BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anak Usia Sekolah Dasar
2.1.1 Definisi Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu golongan anak yang berusia antara 7-15 tahun , sedangkan di Indonesia lazimnya anak yang berusia 7-12 tahun. 2.1.2 Karakteristik Anak sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma. Di sinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali seperti pertumbuhan dan perkembangannya, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan (Yatim, 2005). Ada beberapa karakteristik lain anak usia ini adalah sebagai berikut : •
Anak banyak menghabiskan waktu di luar rumah
•
Aktivitas fisik anak semakin meningkat
•
Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya
Anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4-5 jam. Aktivitas fisik anak semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya (Khomsan, 2010). Pada usia sekolah dasar anak akan mencari jati dirinya dan akan sangat mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya, terutama teman sebaya yang pengaruhnya sangat kuat seperti anak akan merubah perilaku dan kebiasaan temannya,
termasuk perubahan kebiasaan makan. Peranan orangtua sangat
Universitas Sumatera Utara
penting dalam mengatur aktivitas anaknya sehari misalnya pola makan, waktu tidur, dan aktivitas bermain anak (Moehyi 1996). 2.2
Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis , psikologis, sosial, dan budaya (Suhardjo, 2003). Kebiasaan makan dalam kelompok memberi dampak pada distribusi makanan bagi anggota kelompok. Mutu serta jumlah bagian tiap anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota , bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan gizi. Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan, yaitu : faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang meliputi asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan serta penilaian yang lebih terhadap makanan. Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar dari tubuh manusia yang meliputi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya, dan agama (Khumaidi, 1994). 2.2.1 Kebutuhan Nutrisi Berdasarkan Usia Tumbuh Kembang Pada usia sekolah ini kebiasaan makan pada anak tergantung pada kehidupan sosial, kadang-kadang anak malas makan di rumah karena kondisi yang tidak disukai. Pada usia ini kemampuan makan dengan menggunakan sendok, piring, dan garpu sudah baik. Pada usia sekolah, tata cara dalam makan seperti makan dengan posisi duduk, mencuci tangan sebelum makan, tidak mengisi mulut secara penuh dan mengambil makanan secara bersamaan. Kadangkadang anak usia sekolah juga malas untuk makan akibat stress atau sakit
Universitas Sumatera Utara
sehingga perlu pemantauan dan anak sekolah cenderung suka makan secara bersamaan dengan teman sekolahnya (Hidayat, 2005). 2.2.2 Pemberian Makan pada Anak Umur 7-12 Tahun Golongan umur ini sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Mereka jarang terjangkit infeksi atau penyakit gizi. Tetapi kebutuhan nutrien justru bertambah, karena mereka sering melakukan berbagai aktivitas, seperti bermain di luar rumah, olahraga, pramuka, dan kegiatan sekolah lainnya. Kebutuhan energi pada golongan umur 10-12 tahun lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan yang lebih pesat dan aktivitas yang lebih banyak. Sejak umur 10-12 tahun kebutuhan energi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Selain itu, anak perempuan yang sudah haid memerlukan tambahan protein dan mineral besi (Markum, dkk, 2002). Tujuan pemberian makan pada bayi dan anak adalah : 1) Memberikan nutrien yang cukup sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh kembang yang optimal, penunjang berbagai aktivitas, dan pemulihan kesehatan setelah sakit, dan 2) Mendidik kebiasan makan yang baik, mencakup penjadwalan makan, belajar menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu (Markum, dkk, 2002). Makan bersama dengan anggota keluarga tetap dianjurkan untuk menjalin keakraban keluarga. Beberapa anak kurang menyukai makanan di rumah dan lebih banyak jajan di luar karena itu harus pandai-pandai memilih dan menghidangkan makanan di rumah. Namun sewaktu-waktu anak dapat makan di luar bersama keluarga (Markum, dkk , 2002). Cara pemberian makan pada anak yang tidak tepat dapat menjadikan anak sulit makan, contohnya memberikan makanan dengan kasar atau dengan marahmarah, suka memaksa anak untuk cepat-cepat menghabiskan makanan setiap kali makan, memberikan makan terlalu banyak, menetapkan banyak aturan yang harus dilakukan anak pada saat makan, dan waktu yang tidak tepat (Widodo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Pengaturan Makan pada Anak Usia Sekolah (7-12 Tahun) Jadwal pemberian makan merupakan kelanjutan dari jadwal masa bayi dengan sedikit penyesuaian, menjadi sebagai berikut : 3 kali makan utama (pagi, siang, dan malam/sore), diantaranya diberikan makanan kecil atau jajanan, dan bila mungkin tambahan susu (Markum, dkk, 2002). Secara lebih terinci jadwal yang dianjurkan adalah : Tabel 2.1 Pola Makanan Anak Usia 7-12 Tahun Umur
