BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anestesi Intratekal dan Bedah Sesar Pada tahun 1885, J. Leonard Corning, seorang ahli neurologi menyuntikkan cocain kedalam ruang subarachnoid secara tidak sengaja menembus dura ketika melakukan percobaan terhadap anjing. Kemudian secara berulang dan sengaja menyuntikkan intradural cocain 3% dan menyarankan dapat digunakan pada pembedahan4,6. Istilah Seksio Sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya ‘memotong’. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia atau lex sesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur tersebut dilakukan diakhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan sekarat demi menyelamatkan calon bayinya. Secara definisi seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi melalui insisi abdominal (laparatomi) dan dinding uterus (histereotomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus rupture uteri atau pada kasus kehamilan abdominal. Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, 2002, bedah sesar merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin32,33,34. Pemilihan teknik anestesi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah sesar adalah anestesi yang aman dan nyaman bagi ibu tanpa menyebabkan menurunnya kondisi janin dan bayi yang akan dilahirkan, oleh karena pemilihan teknik anestesi memiliki peranan sekitar 3-12% dari angka kematian ibu melahirkan. Pada saat ini, teknik regional anestesi yang paling sering digunakan oleh ahli anestesi selama bedah sesar adalah dengan menggunakan teknik anestesi regional subarakhnoid (anestesi intratekal). Hal ini di latar belakangi oleh karena tingginya angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum, yaitu hampir 17 kali lebih tinggi dibandingkan setelah penggunaan anestesi
10 Universitas Sumatera Utara
regional dengan resiko komplikasi jalan napas pada anestesi umum, gagal intubasi, gagal ventilas-oksigenasi dan atau terjadinya aspirasi32,33,35. Pada 16 agustus 1898, Keil August Bier melakukan anestesi intratekal terencana pertama kali pada manusia. Dia menyuntikkan 3 ml cocain 0,5% kedalam ruang subarachnoid kepada buruh umur 34 tahun yang
sedang
melakukan
operasi
ekstremitas
bawah.
Setelah
menggunakannya pada 6 orang pasien, dia dan asistennya menyuntikkan cocain ke tekal masing – masing6,36,37. Heinrich Braun, ahli bedah dari Jerman
pada tahun 1905
melaporkan penggunaan procain untuk anestesi intratekal. Dia juga melaporkan penggunaan epinephrine intratekal untuk memperpanjang lama kerja anestesi intratekal tetapi ini tidak diterima karena adanya ketakutan akan komplikasi neurologis. Barulah pada tahun 1945 Prickett dkk, menerbitkan laporan tentang keamanan neurologis penambahan intratekal epinephrine untuk memperpanjang lama kerja anestesi intratekal. Teknik anestesi intratekal baru diterima secara baik diseluruh dunia dan banyak yang melaporkan penggunaannya. Pada tahun berikutnya, popularitas
anestesi
intratekal
menjadi
meningkat
dengan
memperkenalkan obat-obat dan teknik terbaru36,37. Anestesi intratekal adalah injeksi obat anestesi lokal kedalam ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi kedalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor – faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi intratekal6,38,39. Kontraindikasi absolut anastesi intratekal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan
11 Universitas Sumatera Utara
tekanan intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem saraf pusat, lesi pada katup jantung serta kelainan bentuk anatomi tulang belakang yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak6,38,39. Anestesi intratekal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal kedalam ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan kedalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang lebih rendah untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi intratekal meluas kira – kira sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris6,38,39. Anestesi intratekal mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap jantung, otak, paru minimal, relaksasi otot maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya3234,40-44
. Anestesi intratekal pada ibu hamil yang menjalani bedah sesar
memerlukan dosis obat anestesi lokal yang lebih sedikit untuk mendapatkan ketinggian blok yang cukup bila dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan sensitifitas sel saraf terhadap anestesi lokal, penurunan jumlah cairan
12 Universitas Sumatera Utara
serebrospinal, dan efek dari uterus gravid terhadap penyebaran obat intratekal kearah sefalad39,43. Pada bedah sesar, ketinggian blok analgesia untuk menghasilkan bebas nyeri selama tindakan bedah sesar yang diperlukan adalah setinggi Th6 (batas bawah sternum). Hal ini dapat dicapai dengan 2-2,5 ml (10-12,5 mg) larutan bupivakain 0,5% hiperbarik ataupun isobarik39,43,45.
2.2
Anatomi Kolumna Vertebra Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anestesi intratekal. Disamping itu, pengetahuan tentang penyebaran anestesi lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan tindakan anestesi intratekal. Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam anestesi intratekal, karena sebagian besar penusukan pada anestesi intratekal dilakukan pada daerah ini. Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu 7 servikal, 12 thorakal,
5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis
mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5,38,39,46. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater. Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang sub arakhnoid38,39,46. Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2, sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang subarakhnoid merupakan sebuah rongga yang
13 Universitas Sumatera Utara
terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal38,39,46.
Gambar 1. Kolumna Vertebralis.
Gambar 2. Anatomi Vertebra Lumbal46.
14 Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Ligamentum Vertebralis.
