancaman beban perasaan diluar kemampuan diri individu sebagai penyebab munculnya stres. 2.2.7 Fungsi dan strategi Coping Lazarus (1984) menyatakan bahwa fungsi dari strategi pengelolaam stres atau strategi coping dibagi menjadi dua, yaitu : 1.
Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah (Problem Focused Forms of Coping) Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan lingkungan. Pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya dilakukan
dengan
melakukan
tindakan
langsung
untuk
memecahkan masalah. Oleh karena itu, cara ini sering diarahkan pada
mendefinisikan
masalah
(defining
the
problem),
menghasilkan solusi alternatif (generating alternative solutions), pembobotan alternatif dalam hal cost dan manfaat, memilih antara cost dan manfaat, dan bertindak (acting). Namun fokus cara ini lebih luas mencakup strategi yang berorientasi pada masalah, daripada memecahkan masalahnya sendiri. Strategi yang berpusat pada masalah bukan hanya sekedar pemecahan masalah yang menganalisa secara objektif yang difokuskan pada lingkungan, akan tetapi strategi ini merupakan
29 proses analisa objektif yang difokuskan pada masalah dan diarahkan kedalam diri individu sendiri. 2.
Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi (Emotion Focused forms of Coping) Strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk mengatur respon emosional terhadap masalah, yang terdiri atas proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosi negatif yang ditimbulkan oleh situasi yang tidak menyenangkan. Seperti menghindari (avoidance), meminimalisasi (minimization), memberi jarak (distancing), selective attention, perbandingan positif (positive comparisons), dan mengambil nilai positif dari suatu kejadian negatif. Banyak dari strategi ini berasal dari teori dan penelitian mengenai proses defensif dan digunakan dalam hampir setiap menghadapi stres. Dalam penelitian pada kelompok yang lebih kecil dari strategi kognitif, justru diarahkan untuk meningkatkan tekanan emosional. Beberapa individu perlu merasa buruk sebelum mereka dapat merasa lebih baik; dalam rangka untuk dapat meringankan mereka pertama kali harus mengalami penderitaan yang akut dan dalam menyalahkan diri sendiri atau bentuk lain dari menghukum diri sendiri. Dalam kasus lain, individu sengaja
meningkatkan
tekanan
emosional
mereka
untuk
memobilitasi diri untuk bertindak. Strategi yang berpusat pada emosi ini hampir sama dengan penilaian kembali (reappraisal), namun tidak semua penilaian kembali dimaksudkan untuk mengatur emosi.
30 2.2.8 Definisi STAI (State-Trait Anxiety Inventory) State-Trait Anxiety Inventory (STAI) adalah instrumen untuk mengukur kecemasan definitif pada orang dewasa. STAI dengan jelas membedakan antara kondisi sementara "state anxiety" dan kualitas yang lebih umum dan lama dari "trait anxiety." Hal yang dievaluasi oleh skala STAIS-Anxiety adalah perasaan ketakutan, gugup ketegangan, dan perasaan khawatir. Skor pada skala STAIS-Anxiety adalah melihat peningkatan respon terhadap bahaya fisik dan stres psikologis, dan penurunan sebagai hasil dari training relaksasi. Pada skala STAIT-Anxiety, konsisten dengan konstruk trait anxiety pasien sakit jiwa dan depresi pada umumnya memiliki nilai yang tinggi (Mindgarden, 2010). 