7-9 tahun
9-12 tahun
BB 23kg(1900
BB 30 kg(2100
kkal)
kkal)
Jam pemberian makan
g
06.00 : susu + gula
200
1 gelas
200
1 gelas
07.00 : nasi 1)
100
¾gelas
150
1 gelas
50
1 butir
50
1 butir
50
1potong
50
1 potong
150
1 gelas
200
1 ½ gelas
hewani 2)
50
1potong
50
1 potong
nabati 3)
25
1potong
25
1 potong
sayuran
50
½ gelas
75
¾ gelas
buah
50
1potong
50
1 potong
16.00 : bubur kacang hijau 4)
200
1 gelas
200
1 gelas
18.00 : nasi
150
1 gelas
150
1 gelas
hewani
50
1potong
50
1 potong
nabati
25
1potong
25
1 potong
sayuran
50
½ gelas
75
¾ gelas
buah
50
1potong
50
1 potong
200
1 gelas
200
1 gelas
20
2 buah
20
2 buah
telur 10.00 : kue 12.00 : nasi 1)
21.00 : susu gula biskuit 5)
urt
g
urt
Sumber : Subbagian Gizi anak FKUI/RSCM
Universitas Sumatera Utara
Keterangan : 1) Dapat diganti dengan makanan penukarnya seperti roti, jagung, kentang, sagu. 2) Diartikan sumber protein hewani : daging, telur, hati, ikan laut, ikan tawar. 3) Diartikan sumber protein nabati : tahu, tempe, kacang-kacangan. 4) Dapat diganti dengan makanan penukar sebanyak 25 gram. 5) Berat biskuit “Regal” : 8-10 gr/buah Berat biskuit “ Farley” : 15-16 gr/buah Urt : ukuran rumah tangga G : gram Jenis bahan makanan pokok untuk dihidangkan terdiri atas : 1) Serealia, yang merupakan makanan pokok dan sumber kalori. Misalnya tepung, beras, ubi, ketela, sagu, jagung. 2) Makanan asal hewan sebagai lauk-pauk dan sumber protein hewan, seperti telur, daging, jeroan, ikan tawar , ikan laut, dan daging unggas. 3) Sayuran sebagai lauk-pauk. Misalnya kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati, seperti kacang hijau, kacang panjang, daun-daunan seperti bayam, kangkung, daun ketela, kubis, dan umbi-umbian seperti wortel, bit (makanan yang telah diolah menjadi tahu dan tempe). 4) Buah-buahan merupakan sumber vitamin A dan vitamin C, seperti alpukat, nenas, pisang, jeruk, pepaya, dan mangga (Markum, dkk, 2002). 2.2.4 Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Angka kecukupan gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus dipenuhi dari makanan untuk mencukupi hampir semua orang sehat. Tujuan utama penyusunan AKG ini adalah untuk acuan perencanaan makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan individu/masyarakat ( Almatsier, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Hardiansyah dan Tambunan (2004) mengartikan Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Selanjutnya Angka Kecukupan Protein (AKP) dapat diartikan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu, agar mencapai hampir semua populasi sehat (97.5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktivitas sedang. Angka kecukupan energi dan protein pada anak usia sekolah dapat dilihat pada tabel 2.2 Tabel 2.2 Angka Kecukupan Energi dan Protein pada Anak Usia Sekolah Umur
Berat
Tinggi
Angka
Kecukupan Angka
Kecukupan
(tahun)
Badan
Badan
Energi
Protein
(kg)
(kg)
(kkal/orang/hari)
(gram/orang/hari)
7-9
25.0
120
1800
45
Pria
35.0
138.0
2050
50
38
145
2050
50
10-12 Wanita 10-12
Sumber : Hardiansyah dan Tambunan (2004) diacu dalam Widya karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. 2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intake Makan pada Anak Sekolah Dasar 1.
Peran Keluarga Peranan keluarga amat penting bagi anak sekolah, bahkan pada pemilihan
bahanan makanan sekalipun. Makan bersama keluarga dengan suasana yang akrab akan dapat meningkatkan nafsu makan mereka (Widodo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2. Peranan Ibu Sekalipun anak-anak sudah bermain dengan anak-anak lain di luar rumah, keluarga masih merupakan pengaruh sosialisasi yang terpenting. Tidak hanya lebih banyak kontak dengan anggota-anggota keluarga daripada dengan orangorang lain tetapi hubungan itu lebih erat, lebih hangat, dan lebih bernada emosional. Hubungan keluarga yang erat ini pengaruhnya lebih besar pada anak daripada pengaruh-pengaruh sosial lainnya. Peranan ibu terhadap lingkungan anak-anak ini tidak terhenti dimasa anakanak saja tetapi harus terus berlangsung dan kadang-kadang sampai seumur hidupnya, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman yang menegangkan , menakutkan, menggoncangkan dan membahayakan. Secara khusus, ibu sebagai orang dekat dengan anak akan dapat menjaga kesehatan anak. Ibu dapat memberikan pengertian, memperbaiki pola asuh makan, meningkatkan kegiatan aktivitas fisik, mengenalkan pendidikan gizi sedini mungkin , membatasi promosi makanan yang tidak sehat. Kesemuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya infeksi (Soekirman, 2000). 3. Teman Sebaya Tidak heran jika asupan makan akan banyak dipengaruhi oleh kebiasaan makan teman-teman atau sekelompoknya. Apa yang diterima oleh kelompok (berupa figur idola, makanan, minuman) juga dengan mudah akan diterimanya. Demikian pula halnya dengan pemilihan bahan makanan. Untuk itu, perlu diciptakan dalam sekelompok itu suatu kondisi supaya mereka mendapatkan informasi yang baik dan benar mengenai kebutuhan dan kecukupan gizinya sehingga mereka tidak perlu membenci makanan yang bergizi.