2.3
Anestesi Lokal Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari-hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivakaine dan etidocaine47,48,49. Semua obat anestesi lokal bersifat stabilisasi membran yang menghambat transmisi nyeri. Mempunyai kemampuan yang reversibel untuk membuka dan menutup volgated gated sodium channel dari dalam, dengan demikian mencegah depolarisasi membran saraf dan perbedaan potensial aksi pada tempat suntikan obat (pertama kali dilaporkan pada tahun 1950), sehingga membran akson tidak akan dapat bereaksi dengan asetil kholin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel dan tidak tejadi perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan aliran implus yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam rangsang ataupun sensasi tidak akan sampai ke susunan saraf pusat, keadaan ini
15 Universitas Sumatera Utara
menyebabkan timbulnya parastesia sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok47,48,49. Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka, blokade neuroaksial dapat memberikan kondisi pembedahan yang baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan blokade motoris menyebabkan relaksasi otot rangka. Efek obat anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin, konsentrasi obat anetesi lokal serta lamanya kontak. Akar serabut saraf spinalis terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar dan tidak bermielin. Pada kenyataannya bahwa konsentrasi obat anestesi lokal akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari level penyuntikan, hal ini menerangkan fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas temperatur) menjadi 2 segmen lebih tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang 2 segmen lebih tinggi daripada blok motoris47,48,49. Mula kerja obat bergantung pada beberapa faktor antara lain: 1. pKa mendekati PH fisiologis sehingga konsentrasi bagian yang tidak terionisasi (bermuatan) meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja yang cepat. 2. Alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat. 3. Konsentrasi obat anestesi lokal. Masa kerja obat dipengaruhi oleh : 1. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein. 2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi. 3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian47,48,49.
16 Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan anestesi lokal pada Anestesi intratekal :47,48,49 1. Gravitasi : Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,0003 (0.00004). Jika larutan hiperbarik
yang
diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh gaya gravitasi ketempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi. 2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medulla spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek. 3. Tekanan intra abdomen : Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini. 4. Anatomi kolumna vertebralis : Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan – lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
17 Universitas Sumatera Utara
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik. 5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L4-5. 6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar
jika
tekanan
dalam
cairan
serebrospinal
meningkat yaitu dengan cara mengedan. 7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi level blok sensoriknya. 8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah
sefalad
lebih
tinggi
beberapa
segmen
dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain
0,75%.
kardiovaskuler
akan
Demikian berbeda
pula
perubahan
bermakna
pada
bupivakain 0,75% hiperbarik. 9. Posisi tubuh :
18 Universitas Sumatera Utara
Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada perubahan posisi tubuh, sedangkan
pada
jenis
larutan
hiperbarik
akan
dipengaruhi posisi tubuh. Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 sedangkan pada posisi duduk hanya mencapai T8. 10. Lateralisasi : Lateralisasi
pada
larutan
anestetika
lokal
jenis
hiperbarik dapat dilakukan dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat penyebaran obat pada sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1. 20 menit setelah obat disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6, sedangkan pada sisi atas mencapai T7. . 2.3.2
Dampak Fisiologis
a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler : Pada anestesi intratekal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan arteri rata – rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaCl fisiologis atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang mencapai T4 dapat terjadi penurunan frekuensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung47-50.
19 Universitas Sumatera Utara
b. Terhadap Sistem Saraf Pusat (SSP). Sistem saraf pusat (SSP) paling rentan mengalami toksisitas obat anestesi lokal. Overdosis obat anestesi lokal jelas terlihat pada pasien yang sadar. Gejala awal seperti bibir kebas, lidah terasa seperti logam, parastesia lidah, bingung serta gangguan pada mulut dan penglihatan. Kejadian tersebut diikuti dengan tanda - tanda eksitatori (contoh: rasa lelah, agitasi, cemas, dan paranoid) yang dengan sangat cepat menjadi depresi pada SSP (contoh: bicara pelo, tidak sadar, kejang, henti nafas, kolaps kardiovaskuler). Neurotoksisitas seperti sindroma cauda equina pernah dilaporkan terjadi setelah penyuntikan lignokain 5% dan tetrakain 0,5% intratekal yang berulang-ulang47-50. c. Terhadap sistem pernafasan : Pada anestesi intratekal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnoe47-50. d. Terhadap sistem pencernaan : Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya menghambat aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya peristaltik usus dan relaksasi spingter masih normal. Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama yang melalui saraf vagus47-50.
20 Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal
2.4 Morfin Pemisahan morfin dari opium oleh Seturner pada tahun 1803 dan pengenalan jarum suntik dan jarum berongga untuk praktek klinis oleh Wood, pada tahun 1853 akhirnya penggunaan opioid diizinkan dengan pengukuran dosis secara hati – hati (Foldes 1963). Morfin sering digunakan secara intramuskular pada medikasi preoperative sebagai suplementasi analgesia selama penggunaan ether dan chloroform. Pada akhir abad ke 19 sejumlah besar opioid (1 sampai 2 mg/Kg) digunakan pada intravena dengan dosis yang berbeda – beda, secara intramuskular atau keduanya, sebagai anestesi yang menyeluruh9,51,53. Reseptor opioid dijumpai di otak dan korda spinalis tempat mereka menghasilkan efek analgesia. Pada tahun 1973 tiga peneliti independen menjelaskan keberadaan reseptor opioid pada jaringan saraf dan hipotesis bahwa substansi endogen menstimulasi strukturnya (Hughes, Kosterlitz, Terenius 1973). Pada momentum ini beberapa tipe reseptor
21 Universitas Sumatera Utara
opioid di ketahui. Terutama, mu (µ), kappa (κ), delta (δ), sigma (σ)52,53. Pada tahun 1979, dua laporan menjadi katalisator untuk mendorong beberapa penelitian tentang pemberian opioid secara intratekal. Wang dkk (1979). Melaporkan efektifitas morfin intratekal untuk menghilangkan nyeri malignan yang tak tertahankan pada 8 pasien. Behar dkk (1979), melaporkan efektifitas morfin dengan epidural pada pasien nyeri kronis. Kedua peneliti tersebut menunjukkan bahwa penyuntikan opioid intratekal sebenarnya lebih dekat kepada tempat kerja reseptor opiat9,51,53.
