4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Obesitas 2.1.1. Definisi Obesitas Menurut World Health Organisation (2014), overweight dan obesitas adalah didefiniskan sebagai ketidaknormalan atau pengumpulan lemak berlebihan yang boleh menjejaskan kesehatan. Indeks massa tubuh (IMT) adalah satu indeks mudah yang biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas. IMT adalah berat seseorang dalam kilogram dibahagikan dengan kuasa dua ketinggian dalam meter (kg/m 2). Obesitas adalah indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2 sedangkan overweight, jika IMT 25 kg/m2.
2.1.2. Epidemiologi Obesitas Prevalensi obesitas terus meningkat di seluruh dunia dan telah menjadi epidemik global. Dalam 10 tahun prevalensi obesitas pada anak meningkat sangat cepat yaitu dari 2.2% menjadi 10.0 % di China. Diperkirakan 15.0 % anak usia 6 hingga 11 tahun mengalami overweight di Amerika Serikat. Prevalensi obesitas pada anak di Australia meningkat lebih dari 2 kali lipat yaitu dari 9.3% menjadi 21.5% dari tahun 1985 sampai tahun 1995. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi gizi lebih di Indonesia secara nasional adalah 9.5% pada anak laki-laki dan 6.4% pada anak perempuan (G.A Dhyanaputri, 2011). Pada tahun 2005 kira-kira 1.6 miliar usia 15 tahun dan diatasnya adalah overweight dan 400 juta di antaranya dewasa obes. Revisi definisi obes yang disesuaikan dengan perbedaan ras, menghasilkan prevalensi yang lebih tinggi 1.7 miliar diklasifikasikan dengan kelebihan berat badan. Diperkirakan bahwa pada tahun 2015, kira-kira 2 hinga 3 miliar dewasa akan overweight dan lebih dari 700 orang menderita obesitas. Di dunia jumlah individu obes mencapai 2.1 miliar yang menimbulkan masalah-masalah kesehatan terkait obesitas dan berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Di Indonesia, kenaikan
Universitas Sumatera Utara
5
prevalensi obesitas cukup tajam, dengan ditemukan overweight 17.5% dan obesitas 4.7% dengan presentase wanita tetap lebih besar daripada pria (Mukhtar,D., 2012).
2.1.3. Penyebab Obesitas pada Anak Penyebab obesitas pada anak adalah: 1. Faktor genetik Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yaitu faktor genetik yang ikut menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh, jika kedua orang tua obesitas, 80.0 % anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40.0% dan bila kedua orang tua tidak obesitas prevalensi menjadi 14.0%. Obesitas dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya dalam sebuah keluarga (Festy,P., 2012). Suku tertentu terkadang mempunyai budaya tertentu dalam konsumsi makanan, pandangan masyarakat yang menganggap obesitas merupakan suatu simbol kemakmuran akan memicu anggota masyarakat untuk menjadi obesitas (Festy,P., 2012).
2. Faktor keluarga Orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kesehatan anak mengambil inisiatif memberikan semua jenis makanan yang dianggap dapat memenuhi gizi anak terutama orang tua yang berpendapatan tinggi memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih jenis makanan, adanya peluang tersebut mengakibatkan pemilihan jenis dan jumlah makanan tidak lagi berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan kesehatan tapi lebih mengarah pada pertimbangan praktis (fast food) yang jika tidak diimbangi dengan aktifitas fisik seimbang akan mempengaruhi jumlah pembakaran kalori tubuh. Kalori tubuh berlebih disimpan dalam bentuk lemak yang suatu waktu diperlukan, jika kelebihan kalori yang terjadi secara terus menerus menyebabkan produksi lemak mengalami penumpukan dan anak mengalami obesitas (Festy,P., 2012).
Universitas Sumatera Utara
6
Kesibukan orang tua bekerja dan seringkali tidak sempat menyiapkan makan yang bergizi seimbang mengakibatkan makanan junk food dari restoran cepat saji menjadi alternatif (Festy,P., 2012).