Universitas Sumatera Utara
4. Media Massa Media massa lebih banyak berperan disini adalah media televisi, koran, dan majalah. Di satu sisi banyak sekali iklan makanan yang kurang memperhatikan perilaku yang baik terhadap pola makan. Oleh sebab itu, informasi tersebut harus pula ditunjang dengan informasi ilmiah yang benar mengenai kesehatan dan gizi (Judiono, 2003). 2.2.6 Pengaruh Makan Malam Bersama Keluarga Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (7-12 Tahun) Suasana dalam keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan makan anak. Hal ini dapat meningkatkan gairah makan dan membuat anak menyukai makanan yang disajikan. Suatu studi mengungkapkan, pola makan anak usia sekolah dasar dari keluarga bahagia cenderung lebih baik daripada mereka yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Hal ini dilandasi oleh tidak adanya kebiasaan makan bersama. Pola makan seorang anak pada dasarnya dapat dibentuk oleh keluarganya, kalau orang tua dapat memperhatikan pola konsumsi anak-anaknya, maka mereka bisa mengontrol dan menasihati makanan apa yang seharusnya dikonsumsi dan makanan apa yang seharusnya dihindari (Khomsan, 2010). Makan bersama keluarga dihubungkan dengan asupan makanan yang bergizi dan sehat bagi keluarga. Pada penelitian Gillman et al (2000) menemukan makan malam keluarga banyak mengkonsumsi buah dan sayur, sedikit makanan yang berminyak dan soda, sedikit saturated and trans fat, rendah gula, dan banyak serat. Neumark-Sztainer et al (2000) juga menemukan hubungan positif antara frekuensi makan keluarga dengan asupan buah, sayuran, makanan tinggi kalsium, dan hubungan negatif dengan konsumsi soft drink. Pada era kemajuan seperti saat ini, orang tua memang telah menjadi manusia sibuk karena urusan pekerjaan di luar rumah. Oleh karena itu kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling berkumpul, apalagi makan bersama. Orang tua yang terlalu sibuk tidak bisa menyajikan makanan
Universitas Sumatera Utara
yang bergizi untuk anak-anaknya sehingga memungkinkan anak untuk memilih makanan cepat saji yaitu makanan fast food yang umumnya mengandung kalori tinggi, kadar lemak, gula, dan sodium (Na), tetapi rendah serat kasar, vitamin A, asam askorbat, kalsium, dan folat. Kandungan gizi yang tidak seimbang ini bila terlanjur menjadi pola makan, akan berdampak negatif pada keadaan gizi anak (Khomsan, 2010). 2.3
Pola Tidur Anak Tidur merupakan suatu proses aktif yang memiliki variasi siklis normal
dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar. Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman kesadaran dalam batin, misalnya mimpi. Selain itu, orang yang tidur dapat dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm. Tidur merupakan aktivitas susunan saraf pusat yang berperan sebagai lonceng biologik (Mardjono, 2009). Karakter dan pola tidur anak mengalami suatu transisi normal dari masa bayi sampai masa dewasa, yang dipengaruhi tidak saja oleh faktor kematangan saraf, tetapi juga oleh temparamen anak dan lingkungan pengasuhan. Siklus tidur terdiri atas 2 keadaan berbeda : 1) Tidur aktif (REM) yang ditandai oleh rapid eye movement ( gerakan mata cepat), gerakan motorik, vokalisasi, mimpi, dan mudah terbangun. 2) Tidur tenang dalam atau non REM. Ada 4 tahap, yaitu : •
Tahap 1 : tahap paling pangkal dari tidur, tahap berakhir dalam beberapa menit, pengurangan aktivitas fisiologis, mudah terbangun dan jika terbangun merasa seperti melamun.
•
Tahap 2 : merupakan proses tidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk terbangun masih relatif mudah, tahap berakhir 10-20 menit.