2.4.1. Farmakokinetik Intratekal Morfin Farmakokinetik opioid intratekal adalah complex mengikuti model multi-kompartemen, dan ditentukan oleh sifat fisikokimia opioid dan dinamika CSF. Pada sirkulasi sistemik, perhitungan data farmakokinetik
seperti
volume
distribusi
mengasumsikan
pencampuran yang memadai dan keseimbangan obat diseluruh kompartemen. Namun CSF adalah kompartemen campuran yang buruk yang dibentuk oleh gradient cephalo - caudal untuk opioid setelah diberikan ke dalam CSF lumbal9,51,53,55. Disposisi
obat
setelah
pemberian
secara
intratekal
bervariasi tergantung pada kelarutan masing-masing obat dalam lemak, terutama opioid. Setelah pemberian secara intratekal, khususnya pada cairan serebrospinalis (CSF) pada cisterna lumbar, obat didistribusikan di dalam CSF. Ummenhofer dkk, melaporkan dalam sebuah percobaan mengukur konsentrasi morfin, fentanyl, sufentanyl, dan alfentanyl didalam CSF, korda spinalis, lemak epidural dan plasma pada babi yang dianestesi secara intratekal pada lumbal. Dari data mereka, mereka mengembangkan sebuah model farmakokinetik multi-compartment yang menstimulasikan farmakologi dan menjelaskan banyak karakteristik klinis opioid yang digunakan sebagai analgesia intratekal. Nasib opioid setelah
22 Universitas Sumatera Utara
pemberian obat secara intratekal sangat kompleks. Opioid intratekal menembus korda spinalis dan duramater untuk memasuki ruang epidural. Didalam korda spinalis, mereka berikatan dengan reseptor nonspesifik didalam lapisan putih serta reseptor spesifik pada tanduk dorsal. Obat pada korda spinalis akhirnya mencapai kopartmen plasma melalui pengambilan oleh vena. Pada ruang epidural, opioid memasuki jaringan lemak dan memasuki kompartmen plasma melalui pengambilan vena. Penjumlahan dari banyak jalan untuk disposisi obat menghasilkan karakteristik klinis dari obat ini. Sejumlah obat yang diberikan secara intratekal dengan cepat beredistribusi didalam CSF; opioid di jumpai pada cisterna magna setelah pemberian secara intratekal dalam 30 menit, termasuk obat yang bersifat lipofilik seperti sufentanyl. Memang, semua opioid bergerak didalam CSF dan distribusi cepat dalam CSF sepertinya terhitung dalam jumlah yang kecil, tetapi bermakna, kejadian depresi nafas teramati secara langsung setelah penyuntikkan intratekal9,52,53. Morfin adalah opioid hidrofilik yang sering digunakan dan diteliti secara luas pada pemberian untuk penggunaan secara intratekal. Obat ini 129-1737 kali lebih hidrofilik dibandingkan fentanyl dengan koeficien oktanol: air yang rendah (1,4), menghasilkan difusi yang lambat kedalam ruang epidural. Morfin mengikat reseptor dengan afinitas tinggi pada tempat reseptor di tanduk dorsal, tetapi memperlihatkan kapasitas yang lebih rendah terhadap sisi non-reseptor pada myelin dan lapisan putih dari korda dibandingkan dengan fentanyl. Ini menghasilkan volume distribusi yang kecil didalam korda spinalis dan bertahan dalam konsentrasi yang tinggi didalam CSF. Terbukti pada pengamatan klinis memiliki area analgesi yang luas dan kecendrungan menyebar ke cephalad yang dapat menimbulkan depresi pernapasan lambat. Setelah
pemberian
morfin
intratekal,
konsentrasi
CSF
23 Universitas Sumatera Utara
dipertahankan dengan waktu kontak terhadap korda yang lama, diikuti oleh penurunan secara bertahap setelah 12 jam; adanya difusi lambat kedalam ruang epidural dengan konsekuensi peningkatan konsentrasi plasma yang lambat; penyebaran ke cephalad dengan konsentrasi obat terdeteksi secepat – cepatnya 30 menit pada sistern CSF; penyebaran yang jelek dalam CSF sekitar korda dari titik penyuntikkan; dan metabolisme minimal untuk metabolit larut air dalam CSF dan sumsum tulang belakang. Radiolabelled (14C) morfin bertahan untuk 2 jam dengan hanya 4,5% dari dosis yang disuntikkan yang tersisa pada 3 jam paska penyuntikkan. Penarikan obat dari CSF difasilitasi melalui suatu sistem transport pembawa glycoprotein yang terletak pada plexus coroidalis53,54,55,57,58. Morfin memiliki derajat ionisasi yang tinggi dan bersifat hidrofilik dan tidak menembus jaringan kaya lemak seperti yang terjadi pada fentanyl; morfin akan bertahan di CSF dalam jangka waktu yang lama. Morfin akan menyebar rostral di dalam cairan CSF melalui aliran bulk dan akan mencapai nervus trigeminalis secepat – cepatnya 3 jam setelah penyuntikkan intratekal pada relawan sehat. Penyebaran ke rostral menghasilkan depresi pernapasan tertunda. Lama kerja analgesia juga sangat dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, pada obat yang bersifat hidrofilik seperti morfin relatif memiliki lama kerja yang panjang pembersihannya dari cairan serebrospinal dan jaringan spinal terjadi dalam waktu yang lama53,55,57,58. Pergerakan cephalad opioid yang disuntikkan ke dalam CSF di timbulkan oleh:53,55,58 1. Aliran massal obat dalam arah caudal-cephalad. 2. Fluktuasi perubahan tekanan di dalam thorax sebagai hasil proses bernafas, memfasilitasi aliran cephalad dari CSF.
