BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Selulosa
Selulosa merupakan biopolimer yang berlimpah di alam yang bersifat dapat diperbaharui, mudah terurai, tidak beracun, dan juga merupakan polimer karbohidrat yang tersusun atas β-D glukopiranosa dan terdiri dari tiga gugus hidroksi per anhidro glukosa menjadikan selulosa memiliki derajat fungsionalitas yang tinggi. Sebagai materi yang diperbaharui, selulosa dan turunannya dapat dipelajari dengan baik. Bahan dasar selulosa telah digunakan lebih dari 150 tahun dalam berbagai macam aplikasi, seperti makanan, produksi kertas, biomaterial, dan dalam bidang kesehatan (Coffey et al, 1995). Selulosa merupakan konstituen utama kayu kira-kira 40-50% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa, terutama terdapat dalam dinding sel sekunder. Selulosa merupakan homo-polisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-Glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan-ikatan glikosida (Hardjono. 1995). Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan ke empat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß- 1,4glikosidik. Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan tersebut tahan terhadap peruraian secara enzimatik.Secara alamiah peruraian selulosa berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1987). Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air dan ditemukan didalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Kayu terutama mengandung selulosa dan senyawa polimer lain. Selulosa tidak hanya merupakan polisakarida struktural ekstra selular yang paling banyak dijumpai pada dunia tumbuhan, tetapi juga merupakan senyawa yang paling banyak diantara semua biomolekul pada tumbuhan atau hewan. Karena selulosa merupakan homopolisakarida linear tidak bercabang, terdiri dari 10.000
Universitas Sumatera Utara
atau lebih unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1
4 glikosida senyawa ini
akan kelihatan seperti amilosa, dan rantai utama glikogen (Lehninger. 1988). Selulosa merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersusun dari molekul glukosa dalam bentuk rantai panjang tidak bercabang yang mirip dengan amilosa. Bagaimanapun, unit-unit dari glukosa dalam selulosa terikat pada ikatan β-1,4- ikatan glikosidik. Isomer β tidak membentuk gulungan seperti isomer α, tetapi selaras dalam berbasis pararel oleh ikatan hidrogen diantara kelompok hidroksil pada rantai yang berdekatan. Hal ini yang menyebabkan selulosa tidak dapat larut dalam air, memberikan struktur kaku ke dinding sel kayu, dan serat yang lebih tahan terhadap hidrolisis dari pada pati. Reaktivitas selulosa juga bergantung kepada strukturnya. Untuk memodifikasi struktur selulosa, kisi ikatan hidrogen harus dihancurkan dengan cara pembengkakan atau pemutusan. Struktur selulosa dapat dilihat pada gambar 2.1. (Setiyawan. 2010)
H
OH H
H O
HO
OH HO
HH
HO
O
OH H
H
H
HH
OH OH
O
O
HO
HH
HO
O
OH
O H
H
H
H
H
OH
n
OH
HH O
H
OH
Gambar 2.1 Struktur Selulosa. Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan (Lehninger. 1988) Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intra dan intermolekul. Jadi berkas-berkas selulosa membentuk agregat dalam bentuk mikrofibril, di mana daerah kristalin diselingi dengan daerah amorf. Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat selulosa. Sebagai akibat dari struktur yang berserat dan ikatan hidrogen yang kuat, selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Atalla. 1987).
Universitas Sumatera Utara
Setiap unit β-D-glikopiranosa didalam rantai selulosa mempunyai tiga gugus hidroksil reaktif, dua sekunder (HO-2 dan HO-3) dan satu primer (HO-6). Untuk eterifikasi, gugus hidroksil sekunder (HO-2) biasanya paling mudah bereterifikasi sedangkan untuk esterifikasi, gugus hidroksil primer (HO-6) memiliki reaktifitas yang lebih tinggi. Aksesibilitas berarti kemudahan relatif gugus-gugus hidroksil untuk dicapai oleh pereaksi-pereaksi gugus (HO-6) reaktifitasnya lebih tinggi terhadap substituensubstituen yang besar dari pada gugus-gugus hidroksil yang lain karena paling sedikit halangan steriknya (Fengel dan Wegener. 1995). Pemeriksaan selulosa dengan sinar X menunjukkan bahwa selulosa terdiri atas rantai linear dari unit selobiosa, yang oksigen cincinnya berselang-seling dengan posisi “kedepan” dan “kebelakang”. Molekul linear ini, yang mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hidrogen diantara hidroksil-hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Walaupun manusia dan hewan lain dapat mencerna pati dan glikogen, mereka tidak dapat mencerna selulosa. Ini merupakan contoh yang baik mengenai spesifisitas reaksi biokimiawi. Satu-satunya perbedaan kimia antara pati dan selulosa ialah stereokimia tautan glikosidik tepatnya stereokimia pada C-1 dari setiap unit glukosa. Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim
yang diperlukan untuk
menghidrolisis ikatan β-glikosidik. Namun banyak bakteri yang mengandung βglikosidase yang dapat menghidrolisis selulosa (Hart, dkk. 2003).