•
Tahap 3 : tahap awal dari tidur yang dalam, tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak, otot-otot dalam keadaan relaksasi penuh, tanda
Universitas Sumatera Utara
tanda vital menurun tapi tetap teratur, tahap berakhir dalam 15-30 menit. •
Tahap 4 : merupakan tahap tidur terdalam , sangat sulit membangunkan orang yang sedang tidur pada tahap ini , tanda-tanda vital menurun, tahap berakhir kurang lebih 15-30 menit. Pola tidur rutin pada orang normal dimulai dengan periode sebelum tidur yaitu
periode mengantuk. Periode ini berkembang selama kurang lebih 10-30 menit. Ketika seseorang tertidur, biasanya akan melewati 4-6 siklus tidur penuh. Tiap siklus terdiri dari 1 periode tidur REM (Rapid Aye Movement) dan 4 tahap tidur NREM. 50% waktu tidur bayi berada dalam keadaan REM, dengan interval NREM selama 50 sampai 60 menit diantara fase aktif. Sedangkan pada anak dan orang dewasa, hanya 20% dari waktu tidurnya terdiri atas tidur REM yang diselingi oleh interval 90 sampai 100 menit tidur tenang atau NREM (Rudolph, 2006). Apabila seseorang mengalami periode REM yang kurang, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya, nafsu makan bertambah dan nafsu birahinya juga akan lebih besar. Sedangkan jika NREM yang kurang, keadaan fisik menjadi kurang gesit. Dengan adanya tidur, maka manusia dapat
memelihara
kesegarannya, kebutuhan, dan metabolisme seluruh tubuhnya sepanjang masa (Mardjono, 2009). 2.3.1 Kebutuhan Tidur Menurut Usia Neonatus tidur selama sekitar 18 jam sehari, dengan waktu tidur yang terdistribusi antara sepanjang siang dan malam hari. Namun, pola tidur-bangun yang cepat akan menyesuaikan diri dengan siklus siang-malam karena adanya irama sirkadian inheren dan jadwal pengasuhan oleh orangtua. Antara usia 6 dan 15 bulan, sebagian besar anak tidur sekitar 10 sampai 12 jam pada malam hari dan dua kali tidur siang, masing-masing berlangsung lebih dari 1 jam yaitu pada pagi hari dan siang hari. Setelah usia 15 bulan, anak biasanya tidur siang sekali sehari dan pada usia 4 tahun berhenti tidur siang sama sekali. Walaupun terdapat perbedaan individual yang signifikan, tetapi anak berusia 5 tahun memerlukan
Universitas Sumatera Utara
sekitar 11 jam tidur malam hari, dan anak usia 10 tahun memerlukan tidur malam sekitar 9.5 jam sampai 10 jam. Sebagian besar remaja memerlukan tidur 8 sampai 9 jam setiap malam, sedangkan pada usia dewasa memiliki waktu tidur malam hari rata-rata 6-8.5 jam perhari (Rudolph, 2006). 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur Menurut Alimul (2006), kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa faktor. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur tersebut adalah : 1. Penyakit Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur bahkan sampai tidak bisa tidur. 2. Latihan dan kelelahan Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap gelombang lambat (NREM) diperpendek. 3. Stress psikologis Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut dapat terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan saat tidur. 4. Obat Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah : obat diuretik bisa menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
sesorang menjadi insomnia, anti depressan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta blocker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM. 5. Nutrisi Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya triftopan yang merupakan asam amino dari protein yangg dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit tidur. 6. Lingkungan Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur. 7. Motivasi Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menyebabkan gangguan proses tidur.
2.3.3 Fungsi Tidur 1. Tidur bisa memulihkan fungsi fisiologis dan psikologis. 2. Tidur yang lelap dapat bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung. 3. Tidur untuk memperbaiki proses biologis secara rutin •
Selama NREM tahap 4, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel.
•
Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya pada anak-anak yang lebih banyak mengalami tidur tahap 4.
4. Tidur memiliki peran untuk mengurangi kelelahan •
Tubuh menyimpan energi selama tidur
•
Otot skelet berelaksasi secara progresif dan tidak adanya kontraksi otot, menyimpan energi kimia untuk proses seluler.
Universitas Sumatera Utara
•
Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan energi tubuh.
5. Tidur
untuk
meningkatkan
kapasitas
penyimpanan
memori
dan
pembelajaran •
Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak akan menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas pada hari tersebut.