24 Universitas Sumatera Utara
3. Ekspansi dan relaksasi otak, yang terjadi sebagai akibat dari siklus jantung. Hal ini membantu untuk menciptakan gerakan maju dan mundur dari CSF dengan perpindahan bersih opioid dalam arah cephalad
Gambar 5. Opioid Intratekal setelah Injeksi Lumbal CSF
2.4.2. Mekanisme Kerja Morfin dan Jenis Reseptor Stimulus nyeri aferen berkumpul di tanduk dorsal corda spinalis, dimana neuron nociceptif utama bersinap dengan interneuron dinamis yang lebar dan neuron nociceptif urutan kedua ditraktus spinotalamikus. Agonis dari reseptor opioid membantu untuk menekan stimulus nociceptif aferen dari lokasi nyeri dengan pelepasan
peptida
yang
berhubungan
dengan
jalur
nyeri9,51,52,53,55,56,,57,58. Opiod menghasilkan analgesia dengan meniru kerja pada reseptor
spesifik
dari
peptide
opioid
endogen,
termasuk
metenkephalin, beta-endorphin, dan dynorphin. Tiga tipe utama reseptor opioid, masing-masing dengan subtipenya, mu (µ), delta (δ), dan kappa (κ). Target opioid terpenting adalah reseptor µ (endorphin), dan opioid intratekal terlihat secara selektif memodulasi serabut C dan A dengan dampak minimal pada akson
25 Universitas Sumatera Utara
di akar dorsal. Enkephalin adalah ligan endogen primer dari reseptor δ dan termasuk analgesia spinal. Dynorphin adalah prototype ligan untuk reseptor κ. Aktivasi reseptor κ menghasilkan analgesia spinal yang segmental dan sedasi. Beberapa campuran opioid agonis-antagonis (seperti, butorphanol) berikatan dengan κ reseptor9,51,52,53,58.
Tabel 1. Komponen Reseptor Opioid Sifat fisikokimia opioid intratekal menentukan mula kerja, lama kerja dan potensi opioid tersebut. Kelarutan dalam lemak yang tinggi dan pKa yang rendah menghasilkan potensi opioid yang tinggi dengan mula kerja yang cepat, tetapi dengan lama kerja yang singkat. Sebaliknya dengan penurunan lipofilisitas obat akan meningkatkan lama kerja. Opioid larut lemak juga menyerupai anestesi lokal dalam hal pKa, berat molekul, dan partisi koefisien – koefisien yang dapat menjelaskan beberapa efek analgesic opioid di CSF52,53,58. Pada PH fisiologis (7,4), kelompok opioid amin tersier terionisasi membuat mereka larut dalam air. Namun, kelompok hydroxyl pada molekul morfin yang bertanggungjawab terhadap kelarutannya yang lebih tinggi di dalam air dibandingkan dengan
26 Universitas Sumatera Utara
opioid lain. Peningkatan kelarutan dalam air bertanggungjawab terhadap mula kerja yang lambat dan lama kerja yang panjang9,51. Potensi opioid intratekal meningkat dengan meningkatnya hidropobisitas. Sebagai contoh, fentanyl hanya empat kali lebih kuat dibandingkan morfin ketika diberikan secara intratekal tetapi 100 kali lebih kuat setelah pemberian sistemik. Rasio potensi dosis sistemik dari opioid tidak dapat diaplikasikan terhadap obat yang sama setelah pemberian intratekal9,51,58. Terdapat jumlah receptor opioid yang lebih besar di presinap dibandingkan dengan postsinap. Pengikatan opioid pada reseptor postsinap di tanduk dorsal menghasilkan pembukaan saluran potassium dan secara tidak langsung mengaktifkan jalur desending dari brainstem. Target lain yang mungkin pada opioid intratekal yang sedang diusulkan:53. a. Opioid phenylpiperidine, termasuk fentanyl dan meperidine (phetidine), memperlihatkan kemiripan struktural dengan anestesi lokal. Fentanyl memperlihatkan efek anestesi lokal pada serabut saraf aferen primer sensorik C yang mungkin memfasilitasi efek analgesia. b. Peningkatan konsentrasi adenosin di lumbosakral pada cairan serebrospinal (CSF) setelah pemberian morfin intratekal pada hewan dan manusia. Adenosin diketahui dapat membuka saluran potassium yang akan menghasilkan hiperpolarisasi serabut saraf dan menurunkan aktivitas neuronal. c. Opioid intratekal meningkatkan pelepasan gamma amino butyric acid (GABA) dan glycine melalui proses calciumindependent pada saraf-saraf di tanduk dorsal. Ini akan muncul sebagai penghambat apa yang kita katakan secara intuitif sebagai damping down dari aktivitas neuronal dalam konteks efek analgesia. Sehingga dapat digambarkan bahwa opioid mungkin
suatu
disinhibit
inhibitory phatway,
sehingga
27 Universitas Sumatera Utara
mengurangi transmisi nosiseptif. Ini memberi kita wawasan baru tentang kompleksitas mekanisme kerja opioid di tanduk dorsal.