2.2
Modifikasi Selulosa
Saat ini selulosa telah menjadi material yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi. Secara langsung ini berhubungan dengan industri kertas di mana selulosa diolah secara konvensional, seperti kertas dan karton. Namun, walaupun kertas dan karton menjadi produk utama dari selulosa, tidak berarti membatasi penggunaan selulosa untuk kegunaan yang lain. Selulosa dapat dimodifikasi secara kimia untuk menciptakan turunan yang lebih luas yang mana digunakan dalam sektor industri. Turunan ini lebih jauh dijadikan sebagai agen coating, laminating, film optis, juga sebagai adsorben. Sebagai tambahan, turunan selulosa juga dapat dijumpai sebagai bahan aditif dari bahan bangunan, farmasi, makanan serta produk-produk kosmetik. (Ganstrom. 2009)
Universitas Sumatera Utara
Senyawa eter dan ester selulosa secara komersial diproduksi dalam kondisi reaksi heterogen menggunakan asam dan asam anhidrat sebagai reagent. Dengan kata lain, jalur utama dari sintesis eter adalah sintesis eter Williamson. Kelemahan dari reaksi heterogen ialah laju reaksi yang relatif lambat dan tidak adanya sifat regioselektif dari suatu reaksi, sehingga aksesibilitas dari gugus hidroksil bebas dari selulosa menjadi faktor penentu terhadap selektivitas dan juga terhadap derajat substitusi. Lebih jelasnya, ketika reaksi berlangsung dalam larutan homogen, maka sifat regioselektivitas dari reaksi ditentukan oleh perbedaan kereaktifan gugus hidroksil bebas yang dimiliki molekul selulosa, bukan dari sisi aksesibilitasnya. Sebagai tambahan terhadap kemampuan
mengontrol
selektivitas dalam reaksi, nilai derajat substitusi dapat disesuaikan mulai dari turunan senyawa
dengan derajat substitusi rendah hingga turunan senyawa dengan derajat
subtitusi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, material yang dihasilkan dari turunan selulosa dapat disesuaikan sesuai alur yang kita kehendaki. (Klemm. 1998)
2.2.1
Esterifikasi Selulosa
Modifikasi ester selulosa dengan asam organik dan asam anorganik membentuk turunan selulosa bersifat kovalen yang pertama kali disintesis dalam laboratorium. Selulosa nitrat, selulosa asetat dan selulosa xantogenat telah diproduksi dalam skala industri pada pertengahan abad yang lalu dan saat ini telah mencakup lebih dari 90 % total produksi selulosa. Diawali dengan ester selulosa dari asam anorganik, hingga asam organik telah dipersiapkan dalam esterifikasi konvensional, demikian juga reaksi yang dirancang secara khusus.
2.2.1.1 Ester Selulosa Menggunakan Asam Anorganik
Saat ini, produksi selulosa yang menggunakan asam-asam anorganik masih dalam jumlah yang terbatas. Secara khusus beberapa oksida asam yang mengandung nitrogen, fosfor, sulfur dan boron. Selulosa karbonat tidak lagi diisolasi saat ini karena ternyata banyak studi eksperimental yang menyatakan ketidakstabilan senyawa ini. Ester selulosa dari asam yang mengandung halogen tidak juga tersedia sampai sekarang, mungkin
Universitas Sumatera Utara
karena sifat eksplosif yang ditimbulkannya, walaupun selulosa perklorat dapat dibentuk melalui reaksi antara polimer dengan nitrosil perklorat dalam pelarut DMF. Selulosa nitrat merupakan turunan selulosa pertama yang diproduksi dalam skala industri untuk pembuatan kain sutera sintetik. Ini bisa dibentuk melalui reaksi antara polimer dengan HNO3 berdasarkan reaksi : Cell-OH + HNO3
Cell-O-NO2 + H2O
Produksi selulosa nitrat masih didasarkan pada reaksi kesetimbangan heterogen antara selulosa dan sistem nitrasi yang disebutkan di atas. Selulosa sulfat secara detail dapat dibentuk melalui beberapa tahap berikut: (i) Sulfonasi gugus hidroksi biasanya dimulai dalam sebuah sistem heterogen. (ii) Sulfonasi gugus hidroksi yang bebas sebagian membentuk ester selulosa atau eter selulosa di mana subtituent primer bertindak sebagai gugus pelindung. (iii)Sulfonasi oleh pertukaran tempat gugus ester atau eter dengan makromolekul yang datang. Sebagian besar asam sulfat, asam sulfit, atau asam klorosulfonat dapat digunakan sebagai agen sulfonasi, yang juga dapat dikombinasikan dengan pelarut inert seperti alkohol. Secara umum reaksi pembentukan selulosa sulfat dapat ditunjukkan oleh reaksi berikut : Cell-OH + SO3 Cell-OH + XSO3H