2.3.4 Hubungan Tidur Malam Terhadap Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (Usia 7-12 Tahun) Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya menyatakan ada hubungan antara tidur yang cukup terhadap berat badan anak. Jumlah waktu tidur yang tidak cukup pada anak usia sekolah (< 9.5 sampai 10 jam pada malam hari) dapat meningkatkan resiko kegemukan. Mekanisme fisiologisnya jumlah waktu tidur yang tidak cukup pada malam hari pada anak dapat menyebabkan perubahan siklus kadar ghrelin dan leptin yang berperan pada pengaturan nafsu makan (Lumeng et al, 2007). Rasa lapar dan rasa kenyang diatur di bagian otak yaitu hipotalamus. Leptin dan ghrelin merupakan suatu hormon yang secara signifikan dapat menyebabkan pengaturan berat badan. Hormon leptin adalah salah satu hormon penting yang berperan dalam pembentukan berat badan setelah makan. Leptin bekerja di arcuate nucleus untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan metabolic rate dengan menghambat NPY (Neuropeptida Y) dan menstimulasi melanocortin. Pada orang gemuk yang memiliki simpanan lemak yang besar lebih banyak produksi leptinnya daripada orang yang kurus. Kadar leptin di dalam darah yang tinggi (pada orang yang memiliki simpanan lemak yang tinggi) menginformasikan ke otak untuk mengurangi nafsu makan yang mana ditandai dengan pengurangan asupan makanan. Kadar leptin di dalam darah yang rendah
Universitas Sumatera Utara
(pada orang yang memiliki simpanan lemak sedikit) menginformasikan ke otak untuk meningkatkan nafsu makan. Selain berperan dalam mengendalikan asupan energi (nafsu makan), leptin juga berperan dalam mengendalikan pengeluaran energi. Peningkatan leptin akan meningkatkan aktivitas fisik, pembentukan panas, dan pengeluaran energi. Hormon ghrelin dilepaskan oleh mukosa lambung ketika hormon leptin diproduksi di sel lemak. Ghrelin bekerja di hipotalamus untuk meningkatkan asupan makan dengan menstimulasi NPY neuron ( Robbins, 2007). Terdapat hubungan antara hormon melatonin dan hormon leptin. Melatonin merupakan hormon yang diproduksi pada malam hari saat tidur, sehingga bila produksi melatonin maka akan mempengaruhi produksi leptin. Pelepasan leptin bisa menurunkan nafsu makan yang mana diatur oleh circadian pacemaker yang sebaiknya ditingkatkan pada saat tidur. Ritme sirkadian endogen (siklus bangun-tidur) mempengaruhi sirkulasi leptin, glukosa, dan kadar insulin. Penurunan jumlah waktu tidur pada malam hari dapat menurunkan sekresi leptin dan meningkatkan sekresi ghrelin selama 24 jam. Jumlah waktu tidur yang singkat ditunjukkan dengan perubahan metabolisme karbohidrat dan gangguan glucose intolerance yang bisa mempengaruhi berat badan anak. Sedangkan jumlah tidur yang lama dihubungkan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh anak sehingga memiliki resiko yang lebih sedikit untuk overweight. Penurunan kuantitas dan kualitas tidur dapat juga menyebabkan peningkatan agresi, gangguan tingkah laku, gangguan fungsi memory, dan prestasi akademik yang buruk pada anak dan dewasa muda (Lumeng et al, 2007). 2.4
Waktu Menonton Televisi Meskipun Children’s Television Act of 1990 telah membatasi program
televisi untuk anak 10.5 menit/jam dalam satu minggu dan 12 menit/jam pada akhir minggu, namun banyak anak yang menonton televisi hampir 16 menit/jam. Setiap anak menghabiskan total 6 jam sehari untuk menonton televisi, bermain video game, mendengarkan musik atau membaca majalah, namun sebagian besar orang tua tidak menanggapi hal ini dengan serius (Committee on communications, 2006) .
Universitas Sumatera Utara
Masih dijumpai pertambahan waktu menonton televisi pada anak umur 2 tahun menonton televisi dari waktu yang telah direkomendasikan oleh AAP (American Academy of Pediatric). Menonton televisi pada usia dini ini berhubungan dengan gangguan memusatkan perhatian pada usia 7 tahun. Sehingga tidak dianjurkan menonton televisi pada anak usia dini. Menonton televisi dalam waktu yang lama dapat mempengaruhi kognitif, kebiasaan, dan aktivitas fisik anak termasuk juga prestasi di sekolah, perhatian, dan status gizi anak. Dalam hal ini diperlukan langkah preventif untuk menghindari pengaruh negatif televisi terhadap anak (Jordan et al, 2006).
2.4.1 Rekomendasi AAP tentang Menonton Televisi American Academy of Pediatric telah merekomendasikan tentang panduan menonton televisi pada anak, antara lain: (Committee on public education) 1. Dokter anak sebaiknya memberikan bimbingan tentang bahaya televisi dan membuat jadwal menonton televisi untuk pasiennya. 2. Dokter anak sebaiknya mengajukan pertanyaan tentang program televisi yang ditonton oleh pasiennya secara rutin dan memberikan nasihat kepada orang tua, meliputi hal di bawah ini: a. Berhati-hati memilih program televisi yang akan ditonton anak b. Mendiskusikan tentang program televisi yang ditonton c. Mengajarkan kemampuan dari program yang ditonton d. Membatasi waktu menonton televisi e. Memilih peranan tokoh televisi dengan selektif f. Menyediakan aktivitas yang lain selain menonton televisi g. Tidak menempatkan televisi di ruang tidur anak h. Menghindari penggunaan televisi oleh pengasuh anak. 3. Dokter anak harus mendorong orang tua untuk menghindari anaknya yang berusia di bawah 2 tahun untuk tidak menonton televisi. Hal ini disebabkan usia di bawah 2 tahun merupakan masa awal pertumbuhan otak.