2.4.3. Dosis Morfin Intratekal dan Penelitian Klinis Morfin intratekal menurunkan intensitas nyeri pada saat istirahat dan saat bergerak sampai 24 jam setelah operasi ortopedi mayor dan operasi abdomen jika dikombinasi dengan lokal anestesi, dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 mcg, dan rekomendasi klinis tidak lebih dari 300 mcg untuk mencegah depresi pernapasan tertunda53,55,57,58. R. Slappendel dkk (1999), melakukan penelitian tentang dosis optimal intratekal morfin pada operasi tulang panggul dengan membandingkan dosis 25 mcg, 50 mcg, 100 mcg dan 200 mcg, dan didapati bahwa dosis optimal morfin intratekal setelah operasi tulang panggul adalah 100 mcg. Pada dosis ini menghasilkan penanggulangan nyeri yang baik dan kebutuhan morfin sistemik yang minimal pada 24 jam paska bedah. Sedangkan
pada dosis
200
mcg morfin
intratekal
tidak
menghasilkan efek analgesia yang lebih baik, dengan angka kejadian gatal lebih tinggi dan hipotensi lebih sering dan berlangsung lama. Dosis morfin intratekal di bawah 100 mcg kurang efektif.
2.4.4. Efek Samping Morfin Intratekal Efek samping dimediasi oleh reseptor opioid setelah penyuntikkan opioid intratekal lebih ringan dibandingkan pemberian opioid secara sistemik. Survey terbaru secara prospektif pada 6000 pasien melaporkan kejadian efek samping yang rendah dan kenyamanan pasien yang baik setelah pemberian opioid intratekal dosis tunggal. Efek samping opioid intratekal seperti sedasi, berkeringat,
28 Universitas Sumatera Utara
perlambatan pengosongan lambung, retensi urin, pruritus, mual muntah, dan depresi napas53,54,55,57,58. Mual dan Muntah Morfin intratekal menyebabkan peningkatan muntah tergantung dosis pada sukarelawan. Namun, ketika menghadapi pasien dengan operasi yang sangat nyeri maka gambarannya menjadi kurang jelas. Beberapa penelitian temuan dosis menyelidiki efektivitas dan efek samping morfin intratekal. Kalso dkk, menemukan lebih dari 48 jam, sedikit tetapi tidak berbeda bermakna secara statistik dalam hal mual dan muntah setelah penambahan 0, 0.2, atau 0.4 mg morfin kedalam bupivakain untuk pembedahan orthopedic (40 vs 50 vs 55% masing-masing). Jacobson dkk, melaporkan tingkat PONV 60 vs 50 vs 100% setelah 0, 0.3, dan 1 mg morfin, masingmasing, digunakan pada operasi penggantian sendi. Sebuah penelitian pada 181 pasien yang terjadwal untuk transabdominal hysterectomy dengan anestesi spinal tetracain, pasien mendapatkan 0,1 mg morfin yang secara bermakna lebih memperlihatkan gejala muntah dibandingkan dosis antara 0,03 dan 0,08 mg. Weber dkk, melakukan pengamatan yang lebih luas termasuk 300 pasien yang menjalani pembedahan orthopedic mayor pada ekstremitas bawah, membandingkan bupivakain dengan bupivakain dan 0,2 mg morfin. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antara kelompok berkaitan dengan perasaan atau konsumsi antiemetic (60 vs 56,6%) subyektif. Data ini menunjukkan bahwa, setidaknya dalam operasi yang lebih luas dimana efektif untuk menghilangkan rasa nyeri pada paska bedah yang masih diperbolehkan, morfin intratekal tidak berhubungan dengan tingkat yang lebih tinggi dari PONV dibanding analgesia sistemik yang berbasis opioid, terutama jika dosis yang dipilih kurang dari 0.1 mg. Penggunaan pada prosedur bedah minor belum dipelajari lebih lanjut, tetapi laporan tentang peningkatan insiden PONV setelah 0.2-1.0 mg morfin intratekal pada TURP dibandingkan larutan bebas morfin harus lebih hati-hati.
