BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Karsinoma Nasofaring 2.1 Defenisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang timbul dari sel epitel yang melindungi dan melintasi nasofaring. KNF pertama kali disebutkan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921. 2.2 Epidemiologi Secara global KNF terjadi hanya 0.7% pada keselurahan kasus kanker, menempati urutan ke-24 kanker yang paling sering terjadi. Sedangkan daerah dengan angka kejadian paling tinggi adalah asia bagian tenggara seperti Cina, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand. Di cina angka kejadian KNF adalah 2 per sejuta. Untuk Indonesia sendiri penyebarannya cukup merata. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun. RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujug Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 15 kasus. KNF juga ditemukan di beberapa daerah lain di dunia. Menurut data dari Global Cancer Satistic tahun 2011 daerah-daerah dengan angka kejadian KNF tinggi setelah asia bagian tenggara yaitu Afrika bagian selatan, Polinesia, Afrika bagian utara, Asia timur, Afrika barat, Asia barat, Afrika timur, Afrika tengah, juga Australia/selandia baru dan sebagian kecil daerah Eropa dan Amerika. 92% KNF terjadi di negara dengan ekonomi berkembang (Roezin dan Adham, 2007;Jemal et al, 2011). Di seluruh dunia KNF lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan angka kejadian 2-3 kali lebih tinggi. Bahkan pada negara-negara yang sering terjadi KNF angka kejadian pada pria bisa lebih tinggi lagi (Brennan, 2006).
Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Di Amerika sepertiga kasus neoplasma faringeal pada anak adalah KNF. Di Inggris angka kejadian KNF adalah 0.1 per sejuta pada anak usia 0-9 tahun dan 0.8 per sejuta pada usia 10-14 tahun. Menurut England and Wales Cancer Registry data, setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun adalah karsinoma. Ini menunjukkan 1-2 per sejuta KNF terjadi pada usia 15-19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di India (6 tahun) dan Inggris (7 tahun) (Asroel, 2002; Brennan, 2006). Dilihat dari daerah yang sering terjadi, dapat dipastikan penderita KNF terbanyak adalah orang Asia, khususnya ras Mongoloid sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di propinsi guang-dong Cina adalah daerah dengan angka kejadian tertinggi terutama pada suku kanton yaitu 2500 kasus pertahun atau 39.84/100.000 penduduk. KNF juga ditemukan pada orang eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan di musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras cina relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya (Roezin dan Adham, 2007; Asroel, 2002). Di Amerika ras Asia (Chinese Amerika) adalah yang paling umum terkena KNF, diikuti India Amerika dan suku Alaska, Afrika amerika, kulit putih, dan Hispanis/Latin. Di Indonesia khususnya di RSUP H. Adam Malik Medan, suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku batak, yaitu 46.7% dari 30 kasus (Munir, 2008). 2.3 Etiologi Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada
kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Tapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Faktor resiko timbulnya karsinoma nasofaring menurut Ariwibowo tahun 2008 adalah sebagai berikut : 1. Virus Epsteinn-barr EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama
melalui
saliva,
biasanya
pada
negara
berkembang
yang
kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-long) (Yenita, 2012). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring terjadi peningkatan antibodi IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining karsinoma nasofaring pada populasi dengan risiko tinggi. Semakin parah stadium semakin tinggi pula plasma EBV-DNA (Chan et al, 2002).
2. Ikan Asin Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Potensi karsinogenik ikan asin didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi
nitrosamin yang dikenal karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan. Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. 88% penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara rutin. Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin juga menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
3. Kurang Konsumsi Buah dan Sayur Segar Konsumsi buah dan sayuran segar seperti wortel, kubis, sayuran berdaun segar, produk kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau C, karoten terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko karsinoma nasofaring. Efek protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan pencegahan pembentukan nitrosamin.
4. Tembakau Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030. Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25 tahun meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring. Konsumsi tembakau dan alkohol yang terus menerus 95% berhubungan dengan kasus karsinoma sel skoamusa kepala dan leher. peningkatan konsumsi tembakau dan alkohol juga meningkatkan resiko terkena karsinoma sel skoamusa (Syah & Lydiatt, 1995). Namun adapula penelitian yang menunjukkan bahwa 41,5% pederita KNF adalah perokok dan 55,5% tidak merokok (Leung & Lee, 2013).
5. Asap Lain Beberapa peneliti menyatakan bahwa insiden karsinoma nasofaring yang tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring.
