5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.1.1. Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis, debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular (Caronia, 2014). Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru. PPOK termasuk ke dalam kelompok penyakit paru obstruksi. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit inflamasi kronis yang bersifat sistemik dan dapat memengaruhi fungsi pasien, kualitas hidup, penurunan tingkat fungsi paru-paru, dan meningkatkan komorbiditas penyakit lain. Penyakit ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat kronis dan rekuren. Obstruksi ini biasanya bersifat progresif, dapat disertai dengan adanya hiperaktivitas mukosa saluran napas, dan sebagian dapat kembali ke keadaan semula (Porth, 2007). Penyebab terbanyak munculnya penyakit ini adalah merokok. Oleh karena itu, PPOK
merupakan penyakit yang dapat dicegah. Namun kenyataannya,
stadium awal dari penyakit ini jarang menimbulkan gejala sehingga seringkali pasien terdiagnosis pada stadium yang sudah lanjut. Akan tetapi pada pasien yang sudah memiliki gejala obstruksi jalan napas pada masa dini, penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat serta memberikan hasil yang lebih baik (Porth, 2007).
6
Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah polusi udara dari hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur dengan ventilasi buruk dan yang terkena terutama ialah wanita. Debu dan iritan lain seperti asap juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini dengan paparan yang lama dan sering. Asap kendaraan bermotor juga diduga dapat menjadi
penyebab
karena
partikel-partikelnya
dapat
mengganggu
dan
meningkatkan beban kerja paru, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (GOLD, 2014). Prevalensi kejadian PPOK lebih banyak pada laki-laki karena pada umumnya perokok lebih banyak ialah laki-laki serta lebih sering terpapar pada polutan udara lainnya dibanding perempuan, meskipun tingkat perokok perempuan juga meningkat dan kerentanan paru perempuan juga lebih tinggi (Chapman, et al., 2014). Faktor penjamu (host) lain meliputi usia, gen (defisiensi α1-antitripsin/ATT), hiperaktivitas bronkus, dan gangguan tumbuh kembang paru seperti riwayat infeksi dan sosial ekonomi (Reilly, et al., 2012). 2.1.2. Patogenesis Patogenesis atau mekanisme terjadinya PPOK melibatkan banyak faktor. Meski selama ini ditetapkan merokok merupakan faktor penyebab utama terjadinya penyakit ini, namun hasil studi epidemiologi telah menunjukkan bukti yang konsisten bahwa pada pasien yang bukan perokok dapat terjadi keterbatasan aliran udara seperti halnya yang terjadi pada PPOK (Behrendt, et al., 2005, dalam GOLD 2014). Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronis mencakup emfisema dan bronkhitis kronis. Emfisema ditandai dengan hilangnya elastisitas paru dan destruksi dinding alveolus dan kapiler. Destruksi ini menyebabkan alveolus tidak dapat bergerak elastis saat inspirasi dan ekspirasi. Alveolus akan cenderung mengembang sehingga meningkatkan kapasitas total paru. Ada 2 hal yang dapat menyebabkan emfisema yaitu merokok (utama) dan defisiensi α1-antitripsin, yaitu enzim antiprotease yang berfungsi sebagai pelindung paru (Porth, 2007). Reilly, et al., dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine (2011) menyebutkan bahwa
7
emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan: (1)paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di paru; (2)mediator ini akan mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak matriks ekstrasel; (3)hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel (apoptosis); (4)terjadi perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran alveolus. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya: 1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama. 2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin. 3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (PDPI, 2003). Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas disebabkan oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan hiperplasia kelenjar submukosa sehingga terjadi sekresi mukus yang berlebihan (Porth, 2007). Iritan yang terhirup akan menyebabkan akumulasi mediator-mediator inflamasi seperti netrofil, CD8⁺, limfosit T, sel B, dan makrofag. Ketika diaktifkan, mediator ini akan memulai kaskade yang akan memicu pengeluaran Tumour Necrosis Factor alpha (TNF-α), Interferon gamma (IFN-γ), matrixmetalloproteinases (MMP-6, MMP-9), C-Reactive Protein (CRP), Interleukins (IL-1, IL-6, IL-8) dan fibrinogen. Proses respon inflamasi ini akan menetap sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang menimbulkan keterbatasan aliran udara permanen (Tuder dan Petrache, 2012). Struktur yang paling besar menimbulkan hambatan adalah saluran kecil (diameter ≤ 2mm) karena sekresi
8
mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga dapat ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang berlebih pula sehingga akan memperparah kondisi hambatan (Reilly, et al., 2012).