29 Universitas Sumatera Utara
Ketika
morfin
ditambahkan
kepada
anestesi
lokal
untuk
menghasilkan anestesi spinal pada bedah sesar, peningkatan mual muntah terlihat pada paska bedah tetapi tidak intraoperatif. Hal ini terjadi pada pengamatan menunjukkan kejadian puncak mual dan muntah antara 4 dan 6 jam setelah selesai operasi ketika morfin intratekal diberikan. Selain itu, kejadian PONV lebih tinggi setelah pemberian dosis besar morfin (0,2 atau 0,25 mg) dibandingkan dengan 0,1 mg. Cordoso dkk, menunjukkan kecendrungan kearah gejala mual dan muntah lebih rendah dengan dosis yang lebih kecil dari 0,05 dan 0,025 mg dibandingkan 0,1 mg morfin dalam sebuah penelitian pada 120 wanita hamil cukup bulan. Sebuah metaanalisis menjelaskan tentang peningkatan kejadian PONV pada penggunaan morfin53,56. Depresi Pernapasan Insidensi yang sesungguhnya dari depresi pernapasan tidak diketahui, suatu penelitian retrospektif besar mengutip insidensinya 0,03-7%. Sayangnya, masih kurangnya definisi yang tepat dari istilah ‘depresi napas’ pada literature. Ulasan artikel baru-baru ini pada 96 artikel yang dipublikasi dalam 40 tahun. Ko dkk, menemukan bahwa hanya 46% yang didefinisikan sebagai depresi napas dan 24% dimasukkan dalam definisi frekwensi nafas saja. Frekwensi napas dan pulse oximetri merupakan penilaian yang buruk untuk menentukan depresi napas pada periode paska operasi. Level sedasi, dan analisa gas darah yang terbaru, lebih dapat dipercaya53,54,57. Opioid intratekal dosis tinggi yang diberikan secara keliru dapat menyebabkan episode apnoe akut dan membutuhkan naloxon dan bantuan ventilasi. namun, dosis rendah opioid lipofilik intratekal menyebabkan secepat-cepatnya (0-1 jam) depresi napas, sementara opioid yang lipofilik dapat menyebabkan early atau late (sampai 24 jam) depresi napas. Morfin menyebabkan depresi pernapasan lambat terjadi antara 3,5 dan 12 jam setelah penyuntikkan dengan puncak pada jam ke 6. Laporan pertama tahun 1979 ketika dua pasien, yang diberikan 2 dan 5 mg morfin, dirawat
30 Universitas Sumatera Utara
di ruang perawatan intensif. Namun, pada beberapa penelitian, 20 mg morfin hiperbarik intratekal tidak berhubungan dengan depresi napas. Ini mempelihatkan tidak dapat diprediksinya komplikasi yang serius ini53,54,57. Faktor
resiko
untuk
munculnya
depresi
napas
termasuk
penambahan usia, penggunaan bersama dengan obat sedatif kerja panjang, ventilasi tekanan positif, dan penyakit pernapasan sebagai penyerta. Pemberian bersama analgetik opioid selama 12-24 jam setelah pemberian intratekal telah lama dikhawatirkan dapat berkembang menjadi depresi pernapasan dengan mula kerja cepat dan lambat, tetapi survey dalam skala besar telah membantah klaim ini53,54,57.
Gambar 6. Onset Depresi Pernafasan Fentanil dan Morfin Pruritus Pada beberapa literatur
dikatakan bahwa insidensi pruritus tidak
berhubungan dengan dosis dan bervariasi antara 0 sampai 100%. Pruritus lebih sering terjadi pada wanita hamil dimana hormon – hormon kehamilan dapat menyebabkan perubahan dalam populasi reseptor opioid. Pruritus mempengaruhi leher wajah dan thorax bagian atas lebih sering dengan tanpa korelasi antara intensitas gatal dan dosis opioid53,54,57.
31 Universitas Sumatera Utara
Mekanisme yang mendasari pruritus belum sepenuhnya diketahui. Studi neurophisiologik mendefinisikan kelas baru dari serabut C yang memediasi respon pruritus yang terhubung dengan jaringan reseptor yang terletak di sentral. Jaringan ini secara alamiah tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada banyak reseptor opioid mu dan 5-HT3 pada lokasi yang sama pada dan disekitar nukleus trigeminal53,54,57. Pemberian obat antihistamin bukan merupakan terapi kausal untuk pruritus yang disebabkan rangsangan di sentral. Namun obat ini telah memperlihatkan keberhasilan yang tinggi pada banyak pasien. Pada penelitian yang dilakukan oleh Slappendel dkk hanya satu pasien saja yang tidak efektif dengan promethazine dan membutuhkan naloxon13. Antagonis reseptor opioid seperti Naloxon (<2 mcg/kg/jam/IV) dan Naltrexon (6-9 mg/IV) telah dihubungkan dengan keberhasilan yang besar tanpa membalikkan efek analgesia.53,58. 2.5
Klonidin
Gambar 7. Molekul Klonidin Klonidin adalah gabungan agonis adrenoseptor alfa-1 dan alfa-2 dengan kerja lebih dominan pada alfa-2. Secara tradisional, obat ini digunakan sebagai antihipertensi semenjak akhir tahun enam puluhan. Efek utamanya adalah simpatolisis dan menurunkan pelepasan norepinefrin dengan merangsang inhibisi prejunctional adrenoseptor alfa-2. Selanjutnya digunakan sebagai sedasi, anti cemas dan sebagai analgetik yang sedang dikembangkan9,55,59. 32 Universitas Sumatera Utara
2.5.1. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Klonidin memiliki nama N-(2,6-dichlorophenyl)-4,5-dihydro-1Himidazol-2-amine dengan rumus kimia C9H9Cl2N3. Larut dalam lemak dan dapat dengan mudah menembus sawar darah otak untuk mencapai hipotalamus dan medulla ketika disuntikkan secara epidural. Obat ini merangsan alfa 2 adrenoreseptor untuk mengurangi transmisi saraf pusat pada sel saraf spinal. Menghambat substansi-P dipercaya dapat meningkatkan efek analgesia59. Klonidin cepat diserap setelah pemberian secara oral. Dan mencapai kadar puncak di plasma dalam 60-90 menit. Ketersediaan hayati obat ini adalah 75-95%. Sekitar 20-40% obat berikatan dengan protein. 50% obat dimetabolisme di hati menjadi bentuk yang tidak aktif kemudian diekskresikan didalam urin dan waktu paruh sekitar 12-33 jam. Obat ini tidak berubah bentuk menjadi zat lain sebelum bekerja59.