3. Pola makan Pola makan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan (Sartika, A.D, 2011). Obesitas dapat terjadi pada anak yang ketika masih bayi tidak dibiasakan mengkonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi mengunakan susu formula dengan jumlah asupan yang melebihi porsi yang dibutuhkan anak dan mengakibatkan kelebihan berat badan saat berusia 4 hinga 5 tahun (Sartika, A.D, 2011). Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi tanpa disertai konsumsi sayur dan buah yang cukup sebagai sumber serat. Anak yang berusia 5 hingga 7 tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi lebih dan perlu mendapat perhatian dari sudut perubahan pola makan harian karena makanan yang biasa dikonsumsi sejak masa anak akan membentuk pola kebiasaan makan selanjutnya (Sartika, A.D, 2011). Orang tua khususnya di perkotaan banyak yang menghabiskan waktunya bekerja dan mempercayakan pengasuhan anak pada nenek atau baby sitter yang mana pengasuhannya kurang memperhatikan pola makan, cenderung memberi makanan berlebih dengan menonton televisi atau memberikan permainan dengan aktifitas pasif demi menghindari anak untuk menangis, konsumsi makanan dan aktifitas yang tidak seimbang menyebabkan pembakaran kalori tubuh tidak optimal dan berisiko mengalami obesitas (Festy,P., 2012).
4. Kurangnya aktivitas fisik Kurangnya aktivitas fisik juga menyebabkan terjadinya obesitas pada anak. Keterbatasan lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas fisik menyebabkan anak memilih untuk bermain di dalam rumah.
Universitas Sumatera Utara
7
Kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk melakukan aktivitas fisik ( Depkes RI, 2012). Aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur yang dilakukan sejak masa anak sampai lansia akan mempengaruhi kesehatan seumur hidup ( Sartika, A.D, 2011).
2.1.4. Klasifikasi Status Gizi Menurut Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011), penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0 hingga 5 tahun karena mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki grafik BB/TB dan data dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS 1981 (UKK, 2011). Tabel 2.1. Grafik Penilaian Gizi Lebih Berdasarkan Kelompok Usia Menurut WHO 2006 Dan CDC 2000. __________________________________________________________________ Usia Grafik yang digunakan __________________________________________________________________ 0 – 5 tahun WH0 2006 Untuk status gizi lebih dan obesitas lihat ketentuan di bawah. >5-18 tahun CDC 2000 __________________________________________________________________ Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO 2006 untuk usia 0 hingga 5 tahun dan persentase berat badan ideal sesuai kriteria Waterlow untuk anak di atas 5 tahun (UKK, 2011).
Universitas Sumatera Utara
8
Tabel 2.2. Penentuan Status Gizi Menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006, Dan CDC 2000 __________________________________________________________________ Status gizi BB/TB (% median) BB/TB WHO 2006 IMT CDC 2000 __________________________________________________________________ Obesitas >120 > +3 > P95 Overweight
>110
> +2 hingga +3 SD
Normal
> 90
+2 SD hingga -2 SD
70-90
< -2 SD hingga -3 SD
Gizi kurang
P85 – p95
Gizi buruk < 70 < - 3 SD __________________________________________________________________ Status gizi lebih (overweight)/ obesitas ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT). Bila pada hasil pengukuran, terdapat potensi gizi lebih ( > +1 SD ) atau BB/TB >110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin digunakan untuk menentukan adanya obesitas. Untuk anak < 2 tahun, menggunakan grafik IMT WHO 2006 dengan kriteria overweight Z score > + 2, obesitas > +3, sedangkan untuk anak usia 2-18 tahun menggunakan grafik IMT CDC 2000. Ambang batas yang digunakan untuk overweight ialah diatas P85 hingga P95 sedangkan untuk obesitas ialah lebih dari P95 grafik CDC 2000 (UKK, 2011).