Cell-OSO3H Cell-OSO3H + HX
(X = NH2, OH, Cl)
Selulosa borat secara umum juga dapat disintesis dengan dua jalur menggunakan asam borat : (i) Esterifikasi langsung gugus hidroksi selulosa dengan asam ortoborat atau asam metaborat. Cell(OH)3 + H3BO3
(CellO)3B
(ii) Transesterifikasi selulosa menggunakan boron alkoksida. Cell(OH)3 + B(OR)3
(CellO)3B
Transesterifikasi selulosa dengan boron trialkoksida B(OR)3, di mana alkil yang umum digunakan yaitu metil, etil dan propil, dapat direaksikan pada temperatur rendah. (Klemm. 1998)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.2 Ester Selulosa Menggunakan Asam Organik
Pembentukan ester selulosa menggunakan asam organik melalui proses esterifikasi terhadap gugus hidroksi alkohol, yang umum menggunakan asam klorida atau asam anhidrat lainnya sebagai agen yang meningkatkan derajat esterifikasi secara signifikan. Esterifikasi gugus hidroksi alkohol umumnya berlangsung dalam reaksi setimbang, di mana ikatan ester yang dibentuk dipengaruhi dan diputus dalam suasana asam encer, dan penggunaan alkali pekat secukupnya membentuk ester penyabunan yang bersifat irreversible. Selulosa dapat diasetilasi secara langsung melalui esterifikasi gugus hidroksil atau transesterifikasi, menggunakan substituen primer seperti gugus nitrat sebagai gugus pergi. Asam asetat tidak cukup baik untuk mengesterkan selulosa, namun dapat didukung dengan penambahan asam yang lebih reaktif seperti asam asetat anhidrat. Asetilasi selulosa berlangsung dalam reaksi setimbang, namun adanya air berlebih dapat menimbulkan terjadinya deasetilasi dan juga dipengaruhi hadirnya asam dari katalis. Pada proses asetilasi, selulosa yang telah diaktivasi umumnya direaksikan dengan asetat anhidrat berlebih (Klemm. 1998). Pelarut yang umum digunakan dalam esterifikasi selulosa ialah N-alkilpiridinium halida, terutama N-etilpiridinium klorida dan N-benzilpiridinium klorida. Pelarut ini memiliki titik leleh yang tinggi dan oleh karena itu penggunaannya harus diencerkan terlebih dahulu menggunakan pelarut organik, seperti DMSO, DMF, atau piridine. Maka tersedia medium reaksi yang homogen dan beberapa turunan yang sintesisnya menggunakan asam karboksilat anhidrat atau klorida dan piridin sebagai basa. Turunan yang umum dihasilkan yakni ester selulosa-asetat, selulosa-butirat, selulosa-benzoat, selulosa-ftalat, dan selulosa-antranilat (Gambar 2.2). Namun, derajat substitusi pada turunan ini tidak dapat terpantau yang membuat efisiensi reaksi sulit ditentukan. (Ganstrom. 2009) O
O
H O
H O H
O O
OH
OH
H
H O
H H
OH
H
H
(a)
H
O O
OH
O
H
OH
H
H
(b)
O O OH
H
H
(c)
Universitas Sumatera Utara
HO
N2 H
O
O
O
H O
H O
OH
H
H
O O
OH
H
H
OH
H
H
O O OH
H
(d)
H
(e)
Gambar 2.2 Struktur (a) ester selulosa-asetat, (b) ester selulosa-butirat, (c) ester selulosa-benzoat, (d) ester selulosa-ftalat, dan (e) ester selulosa-antranilat.
2.2.2
Eterifikasi Selulosa
Eterifikasi selulosa merupakan turunan selulosa komersial yang sangat penting dan menjadi proses yang banyak diteliti dibandingkan ester selulosa. Eterifikasi selulosa merupakan reaksi heterogen yang diawali dengan pembentukan alkali selulosa. Produksi eter selulosa secara industri dimulai pada tahun 1920 hingga 1940, diawali dengan pembuatan karboksimetil selulosa pada awal tahun 1920 di Jerman. Ada dua alur sintesis eter selulosa yang paling relevan dilakukan, yakni: (i) Reaksi gugus hidroksil dengan alkil klorida dengan adanya basa kuat, didasarkan sesuai dengan sintesis eter Williamson, di mana dalam reaksi menggunakan 1 mol basa/ mol alkil klorida. (ii) Reaksi pemutusan cincin dari alkilen oksida dengan gugus hidroksi, yang dikatalisasi oleh basa secukupnya, yang menghasilkan perpanjangan rantai dan pembentukan gugus hidroksil baru.
