21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1. Definisi Diabetes Melitus tipe 2 Menurut International Diabetes Federation-6 (IDF-6) tahun 2013, Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik tubuh tidak dapat menghasilkan cukup dari hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin bertindak sebagai kunci yang memungkinkan sel-sel tubuh mengambil glukosa dan menggunakannya sebagai energi (IDF-6, 2013). Diabetes Melitus tipe 2 merupakan kelompok kelainan dengan karakteristik seperti resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa. DM tipe 2 didahului dengan suatu periode homeostasis glukosa yang abnormal yaitu impaired fasting glucose (IFG) atau impaired glucose tolerance (IGT) (Powers, 2005).
2.1.2. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2, lebih sering terjadi daripada tipe 1. Pada kebanyakan kasus, onset Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di atas umur 30 tahun, seringkali di antara umur 50 dan 60 tahun. Akan tetapi, akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang lebih muda. Organ tubuh berperan penting dalam mengatur konsentrasi glukosa darah yaitu: sel beta pankreas, hati, dan otot. Dalam keadaan normal insulin senantiasa bekerja mempertahankan konsentrasi glukosa plasma agar selalu dalam batas normal pada saat puasa maupun sesudah puasa (Daily, 2009). Obesitas, resistensi insulin, dan sindroma metabolik biasanya mengawali perkembangan Diabetes Melitus tipe 2. Hiperinsulinemia merupakan karakteristik bagi penderita DM tipe 2, hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2012).
Universitas Sumatera Utara
22
Resistensi insulin merupakan bagian dari serangkaian kelainan yang disebut metabolic syndrome. Beberapa gambaran sindrom metabolik meliputi: (1) obesitas; (2) resistensi insulin; (3) hiperglikemia; (4) abnormalitas lipid; dan (5) hipertensi.
Penurunan
sensitivitas
insulin
menganggu
penggunaan
dan
penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang
peningkatan
sekresi
insulin
sebagai
upaya
kompensasi.
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme glukosa biasanya terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Akan tetapi, mekanisme antara obesitas dan resistensi insulin belum pasti. Kemungkinan lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin, sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien yang gemuk atau mengalami obesitas (Putri, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa reseptor insulin pada orang obesitas lebih sedikit. Selain obesitas, masih banyak faktor yang dapat menimbulkan resistensi insulin ( Tabel 2.1.). Tabel 2.1. Faktor Penyebab Resistensi Insulin No. Penyebab 1. Obesitas/overweight (terutama akumulasi jaringan adiposa di abdomen) 2. Kelebihan glukokortikoid (Cushing Syndrome atau terapi dengan steroid) 3. Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali) 4. Kehamilan (diabetes gestasional) 5. Penyakit ovarium polikistik 6. Lipodistrofi ( genetic, acquired, akumulasi lemak di hati) 7. Auto antibodi terhadap reseptor insulin 8. Mutasi reseptor insulin 9. Mutasi peroxisome proliferators’s activator reseptor γ (PPAR γ) 10. Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya mutasi reseptor melanokortin) 11. Hemokromatosis (akumulasi zat besi di jaringan) Sumber: Guyton & Hall, 2012.
Universitas Sumatera Utara
23
2.1.3. Faktor Risiko Faktor risiko merupakan informasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit Diabetes Melitus. Departemen Kesehatan RI membagi faktor risiko DM menjadi 2, yaitu : 1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi a. Berat badan yang berlebihan (BB>120% BB ideal atau IMT 23 kg/m3) b. Ratio lingkar pinggul c. Aktifitas fisik yang kurang d. Hipertensi dan dislipidemia e. Riwayat penyakit kardiovaskular f. Konsumsi makanan 2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Riwayat keluarga DM b. Umur c. Riwayat ibu menderita diabetes gestasional d. Riwayat berat badan lahir rendah (<2500 gram) Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula kecenderungan seseorang didiagnosis mengalami DM dan menentukan derajat keparahan Diabetes Melitus yang dialami (Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Diabetes Melitus, 2008).