Tabel 2.3. Dasar Pemilihan Penggunaan Grafik IMT Sesuai Usia Menurut WHO 2006 Dan CDC 2000 __________________________________________________________________ Usia Grafik IMT yang dipakai Alasan __________________________________________________________________ 0 – 2 tahun WH0 2006 Grafik IMT (CDC 2000) tidak tersedia untuk klasifikasi usia dibawah 2 tahun > 2 – 18 tahun CDC 2000
Dengan menggunakan grafik IMT CDC 2000 persentil 95, deteksi dini obesitas
dapat ditegakkan __________________________________________________________________
Universitas Sumatera Utara
9
Dalam keadaan tertentu dimana berat badan dan panjang/ tinggi badan tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya terdapat organomegali, edema anasarka, spondilitis atau kelainan tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi ditentukan dengan menggunakan parameter lain misalnya lingkar lengan atas, knee height, arm span dan lain-lain (UKK, 2011).
2.1.5. Gejala Klinis Obesitas Gejala klinis yang dapat ditemukan ialah bentuk muka yang tidak proporsional, hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda, timbunan lemak pada payudara, perut yang menggantung (sering disertai strie), timbunan lemak pada pangkal paha, paha serta lengan atas yang besar, dan pubertas yang lebih cepat dari usia anak tersebut (Raharjo,M., 2012). Ibu mengenali obesitas pada anak dengan cara melihat keadaan fisik anak yaitu perut terlihat buncit, pipinya tembem dan dagu berlipat. Sebagian ibu mengatakan anak kegemukan karena ukuran tubuh anak jauh lebih besar dari teman-teman sekelas. Ibu yang bekerja mengatakan bahwa anak terlihat gemuk bila ibu membeli baju untuk anak tidak sesuai dengan ukuran umurnya (G.A Dhyanaputri, 2011).
2.1.6. Patofisiologi Obesitas Menurut Pusparini (2007), adiposa ternyata berperan pada pengaturan proses homeostasis energi, yaitu suatu proses yang membutuhkan keseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi serta jumlah cadangan energi dalam tubuh (massa lemak). Telah dilaporkan adanya dua hormon peptida yang diproduksi di saluran pencernaan yang diketahui mempengaruhi perilaku makan jangka pendek, sedangkan leptin dan insulin mengatur berat badan dalam jangka waktu hitungan bulan atau tahun. Terdapat area di otak pada hypothalamus yaitu arcuate nucleus yang berperan menggabungkan aktivitas hormon-hormon, memberikan sinyal kepada tubuh untuk mengatur kesimbangan asupan makanan dan penggunaan energi. Arcuate nucleus memiliki dua neuron utama dengan aksi yang berlawanan.
Universitas Sumatera Utara
10
Neuron tipe pertama memproduksi neurotransmitter peptida yaitu neuropeptide Y (NPY) dan agouti related peptide (AgRP), aktivasi neuron ini akan menstimulasi selera makan sambil mereduksi metabolisme. Terdapat neuron lainnya yaitu neuron proopiomelanocortin (POMC) / cocaine and amphetamine regulated transcript (CART) yang akan melepaskan α melanocyte stimulating hormone (α MSH) yang dapat menghambat keinginan untuk makan. Ketika cadangan lemak dan konsentrasi leptin menurun, neuron NPY dan AgRP diaktivasi dan neuron POMC diinhibisi sehingga terjadi kenaikan berat badan. Hormon lain yang juga berperan dalam pengaturan berat badan adalah hormon insulin. Reseptor insulin terdapat di seluruh bagian otak. Aksi hormon ini untuk menekan selera makan terjadi secara langsung pada arcuate nucleus. Pemberian insulin ke dalam otak dekat arcuate nucleus dapat menghambat produksi NPY, yang bekerja menstimulasi selera makan (Pusparini, 2007).
2.1.7. Penegakan Diagnosa Obesitas pada Anak Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), cara menegakkan diagnosis adalah : 1) Pengukuran antropometri 2) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan 3) Penentuan status gizi a) Menghitung nilai IMT dan membandingkan nilai IMT dengan Grafik IMT/U berdasarkan Standar WHO 2005. b) Menentukan status gizi anak : • Kurus : < - 2 SD • Normal : - 2 SD s/d 1 SD • Gemuk : >1 s/d 2 SD • Obesitas : > 2 SD Berdasarkan pemeriksaan status gizi anak: a) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi kurus, maka anak dirujuk ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
11
b) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi normal, maka dianjurkan untuk melanjutkan pola hidup sehat. c) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi gemuk atau obesitas, maka anak dirujuk ke puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut (Depkes RI, 2012).
