BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil ‘tahu’, dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga, perilaku dalam bentuk pengetahuan yakni dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila perilaku didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long tasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni: 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan,
dan
Universitas Sumatera Utara
sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan-makanan yang bergizi. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari pengunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis
menunjuk
pada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya, terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di suatu tempat, dapat menafsirkan penyebab ibu-ibu tidak mau ikut KB (Keluarga Berencana).
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2007).
2.2.
Miopia
2.2.1. Definisi Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut sampai diretina sinar-sinar ini menjadi divergen, membentuk lingkaran yang difus dengan akibat bayangan yang kabur (Curtin, 1997). Dalam kamus kedokteran Dorland disebutkan bahwa arti dari miopia adalah kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki mata yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina (Hartanto, 2000). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata yang terlalu panjang, miopia aksial atau sumbu (Ilyas, 2009).
Gambar 2.1 Pembiasan cahaya pada mata miopia (Olver, 2005)
2.2.2. Etiologi Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif. Penurunan secara sex linked sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental, kebanyakan miopia tinggi diturunkan secara autosomal resesif (Ilyas, 2005). Selain faktor genetik, menurut Curtin (2002) ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia yaitu : a. Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina berkurang. b. Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan retina. Miopia akan terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang pada saat masih bayi. Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para penderita miopia umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat pada retina matanya, melainkan didepannya (Curtin, 2002).
2.2.3. Klasifikasi Menurut Ilyas (2009), apabila berdasarkan derajat beratnya, maka miopia dapat dibagi tiga, yaitu: a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri. b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri. c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut Ilyas (2009), ada beberapa bentuk myopia, yaitu : a. Miopia aksial Dalam hal ini, terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata (diameter antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal. b. Miopia kurvatura Dalam hal ini terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata normal. c. Perubahan indeks refraksi Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga pembiasan lebih kuat.
Menurut Ilyas (2009), jika berdasarkan perjalanannya, maka miopia dapat dibagi menjadi : a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa. b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata. c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa/miopia maligna/miopia degeneratif.
Ada berbagai klasifikasi untuk miopia jika berdasarkan pada, yaitu klasifikasi berdasarkan gambaran klinis, derajat miopia, dan usia saat terkena miopia (Tabel 2.1) (American Optometric Association, 2006). Tabel 2.1 Sistem klasifikasi untuk miopia Type of Classification Classes of Myopia Clinical Entity - Simple Myopia - Nocturnal Myopia - Pseudomyopia - Degenerative myopia - Induced myopia Degree - Low myopia (<3.00 D) - Medium myopia (3.00 D-6.00 D) - High myopia (>6.00 D) Age of Onset - Congenital myopia (present at birth and persisting through infancy) - Youth-onset myopia (<20 years of age) - Early adult-onset myopia (20-40 years of age) - Late adult-onset myopia (>40 years of age) Sumber: American Optometric Association, 2006
Universitas Sumatera Utara
Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang aksial yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya terlalu besar untuk panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang paling sering terjadi daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D). Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D (American Optometric Association, 2006). Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap. Hal ini dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan sedikitnya cahaya yang ada (American Optometric Association, 2006). Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon akomodasi yang tidak sesuai (American Optometric Association, 2006). Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada segmen posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan degeneratif dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti perubahan lapangan pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele yang biasa terjadi (American Optometric Association, 2006). Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar gula darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi ganjil lainnya. Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel (American Optometric Association, 2006).
2.2.4. Faktor Resiko Terdapat pendapat yang menerangkan faktor resiko terjadinya miopia, yaitu yang berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan dan lingkungan (Ilyas, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4.1. Faktor herediter atau keturunan Beberapa penelitian telah melaporkan pengaruh ras terhadap prevalensi miopia. Pada populasi kulit putih, prevalensi miopia dilaporkan 17-26,2% sedangkan pada populasi kulit hitam prevalensi miopia sebesar 13-21,5%. Prevalensi miopia yang cenderung lebih tinggi lebih banyak dijumpai pada penduduk ras Asia Timur (Wong, 2003). Adapun hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia adalah sebesar 33-60%. Pada anak yang salah satu orang tuanya menderita miopia, prevalensinya adalah 2340%. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia, hanya 6-15% yang menderita miopia. Perbedaan prevalensi ini menunjukkan bahwa riwayat orang tua memang berperan pada kejadian miopia bahkan pada anak pada beberapa tahun pertama sekolahnya (Saw, 1996).