2.1.4
Gejala Klinis Gejala klinis merupakan salah satu pedoman untuk menegakkan diagnosis
penyakit Diabetes Melitus. Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang memiliki keluhan klasik yang khas, kecurigaan DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berikut: a. Poliuria Kekurangan insulin yang mengangkut glukosa ke dalam membran sel menyebabkan hiperglikemia dan serum plasma meningkat (hiperosmolar). Keadaan hiperosmolar menyebabkan cairan intrasel berdifusi ke dalam sirkulasi atau cairan intravaskular, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari
Universitas Sumatera Utara
24
hiperosmolaritas dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotik (Bare & Suzanne, 2002). b. Polidipsia Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskular menyebabkan penurunan volume intrasel yang menimbulkan dehidrasi sel. Hal ini yang menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum ( Bare & Suzanne, 2002). c. Poliphagia Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (Bare & Suzanne, 2002). d. Penurunan berat badan Karena glukosa tidak dapat di transpor ke dalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofi dan penurunan deposit lemak dan massa tubuh. (Bare & Suzanne, 2002). e. Malaise atau kelemahan ( Bare & Suzanne, 2002). Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).
2.1.5. Klasifikasi Diabetes Melitus Dalam American Diabetes Association (2010), diabetes diklasifikasikan menjadi 4 bagian, yaitu : 1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas akibat proses autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin. Indikator pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan level protein peptida-c.
Universitas Sumatera Utara
25
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Non-Insulin Dependent Diabetes Melitus/NIDDM Pada DM tipe 2 terjadi hiperinsulinemia, tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. 3. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada Tabel 2.2. 4. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Tabel 2.2. Klasifikasi DM menurut ADA 2010 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus I Diabetes tipe 1 (Destruksi sel, umumnya mengarah kepada defisiensi insulin absolut) a) Immune mediated b) Idiopathik II Diabetes tipe 2 (predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relative hingga predominan defek sekresi dengan resistensi insulin) III Tipe lain a) Defek genetik dari fungsi sel beta b) Defek genetik kerja insulin c) Penyakit eksokrine pankreas d) Endokrinopati e) Imbas obat atau zat kimia f) Infeksi g) Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantarai imun h) Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan DM IV Diabetes Melitus gestasional Sumber: Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2011.
Universitas Sumatera Utara
26
2.1.6. Diagnosis Tes kimiawi terhadap urin dan darah dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit Diabetes Melitus (Guyton & Hall, 2012). Menurut Perkeni (2011), pemeriksaan kadar glukosa urin untuk menegakkan diagnosis diabetes kurang dianjurkan. Pemeriksaan glukosa darah adalah gold standart untuk mendiagnosis penyakit Diabetes Melitus dan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2011). Di dalam Perkeni tahun 2011, diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara : 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada gambar 1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada Tabel 2.3. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
Universitas Sumatera Utara
27
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gulah darah 2 jam <140 mg/dL. Tabel 2.3. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus 1. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L), Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L), Puasa diartikan pasien tak medapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL ( 11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan bahan glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air *Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah tersatandarisasi dengan baik. Sumber: Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2011. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada gambar 2.1.Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL) Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah
Plasma vena
< 100
100-199
≥200
sewaktu (mg/dL)
Darah kapiler
< 90
90-199
≥200
Kadar glukosa darah
Plasma vena
< 100
100-125
≥126
puasa (mg/dL)
Darah kapiler
< 90
90-99
≥100
Sumber: Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2011.
Universitas Sumatera Utara
28
Gambar 2.1. Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa Sumber : Perkeni, 2011.
Universitas Sumatera Utara
29
2.1.7. Tatalaksana Penyakit diabetes bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, tetapi penyakit ini dapat dikontrol. Di dalam Perkeni tahun 2011, ada empat tatalaksana yang dapat dilakukan untuk mengontrol diabetes, yaitu : 1. Edukasi Untuk mencapai perilaku hidup sehat dari pasien diabetes, diperlukan kerjasama dari pasien, masyarakat, tim kesehatan yang mendampingi pasien dan terutama keluarga. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku sehat, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. 2. Terapi gizi medis Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan terapi nutrisi medis adalah kerjasama dari dokter, ahli gizi, petugas kesehatan lain, pasien, dan keluarga pasien. Nutrisi yang harus diberikan harus sesuai takaran dan seimbang. Kebutuhan nutrisi bagi penderita DM yaitu: a) Karbohidrat : < 130 gr/hari (45-65 % total asupan energi) b) Lemak
: < 200 mg/hari (20-25 % total asupan energi)
i. Lemak jenuh
: < 7%
ii. Lemah tidak jenuh : < 10 % c) Protein
: 0,8 gr/KgBB (10-20 % total asupan energi)
d) Natrium
: < 300 mg
e) Serat
: ± 25 gr/hari
3. Latihan jasmani Berolahraga teratur 3-4 kali seminggu kurang dari 30 menit sangat dianjurkan untuk penderita Diabetes Melitus. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangan saat berkebun harus tetap dilakukan (Tabel 2.5.). Menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah perburukan penyakit (Perkeni, 2011).