2.1.8. Penatalaksanaan Obesitas 2.1.8.1. Penatalaksanan Non-Farmakologi pada Anak Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), tatalaksana kasus kegemukan dan obesitas ditujukan bagi anak yang tergolong gemuk atau obesitas. Langkah-langkah kegiatan tatalaksana adalah : 1) Melakukan assesment (anamnesa riwayat penyakit dan penyakit keluarga, pengukuran antropomentri dan status gizi, pemeriksaan fisik, laboratorium sederhana, anamnesa riwayat diet). 2) Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami kegemukan dan obesitas dengan komorbiditas (hipertensi, diabetes melitus, sleep apnea, Blount disease dan lain-lain), maka dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. 3) Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami kegemukan dan obesitas tanpa komorbiditas maka dapat dilakukan tatalaksana kegemukan dan obesitas di Puskesmas. 4) Melakukan konseling gizi kepada anak dan keluarga agar melaksanakan pola hidup sehat selama 3 bulan. 5) Lakukan evaluasi pada 3 bulan pertama. Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk meneruskan pola hidup sehat dan dilakukan evaluasi kembali setiap 3 bulan. Bila berat badan anak naik, maka dilakukan kegiatan pengaturan berat badan yang terstruktur di puskesmas. 6) Lakukan evaluasi setelah 3 bulan. Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk melanjutkan kegiatan pengaturan berat badan yang terstruktur. Bila berat badan anak
Universitas Sumatera Utara
12
naik atau ditemukan komorbiditas, maka harus dirujuk ke rumah sakit. Evaluasi dilakukan setelah 3 bulan dan bagian penting dari upaya perbaikan gizi adalah monitoring dan evaluasi pencegahan dan penanggulangan obesitas pada anak (Depkes RI, 2012).
2.1.8.2. Penatalaksanaan Farmakologi untuk Obesitas pada Anak Menurut Recommendations for Treatment of Child and Adolescent Overweight and Obesity (2007), obat-obatan yang dapat digunakan untuk terapi farmakologik obesitas pada anak berbeda dengan yang digunakan pada orang dewasa. FDA Amerika Serikat telah menyetujui 6 obat khusus untuk obesitas dan hanya 2 daripadanya, yaitu orlistat dan sibutramine untuk terapi farmakologik obesitas pada anak. Orlistat telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan obesitas pada anak yang berusia 12 tahun atau lebih. Dosis orlistat yang dianjurkan ialah 120 mg dikonsumsi pada saat makan tiga kali dalam sehari. Cara kerja orlistat melalui dua mekanisme. Orlistat menurunkan hidrolisis trigliserida yang terdapat di dalam makanan. Orlistat juga menurunkan absorpsi lemak di usus sampai sebanyak 30.0 % dengan cara menghambat kerja enzim lipase dalam usus. Orlistat dianggap sebagai obat yang aman karena tidak diabsorpsi dalam usus halus atau usus kecil. Penggunaan orlistat dapat menimbulkan gangguan pencernaan berupa diare (karena lemak yang tidak diabsorpsikan dikeluarkan dalam feces/ tinja), sakit perut atau mual, rasa sebah, kembung,dan flatus (kentut). Absorpsi lemak yang dihambat oleh orlistat menyebabkan gangguan absorpsi vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Diet yang dianjurkan untuk pengguna orlistat ialah yang mengandung serat dan yang 30.0 % kalorinya berasal dari lemak. Efek-efek sampingan adalah biasanya ringan hingga sederhana dan menurun dengan rawatan yang berterusan. Sibutramine yang dulu sering digunakan untuk pengobatan obesitas anak sekarang tidak lagi dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko terjadinya
Universitas Sumatera Utara
13
gangguan kardiovaskular. Obat-obatan yang lain juga tidak dianjurkan karena keamanan dan efektifitasnya belum terbukti dengan studi. Pengobatan farmakologi hendaklah dibuat berdasarkan keperluan setiap individu, dengan mengambil kira risiko kesehatan yang berkaitan dengan berat badan, mekanisme dan tindakan obat dan kesan-kesan buruk yang dikaitkan dengan pelbagai pengobatan, keutamaan pesakit atau keluarga, dan punca-punca obesitas. Obat hanya perlu digunakan sebagai sebagian daripada program penurunan berat badan yang meliputi pemakanan yang seimbang, aktivitas fisik, dan modifikasi tingkah laku dan gaya hidup (Spear,B., 2007).