2.2.4.2. Faktor lingkungan Bahwa membaca atau kerja dekat dalam waktu yang lama menyebabkan miopia. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi miopia. Individu dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun (Seet, 2001). Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap sebagai faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya miopia pada faktor lingkungan. Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia (Fredrick, 2002). Pada beberapa studi cross-sectional di Denmark, Israel, Amerika, dan Finlandia menunjukkan prevalensi miopia yang lebih tinggi pada individu dengan pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian lain menujukkan adanya hubungan antara miopia dengan inteligensi dan status sosio-ekonomi (Saw, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Faktor resiko yang lain yang telah diteliti yang mungkin berperan pada kejadian miopia dan perkembangannya yaitu prematuritas, berat badan lahir rendah (BBLR), tinggi badan, kepribadian, dan malnutrisi. Namun belum ada bukti yang meyakinkan tentang hubungan miopia dengan tinggi badan, kepribadian, atau malnutrisi (Saw, 1996).
2.2.5. Patofisiologi Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat pertumbuhan, mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada anak dengan predisposisi berlanjut, namun mereka menderita miopia derajat rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopigenik seperti kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late adolescence (Fredrick, 2002). Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu : 1. Menurut tahanan sklera a. Mesodermal Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada daerah ini karena adanya perubahan tekanan dinding okular (Sativa, 2003). b. Ektodermal-Mesodermal Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidak harmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam
Universitas Sumatera Utara
hubungannya
dengan
miopia
bahwa
pertumbuhan
koroid
dan
pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina (Sativa, 2003). 2. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas a. Tekanan intraokular basal Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003). b. Susunan peningkatan tekanan Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg (Sativa, 2003).
2.2.6. Gambaran Klinis Gejala utama adalah gangguan penglihatan jarak jauh (buram). Tandatanda mata miopia antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior dalam, dan pupil melebar (Abrams, 1993). Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang dengan miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2009). Pada pemeriksaan dengan funduskopi, pembuluh darah koroid terlihat jelas, atrofi sebagian koroid sehingga sklera tampak terbayang putih, cakram optik lebar dan pucat, pada sisi temporal terdapat tanda myopic crescent, sedangkan pada sisi nasal terdapat supertraction crescent. Perubahan degeneratif pada retina biasanya terjadi pada miopia progresif yang sebanding dengan derajat miopia, bercak atrofi putih biasanya timbul di makula, namun perdarahan koroid tiba-tiba dapat menimbulkan bercak bulat merah gelap berbentuk kasar dibagian luar makula (Abrams, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.2.7. Diagnosis Dalam menegakkan diagnosis miopia, harus dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, pasien mengeluh penglihatan kabur saat melihat jauh, cepat lelah saat membaca atau melihat benda dari jarak dekat. Pada pemeriksaan opthalmologis dilakukan pemeriksaan refraksi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara subjektif dan cara objektif. Cara subjektif dilakukan dengan penggunaan optotipe dari snellen dan trial lenses; dan cara objektif dengan oftalmoskopi direk dan pemeriksaan retinoskopi (Ilyas, 2009). Pengukuran status refraksi terlebih dahulu ditentukan dengan penentuan tajam penglihatan. Tajam penglihatan dinilai melalui bayangan terkecil yang terbentuk di retina, dan diukur melalui obyek terkecil yang dapat dilihat jelas pada jarak tertentu. Makin jauh obyek dari mata, maka makin kecil bayangan yang terbentuk pada retina sehingga ukuran bayangan tidak hanya merupakan fungsi ukuran obyek namun juga jarak obyek dari mata (Abrams, 1993). Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa dan penderita sebesar 6 m, sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan ini harus dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun penderita. Visus yang terbaik adalah 6/6, yaitu pada jarak pemeriksaan 6 m dapat terlihat huruf yang seharusnya terlihat pada jarak 6 m (Ilyas, 2000). Bila huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung jari pada dasar putih, pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan normal terlihat pada jarak 60 m, jika penderita hanya dapat melihat pada jarak 2 m, maka visus sebesar 2/60. Apabila pada jarak terdekat pun hitung jari tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa menggerakkan tangannya pada bermacam-macam arah dan meminta penderita mengatakan arah gerakan tersebut pada bermacam-macam jarak (Muhdahani, 1994). Gerakan tangan pada penglihatan normal terlihat pada jarak 300 m, jika penderita hanya dapat melihat gerakan tangan pada jarak 1 m, maka visusnya