Universitas Sumatera Utara
30
Tabel 2.5. Aktivitas Fisik Sehari-hari Kurangi Aktivitas
Misalnya,
menonton
televisi,
Hindari aktivitas
internet, main game komputer
Persering Aktivitas
Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot,
Mengikuti olahraga rekreasi
bersepeda, sepak bola
menggunakan
dan beraktivitas fisik tinggi pada waktu liburan Aktivitas Harian
Misalnya,
berjalan
kaki
ke
pasar
(tidak
Kebiasaan bergaya hidup
menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak
sehat
menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak hanya dengan telepeon internal), jalan dari tempat parker
Sumber: Persatuan Endokrinologi Indonesia, 2011.
4. Intervensi farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. 1. Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid. b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion. c. Penghambat glukoneogenesis (metformin). d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. e. DPPIV inhibitor. 2. Suntikan a. Insulin. b. Agonis GLP-1/incretin mimetic. 3. Kombinasi
Universitas Sumatera Utara
31
2.1.8. Komplikasi Diabetes dengan kadar glukosa tidak terkendali memiliki risiko besar untuk
mengalami
komplikasi
vaskular
kronik
(mikroangiopati
dan
makroangiopati). Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari endstage renal disease (ERSD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness ( Ndraha, 2014). Komplikasi dari Diabetes Melitus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1. Komplikasi metabolik akut a. DM tipe 1 : diabetik ketoasidosis (DKA). b. DM tipe 2 : hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik. 2. Komplikasi vaskular jangka panjang a. Mikroangiopati (retinopati diabetik,nefropati diabetik,disfungsi ereksi). b. Makroangiopati (penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular, kaki diabetes). c. Nefropati diabetik. d. Neuropati diabetik. Mikroangiopati adalah komplikasi yang terjadi paling dini kemudian diikuti dengan makroangiopati dan neuropati (Price & Wilson, 2006).
2.2.
Tuberkulosis Paru
2.2.1. Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis Paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium
tuberculosis.
Tuberkulosis
Paru
termasuk
suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis. Tuberkulosis Paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner (Djojodibroto, 2009). Tuberkulosis
merupakan
infeksi
kronik
yang
ditandai
dengan
pembentukkan granuloma pada jarigan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit primer biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain (Thomas, 2000).
Universitas Sumatera Utara
32
2.2.2. Patogenesis Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. Mikroorganisme ini masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut reaksi hipersensitivitas selular. Basil yang terinhalasi terdeposit di alveolus akan menimbulkan berbagai reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear di alveolus akan memfagosit basil tersebut, namun tidak membunuhnya. Kemudian leukosit akan diganti oleh makrofag, alveolus yang terserang akan mengalami konsolidasi dan menimbulkan pneumonia akut. Apabila proses infeksi terus berlanjut, bakteri akan berkembang biak di dalam sel dan akan menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang terinfeksi akan membentuk sel tuberkel epiteloid dan dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan berbagai respon. Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan kelenjar getah bening regional yang terserang disebut kompleks Ghon. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada organ lain. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan TB milier, ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh ( Price & Wilson, 2006).