2.2.2.1 Karboksimetilasi Selulosa
Karboksimetilasi selulosa pada dasarnya diperoleh sama halnya seperti alur metilasi, yaitu eterifikasi Wiliamson terhadap alkali selulosa menggunakan natrium kloroasetat dalam sistem pelarut alkoholik berdasarkan reaksi : Cell-OH.NaOH + ClCH2COONa
Cell-O-CH2COONa + NaCl + H2O
Universitas Sumatera Utara
Pada metilasi selulosa, penggunaan agen pembentuk eter harus dalam jumlah yang banyak, yakni 30% atau lebih larutan NaOH dipakai dalam reaksi dan sebagian besar membentuk natrium glikolat akibat hidrolisis kloroasetat (Feddersen dan Thorp. 1993). Lebih lanjut tentang metilasi, agen pembentuk eter (asam monokloroasetat atau natrium monokloroasetat) bersifat larut dalam air dan tidak volatil, maka reagent harus dihindarkan dari tempat-tempat yang pada suhu kamar dapat memicu timbulnya reaksi terhadap reagent. Derajat substitusi yang harus dimiliki oleh CMC dalam larutan yakni 0,4 hingga 0,8 yang merupakan syarat agar CMC dapat diaplikasikan lebih lanjut. Secara klasik proses preparasi pembentukan CMC diawali dengan pembentukan alkali selulosa menggunakan larutan NaOH 20-30 %. Kemudian proses eterifikasi berlangsung ketika alkali selulosa direaksikan dengan asam monokloroasetat atau natrium monokloroasetat. Dalam reaksi, 1 atau 2 mol NaOH per mol agen pembentuk eter terpakai untuk membentuk gugus karboksimetil pada senyawa polimer dan juga membentuk natrium glikolat. Proses alkalisasi dan eterifikasi dapat dibuat menjadi satu tahap, di mana ditambahkan selulosa ke dalam campuran NaOH, natrium monokloroasetat, air, dan isopropanol atau t-butanol secara berlebih. Pelarut inert seperti benzena dan aseton juga pernah diikutsertakan sebagai komponen, di mana metanol atau etanol telah terbukti tidak cocok digunakan sebagai pelarut. Dengan menurunnya derajat substitusi terhadap CMC akibat penambahan monokloroasetat, adanya alkohol akan meningkatkan distribusi massa reaksi, maka terjadi pengayaan NaOH terhadap molekul selulosa, sehingga cenderung menurunkan orde eterifikasi molekul yang lebih besar dan seragam. Dengan kata lain, gugus hidroksil dari alkohol berkompetisi dengan satu gugus hidroksil dari selulosa dalam proses eterifikasi dan membentuk molekul eter ROCH2COO-Na+. (Klemm. 1998)
2.2.2.2 Hidroksialkil Eter Selulosa
Secara umum hidroksialkilasi selulosa ialah pembentukan hidroksietil selulosa (HEC) dan dan hidroksipropil selulosa (HPC) sebagai turunan komersil, hasil reaksi senyawa polimer dengan etilen oksida dan propilen oksida. Selanjutnya, diikatsilangkan menggunakan epiklorohidrin dan asetilasi gugus hidroksi selulosa menggunakan aldehid.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2.1
Hidroksialkilasi Selulosa Menggunakan Epoksida
Berikut perbedaan antara alkilasi dan karboksimetilasi terhadap selulosa, yakni : (i) Hidroksialkilasi dengan epoksida tidaklah mengharuskan reaksi secara stoikiometri, tetapi pada prinsipnya ion OH- dari katalis menyerang cincin epoksi dan membentuk ikatan C-O antara reagent dan alkohol. (ii) Hidroksialkilasi tidak terbatas pada keberadaan gugus hidroksi dalam system, tetapi dapat juga diproses lebih lanjut membentuk gugus hidroksi yang baru menghasilkan rantai hidroksialkil yang lebih panjang. Pembentukan eter hidroksietil menggunakan katalis basa dibarengi dengan reaksi molekul air dengan etilen oksida membentuk glikol dan poliglikol, dan menghasilkan senyawa selulosa hasil eterifikasi berkisar 50-70 % dengan etilen oksida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Sebuah katalis asam juga dapat memutus cincin epoksi membentuk senyawa polimer yang sejenis dan cenderung menyebabkan reaksi hidrolisis terhadap rantai selulosa. (Klemm. 1998) OHCell-OH + CH2
Cell-O-CH2-CH2-OH
CH2
O
OH-
Cell-O-CH2-CH2-OH + CH2
Cell-O-CH2-CH2-O-CH2-CH2-OH
CH2
O OHH2O + CH2
HO-CH2-CH2-OH
CH2
O OHHO-CH2-CH2-OH + CH2
HO-CH2-CH2-O-CH2-CH2-OH
CH2
O
Gambar 2.3 Skema reaksi pembentukan hidroksietilasi selulosa menggunakan katalis basa
OCH2OCH2CH2OCH2CH2OCH2CH2OH O O HOCH2CH2O OCH2OCH2CH2OCH2CH2OH
Gambar 2.4 Selulosa setelah mengalami hidroksietilasi