Universitas Sumatera Utara
1/300. Namun apabila gerakan tangan tidak dapat terlihat pada jarak terdekat sekalipun, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter pemeriksa dan mengarahkan sinar tersebut pada mata penderita dari segala arah, dengan salah satu mata penderita ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat melihat arah sinar dengan benar, apabila penderita dapat melihat sinar dan arahnya benar, maka fungsi retina bagian perifer masih baik dan dikatakan visusnya 1/~ dengan proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat melihat sinar dan tidak dapat menentukan arah dengan benar atau pada beberapa tempat tidak dapat terlihat maka berarti retina tidak berfungsi dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi buruk. Bila cahaya senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi kerusakan dari retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan visus 0 (nol) atau buta total (Muhdahani, 1994). Pemeriksaan kelainan refraksi secara obyektif dilakukan dengan menggunakan retinoskopi untuk melihat refleks fundus dan ultrasonografi (USG) untuk mengukur panjang aksis bola mata sehingga dapat dipastikan bahwa miopia yang tejadi bersifat aksial, namun pemeriksaan dengan USG memerlukan biaya yang relatif mahal (Muhdahani, 1994). Pemeriksaan oftalmoskopi direk bertujuan untuk melihat kelainan dan keadaan fundus okuli, dengan dasar cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan refleks fundus dan akan terlihat gambaran fundus (Ilyas, 2000). Retinoskopi atau yang dikenal juga dengan skiaskopi atau shadow test, merupakan suatu cara untuk menemukan kesalahan refraksi dengan metode netralisasi. Retinoskopi memungkinkan pemeriksa secara objektif menentukan kesalahan refraktif spherosilindris, dan juga menentukan apakah astigmatisma regular dan irregular untuk menilai kekeruhan dan ketidakaturan. Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya dipantulkan dari cermin ke mata, maka arah bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil bergantung pada keadaan refraktif mata (Siregar, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.8. Penatalaksanaan Penderita miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata, kontak lensa atau melalui operasi. Terapi terbaik pada miopia adalah dengan penggunaan kacamata atau kontak lensa yang akan mengkompensasi panjangnya bola mata dan akan memfokuskan sinar yang masuk jatuh tepat di retina. Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal tanpa akomodasi (Ilyas, 2006). Pada miopia tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau under correction. Lensa kontak dapat dipergunakan pada penderita miopia (Ilyas, 2005). Pada saat ini telah terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti keratotomi
radial
(radial
keratotomy
-
RK),
keratektomi
fotorefraktif
(Photorefractive Keratectomy - PRK), dan laservasisted in situ interlamelar keratomilieusis (LASIK) (Ilyas, 2006). Pengobatan terhadap miopia dapat dilakukan diantaranya dengan : a. Kacamata Terapi yang diberikan pada pasien yang menderita miopia adalah dengan pemakaian kacamata sferis negatif untuk memperbaiki penglihatan jarak jauh. Perubahan refraksi terkecil dimana kebanyakan klinik merekomendasi perubahan kacamata adalah sekitar -0,5 D (Goss, 2000). b. Lensa kontak Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak keras yang terbuat dari bahan plastik polimetilmetacrilat (PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari bermacam-macam plastik hidrogen. Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati gangguan permukaan kornea. Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia tinggi, dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari kacamata. Namun komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi kornea, pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak (Fredrick, 2002).
Universitas Sumatera Utara
c. Bedah keratoretraktif Bedah keratoretraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior bola mata diantaranya adalah keratotomi radial, keratomileusis, keratofakia, dan epikeratofakia (Fredrick, 2002). d. Operasi laser refraktif Dapat mengurangi kondisi refraksi miopia, namun tidak menurunkan laju kondisi kebutaan karena ablasio retina, degenerasi makula dan glaukoma akibat miopia derajat tinggi (Fredrick, 2002). e. Farmakologi Antikolinergik seperti atropin telah digunakan dengan kombinasi kacamata bifokus untuk menghambat progresivitas miopia. Walaupun progresivitas miopia terhambat selama terapi namun efek jangka pendek nampaknya dengan perbedaan ukuran tidak lebih dari 1-2 D dan tidak ada kasus miopia patologis yang telah dicegah dengan terapi ini (Seet, 2001). f. Non-farmakologi Menjaga higiene visual dengan iluminasi yang adekuat, postur tubuh yang nyaman dan alami saat melakukan kerja, dan menghindari kelelahan mata (Abrams, 1993).