2.2.9 Pengukuran STAI (State-Trait Anxiety Inventory) Kecemasan didefinisikan oleh Freud sebagai "sesuatu yang dirasakan," sebuah keadaan emosi yang mencakup perasaan ketakutan, gugup ketegangan, dan khawatir disertai dengan gairah fisiologis. Konsisten dengan perspektif evolusi Darwin, Freud mengamati bahwa kecemasan adalah adaptif dalam memotivasi perilaku yang membantu individu mengatasi situasi yang mengancam dan kecemasan intens itu lazim di sebagian besar gangguan kejiwaan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). State-Trait Anxiety Inventory (STAI) dikembangkan untuk membuktikan sesuatu yang dapat dipercaya, relatif singkat, skala laporan diri untuk menilai tingkatan (state) dan trait anxiety dalam praktek penelitian dan klinis Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Tes STAI terdiri dari dua 20 item skala untuk mengukur intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional (S-Anxiety) dan perbedaan individu dalam wilayah yang rawan kecemasan sebagai ciri kepribadian (T-Anxiety). Dalam menanggapi item S-Anxiety,
31 subjek melaporkan perasaan intensitas kecemasan mereka "sekarang atau saat ini" dengan memberikan penilaian pada diri sendiri berdasarkan skala 4 poin berikut: (1) Tidak sama sekali, (2) Agak, (3) cukup atau sedang, (4) amat. Dalam menanggapi item T-Anxiety dibutuhkan subyek untuk menunjukkan bagaimana perasaan mereka pada umumnya dengan melaporkan seberapa sering mereka telah mengalami kecemasan yang berhubungan dengan perasaan dan kognisi pada skala 4 poin: (1) Hampir tidak pernah, (2) Kadangkadang, (3) Sering , dan (4) Hampir selalu. Item yang dipilih untuk STAI (Formulir X) atas dasar korelasi yang sangat signifikan dengan langkah yang paling banyak digunakan dari kecemasan Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). Dalam penelitian berikutnya, korelasi kuat dari skala STAI dengan langkah-langkah depresi memberikan kontribusi untuk mengenali bahwa isi dari beberapa item diadaptasi dari tindakan kecemasan lain lebih terkait erat dengan depresi daripada kecemasan (misalnya, "Aku menangis dengan mudah"; "Saya merasa sedih" ). Dalam mengembangkan STAI direvisi (Formulir Y), definisi konseptual state dan kecemasan yang lebih diperjelas, dan item dengan konten depresif diganti (Spielberger dalam Irving dan Edward, 2010). Lebih dari 10.000 remaja dan orang dewasa diuji dalam pembangunan dan validasi dari STAI (Y Formulir), termasuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang bekerja, personil militer, dan psikiatris, medis, dan pasien gigi Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010). STAI yang memiliki sifat psikometri sangat baik untuk sekolah menengah dan mahasiswa, orang dewasa yang bekerja, dan orang tua. Data normatif luas dilaporkan di manual tes. Bukti kuat dari validitas konstruk tercermin dalam skor tinggi pasien neuropsikiatri untuk
32 kecemasan adalah gejala utama dan untuk pasien medis dengan komplikasi kejiwaan. Penelitian dengan STAI telah sangat berkontribusi dalam pentingnya membedakan antara intensitas kecemasan sebagai keadaan emosional fana dan perbedaan individu dalam kecemasan sebagai ciri kepribadian yang relatif stabil. Sejak pertama kali diperkenalkan lebih dari 40 tahun lalu, STAI telah diterjemahkan dan diadaptasi ke 70 bahasa dan dialek, dan digunakan secara ekstensif dalam penelitian seperti yang ditunjukkan oleh kutipan di lebih dari 16.000 publikasi arsip Spielberger (dalam Irving dan Edward, 2010).