6. Obat Herbal Pada populasi Asia, beberapa penelitian melaporkan 2 sampai 4 kali lipat peningkatan risiko karsinoma nasofaring karena penggunaan obat herbal tradisional, tetapi tiga penelitian di Cina Selatan tidak menemukan hubungan obat herbal dengan karsinoma nasofaring. Di Filipina, penggunaan obat herbal tradisional meningkatkan risiko karsinoma nasofaring, terutama pada orang yang mempunyai titer antibodi anti-HBV tinggi.
7. Pajanan Pekerjaan Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan risiko karsinoma nasofaring karena pajanan kerja terhadap
formaldehid sekitar 2 sampai 4 kali lipat, didukung oleh penelitian pada tikus, terutama untuk tipe I tetapi tidak untuk tipe II dan III. Namun sebuah meta-analisis dari 47 penelitian tidak mendukung hubungan formaldehid dengan karsinoma nasofaring. Stimulasi dan inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu karsinoma nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol juga memicu karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan risiko karsinoma nasofaring karena iritasi dan infl amasi nasofaring langsung atau melalui endotoksin bakteri. Paparan tempat kerja yang panas atau produk bakaran meningkatkan dua kali lipat risiko terkena karsinoma nasofaring. Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
8. Pajanan Lain Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas bawah meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan N-nitroso yang karsinogenik. Di Taiwan, kebiasaan mengunyah betel nut (Areca catechu) selama lebih dari 20 tahun berhubungan dengan peningkatan 70% risiko karsinoma nasofaring. Sebuah penelitian ekologi di Cina Selatan menemukan 2 sampai 3 kali lipat kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut penduduk yang tinggal di wilayah yang tinggi insiden karsinoma nasofaringnya. Penelitian lain menyatakan bahwa kandungan nikel, zinc dan cadmium pada air minum lebih tinggi di wilayah yang tinggi insiden karsinoma nasofaringnya. Kadar nikel pada air minum, kadar elemen alkali seperti magnesium, kalsium, strontium yang rendah pada tanah, dan tingginya kadar radioaktif seperti thorium dan uranium pada tanah berperan pada mortalitas karsinoma nasofaring, namun masih perlu dibuktikan dengan penelitian epidemiologi analitik. Risiko karsinoma
nasofaring juga meningkat berhubungan dengan makanan berpengawet lain seperti daging, telur, buah dan sayur terutama di Cina Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur Tengah dan penduduk asli Artik.
9. Riwayat Keluarga Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko terkena karsinoma nasofaring. Orang yang mempunyai keluarga tingkat pertama karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat sampai sepuluh kali dibanding yang tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus juga meningkat pada keluarga dengan kasus karsinoma nasofaring. Faktor risiko lingkungan seperti ikan asin, merokok dan paparan pada produk kayu meningkatkan level antibodi anti- EBV dan beberapa polimorfasi genetik. Kasus familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan tipe I non familial.
10. Human Leukocyte Antigen Genes Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte Antigen-A2-B46 dan B-17 berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga kali
lipat
risiko karsinoma nasofaring.
Sebaliknya Human
LeukocyteAntigen-A11 menurunkan 30%-50% risiko terkena karsinoma nasofaring pada ras Kulit Putih dan Cina, B13 pada ras Cina, dan A2 pada ras Kulit Putih. Sebuah meta analisis pada populasi di Cina Selatan menunjukkan peningkatan karsinoma nasofaring pada HLAA2, B14 dan B46, dan penurunan karsinoma nasofaring pada HLA-A11, B13 dan B22.
11. Variasi Genetik Lain Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena karsinoma
nasofaring.
Di
Thailand
dan
Cina,
polimorfi
pada
polymericimmunoglobulin receptor (PIGR), sebuah reseptor permukaan
sel memudahkan masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Suatu penelitian di Makassar menunjukkan 20 dari 48 sampel (41,7%) hanya berpendidikan sekolah dasar. Hal ini merupakan salah satu faktor kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang diderita sehingga mengabaikan keluhan-keluhan yang kurang spesifik, yang mengakibatkan penderita baru memeriksakan diri ke dokter setelah stadium lanjut (Kurniati et al, 2013). 2.4 Klasifikasi dan Histopatologi Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk KNF : •
Tipe 1 : karsinoma sel skuaosa (squamous cell carcioma) Biasanya dijumpai pada pasien berusia tua.