Universitas Sumatera Utara
4. Dokter anak sebaiknya menganjurkan tokoh televisi yang sesuai untuk anak
dan membatasi waktu menonton televisi, video serta tidak
meletakkan televisi di kamar tidur anak. 5. Dokter anak sebaiknya waspada dan memberikan edukasi pada orang tua, anak, remaja, guru, tentang pengaruh negatif televisi. Namun perlu juga diberi tahu manfaat dari televisi terhadap pendidikan anak. 6. Dokter anak harus bekerja sama dengan orang tua, guru, pihak sekolah dan masyarakat untuk mempromosikan televisi sebagai media edukasi. 7. Dokter anak sebaiknya melibatkan anak dengan kegiatan umum di lingkungannya serta mendorong stasiun televisi untuk menambah program pendidikan di televisi. 8. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah untuk memerintahkan dan mendanai stasiun televisi dalam membuat program pendidikan dan mendemonstrasikan program televisi ini di sekolah. 9. Dokter anak sebaiknya mendorong pemerintah dan yayasan lainnya untuk melakukan penelitian terhadap media edukasi dan penelitian lainnya yang berkaitan dengan pengaruh negatif televisi.
2.4.2 Keuntungan Media Televisi Dalam beberapa dekade, AAP telah merekomendasikan keunggulan media massa untuk anak dan remaja, salah satunya adalah televisi. Adapun keunggulan televisi adalah televisi dapat menyediakan program pendidikan untuk anak usia sekolah, menambah kreativitas dan pengetahuan anak. Namun selain televisi mempunyai keunggulan, televisi juga mempunyai pengaruh negatif bagi anak dan remaja. Tidak semua program televisi mengandung makna negatif bagi anak dan remaja. Program televisi berupa media pendidikan justru dapat mengurangi efek negatif televisi lainnya. Media ini mampu menguraikan tujuan dan pesan dari tayangan televisi sehingga anak dapat mengerti dan memahami pesan serta gambar yang dilihatnya di televisi dan memudahkan anak serta orangtua untuk memutuskan apakah mereka perlu menonton suatu tayangan televisi (Thakkar et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya media edukasi orangtua dapat membuat keputusan yang tepat seperti memilih tayangan yang kreatif untuk anak, membangun pikiran yang kritis, menambah kemampuan dan memahami masalah politik, sosial, ekonomi. Program televisi edukasi juga berhasil menambah pengetahuan anak usia prasekolah, memperbaiki perilaku dan menambah imajinasi (Thakkar et al, 2006). 2.4.3 Pengaruh Menonton Televisi Terhadap Status Gizi Anak Televisi bisa berdampak dalam mempengaruhi status gizi anak. Televisi bisa mempengaruhi kebiasaan makan anak dan menyebabkan anak menjadi kurang gerak (kurang aktivitas). Hal ini dikarenakan sangat intensifnya anak-anak berada di depan televisi. Lamanya waktu menonton televisi diperkirakan hanya dikalahkan oleh lamanya waktu tidur. Survey di Amerika Serikat menunjukkan anak-anak prasekolah rata-rata menonton televisi 26.3 jam/minggu, 3 jam diantaranya adalah acara iklan. Iklan-iklan makanan di televisi tidak jarang menonjolkan karakteristik fisik dari makanan seperti rasa yang renyah, rasa manis, dan rasa coklat. Hal ini membuat anak-anak berkeinginan kuat segera mencicipinya. Pengaruh televisi terhadap kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua proses. Pertama, iklan televisi akan menyebabkan alokasi pembelian jenis makanan baru yang sebelumnya tidak pernah dikonsumsi. Anak-anak yang konsumsi makannya tergantung ketersediaan pangan di rumah akhirnya terkondisi dengan jenis-jenis makanan baru yang dibeli ibunya. Akhirnya terbentuklah kebiasaan makan dengan komoditi pilihan berdasarkan iklan televisi. Kedua, makanan dalam iklan-iklan televisi seringkali ditampilkan dalam rangka menunjang suatu aktivitas. Jadi tidak sekedar memenuhi rasa lapar. Karena banyaknya aktivitas dalam hidup seseorang, maka jenis-jenis makanan yang menyertai aktivitas itu pun akan semakin banyak. Dan bila makanan-makanan tersebut bersifat low density nutrients maka ada kemungkinan kasus obsesitas akan segera muncul (Khomsan, 2010). Dietz dan Gortmaker (1985) telah meneliti hubungan menonton televisi dengan obesitas pada anak. Dikemukakan bahwa ada hubungan positif antara jumlah waktu menonton televisi dengan frekuensi makan panganan (cemilan).