Universitas Sumatera Utara
Hidroksialkilasi selulosa umumnya dibentuk melalui reaksi heterogen variasi perbandingan NaOH/selulosa antara 0,3 : 1 hingga 1 : 1, dan perbandingan H2O/selulosa antara 1,2 : 1 hingga 3,5 : 1. Pelarut inert yang sering dipakai dalam reaksi hidroksietilasi seperti i-propanol, t-butanol atau aseton. Proses reaksi dilangsungkan pada suhu 30-80 o
C selama beberapa jam. (Mansour et al., 1993) Pada kondisi penambahan basa yang lebih banyak cenderung meningkatkan
reaktifitas pada semua posisi, tetapi kereaktifan atom C-6 dan C-X lebih besar dibanding atom C-2 dan C-3. Namun, bila konsentrasi basa yang ditambahkan kecil, posisi atom C2 cenderung lebih diutamakan dalam substitusi dibanding atom C-6. (Arisz et al., 1996)
2.2.2.2.2
Ikat Silang Selulosa Dengan Epiklorohidrina
1-Kloro-2,3-epoksipropana (epiklorohidrin) menggabungkan reaktifitas dari alkil halida dan alkilena epoksida terhadap gugus hidroksi selulosa. Akibatnya, epiklorohidrin bertindak sebagai agen pengikat silang dalam suasana basa. Selain jumlah katalis yang diperlukan untuk memutus cincin epoksida, stoikiometri dari 1 mol/mol epiklorohidrin juga menentukan dalam pembentukan epoksida. Sebagian epiklorohidrin dipakai dalam pembentukan gliserol sebagai produk minor, dan sebagian lagi bereaksi dengan selulosa membentuk 1,2-dihidroksipropilselulosa. Efisiensi pengikatsilangan epiklorohidrin jauh lebih kecil dibanding total pemakaiannya, dan jumlah dan distribusi pengikatsilangan bergantung terhadap seberapa luas dan seberapa detailnya prosedur epiklorohidrin yang diaplikasikan. Penggunaan epiklorohidrin sebagai agen pengikat silang terhadap selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut. (Dautzenberg et al., 1980) OHCell-OH + CH2-CH-CH2-Cl O
Cell-O-CH2-CH-CH2 + H2O O
O
Cell-O-CH2-CH-CH2 O
OH Cl
Cell-O-CH2-CH-CH2 + Cell-OH O
CH2-CH-CH2-Cl + H2O
Cell-O-CH2-CH-CH2
Cell-O-CH2-CH-CH2-O-Cell OH Cell-O-CH2-CH-CH2 OH OH
-HCl
CH2OH-CHOH-CH2OH
Gambar 2.5 Pengikatan silang selulosa menggunakan epiklorohidrin
Universitas Sumatera Utara
2.2.2.2.3
Eter Selulosa Dengan Gugus Amina (NH2)
Jalur yang paling sederhana dalam pembentukan eter selulosa dengan sebuah gugus amino adalah mereaksikan dengan etilena imina dalam suasana basa membentuk aminoetilselulosa seperti pada hidroksietilasi dengan etilen oksida pada reaksi berikut. NaOH Cell-OH + CH2-CH2
Cell-O-CH2-CH2-NH2
NH
Kemudian, aminoetilasi selulosa didapati sebatas penukar anion yang lemah yang digunakan dalam beragam teknik kromatografi, seperti kromatografi afinitas atau dalam kaitan enzim immobilisasi. Gugus eter aminoetil telah dikenalkan oleh reaksi yang menggunakan etilen imina atau 2-aminoetil sulfat. Aminoetilasi dengan 2-aminoetil sulfat dan penambahan larutan NaOH pada temperatur antara 70 hingga 120 oC diduga telah menghasilkan material penukar ion dari serbuk selulosa (Bischoff dan Dautzenberg, 1977). Menurut proses reaksi berikut : Cell-OH + NaO3SO-CH2-CH2-NH2 + NaOH
Cell-O-CH2-CH2-NH2 + Na2SO4
Gugus amino primer pada aminoetilselulosa dapat dijadikan sebagai sisi reaktif dalam reaksi transformasi selanjutnya dengan N-asetilhomosisteintiolakton dalam order dan menghasilkan anyaman penjerap seperti pada kromatografi. Perkembangan terbaru tidak berpusat pada senyawa dengan gugus amino primer, tetapi sebagian besar pada alkil eter kation dengan gugus fungsional amino tersier atau kuarterner. Fungsionalisasi amino terhadap selulosa menjadi bidang yang paling diminati pada kimia organik selulosa, walaupun terbatas produk yang dihasilkan secara komersil. Sehubungan dengan alur reaksi yang dibahas sebelumnya, dietilamino-βkloroetana dapat digunakan dalam pembuatan dietilaminoetilselulosa dan 3-kloro-2hidroksipropiltrimetilamonium klorida dalam memperkenalkan propiltrimetil-amonium klorida yang terikat pada rantai senyawa polimer (Gambar 2.6). (Podgornyi dan Gur’ev, 1981)
Universitas Sumatera Utara
C2H5
C2H5
Cell-OH + NaOH + Cl-CH2-CH2-N
Cell-O-CH2-CH2-N C2H5
Cell-OH +
Cl-CH2-CH-CH2-N(CH3)3
Cl-
NaOH
Cell-O-CH2-CH-CH2-N(CH3)3 Cl- + NaCl + H2O