2.5.2. Mekanisme Kerja Agonis alfa-2 adrenergik menghasilkan efek klinis dengan mengikat reseptor alfa-2 yang memiliki 3 subtipe: alfa-2a, alfa-2b dan alfa-2c. reseptor alfa-2a memediasi sedasi, analgesia, dan simpatolisis9,10,28,29,59. Reseptor alfa-2b memediasi vasokonstriksi dan mungkin mekanisme anti-shivering. Respon kejut mencerminkan aktivasi reseptor alfa-2c dan respon ini adalah respon otak dan tubuh terhadap rangsangan yang tak terduga, seperti kilatan cahaya, suara yang bising (reflek kejut akustik), atau suatu gerakan cepat disekitar wajah. Pada manusia, reaksinya termasuk berupa gerakan tubuh menghindar dari stimulus, kontraksi otot lengan dan kaki, mengedip dan juga termasuk tekanan darah, pernafasan, dan perubahan pola nafas9,10,59.
33 Universitas Sumatera Utara
Klonidin adalah agonis adrenergik parsial selektif sentral (alfa-2; alfa-1=220; 1). Reseptor alfa-2 ditemukan banyak terdapat di pons lokus ceruleus suatu sumber persarafan yang penting pada sistem saraf simpatis pada otak tengah dan suatu modulator penting untuk kewaspadaan. Efek sedasi ditimbulkan oleh agonis alfa-2 lebih sering disebabkan inhibisi pada nukleus ini9,10,59. Klonidin juga menstimulasi alfa-2 adrenergik saraf inhibitor pada pusat vasomotor di medulla. Sebagai hasil, terjadi penurunan aliran keluar sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat (CNS) ke jaringan perifer. Menyebabkan redaman aliran keluar simpatis di sentral dan perifer serta aktivasi imidazol nonadrenergik reseptor. Penurunan aktivitas sistem saraf simpatis terlihat sebagai vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah sistolik, denyut jantung dan curah jantung. Kemampuan klonidin memodifikasi kanal potassium di CNS dan dengan demikian membuat membran sel hiperpolarisasi mungkin suatu mekanisme pengurangan jumlah kebutuhan obat anestesi yang dihasilkan oleh klonidin9,10,59,60. Pemberian klonidin secara neuroaksial menghambat pelepasan substansi P di spinal dan aliran rangsangan di saraf nosiseptik yang dihasilkan oleh stimulus nyeri. Alfa-2 aferen terminal terletak di pusat dan perifer. Di lamina superfisial dari korda spinalis dan sebagian besar nukleus di batang otak. Hal ini menunjukkan bahwa efek analgetik lebih nyata setelah pemberian secara neuroaksial9,10,59.
2.5.3. Efek Samping Pemberian klonidin mungkin berhubungan dengan mengantuk, mulut kering, bradikardi, hipotensi ortostatik dan impotensi. Pemutusan obat dapat menimbulkan rebund hipertensi dan menghasilkan krisis hipertensi. Oleh karena itu klonidin harus
34 Universitas Sumatera Utara
dilanjutkan
selama
periode
perioperatif.
Klonidin
dapat
meningkatkan kadar gula darah dengan menghambat pelepasan insulin9,10,59.
2.5.4. Klonidin Sebagai Adjuvan Regional Anestesi Klonidin sebagai agonis α2 adrenergik sentral juga menghambat rangsangan nosiseptif dengan mengaktifkan α2 adrenoseptor pada tanduk dorsal dikorda spinalis. Jenis reseptor ini terletak pada terminal afferent primer ( pada perifer dan ujung spinal ), pada sel saraf di lamina superficial korda spinalis dan didalam beberapa nukleus batang otak yang menimbulkan analgesia. Klonidin meningkatkan dan memperpanjang blok sensorik dan motorik dari lokal anestesi pada epidural atau blok saraf perifer. Postulat untuk mekanisme ini bahwa klonidin menghambat konduksi serabut C dan A delta dan meningkatkan konduksi kalium pada sel saraf yang diisolasi secara in vitro, dengan demikian mengintensifkan blok konduksi. Kedua, klonidin menyebabkan vasokonstiksi lokal pada penggunaan klinis, sehingga mengurangi penyerapan oleh pembuluh darah zat anestesi lokal dari sekitar struktur saraf. Agonis α2 adrenergik juga meningkatkan analgesia dari opioid intratekal dengan berinteraksi pada pre dan paska sinap di korda spinalis. Pemberian klonidin secara neuroaksial juga memiliki efek lokal pada saraf simpatis di korda spinalis. Penggunaan klinis klonidin intratekal terhambat oleh efek samping sedasi, bradikardi, dan
hipotensi;
dimana klonidin
dosis
sampai
150
mcg
ditambahkan sebagai blok pleksus dapat memperpanjang analgesia tanpa meningkatkan efek samping9,10,28,29,60. Suatu uji coba oleh Wolf dengan rancangan untuk menilai efek analgesia seperti zat anestesi lokal pada klonidin di sel saraf tanduk dorsal superficial. Lamina superficial terdiri dari struktur penting untuk transmisi nyeri, menerima banyak masukan sensorik
35 Universitas Sumatera Utara
primer nyeri dari serabut A delta dan C. Telah terbukti bahwa klonidin menekan lanjutan rangsangan potensial aksi pada sel saraf di tanduk dorsal spinal, dan bahwa klonidin juga memberi kontribusi pada analgesia selama anestesi lokal9,10. Dobrydnjov melakukan penelitian RCT double-blinded tentang analgesia pada pasien yang mendapatkan anestesi lokal dengan penambahan klonidin dengan anestesi kombinasi spinalepidural pada operasi arthroplasti sendi panggul. Klonidin intratekal dosis rendah menghasilkan kualitas anestesi yang lebih baik dan analgesia paska bedah yang lebih lama. Penambahan intratekal klonidin 15 mcg ke bupivakain pada anestesi kombinasi spinal epidural menghasilkan kualitas anestesi yang lebih tinggi dan lama analgesia yang lebih panjang dibandingkan bupivakain tunggal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari dosis yang efektif dengan efek samping yang minimal9,10,28,29. Pada suatu tinjauan sistematik dengan uji secara acak oleh Elia, mempelajari tentang klonidin sebagai adjuvan anestesi lokal secara
intratekal
pada
pembedahan.