2.1.9. Pencegahan Obesitas pada Anak Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), pencegahan obesitas pada anak dilakukan melalui pendekatan kepada anak sekolah beserta orang-orang terdekatnya, yaitu orang tua, guru dan teman untuk mempromosikan gaya hidup sehat yang meliputi pola dan perilaku makan serta aktivitas fisik. Strategi pendekatan dilakukan pada semua anak. Usaha pencegahan dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan. Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan kesehatan yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial dari warga sekolah. Pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial ini memberikan perubahan perilaku makan sehat yang dapat diterapkan dalam jangka waktu lama. Tujuan pencegahan ini adalah supaya terjadinya perubahan pola dan perilaku makan yang meliputi meningkatkan kebiasaan konsumsi buah dan sayur, mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis, mengurangi konsumsi makanan tinggi energi dan lemak, mengurangi konsumsi junk food, serta peningkatan aktivitas fisik dan mengurangi sedentary life style (Depkes RI, 2012).
2.2. Komplikasi Obesitas pada Anak Menurut Yung Seng Lee (2009), komplikasi obesitas pada anak adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
14
1. Resistansi insulin dan intoleransi glukosa Obesitas dapat memicu intoleransi glukosa dan resistensi hormon insulin, yang dapat berujung pada diabetes melitus tipe 2. Kenaikan massa lemak tubuh, yang berdampak pada penurunan sensitifitas insulin, adanya akumulasi lipid dalam sel, dan adanya beberapa peptide yang dapat diproduksi oleh jaringan lemak yang dapat memodifikasi fungsi dan aksi dari insulin. Di sisi lain, seseorang dengan kondisi hyperinsulinemia dan insulin yang resisten, dapat menyebabkan kenaikan berat badan dan mencegah dari kehilangan berat badan. 2. Hipertensi Tekanan darah tinggi pada anak-anak sebelum ini dianggap kurang berlaku, tetapi dalam beberapa tahun kebelakangan menjadi semakin biasa dengan obesitas. Anak yang obesitas berisiko tekanan darah tinggi 3 kali ganda lebih tinggi daripada anak yang tidak obesitas. Kira-kira 20.0 % hingga 30.0 % daripada kanak-kanak obes antara 5 hingga 11 tahun mempunyai sistolik tinggi atau tekanan darah diastolik yang berlebihan. Gabungan faktor seperti resistensi insulin, pekerjaan belebihan oleh sistem saraf simpatetik, pengaktifan sistem renin-angiotensin membawa kepada peningkatan
penyerapan
natrium
dan
mengurangkan
natriuresis,
dan
keabnormalan dalam struktur vaskular dan fungsi boleh menyumbang kepada tekanan darah tinggi yang berkaitan dengan obesitas. 3. Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma, yaitu peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan/atau trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam trias sindrom metabolik selain diabetes dan hipertensi. Pada orang yang kegemukan menunjukkan output VLDL trigliserida yang tinggi dan kadar trigliserida plasma yang lebih tinggi. Trigliserida berlebihan dalam sirkulasi juga mempengaruhi lipoprotein lain. Bila trigliserida LDL dan HDL mengalami lipolisis, akan menjadi small dense LDL dan HDL, abnormalitas ini secara tipikal ditandai dengan kadar HDL kolesterol yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
15
4. Penyakit hepatobilier Obesitas nantinya dapat menimbulkan tertimbunnya lemak pada liver yang tidak dipicu oleh alkohol non alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Pada kondisi ini, NAFLD dapat mengalami perubahan menjadi peradangan liver yang disertai perlemakan yang lebih luas, yang berpeluang berkembang menjadi pengerasan liver (sirosis) dan kanker liver. Di sisi lain, obesitas akan memicu sekresi kolesterol berlebih dalam cairan empedu, dan dengan ini dapat menjadi faktor resiko terbentuknya batu empedu. Selain itu, bila disertai peradangan maka dapat menyebabkan radang kantung empedu. 