OH
OH O
O Cell-O-CH2-C
+ NaCl + H2O C2H5
+ H2N-(CH2)n-NH2 Cl n>2
Cell-Cl + H2N-CH2-CH2-NH2
NaOH
Cell-O-CH2-C-NH-(CH2)n-NH2 + HCl
Cell-NH-CH2-CH2-NH2 + NaCl + H2O
Cell-OH + Br-(CH2)n-Br + NaOH
Cell-O-(CH2)n-Br + NaBr + H2O
Cell-O-(CH2)n-Br + H2N-(CH2)m-NH2
Cell-O-(CH2)n-NH-(CH2)m-NH2 + HBr
m>2
Gambar 2.6. Gugus amino pada selulosa menggunakan fungsional halogen
Alur reaksi lain seperti yang dicantumkan di atas juga umum didapati. Hal tersebut dapat diterima, namun pendekatan rantai yang memiliki fungsional N dapat dilakukan dengan satu atau dua fungsional amino, juga bertindak sebagai pengontrol proses pemisahan pada kromatografi. Penggunaan epoksi sebagai agen pengikat silang diyakini akan menghasilkan produk yang lebih kuat (Gambar 2.7). (Gruber et al., 1996)
Cell-OH + CH2-CH-CH2-Cl + NR3 O
Cell-OH + CH2-CH
Cell-O-CH2-CH-CH2-NR3 Cl OH
cat. oligomer
O
Cell-O-CH2-CH-CH2 + H2N-(CH2)n-NH2 O
Cell-O-CH2-CH
cat. oligomer
OH
Cell-O-CH2-CH-CH2-NH-(CH2)n-NH2 OH
Gambar 2.7. Pembentukan kationik eter selulosa menggunakan epoksi sebagai jembatan.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Asam Monokloroasetat
Asam monokloroasetat dapat dibuat melalui dua cara. Cara pertama melibatkan klorinasi asam asetat, dengan anhidrida asetat sebagai katalis, seperti reaksi : CH3COOH + Cl2
ClCH2COOH + HCl
Cara kedua untuk asam kloroasetat adalah hidrolisis trikloroetilena menggunakan asam sulfat sebagai katalis, seperti reaksi berikut : CCl2CHCl + 2H2O
ClCH2COOH + 2HCl
Metode hidrolisis menghasilkan produk yang sangat murni, yang dapat menjadi sangat penting karena mono-, di-, dan asam trikloroasetat sulit untuk memisahkan dengan distilasi. (https://en.wikipedia.org/wiki/Chloroacetic_acid)
2.4
Epiklorohidrin
Epiklorohidrin dibuat dari alil klorida melalui dua tahap, dimulai dengan reaksi adisi asam hipoklorida yang memberikan campuran dua alkohol, seperti yang ditunjukkan reaksi berikut:. CH2=CHCH2Cl + HOCl → HOCH2CHClCH2Cl dan, atau ClCH2CH(OH)CH2Cl Pada tahap kedua, campuran ini ditambahkan basa sehingga membentuk epoksida (Gambar 2.8).
Cl
O Cl
HO
+
NaOH
+
NaOH
OH Cl
O Cl
Cl
Cl
+
NaCl
+ H2O
+
NaCl
+ H2O
Gambar 2.8 Reaksi Pembuatan Epiklorohidrin (https://en.wikipedia.org/wiki/Epichlorohydrin)
Universitas Sumatera Utara
2.5
Etilendiamina
Etilendiamina atau 1,2 – diamino etana (Gambar 2.9) dibuat dari etilen diklorida dan amonia, sifatnya adalah tidak berwarna, jernih, mempunyai bau amonia, densitasnya 0,898 g/cm3, titik didihnya 116 – 117 oC, titik lebur 8,5 oC, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam benzena, bersifat sangat basa sehingga mudah mengadsorsi CO2 dari udara membentuk karbonat yang tak mudah menguap, etilendiamina digunakan sebagai pelarut untuk kasein, albumin, dan sulfur, juga digunakan sebagai emulsifier, penstabil lateks serta sebagai penghambat atau inhibitor dalam larutan anti beku (Anonim, 1976).
H2N
NH2
Gambar 2.9 Struktur etilendiamina
Etilendiamina merupakan poliamina primer yang larut dalam air dan sangat higroskopis. Etilendiamina harus dilindungi dari kelembaban atmosfer dan CO2 selama pemurnian dan pemakaiannya karena akan menyebabkan banyak kesalahan dalam hasil yang diperoleh (Roberts, 1982).
2.6
Dietanolamina
Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol menunjukkan adanya adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Dietanolamina juga dikenal dengan bis(hydroxyethyl)amine, diethyloamine, hydroxtdiethyamine, diolaamine dan 2,2 – iminodiethanol. Sifat – sifat dietanolamina adalah sebagai berikut : a.
Rumus molekul
: C4H11NO2
b.
Berat molekul
: 105,1364 g/mol
c.
Densitas
: 1,088 g/cm3
d.
Titik leleh
: 28oC (1 atm)
e.
Titik didih
: 268,8 oC (1 atm)
f.
Kelarutan
: air, metanol, dan aseton
g.
Viskositas 30oC
: 351,9 cp
(Anonim, 1976).
Universitas Sumatera Utara
Dietanolamida
pertama
kali
diperoleh
dengan
mereaksikan
dua
mol
dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Krichevsky amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi secara konvensional pada temperatur 150oC selama 6 – 12 jam (Herawan, dkk, 1999).