•
Tipe 2 : karsinoma non keratinisasi (non-keratinizing carcinoma) Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
•
Tipe 3 : Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma) Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Kasus terbanyak pada anak dan remaja adalah tipe 3, tapi juga ditemukan
beberapa kasus tipe 2. Tipe 2 dan berhubugan degan kenaikan titer virus EpsteinBarr. Modifikasi dari skema WHO oleh Krueger dan Wustrow memasukkan derajat infiltrasi limfoid. Tipe 2 dan 3 mungkin disertai dengan inflamasi infiltrasi limfosit, sel plasma, dan eosinofil, menyebabkan limfoepitelioma. 2 pola histologi mungkin terjadi : tipe Regaud, yaitu sekumpulan sel epitel yang dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat, dan tipe schminke, yaitu sel tumor berdifusi dengan sel inflamasi. Kedua pola diatas mungkin ada bersamaan pada tumor yang sama (Brennan, 2006).
2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring Sekitar 3 dari 4 penderita karsinoma nasofaring mengeluh ada benjolan di leher saat pertama kali memeriksakan diri pada dokter. Terkadang benjolan ada di kedua sisi leher menuju punggung. Benjolan biasanya tidak nyeri. Ini karena kanker menyebar ke kelenjar getah bening di leher, menyebabkan kelejar getah bening menjadi lebih besar dari normal (Brennan, 2006). Gejala lain yang mungkin terjadi pada KNF : •
Gangguan pendengaran, telinga berdengung, telinga terasa penuh (terutama bila haya di satu sisi)
•
Infeksi telinga yang terus berulang
•
Sumbatan hidung
•
Hidung berdarah
•
Sakit kepala
•
Nyeri atau kebas di bagian wajah
•
Kesulitan membuka mulut
•
Penglihatan kabur atau berbayang Infeksi telinga biasanya terjadi pada anak dan jarang terjadi pada penderita
dewasa. Bila infeksi telinga terjadi hanya di satu telinga dan tidak ada riwayat infeksi telinga sebelumnya, maka dianjurkan untuk memeriksa nasofaring. Terutama bila tidak disertai dengan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (American Cancer Society, 2013) Menurut Sudyartono dan Wiratno (1996) dan Ahmad (2002) dalam Nasution (2008), Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang (femur), hati, dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.
2.6 Stadium Karsinoma Nasofaring Klasifikasi menurut American Joint Committee on Cancer 2.6.1 Tumor primer (T) TX = tumor tidak dapat dinilai T0 = tumor tidak terlihat Tis = tumor in situ T1 = tumor terbatas di nasofaring T2 = tumor meluas ke jarigan lunak •
T2a = tanpa perluasa ke parafaring
•
T2b = dengan perluasan ke parafaring
T3 = tumor mengivasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 = tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator
2.6.2 Kelenjar getah bening regional (N) NX = kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 = tidak ada perluasan ke kelenjar getah bening N1 = metastasis kelenjar getah bening unilateral, ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N2 = metastasis kelenjar getah bening bilateral, ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3 = metastasis kelenjar getah bening bilateral
•
N3a = ukuran lebih dari 6 cm
•
N3b = di dalam fossa supraklavikula
2.6.3 metastasis jauh (M) MX = metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 = tidak ada metastasis jauh M1 = terdapat metastasis jauh Stadium 0
Tis
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0
Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
N1
M0
T2a
N1
M0
T2b
N0, N1
M0
T1
N2
M0
T2a, t2b
N2
M0
T3
N2
M0
Stadium IVa
T4
N0, N1, N2
M0
Stadium IVb
Semua T
N3
M0
Stadium IVc
Semua T
Semua N
M1
Stadium III
2.7 Diagnosis Untuk anamesis, pada tahap awal penderita biasanya hanya megeluh gangguan telinga, hidung, atau kedua. Pada tahap ini biasanya elum dicurigai adanya KNF. Pada tahap lanjut akan semakin mudah utuk mencurigai KNF dengan adanya keluhan seperti benjolan di leher (akibat pembesaran kelenjar getah bening), gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh. Beberapa cara diagnosis KNF menurut Brennan tahun 2006 yaitu : 1. Pemeriksaan klinis ukuran dan lokasi pembesaran kelenjar getah bening 2. Nasofarigoskopi indirek untuk menilai tumor primer 3. Pemeriksaan neurologis saraf kranial 4. CT scan dan MRI kepala dan leher. penggabungan MRI dengan deteksi plasma EBV DNA memberikan hasil yag lebih baik (Liang et al, 2012) 5. Radioterapi dada (anteroposterior dan lateral) untuk melihat apakah kanker sudah menyebar ke paru-paru 6. Sintigrafi tulang oleh Tc 99 difosfonat untuk melihat apakah kanker sudah meyebar ke tulang 7. Pemeriksaan darah lengkap 8. Urea, elektrolit, kreatinin, fungsi hati, Ca, PO4, alkalin fosfat 9. EBV viral Capsid antigen dan EBV DNA 10. Biopsi kelenjar getah bening atau atau tumor primer untuk pemeriksaan histologis. 2.8 Terapi 2.8.1 Radioterapi Tidak seperti kanker kepala dan leher yang lain, radioterapi adalah pengobatan utama pada KNF dibandigkan dengan pembedahan dikarenakan KNF bersifat sangat radiosensitif. Radioterapi adalah pengobatan utama untuk semua stadium KNF tanpa disertai metastasis jauh (wei dan Kwong, 2010).