5. Sindrom Metabolik Sindrom metabolik terdiri dari obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi, dan dislipidemia berupa kadar trigliserida yang tinggi dan kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang rendah. Seorang anak dikategorikan mengalami sindrom metabolik apabila memenuhi 3 dari 5 komponen kriteria sindrom metabolik, yaitu obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL), kadar gula darah puasa terganggu, dan hipertensi. 6. Obstructive Sleep Apnoea (OSA) Diperkirakan 33.0 % hingga 94.0 % anak-anak yang obesitas mengalami apnea tidur. Hasil pemendapan lemak menyebabkan penyempitan saluran pernafasan atas yang mengakibatkan udara tidak bisa masuk dan keluar dan lebih terdedah kepada halangan semasa tidur. Jumlah lemak yang tinggi di bahagian abdomen membawa kepada pernafasan yang kurang dengan peningkatan udara dan akumulasi karbon dioksida. 7. Kesan psikososial Obesitas mempunyai kesan yang ketara kepada pembangunan emosi anakanak yang mengalami diskriminasi, sebagai individu yang gemuk sering dikaitkan dengan ciri-ciri negatif, dan biasanya dianggap suka makan, berfikiran lemah dan yang tidak berdisiplin. Anak yang obes mempunyai gambaran dan bentuk badan yang kurang baik, harga diri dan keyakinan yang rendah dan cenderung untuk
Universitas Sumatera Utara
16
membangunkan imej diri yang negatif yang berterusan hingga dewasa (Lee Y. S., 2009).
2.3. Pengetahuan 2.3.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni, indra penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa dan raba, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).
2.3.2. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif Tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang tercakup dalam domain. Kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: 1) Tahu (know) Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali, sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2) Memahami (comprehensip) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar
tentang
objek
yang
di
ketahui
dan
dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi (Aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah ada dipelajari pada suatu kondisi (yang sebenarnya). Aplikasi diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukuman-hukuman, rumus, prinsip dan sebagainya dalam kontak atau situasi yang lain. 4) Analisa (Analysis) Analisa adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu
Universitas Sumatera Utara
17
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat
dilihat
dari
penggunaan
kata
kerja,
seperti
dapat
menggambarkan, membedakan, mengelompokkan data sebagainya. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghiburkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyesuaikan dan lain sebaginya terhadap suatu teori atau rumus-rumus yang telah ada. 6) Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilain-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau yang menggunakan kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2011).
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1.
Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang menanggapi suatu respon eksternal terhadap dirinya. Orang yang berpendidikan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang akan mungkin mereka peroleh dari gagasan tersebut.
2.
Paparan media masa Informasi banyak disebar melalui berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Pemaparan terhadap media masa dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
3.
Status ekonomi Status ekonomi menentukan seberapa baik pemenuhan kebutuhan individu.
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah memenuhi kebutuhannya dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder. 4.
Hubungan sosial Individu yang memiliki hubungan interpersonal yang baik dan aktif secara sosial akan lebih terpapar dengan pengetahuan. Selain itu, faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
5.
Pengalaman Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari lingkungan sekitarnya dalam proses perkembangannya. Pengetahuan atau kognitif yang dipengaruhi faktor-faktor tersebut diatas
merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku atau tindakan seseorang karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Universitas Sumatera Utara