2.2.9. Prognosis Miopia sangat dipengaruhi oleh usia. Setiap derajat miopia pada usia kurang dari 4 tahun harus dianggap serius. Pada usia lebih dari 4 tahun dan terutama 8-10 tahun, miopia sampai dengan -6 D harus diawasi dengan hati-hati. Jika telah melewati usia 21 tahun tanpa progresivitas serius maka kondisi miopia dapat diharapkan telah menetap dan prognosis dianggap baik. Pada derajat lebih tinggi, prognosis harus dipertimbangkan dengan hati-hati berdasarkan gambaran fundus dan tajam penglihatan setelah koreksi. Pada semua kasus harus diperhatikan kemungkinan perdarahan tiba-tiba atau ablasio retina (Abrams, 1993). Pemeriksaan secara teratur sangat penting untuk penderita degeneratif miopi karena mereka mempunyai faktor resiko untuk terjadinya ablasi retina, degenerasi retina atau masalah lainnya (Ilyas, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2.10. Komplikasi Pada penderita miopia yang tidak dikoreksi dapat timbul komplikasi. Komplikasi tersebut antara lain: a. Ablasio retina Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 D – (-4,75) D sekitar 1/6662. Sedangkan pada (-5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sativa, 2003). b. Vitreal Liquefaction dan Detachment Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina (Sativa, 2003). c. Miopic maculopaty Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan pandang (Sativa, 2003). d. Glaukoma Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stress akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula (Sativa, 2003).
Universitas Sumatera Utara
e. Katarak Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Bahwa pada orang dengan miopia onset katarak muncul lebih cepat (Sativa, 2003). f. Skotomata Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina maka akan timbul skotomata (sering timbul jika daerah makula terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi dan
mencair
berkumpul di muscae volicantes sehingga
menimbulkan bayangan lebar di retina yang sangat mengganggu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina (Abrams, 1993). g. Strabismus esotropia Strabismus esotropia terjadi karena pada pasien miopia memiliki pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau kedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esotropia. Bila terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia (Vaughan, 2007).
2.2.11. Pencegahan Menurut Curtin (2002) ada cara untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan: 1. Mencegah kebiasaan buruk seperti a. Biasakan anak duduk dengan posisi tegak sejak kecil. b. Memegang alat tulis dengan benar. c. Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau menonton televisi. d. Batasi jam untuk membaca.
Universitas Sumatera Utara
e. Atur jarak membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 centimeter dari buku) dan gunakan penerangan yang cukup. f. Membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik. 2. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah terjadinya miopia. 3. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu sampai ada gangguan mata. Jika tidak diperbaiki sejak awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi permanen. Contohnya bila ada bayi prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator supaya dapat mencegah tanda-tanda retinopati. 4. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling. Dan selama mengikuti rehabilitasi tersebut, patuhilah setiap perintah dokter dalam mengikuti program tersebut. 5. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil. 6. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai kacamata. 7. Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, maka segeralah melakukan pemeriksaan.
Selain Curtin (2002), menurut Wardani (2009) ada cara lain untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu dengan: 1. Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai kacamata). 2. Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah. 3. Kurangi kebiasaan yang kurang baik untuk mata, misalnya membaca sambil tiduran dengan cahaya yang redup. Jarak aman untuk membaca adalah sekitar 30 cm dari mata dengan posisi duduk dengan penerangan yang cukup baik
Universitas Sumatera Utara
(tidak boleh terlalu silau atau redup). Lampu harus difokuskan pada buku yang dibaca. 4. Jaga jarak aman aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah 2 meter dari layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan mata dan pencahayaan ruangan yang memadai. 5. Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1-1,5 jam sekali selama 5-10 menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan maksud untuk mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa untuk sering berkedip supaya permukaan bola mata selalu basah. 6. Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan yang banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi sebagai antioksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada sayuran dan buahbuahan. 7. Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat mempercepat terjadinya katarak dan asap rokok dapat membuat mata menjadi cepat kering. 8. Gunakanlah sunglasses yang dilapisi dengan anti UV bila beraktifitas di luar ruangan pada siang hari. Hal ini untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan oleh karena sinar matahari mengandung sinar ultraviolet (UV) yang tidak baik untuk sel-sel saraf di retina. 9. Aturlah suhu ruangan bila menggunakan pendingin ruangan (AC). Kelembaban yang baik untuk permukaan mata berkisar antara 22-25⁰ C. Jadi bila menggunakan AC jangan terlalu dingin karena penguapan mata menjadi lebih cepat sehingga mata menjadi cepat kering.
2.3.