Gambar 2.1. Patogenesis PPOK (Sumber: Barnes, P.J.,
Nat Rev
Immunol 2008; 8:183-92) 2.1.3. Patofisiologi Manifestasi Klinis Pada tahap awal perjalanan PPOK, pemeriksaan fisik kemungkinan besar akan memberi hasil dalam batas normal (Reilly, et al., 2012). Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk membuang atau membersihkan saluran napas dari benda asing seperti dahak yang disekresi secara berlebih oleh kelenjar mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah batuk yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok, batuk merupakan hal biasa dan belum mengganggu aktivitas. Namun seiring berjalannya
9
waktu, gejala ini akan secara progresif berkembang sampai dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya (Kenny, 2014). Produksi Sputum. Menurut GOLD (2014), sebagai gejala dari bronkitis kronis, produksi sputum teratur dan menetap selama 3 bulan dalam 2 tahun berturutturut. Namun, hal ini dapat berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume sputum yang pasti untuk diagnosis PPOK. Dyspnea. Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat disertai suara mengi (wheezing) saat ekspirasi. Dyspnea muncul akibat produksi lendir/mukus pada saluran pernapasan dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hambatan jalan napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi pernapasan diatas normal (hiperventilasi) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Pada PPOK berat, dapat dijumpai gejala sianosis pada pasien (Kenny, 2014). 2.1.4. Diagnosis 2.1.4.1. Anamnesis Cara mendiagnosis pasien PPOK dapat dimulai dengan anamnesis, yaitu dengan menanyakan hal-hal berikut ini (PDPI, 2003): •
Adanya riwayat merokok (aktif); atau tidak merokok namun terbiasa menghirup asap rokok (pasif); atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
•
Nilai derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun (Brinkman dan Coates, 1963 dalam Watanabe, et al, 2011): - Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600 - Berat : >600
•
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
•
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
10
•
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan berasap rokok dan polusi udara
•
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
•
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi Penting diingat bahwa PPOK merupakan penyakit yang memiliki gejala
cukup beragam dan dapat berbeda-beda pada setiap pasien. Oleh karena itu, pasien PPOK dapat saja tidak memiliki manifestasi klinis klasik seperti yang telah diuraikan. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis (Zieliñski et al., 2001, dalam Lynes, 2010). 2.1.4.2. Menilai Gejala Menilai gejala dapat dilakukan memakai COPD Assessment Test (CAT), atau skala sesak napas Medical Research Council (MRC). Berdasarkan GOLD, skor CAT lebih dipilih karena CAT merupakan satu-satunya kuesioner yang tervalidasi, singkat dan sederhana untuk menganalisa seberapa besar dampak PPOK yang dirasakan pasien; dapat membantu dan meyakinkan pasien dan dokter dalam melakukan penanganan yang optimal; dan membantu mengetahui progresivitas penyakit dan terapi.
11
Gambar 2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mMRC Dyspnoe scale (Sumber: GOLD, 2013).
12
Menilai Gejala Eksaserbasi Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu. Eksaserbasi akut dapat dipicu oleh hal-hal seperti keadaan peningkatan simpatis misalnya kecemasan, flu (common cold), kelelahan, bernapas berlebihan, maupun infeksi saluran napas, dan merupakan suatu kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera (SKDI, 2012). Kriteria eksaserbasi adalah: Tiga gejala utama eksaserbasi : 1. Sesak napas bertambah 2. Dahak berubah warna 3. Volume dahak bertambah Gejala tambahan: 1. Demam 2. Batuk bertambah 3. Mengi bertambah 4. Infeksi Saluran Napas atas 5 hari terakhir 5. Denyut jantung meningkat 20% dari biasanya Tipe eksaserbasi dinilai dari gejalanya: •
tipe I (Berat) Tiga gejala utama
•
tipe II (Sedang) Dua gejala utama
•
tipe III (Ringan) Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan.
2.1.4.3. Pemeriksaan Fisik PPOK dini umumnya tidak memiliki kelainan. 2.1.4.3.1. Inspeksi
13
•
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
•
Barrel chest (diameter antero - posterior sama dengan diameter transversal)
•
Penggunaan otot bantu napas
•
Hipertropi otot bantu napas
•
Pelebaran sela iga
•
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema pada tungkai
•
Penampilan pink puffer atau blue bloater
2.1.4.3.2. Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. 2.1.4.3.3. Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. 2.1.4.3.4. Auskultasi •
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
•
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
•
Ekspirasi memanjang
•
Bunyi jantung terdengar jauh
Pink Puffer “Pink Puffer” adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus. Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan cara
hiperventilasi
(puff
berarti
terengah-engah
atau
mengepul).
Jika
14
dibandingkan dengan “Blue Bloater” maka pasien ini akan memiliki corak warna kulit lebih kemerahan (pink) dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan untuk memenuhi oksigen jaringan (tidak terjadi hipoksemia) (Allen, 2009). Blue Bloater Sementara itu, “Blue Bloater” adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus. Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi “Pink puffer” sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit kebiruan (Allen, 2009).