2.7
Aminasi dan Amidasi
2.7.1 Aminasi
Senyawa amina merupakan turunan dari ammoniak (NH3). Jika satu atau lebih atom H dari ammoniak diganti dengan gugus alkil, maka terbentuk senyawa amina primer, sekunder, dan tersier, tergantung pada jumlah atom H yang digantikan oleh gugus alkil tersebut. Sama seperti alkohol, senyawa amina yang lebih sederhana menunjukkan adanya pengaruh ikatan hidrogen. Nitrogen kurang elektronegatif dibanding dengan oksigen, oleh sebab itu, amina primer memiliki titik didih yang berbeda antara senyawa alkana dan alkohol berdasarkan berat molekul (Streitwieser, A. dan Clayton, 1985). Senyawa amina mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air. Akibatnya, amina dengan berat molekul rendah, yaitu kurang dari 6 atom karbon mudah larut dalam air. Selain itu juga amina juga larut dalam pelarut kurang polar seperti eter, alkohol, benzene, dan sebagainya (Morrison dan Boyd. 1992). Pembentukan senyawa amina ada beberapa metode yakni melalui reaksi substitusi nukleofilik, reduksi senyawa nitro, reduksi nitril, oksim, amida, juga dengan penambahan katalis-amina (atau ammonia). Dapat dilihat pada alkilasi ammonia, di mana garam amina primer terbentuk terlebih dahulu disusul reaksi substitusi nukleofilik dari alkil halida sehingga membentuk amina primer, seperti yang ditunjukkan pada reaksi berikut. (Solomons dan Fryhle. 2011) OH NH3 + R-X
R
NH3 X
RNH2
Universitas Sumatera Utara
2.7.2
Amidasi
Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena itu golongan senyawa ini banyak terdapat di alam.Amida yang terpenting adalah protein. (Hart, 1990). Struktur resonansi hibrid dari amida ditunjukkan padaa Gambar 2.10 berikut : O
O R C
R C N
H
H
+ N
H
H
Gambar 2.10 Resonansi hibrid amida (Warsito. 1996)
Karena keelektronegatifan atom N lebih kecil dari atom oksigen maka elektron lebih tertarik ke arah oksigen. Oleh karena itu struktur resonansi dengan C dan N sebagai ikatan ganda ( C ═ N ) cukup mantap. Senyawa amida memiliki titik relatif tinggi dibandingkan senyawa lain dengan berat molekul sama. Hal ini disebabkan karena kemampuannya membentuk ikatan hidrogen (Warsito. 1996). Amida dapat dibuat dalam beberapa cara, mulai dengan asil klorida, asam anhidrat, ester, asam karboksilat, dan garam karboksilat. Semua metode ini melibatkan reaksi adisi-eliminasi nukleofilik ammonia atau sebuah amina terhadap asil karbon. Amina primer, sekunder, dan ammonia semuanya bereaksi cepat dengan asam klorida untuk membentuk amida. Penggunaan ammonia atau amina secara berlebih bertujuan untuk menetralkan HCl yang sumbang. Reaksi antara asil klorida dengan amina (atau ammonia) biasanya berlangsung pada temperatur kamar atau lebih rendah dan membentuk amida dengan rendemen yang besar. Asil klorida juga bereaksi dengan amina tersier melalui reaksi adisi-eliminasi nukleofilik. Asilamonium yang terbentuk bersifat tidak stabil dengan adanya air atau pelarut hidroksilat lainnya. Ester juga mengalami reaksi adisi-eliminasi nukleofilik pada atom karbon asilnya ketika bereaksi dengan amonia (ammonolysis) atau amina primer dan sekunder. Reaksi berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan asil klorida dan anhidrat, tetapi umumnya menghasilkan bahan sintetik yang sangat berguna.
Universitas Sumatera Utara
Asam karboksilat yang berinteraksi dengan ammonia encer akan membentuk garam ammonium, seperti yang ditunjukkan reaksi berikut : O
O + NH3
R
OH
R
O- NH4+
Karena reaktivitas yang rendah terhadap reaksi adisi-eliminasi nukleofilik, reaksi tidak berlangsung dalam suasana larutan encer. Akan tetapi, bila air yang ada diuapkan yakni dengan memanaskan garam yang terbentuk sehingga terjadi dehidrasi maka akan dihasilkan senyawa amida, seperti yang ditunjukkan reaksi berikut. (Solomons dan Fryhle. 2011) O R
O
panas O- NH4+
2.8
Adsorpsi dan Penukar Ion
2.8.1
Adsorpsi
+ H2O R
NH2
Adsorpsi adalah proses akumulasi substansi di permukaan antara dua fase yang terjadi secara fisika dan kimia. Akumulasi yang terjadi dapat berlangsung pada proses cair-cair, cair-padat, dan padat-padat. Proses adsorpsi yang sangat cocok untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran lain yang mengandung bahan dengan konsentrasi tinggi. Adsorpsi digunakan dalam pengolahan air buangan industri, terutama untuk mengurangi komponen-komponen organic misalnya warna, fenol, detergen, zat-zat toksik yang sukar diuraikan (McCabe et al., 1999). Berdasarkan jenis ikatan yang dimiliki, serapan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (a)
Serapan fisika. Dalam serapan fisika (physisorption), tidak didapati adanya perpindahan elektron, cenderung terhadap daya tarik intermolekular antara tempat berlangsungnya energi dan sifat elektronik yang dimiliki molekul. Serapan fisika ditandai oleh energi interaksi yang sebanding dengan panas penguapan (kondensasi). Adsorbat tertahan pada permukaan karena gaya van der Waals yang relatif lemah dan terbentuk beberapa lapisan dengan kalor serapan yang hampir
Universitas Sumatera Utara
sama. Kalor serapan pada serapan fisika hanya beberapa kkal/mol dan oleh sebab itu adsorpsi jenis ini stabil pada temperatur di bawah 150 oC. (b)
Serapan kimia. Serapan kimia (chemisorption) meliputi adanya pertukaran elektron antara permukaan tertentu dan kelarutan molekul dan menghasilkan ikatan kimia baru. Serapan kimia ditandai oleh energi interaksi antara permukaan dan adsorbat sebanding dengan kekuatan ikatan kimia (puluhan kkal/mol), yang menjadikannya lebih kuat dan lebih stabil pada temperatur tinggi dibandingkan serapan secara fisika. Secara umum hanya lapisan tunggal yang dapat diserap.