Universitas Sumatera Utara
33
2.2.3. Faktor risiko Terdapat berbagai faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya tuberkulosis pada seseorang : 1. Jenis kelamin dan Umur Baik laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terjadi TB. Setelah mencapai usia pubertas, wanita memiliki kecenderungan 2 kali lipat daripada laki-laki. Pada usia lanjut, laki-laki lebih berisiko mengalami TB daripada perempuan (Croft, 2002). 2. Status gizi Kondisi malnutrisi akan menurunkan daya tahan tubuh, sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya TB (Croft, 2002). 3. Sosioekonomi TB lebih sering terjadi pada masyarakat sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan pemukiman yang padat sangat potensial dalam penyebaran TB (Croft, 2002). 4. Pendidikan Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pendidikan yang rendah memiliki risiko mengalami tuberkulosis lebih tinggi daripada orang yang memiliki pendidikan yang baik (Croft, 2002). 5. Bahan toksik Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan bahan eksogen yang akan menurunkan daya tahan tubuh (Crift, 2002). 6. Penyakit-penyakit lain Ada berbagai penyakit yang akan meningkatkan risiko terjadinya tuberkulosis, yaitu : Infeksi HIV, Diabetes, Lepra, Silikosis, Leukemia, Campak, dan Batuk rejan pada anak. Penyakit-penyakit ini menimbulkan penurunan status imunitas seseorang, sehingga resiko untuk terinfeksi basil tuberkulosis menjadi lebih besar (Croft, 2002).
Universitas Sumatera Utara
34
2.2.4. Gejala Klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1) Gejala respiratorik a. Batuk > 2 minggu b. Batuk darah c. Sesak napas d. Nyeri dada Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006). 2) Gejala sistemik a. Demam b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun 3) Gejala tuberkulosis ekstraparu Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2006).
2.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis Di
dalam
Pedoman
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis
2014,
Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit, riwayat pengobatan sebelumya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV.
Universitas Sumatera Utara
35
A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena/lokasi anatomi dari penyakit: 1) Tuberkulosis Paru. Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). 2) Tuberkulosis ekstra paru. Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). 2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: • Pasien kambuh : adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). • Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. • Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default). • Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati, namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Universitas Sumatera Utara
36
C.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan pasien di sini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa : 1) Mono resistant (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,2014). 2) Poli resistant (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). 3) Multi drug resistant (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). 4) Extensive drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). 5) Resistan Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
2.2.6. Diagnosis TB paru 1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi – sewaktu (SPS). 2) Diagnosis
TB
Paru
pada
orang
dewasa
ditegakkan
dengan
ditemukannya kuman TB (bakteri Tahan Asam). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. 3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Universitas Sumatera Utara
37
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru pada gambar berikut
Gambar 2.2. Alur Diagnostik Tuberkulosis Paru Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2007.
2.2.7. Penatalaksanaan Pengobatan TB meliputi 2 tahap, yaitu: 1. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari pada semua pasien baru. Minimal 2 bulan dan bertujuan untuk mengurangi jumlah kuman secara efektif.
Universitas Sumatera Utara
38
2. Tahap lanjut : tahap ini penting untuk membunuh sisa kuman dan mencegah terjadinya kekambuhan. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Tabel 3.1) diberikan minimal 6 bulan dengan kombinasi tertentu sesuai indikasi: a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : TB paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis, dan TB ekstra paru. b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT ini untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya : pasien kambuh, pasien gagal pengobatan, dan pasien yang putus berobat. c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR. d. Obat yang digunakan untuk pasien TB resisten di Indonesia adalah OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etiomide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol. Tabel 2.6. Daftar Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Samping Jenis Isoniazid (H)
Sifat Bakterisidal
Efek Samping Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang Rifampisin (R) Bakterisidal Flu Syndrome, gangguan gastrointestinal, urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,anemia hemolitik Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout artritis Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis, trombositopenia Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer. Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014.
Universitas Sumatera Utara
39
2.3.