Disimpulkan,
bahwa
penambahan intratekal klonidin untuk operasi meningkatkan lama blok motorik, meningkatkan analgesia intra operatif dan menunda penurunan blok sensorik serta waktu membutuhkan analgetik pertama. Beberapa penelitian melaporkan efek obat ini tergantung pada dosis, beberapa penelitian lain menyatakan tidak ada hubungan efek dengan dosis obat. Efek samping yang sering dijumpai intra operatif adalah hipotensi9,10.
2.6
Nyeri 2.6.1
Fisiologi Nyeri Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan
36 Universitas Sumatera Utara
jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi5,6,61,62,63.
2.6.2
MEKANISME NYERI Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak63,67,.
Sensitisasi Perifer Cedera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor
(nociceptor
activators)
dan
komponen
lainnya
akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers)67,68. Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
37 Universitas Sumatera Utara
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi67,68.
Gambar 8. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral68.
Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent)67.
2.6.3
NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI) Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini
38 Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal
acak
(skrining
fungsi) ke
SSP
untuk
interpretasi
nyeri6,63,69,70. Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi6,63,70.
2.6.4
PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY) Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan
empat
proses
komponen
yang
nyata
yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri disusunan saraf pusat (cortex cerebri)4,65,71. Proses Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung – ujung saraf perifer (nerve ending) atau organorgan tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan
jaringan
karena
trauma
baik
trauma
39 Universitas Sumatera Utara
pembedahan
atau
prostaglandin,
trauma
dimana
lainnya
prostaglandin
menyebabkan inilah
yang
sintesa akan
menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer4,65,69,71. Proses Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamikus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortek cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri4,65,69,71. Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses assenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang4,65,69,71.
40 Universitas Sumatera Utara
Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik4,65,69,71.
Gambar 9. Pain Pathway40.
2.6.5
PENILAIAN NYERI Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini:4,5,72-75 1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis
41 Universitas Sumatera Utara
karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
Gambar 10. Wong Baker Faces Pain Rating Scale 2. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 11. Verbal Rating Scale
3. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada
42 Universitas Sumatera Utara
nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar 12. Numerical Rating Scale 4. Visual Analogue Scale (VAS) Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan
nyeri
yang
dirasakan.
Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan
skala
lainnya.
Penggunaan
VAS
telah
direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan
sebagai target
untuk tatalaksana
43 Universitas Sumatera Utara
analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgetik penyelamat (rescue analgetic).
Gambar 13. Visual Analogue Scale
44 Universitas Sumatera Utara
2.7 KERANGKA TEORI Morfin sulfat
Klonidin
50 mcg
30 mcg
Bekerja pada reseptor opioid (reseptor µ, δ, κ) Secara selektif memodulasi serabut saraf C dan Aδ Morfin bersifat hidrofilik Efek sinergistik dengan anestesi lokal Koaktivasi reseptor alpha 2 adrenergik Dosis rendah efek samping minimal
-
Agonis alpha 2 adrenergik Menghambat konduksi serabut saraf C dan Aδ
Bupivacain 0,5% hiperbarik 10 mg
Morfin sulfat 100 mcg
Bekerja pada reseptor opioid (reseptor µ, δ, κ)
Diffusi di medulla spinalis
Secara selektif memodulasi serabut saraf C dan Aδ
Penetrasi ke kanal Na
Meningkatkan konduksi potassium di sel saraf
Depolarisasi menurun
Vasokonstriksi lokal
Aksi potensial menurun
Berinteraksi dengan opioid pada pre- dan postsinaps analgesia
Blockade konduksi
Lama kerja analgesia +++
-
Morfin bersifat hidrofilik Efek sinergistik dengan anestesi lokal
Lama kerja analgesia ++
: Diteliti : Tidak diteliti Gambar 14 Kerangka Teori
45 Universitas Sumatera Utara
2.8 KERANGKA KONSEP
Anestesi Intratekal Bupivacain 0,5% hiperbarik 10 mg
Adjuvan
Adjuvan
Morfin sulfat 50 mcg +klonidin 30 mcg
Morfin sulfat 100 mcg
Keterangan: : Varibel bebas
Lama kerja analgesia paska bedah
: Variabel tergantung
Gambar 15 Kerangka Konsep
46 Universitas Sumatera Utara