Kesehatan Mata Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan menjelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Mata merupakan salah satu aset yang paling berharga sehingga harus dijaga benar kesehatannya. Kesehatan mata merupakan hal yang penting untuk mempertahankan ketajaman penglihatan (visus), yaitu nilai
Universitas Sumatera Utara
kebalikan sudut (dalam menit) terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan dan kemampuan untuk membedakan antara dua titik yang berbeda pada jarak tertentu. Kesehatan mata penting untuk mencegah kebutaan (Martine, 2007). Menurut terminologi W.H.O., puskesmas, yang disebut dengan Primary Eye Care (P.E.C.), adalah unit terdepan yang merupakan bagian integral dari Puskesmas, yang meliputi usaha-usaha peningkatan pencegahan dan pengobatan terhadap individu dan masyarakat, di mana masyarakat merupakan sasaran utama dari pelayanan tersebut (Trisnowiyanto, 2002). Tujuan Primary Eye Care (P.E.C) adalah melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan mata yang diintegrasikan di puskesmas, yang berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga angka penyakit mata dapat ditekan dan kebutaan serta kemunduran fungsi penglihatan dapat dihilangkan (Trisnowiyanto, 2002). Pelayanan lebih ditekankan pada usaha peningkatan kesehatan mata, pencegahan dan pengobatan. Pelayanan kesehatan mata mengutamakan pelayanan penderita yang berobat jalan. Sistem pelayanan kesehatan mata berorientasi pada partisipasi aktif masyarakat, maka dari itu diperlukan peningkatkan kesadaran dan motivasi masyarakat (Ilyas, 1997). Pilihan makanan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mata. Penelitian menemukan kalau nutrisi berperan penting dalam menjaga kesehatan mata dan mencegah penyakit mata yang berkaitan dengan usia seperti Age-Related Macular Degeneration (ARMD), katarak, glukoma dan diabetes retinopati. Sebuah studi yang dilakukan National Eye Institute (NEI) menunjukkan kalau vitamin dan nutrisi tertentu merupakan kunci utama mencegahan penyakit mata. Nutrisi dan vitamin tertentu tersebut bisa mencegah penyakit utama mata yang berkaitan dengan usia hingga 39%. Nutrisi dan vitamin tersebut antara lain lutein, beta karoten, zeaxanthin, sulforaphane, lycopene, selenium, omega-3, vitamin A, vitamin C, vitamin E (Trisnowiyanto, 2002). Mata manusia sensitif terhadap kekuatan pencahayaan, mulai dari beberapa lux di dalam ruangan gelap hingga 100.000 lux di tengah terik matahari.
Universitas Sumatera Utara
Kekuatan pencahayaan ini aneka ragam. Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya, tetapi kelelahan relatif bertambah pula. Namun meskipun pencahayaan cukup, harus dilihat pula aspek kualitas pencahayaan, antara lain faktor letak sumber cahaya. Sinar yang salah arah dan pencahayaan yang sangat kuat menyebabkan kilauan pada obyek. Kilauan ini dapat menimbulkan kerusakan mata. Penyebaran cahaya di dalam ruangan juga harus merata supaya mata tidak perlu lagi menyesuaikan terhadap berbagai kontras silau, sebab keanekaragaman kontras silau menyebabkan kelelahan mata. Kelelahan mata dapat menyebabkan irritasi, mata berair dan kelopak mata berwarna merah (konjungtivitis), penglihatan rangkap, sakit kepala, ketajaman penglihatan merosot, begitu pula kepekaan terhadap perbedaan (contrast sensitivity) dan kecepatan pandangan serta kekuatan menyesuaikan (accomodation) dan konvergensi menurun (Ilyas, 1997). Mata kita harus sering diberi objek pandangan lain bila kita sering terfokus pada suatu objek saat melakukan aktifitas sehari-hari, seperti bekerja terlalu lama di depan layar computer. Hal ini tanpa disadari dapat membuat mata merah, iritasi, gatal, sampai terganggunya daya pandang. Maka dari itu lakukanlah olahraga mata secara rutin, seperti mengedipkan mata, menatap ke bawah dan ke atas atau ke kanan dan ke kiri serta melakukan pijatan di sekeliling mata. Bagi yang sering bekerja di depan layar komputer selama berjam-jam, tanpa disadari mata kita sudah mengalami kejang otot karena harus terus menatap layar komputer dengan waktu yang cukup lama, dan ini sering kali membuat mata menjadi kering, merah bahkan sampai iritasi karena radiasi layar komputer maka disarankan agar sesekali mencari objek pandang yang berbeda. Bagi pengguna lensa kontak, harus rutin merawat lensa kontak, seperti membersihkan dengan cairan yang benar. Gunakan lensa kontak sesuai dengan petunjuk yang disarankan ahlinya. Istirahat yang cukup dapat mengembalikan kondisi kesegaran mata, minimal 8 jam setiap hari untuk kesehatan mata. Cuci tangan sesering mungkin, terutama sebelum menyentuh wajah anda dan juga jangan sembarangan menggosok mata dengan tangan, karena akan mempercepat penyebaran virus dan bakteri yang bisa menyebabkan infeksi pada mata (Trisnowiyanto, 2002).
Universitas Sumatera Utara