(c)
Serapan elektrostatis (penukar ion). Ini merupakan kebalikan dari gaya tarik Coulomb antara ion dan muatan gugus fungsi dan biasanya diklasifikasikan sebagai penukar ion. (McCabe et al., 1993) Bagian terpenting dari material adsorben adalah struktur pori. Jumlah, bentuk, dan
ukuran pori menentukan kemampuan adsorpsi dan laju serapan material. Umumnya, pori terbagi atas makro-, meso-, dan mikropori. Pori merupakan bagian dari padatan yang mengacu pada struktur padatan dan tampak jelas pada struktur molekul yang jauh lebih besar. Hal tersebut tidak dianggap menjadi sebuah ciri pada padatan, tetapi cenderung terhadap pengolahan material. Pori dapat dikembangkan oleh agregasi partikel sebaik pelepasan sebagian dari massa padatan. (Inglezakis dan Poulopoulos. 2006)
2.8.2
Penukar Ion
Penukar ion merupakan material padat yang mampu mengambil muatan ion dari larutan dan melepaskan ion lain dalam jumlah yang sama terhadap larutan. Kemampuan dalam menukar ion adalah sifat harus dimiliki dalam struktur material. Penukar terdiri dari matriks, dengan muatan berlebih baik positif atau negatif. Muatan berlebih ini dilokalisasikan pada tempat tertentu dalam padatan atau pada gugus fungsi. Muatan matriks diimbangi dengan counter ion, yang mana dapat berpindah di dalam area yang kosong pada matriks dan dapat diganti oleh masuknya ion lain yang memiliki muatan yang sama. Walaupun penukar ion termasuk proses adsorpsi, ada sedikit perbedaan di antara keduanya yakni penukar ion mengacu pada proses serapan yang stoikiometri. Artinya dalam proses penukaran ion, pada setiap ion yang dihilangkan, ion lain dengan muatan yang sama masuk ke dalam larutan. Namun dalam proses adsorpsi tidak berlangsung pertukaran ion dalam zat terlarut (Helfferich et al., 1988).
Universitas Sumatera Utara
Hanya di saat adanya penukar ion menyertakan suatu reaksi seperti netralisasi yang mana fenomena ini dapat diidentifikasi secara kimia. Misalnya dalam pembentukan kelat di mana penukar ion yang diikuti reaksi kimia dan membentuk ikatan antara ion yang datang dan matriks padatan (Inglezakis et al., 2004).
2.9
Logam Timbal (Pb)
Logam timbal Pb adalah jenis logam lunak berwarna cokelat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibandingkan kebanyakan logam toksik lainnya dan secara alamiah terdapat pada batu-batuan serta lapisan kerak bumi. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering disebut galena (Darmono, 1995). Logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah tangga dan hiasan. Dalam bentuk oksida timbal digunakan sebagai pigmen atau zat warna dalam industri kosmetik dan glace serta industri keramik yang sebagian diantaranya digunakan dalam peralatan rumah tangga. Dalam bentuk aerosol anorganik dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara yang dihirup atau makanan seperti sayuran dan buah-buahan. Logam Pb tersebut dalam jangka waktu panjang dapat terakumulasi dalam tubuh karena proses eliminasinya yang lambat (Librawati, 2005). Keracunan timbal telah memiliki sejarah panjang dan sangat mematikan. Nicander, penyair dan ilmuwan dari Yunani Kuno telah melaporkan insiden plumbisme (keracunan timbal) telah berlangsung pada 20 abad yang lalu. Sampai sekitar 35 tahun yang lalu, hampir semua bahan bakar mengandung tetraethyl lead, Pb(CH2CH3)4, atau tetramethyl lead, Pb(CH3)4, sebagai aditif anti ketukan pada kendaraan bermotor. Reaksi dengan dibromoetilena dan timbal akan membentuk timbal bromide yang akan terus diendapkan yang akhirnya terikut dibawa oleh akar pepohonan dan rerumputan dipinggir jalan dan semua tanaman yang hidup di sekitarnya. Timbal juga dapat terhirup dan tinggal di paru-paru dan organ gastrointestinal tetapi pada tubuh yang sehat, timbal juga dapat dikeluarkan namun tidak secepat saat menghirupnya. Akumulasi timbal secara terus-menerus akan mempengaruhi jaringan tulang sehingga lama-kelamaan tulang tersebut sulit untuk berinteraksi (Glen. 2011).
Universitas Sumatera Utara