2.3 Rentang Usia Ibu 2.3.1 Dewasa Muda Dewasa muda merupakan salah satu tahapan dalam perkembangan kehidupan manusia. Ketika memasuki usia dewasa muda biasanya individu telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang matang. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, definisi dewasa muda adalah mereka yang telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri atau telah menentukan pilihan karirnya, telah membentuk significant relationship atau sudah membentuk suatu keluarga (Papalia et.al., 2005). 2.3.1.1 Rentang Usia Dewasa Muda (20-40 tahun) Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa muda mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia dua puluh tahun hingga empat puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang dihadapi pada dewasa muda adalah intimacy and solidarity versus isolation. Dalam menjalin hubungan intim, individu akan membentuk ikatan yang kuat
33 dalam persahabatan yang ada, yang bersifat saling menguntungkan, berempati dan adanya hubungan timbal balik (Papalia et.al., 2005). Pada umumnya, individu dewasa muda akan membentuk hubungan kedekatan dengan solidaritas dengan orang lain, bila mereka merasa takut akan kehilangan identitas dirinya bila berada dalam suatu kebersamaan artinya mereka tidak dapat melebur identitasnya dengan orang lain. Oleh karena itu, jika usaha intimasi mereka gagal maka mereka akan melakukan isolasi dari hubungan sosialnya. 2.3.2 Dewasa Madya Tahap perkembangan psikososial Erikson mengenai dewasa madya mengatakan bahwa individu yang berada pada tahap ini mulai dari usia empat puluh sampai umur enam puluh tahun. Menurut Erikson, krisis yang dihadapi pada dewasa madya adalah generativity vs stagnation. Pada tahapan ini individu dalam kehidupannya mulai berfokus pada dirinya sendiri dalam menghadapi usia tua (Papalia et.al., 2005). Pada umumnya, individu dewasa madya memikirkan keberlanjutan suatu hal yang sudah dicapai pada masa mudanya, misalnya seperti suasana dalam keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial, dan hubungan dengan pasangan. Apabila hal tersebut tidak berlanjut, maka individu tersebut akan mengalami suatu tahapan yang disebut dengan tahap stagnation.
2.3.2.1 Rentang Usia Dewasa Madya (40-60 tahun) Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa ini antara lain (Papalia et.al., 2005): a) Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat dari seluruh kehidupan manusia.
34 b) Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. c) Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson, selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti (stagnasi). d) Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
2.4 Kerangka Berfikir Adapun kerangka berfikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ibu yang memiliki anak penyandang Down syndrome
Problem Focused Coping
Stres
Emotions Focused Coping
Anak down syndrome
Mild
Moderate
Severe
Coping
Profound
Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian stres dan coping pada ibu yang memiliki anak penyandang down syndrome
Ibu yang mempunyai anak penyandang down syndrome dalam menghadapi anak mereka mengalami stres. Down syndrome sendiri memiliki empat karakteristik kognisi yang terdiri dari mild mental retardation (ringan)
35 dengan IQ 55-70, moderate mental retardation dengan IQ 40-55, severe mental retardation dengan IQ 25-40, dan profound mental retardation dengan IQ dibawah 25. Dari keempat karakteristik kognisi tersebut akan melihat perbedaan tingkat stres-nya. Dikarenakan ibu tersebut telah mengalami stres maka penulis juga akan melihat gambaran strategi coping yang digunakan oleh ibu tersebut, apakah ibu itu menggunakan problem focused coping atau Emotions focused coping. Problem focused coping yaitu strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah sama dengan strategi yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah. Strategi diarahkan untuk mengatur atau mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan reaksi yang menyulitkan dengan lingkungan. Strategi pengelolaan yang berpusat pada masalah biasanya dilakukan terhadap situasi yang dinilai dapat berubah, dapat berupa tindakantindakan yang merumuskan masalah, membuat alternatif-alternatif jalan keluar, mempertimbangkan segala kemungkinan yang berhubungan dengan alternatif yang akan diambil, membuat alternatif yang terbaik sehingga akhirnya mengambil keputusan untuk bertindak. Emotions focused coping strategi pengelolaan yang berpusat pada emosi berfungsi untuk mengatur respon emosional terhadap masalah, yang terdiri atas proses kognitif yang ditujukan untuk mengurangi tekanan emosional dan termasuk strategi-strategi seperti penghindaran, pengurangan aktivitas, membuat jarak, perhatian yang selektif, perbandingan yang positif. Pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Lazarus, 1984).