Universitas Sumatera Utara
Pada saat seorang anak menonton televisi, dia tidak hanya menikmati program intinya tetapi juga terkondisi untuk menerima iklan makanan. Ada kenikmatan tersendiri bila seorang anak yang sedang nonton televisi makan panganan yang sama dengan bintang film iklan. Apapun yang dikonsumsi selama menonton televisi, selama makanan tersebut berupa panganan yang hanya padat kalori, maka dampaknya adalah kelebihan bobot badan. Survei dari kedua peneliti tersebut juga menunjukkan semakin lama seorang anak menonton televisi, maka konsumsi makanan seperti yang diiklankan dalam televisi juga meningkat. Ini membuktikan kebiasaan makan ini dapat berubah karena intervensi iklan di televisi. Penemuan lainnya adalah meningkatnya waktu menonton televisi akan membuat anak mempengaruhi pola belanja makanan orang tuanya di pasar swalayan. Pada saat orang tua akan berbelanja, anak langsung menyampaikan daftar pesanan panganan yang harus dibeli ibunya. Meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi panganan padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton televisi membuat anak-anak rawan terhadap obesitas (Khomsan, 2010). Menonton televisi tergolong ke dalam aktivitas ringan. Ini berarti tidak banyak energi yang terpakai, sementara itu konsumsi energi panganan meningkat terus sehingga terjadilah keseimbangan energi positif. Aktivitas anak sebelum dan sesudah era televisi tampak berbeda, dulunya anak sering bermain bersama teman-temannya di luar rumah tetapi sekarang anak lebih memilih untuk menonton televisi seharian di rumah. Oleh karena itu, orang tua harus pandaipandai mengatur jadwal menonton televisi bagi anak-anaknya supaya energi tubuh dapat tersalurkan keluar melalui aktivitas fisik lainnya. Hari minggu/libur sebaiknya dimanfaatkan untuk rekreasi keluarga di luar rumah. Acara televisi pada hari Minggu biasanya penuh dengan hiburan yang menarik, seperti film kartun, oleh karena itu orang tua yang bijaksana harus mengajak putra-putrinya untuk beraktivitas fisik sehabis menonton acara TV di pagi hari (Khomsan, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.5
Penilaian Status Gizi Anak
2.5.1 Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat mengkonsumsi makanan dan menggunakan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih (Almatsier, 2004). Sedangkan menurut Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan lingkungan hidup manusia. Status gizi seorang anak pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (Soekirman, 2000) 1. Penyebab langsung , yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya akan lemah dan pada akhirnya mempengaruhi status gizinya. 2. Penyebab tidak langsung, terdiri dari : a. Ketahanan pangan di keluarga, terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan, dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. b. Pola pengasuhan anak, berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan kesehatan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, dan sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak. c. Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan , ditambah dengan pengalaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi. Selain itu, ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya status gizi lebih (kegemukan) antara lain : (Salam 1989, dalam Nelly, 2008). 1. Jenis kelamin Status gizi lebih dijumpai pada wanita terutama pada saat remaja, hal ini disebabkan faktor endokrin dan perubahan hormonal (Arisman, 2004). 2. Umur Anak yang status gizi lebih cenderung pada saat remaja dan dewasa serta dapat berlanjut ke masa lansia (Arisman, 2004). 3. Tingkat sosial ekonomi Sosial ekonomi keluarga adalah keadaan keluarga dilihat dari pendidikan orang tua, status pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, penghasilan keluarga, status pekerjaan orangtua, dan jumlah anggota keluarga. Orang tua yang berpendidikan tinggi biasanya mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang tentang
gizi.
Menurut
Hidayati,
dkk
(2006)
peningkatan
pendapatan
mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. 4. Faktor lingkungan Anak sekolah sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan. Kesibukan menyebabkan mereka memilih makan di luar, atau menyantap jajanan. Lebih jauh lagi kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan terutama iklan di televisi. Teman sebaya berpengaruh besar pada anak sekolah atau remaja dalam hal memilih jenis makanan.
Universitas Sumatera Utara
5. Aktivitas fisik Sebagian besar energi masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Aktivitas fisik berkonstribusi terhadap kejadian obesitas terutama kebiasaan duduk terusmenerus, menonton televisi, penggunaan komputer, dan alat-alat berteknologi tinggi lainnya. 6. Kebiasaan makan Orang yang banyak makan akan memiliki gejala cenderung untuk menderita kegemukan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang serat merupakan faktor penunjang timbulnya masalah kegemukan (Salam, 1989). 7. Faktor psikologis Menurut Dariyo (2004), keadaan psikologis yang dapat menyebabkan status gizi berlebih adalah ketidakstabilan emosional yang menyebabkan individu cenderung untuk melakukan pelarian diri dengan cara banyak makan makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi. 8. Faktor budaya Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut life style (gaya hidup). Faktorfaktor yang merupakan asupan (input) bagi terbentuknya suatu life style keluarga ialah : penghasilan, pendidikan, lingkungan kota atau desa, susunan keluarga, pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan, pendapat tentang kesehatan, pengetahuan gizi, produksi pangan. Tingkat obesitas (status gizi lebih) sangat erat hubungan nya dengan proses modernisasi (akulturasi) dan meningkatnya kemakmuran bagi sekelompok masyarakat. Pola hidup kurang gerak (sedentary lifestyle) dan pola makan yang mengkonsumsi makanan siap saji (fast food)telah menjadi secular trend bagi masyarakat kita terutama di kota-kota besar.