Hubungan Kejadian Tuberkulosis pada Diabetes Melitus Diabetes Melitus merupakan salah satu faktor risiko meningkatnya
kejadian Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai dengan peningkatan prevalensi Tuberkulosis Paru. Peningkatan prevalensi ini cenderung lebih tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Dalam hal manifestasi klinis, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru yang juga menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala yang muncul cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk pada yang menderita DM. Namun dari gambaran radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dengan TB ini tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain. Prinsip pengobatan DM pada TB atau non TB tidak berbeda, tetapi harus diperhatikan adanya efek samping dan interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk DM. Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting dan utama yang harus diperhatikan demi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien DM (Cahyadi & Venty, 2011). Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang tidak terkendali memiliki risiko mengalami komplikasi lebih besar daripada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan kadar gula darah yang terkendali. Ada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien diabetes, salah satunya komplikasi pada sistem pernapasan. Pasien DM tipe 2 lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis Paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes tipe 2 memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014). Screening merupakan salah satu cara efektif yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien Diabetes Melitus dengan penyakit Tuberkulosis Paru. Skrining proaktif untuk TB sangat dianjurkan dilakukan di daerah yang angka kejadian Diabetes Melitus dan penyakit imunosupresif lainnya. Hal ini karena tuberkulosis subklinis sering terjadi pada pasien dengan infeksi HIV atau penyakit yang tidak menular (misalnya, Diabetes Melitus dan penyakit paru kronis yang berhubungan dengan merokok), namun sering tidak teridentifikasi dengan baik (Zumla et al., 2013).
Universitas Sumatera Utara
40
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Radboud University Nijmegen Medical Center, ditemukan bahwa 40 % komplikasi tuberkulosis disebabkan oleh penyakit Diabetes Melitus. Kondisi ini terjadi diduga terkait kondisi imunitas yang menurun akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan juga menyebabkan produksi interferon-gamma yang penting untuk pertahanan tubuh menjadi menurun. Pada penelitian hewan coba dengan menggunakan tikus, tikus mengalami diabetes yang kemudian mengalami infeksi TB memiliki penurunan fungsi makrofag alveolar (Alisjahbana et al., 2006). Penelitian cohort yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tahun 1930 juga mendukung hipotesis bahwa penderita diabetes memiliki risiko 3-4 kali lebih besar mengalami komplikasi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebuah studi case-control yang dilakukan di Mexico melaporkan bahwa daerah yang endemik diabetes memiliki risiko mengalami penyakit tuberkulosis 6,8 kali dibandingkan dengan daerah yang tidak endemik tuberkulosis. Dan suatu studi prospektif yang dilakukan di Korea, Eropa, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pasien yang mengalami Diabetes Melitus disertai tuberkulosis memiliki umur yang relatif muda dan kondisi tubuh yang tidak gemuk (Alisjahbana et al., 2006). Mekanisme terjadinya komplikasi Tuberkulosis Paru pada pasien Diabetes Melitus sampai saat ini belum teridentifikasi pasti. Namun, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai kondisi hiperglikemia pada pasien Diabetes Melitus dengan produksi sitokin dan aktivasi makrofag alveolar. Dalam penelitian Radboud University Medical Centre, ditemukan bahwa kondisi hiperglikemia mempengaruhi monosit tetapi tidak sel T. Produksi sitokin juga dipengaruhi oleh kadar gula darah yang tinggi dan tidak terkontrol. Terjadi peningkatan produksi TNF-α, IL-1β, dan IL-6, namun produksi IFN-γ, IL-17A, dan IL-22 tidak berubah. Hasil
penelitian
menunjukkan
kondisi
hiperglikemia
tidak
signifikan
mempengaruhi produksi sitokin, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis dari sampel yang diteliti dan masih ada variabel yang memiliki peran yang lebih besar untuk menjelaskan mekanisme ini namun belum diteliti (Lachmandas et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
41
Suatu studi eksperimental dengan menggunakan hewan coba, tikus dengan kondisi hiperglikemik kronik memiliki produksi interferon-c (IFN-c) dan interleukin-12 (IL-12) yang rendah dan peningkatan kadar insulin darah akan menyebabkan penurunan fungsi sel T helper 1 (Th1). Penurunan kadar IFN-c dan Th 1 memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan risiko infeksi tuberkulosis pada pasien Diabetes Melitus. Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan penurunan kemampuan kemotaksis dan oxidative killing potential dari neutrofil. Kondisi gula darah yang tidak terkontrol juga menurunkan kemampuan bakterisida dari leukosit. Secara keseluruhan, hal ini mendukung hipotesis bahwa Diabetes Melitus menurunkan sistem imunitas yang berfungsi untuk melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke tubuh (Jeon & Murray, 2008).
Universitas Sumatera Utara