Radioterapi diberikan dengan batas 1 cm dari daerah tumor primer yang terdeteksi MRI, dan kebawah munuju klavikula untuk mengikut sertakan kelenjar getah bening. Radioterapi terdiri dari 2 fase : •
Fase pertama dengan dosis 30 Gy dalam 15 fraksi. Mata, otak, dan batang otak harus terlindungi.
•
Fase kedua dengan dosis 15 Gy dalam 7 fraksi. Mata dan batang otak harus dilindungi (Brennan, 2006).
2.8.2 Kemoterapi Kemoterapi induksi adalah alternatif pengobatan lain untuk KNF dengan stadium lanjut. Kombinasi kemoterapi dengan radioterapi telah diterima kebanyakan ahli sebagai pengobatan KNF stadium lanjut. Jenis-jenis obat yang digunakan : 1. Anti metabolit : menghambat biosintesa purin dan pirimidin 2. Obat yang mengganggu struktur dan fungsi molekul DNA. 3. Alkilating agent : mengubah struktur DNA sehingga dapat menahan replikasi sel. 4. Golongan antibiotik : mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA sehigga dapat menyebabkan kegagalan replikasi DNA dan translasi RNA 5. Inhibitor mitosis : menahan pembelahan sel dan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis. 6. Lai-lain
2.8.3 Pembedahan Tindakan pembedahan pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain (asroel, 2002)
2.8.4 Imunoterapi Karena diketahui virus Epstei-Barr dapat menyebabkan KNF, maka penderita KNF dapat diberi imunoterapi (Asroel, 2002).
2.9 Follow-Up Karsinoma nasofaring mempunyai resiko terjadinya rekurensi sehingga diperlukan follow-up. Kekambuhan biasanya terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan sering terjadi antara 5-10 tahun. Karena itu pasien KNF memerlukan follow-up hingga 10 tahun setelah terapi (Roezin dan Adham, 2007).
2.10 Prognosis Prognosis KNF sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut Yang mana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita KNF dalam jangka waktu 5 tahun menurut AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7 :
Stadium
Angka Harapan Hidup
I
72%
II
64%
III
62%
IV
38%
Suatu penelitian di Mesir pada tahun 2000 menyatakan bahwa harapan hidup keseluruhan penderita KNF untuk 5-10 tahun kedepan adalah 45%. Tidak satupun penderita dengan metastase jauh dapat bertahan lebih dari 14 bulan. 2.11 Komplikasi Komplikasi biasanya terjadi akibat adanya metastase jauh. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran darah atau getah bening dan mengenai organ tubuh yang jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang (femur), hati, dan paru. Komplikasi juga dapat disebabkan oleh pengobatan. Beberapa komplikasi akibat radioterapi seperti : •
Xerostomia
•
Mukositis
•
Dermatitis
•
Eritema
•
Mual-muntah
•
Anoreksi
•
Kerusakan beberapa saraf
•
Kerusakan tengkorak dan tulang
•
Masalah pada gigi
•
Kerusakan kelenjar ludah
Komplikasi atau efek samping kemoterapi tergantung pada jenis dan dosis obat yang diberikan durasi pemberian obat. Efek samping yang sering terjadi seperti : •
Rambut rontok
•
Sakit pada mulut
•
Hilang nafsu makan
•
Mual dan muntah
•
Diare
•
Mudah terkena infeksi
•
Mudah terjadi perdarahan
•
Mudah lelah
•
Gangguan saraf Komplikasi yang umum terjadi pada pembedahan leher adalah gangguan
pada telinga, gangguan pada saat mengangkat tangan ke atas kepala, dan kelemahan pada bibir bawah. Ini dikarenakan adanya saraf yang terganggu pada saat pembedahan dan biasanya akan hilang setelah beberapa bulan (American Cancer Society, 2013).
2.12 Pencegahan Salah satu pencegahan KNF adalah dengan pemberian vaksinasi. Juga penerangan tentang kebiasaan hidup yang salah, megubah cara memasak dan pilihan makanan, dan menghindari berbagai faktor resiko yang ada. Bisa juga dilakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA (roezin dan Adham, 2007)