Universitas Sumatera Utara
9. Faktor genetik Menurut Whitney dkk, (1990) dan Hegarthy (1996) genetik memegang peranan penting dalam mempengaruhi berat dan komposisi tubuh seseorang. 2.5.2 Cara Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi merupakan cara yang dilakukan untuk menilai status gizi seseorang. Pada anak, untuk mengetahui pertumbuhannya secara praktis bisa dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak secara teratur. Cara penilaian status gizi dapat ditentukan dengan cara penilaian langsung, meliputi : antropometri, biokimia, klinis dan biofisik atau secara tidak langsung meliputi survey konsumsi, statistik vital, dan faktor ekologi (Yuniastuti, 2008). Penilaian status gizi (Yuniastuti, 2008) 1. Analisis diet Untuk menilai kualitatif dan kuantitatif makanan dengan metode wawancara atau pencatatan makanan sehari-hari. Dari analisis diet dapat diketahui masalah-masalah yang timbul seperti kesulitan makan, kebiasaan makan, alergi makanan. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah metode recall 24 jam, food records, dan weighting method. Secara kualitatif akan diketahui frekuensi makan maupun cara memperoleh pangan. Metode pengumpulan data yang dapat digunakan adalah food frequency questionaire dan dietary history.
2. Pemeriksaan klinis a. Gizi kurang : Kelainan fisik tidak jelas, anak hanya tampak kurus b. Gizi buruk : Marasmus, Kwashiorkor Marasmus : Anak tampak sangat kurus, wajah seperti orangtua, cengeng, perut umumnya cekung, dan kulit keriput seperti baggy pants (pakai celana longgar).
Universitas Sumatera Utara
Kwashiorkor : Anak tampak edema, wajah nampak membulat, pandangan mata sayu, rambut tipis serta kemerahan seperti warna rambut jagung, pembesaran hati, otot mengecil, dan perubahan status mental.
3. Antropometri Antropometri adalah pengukuran berbagai dimensi fisik tubuh manusia pada berbagai usia. Pengukuran antropometri terdiri atas dua dimensi, yaitu pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Di Indonesia pengukuran antropometri banyak digunakan dalam kegiatan program maupun dalam penelitian salah satu adalah berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Secara umum pengukuran antropometri memiliki kelebihan sebagai berikut : 1. Penggunaannya sederhana, aman, dan tidak mencederai, dan dapat untuk ukuran sampel yang besar. 2. Peralatan yang digunakan tidak mahal, portable, tahan lama, dan dapat dibuat atau dibeli secara lokal. 3. Dapat dilakukan oleh petugas yang relatif tidak ahli sehingga petugas lapangan yang dilatih dengan baik dapat melaksanakan dengan teliti. 4. Dapat diperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau, sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain. 5. Dapat digunakan untuk melakukan pemantauan status gizi dari waktu ke waktu, atau dari satu generasi ke generasi ke generasi berikutnya. 6. Dapat digunakan untuk melakukan screening test dalam rangka mengidentifikasi individu yang beresiko terhadap malnutrisi. Pengukuran antropometri juga memiliki kelemahan, antara lain : 1. Kurang sensitif apabila dibandingkan dengan cara lain. 2. Dapat mendeteksi gangguan status gizi yang terjadi dalam periode waktu singkat, tetapi tidak dapat mengidentifikasi defisiensi zat gizi khusus.
Universitas Sumatera Utara
3. Tidak dapat membedakan gangguan pertumbuhan atau komposisi tubuh yang disebabkan oleh defisiensi tertentu (misanya Zn) dengan defisiensi yang disebabkan oleh gangguan intake energi dan protein. 4. Faktor-faktor non gizi (penyakit genetik) dapat mengurangi spesifisitas dan sensitivitas pengukuran antropometri, tetapi efek ini dapat dihilangkan atau dipertimbangkan melalui desain percobaan dan sampling yang lebih baik. Dalam penilaian status gizi melalui pengukuran antropometri bisa juga menggunakan persen (%) untuk menilai status gizi kurang, baik, atau lebih. Kategori status gizi berdasarkan antropometri : a. Berat badan BB/U dibandingkan pada buku yang diacu , dalam % : Interpretasi : •
80-120%
: gizi baik
•
60-80%
: gizi kurang (tanpa edema), buruk (ada edema)
•
<60%
: gizi buruk
b. Tinggi badan Evaluasi TB memerlukan data : umur, seks, standar baku yang diacu, TB diplot pada kurva TB dinyatakan dalam %: Interpretasi : •
< sentil 5
: defisiensi berat
•
sentil 5-10
: defisiensi nutrisi/genetik
Penentuan status gizi bisa ditentukan menngunakan Eid Index yaitu perbandingan berat badan aktual dengan berat badan ideal dalam persen. Berat badan ideal dapat diketahui dengan bantuan grafik CDC – NCHS 2000 sesuai jenis kelamin dan usia anak yaitu dengan memproyeksikan hasil pengukuran tinggi badan ke kurva persentil 50 tinggi badan, lalu ke kurva persentil 50 berat badan. BB menurut TB (BB/TB) : lebih akurat mencerminkan proporsi tubuh (CD
Universitas Sumatera Utara
BB/TB% = BB terukur saat itu dibagi BB baku dari pengukuran TB saat itu x100% Interpretasi : •
< 70%
: malnutrisi berat
•
>70-80%
: malnutrisi sedang
•
>80-90%
: malnutrisi ringan
•
>90-110%
: normal
•
>110-120%
: overweight
•
> 120%
: obesitas
Universitas Sumatera Utara