Pink Puffer
Blue Bloater
•
Normal atau kurus
•
Overweight
•
Barrel Chest
•
Batuk
•
Mulut mencucu (pursed lip
•
Sputum
breathing)
•
Sianosis
Penggunaan otot-otot bantu
•
Edema perifer
pernapasan
•
Perkusi : normal
•
Perkusi: hipersonor
•
Auskultasi : mengi, ronki basah
•
Auskultasi : suara pernapasan
•
melemah, ekspirasi memanjang Tabel 2.1. Perbedaan antara “pink puffer” dan “blue bloater” 2.1.4.4. Pemeriksaan Penunjang 2.1.4.4.1. Spirometri
15
Merokok, sebagai faktor risiko utamanya juga tidak mutlak menyebabkan PPOK pada semua orang. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas pajanan asap rokok, usia penjamu serta fungsi paru si penjamu sendiri. Secara alami, semakin bertambahnya usia maka fungsi paru juga akan menurun. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)=Volume Ekspirasi Pertama (VEP1) dibanding dengan FVC (Forced Vital Capacity) =Kapasitas Vital Paksa (KVP) yang dihitung melalui spirometri. VEP1 adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam 1 detik setelah 1 inspirasi dalam. Spirometri adalah pemeriksaan fundamental dalam diagnosis PPOK. Spirometri digunakan untuk menilai VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP. •
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
•
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
•
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI, 2003)
Tingkat
Keparahan
Gejala
Spirometri
0
Berisiko
Batuk kronis
Normal
berdahak I
II A
III
Ringan
Sedang
Berat
Dengan/tanpa
VEP1/KVP <0.7
batuk kronis atau
dan VEP1 ≥ 80%
produksi sputum
prediksi
Dengan/tanpa
VEP1/KVP <0.7
batuk kronis atau
dan 50%≤VEP1
produksi sputum
>80%
Dengan/tanpa
VEP1/KVP <0.7
batuk kronis atau
dan 30%≤VEP1 >
prediksi
16
Sangat Berat
IV
produksi sputum
50% prediksi
Dengan/tanpa
VEP1/KVP <0.7
batuk kronis atau
dan VEP1<30%
produksi sputum
prediksi atau VEP1<50% prediksi dengan gagal napas atau adanya tanda gagal jantung kanan
Tabel 2.2. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160) Dari nilai gejala dan spirometri dapat digolongkan pasien dalam 4 kelompok: Pasien
Karakteristik
Spirometri
Eksa-
CAT
mMRC
serbasi/ tahun A
Low
risk,
less I
≤1
0-1
<10
more II
≤1
2+
≥10
less III
>2
0-1
<10
more IV
>2
2+
≥10
symptoms B
Low
risk,
symptoms C
High
risk,
symptoms D
High
risk,
symptoms
17
Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi (Sumber: GOLD Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014) 2.1.4.4.2. Uji Bronkodilator Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter. •
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
•
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2.1.4.3.3. Pemeriksaan Radiologi Radiologi Bronkitis Kronis •
Umumnya normal
•
Corakan bronkoalveolar bertambah
Gambar
2.3.
Foto
toraks
bronkitis
kronis
(Sumber:
radiopaedia.org/articles/chronic-bronchitis; diakses: 30 Mei 2014) Radiologi Emfisema Stadium awal normal. Stadium lanjut:
18
•
Tanda-tanda hiperinflasi (radiolusen)
•
Diafragma mendatar
•
Sela iga lebar
•
Ruang retrosternal melebar
•
Jantung pendulum
•
Bullae multipel
Gambar 2.4. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma mendatar dan ruang retrosternal melebar (Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012: 2106) 2.1.4.4.4. Pemeriksaan Lain (Tidak Rutin) 2.1.4.4.4.1. Faal Paru •
Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
•
DLCO menurun pada emfisema
•
RAW (Airway Resistance) meningkat pada bronkitis kronis
•
sGaw (Specific Airway Conductance) meningkat
2.1.4.4.4.2. Uji Latih Kardiopulmoner
19
•
Sepeda statis (ergocycle)
•
Jentera (treadmill)
•
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
2.1.4.4.4.3. Analisa Gas Darah (AGD) Terutama untuk menilai : •
Gagal napas kronis stabil
•
Gagal napas akut pada gagal napas kronis
2.1.4.4.4.4. Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. 2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi Untuk menilai fungsi jantung kanan. 2.1.4.4.4.6. Pemeriksaan Bakteriologi Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003). 2.1.4.4.4.7. Pemeriksaan Kadar α1-Antitripsin Defisiensi α1-antitripsin dijumpai pada pasien PPOK emfisema dengan usia muda (herediter). Jarang ditemukan di Indonesia (PDPI,2003).
2.1.5. Diagnosis Banding Berdasarkan GOLD (2014), yang menjadi diagnosis banding dari PPOK adalah asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis, bronkiolitis, dan panbronkiolitis difusa. Tabel Perbedaan PPOK dan Diagnosis Bandingnya PPOK
Onset usia dewasa (biasanya >35 tahun)
20
Perkembangan gejala lambat namun progresif Adanya riwayat merokok Asthma
Onset usia muda (biasanya anak-anak) Gejala bervariasi Muncul pada waktu-waktu tertentu (malam/pagi hari) Alergi, rhinitis, dan/atau ekzema Adanya riwayat keluarga yang asthma
Gagal jantung kongestif
Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan keterbatasan volume, bukan hambatan jalan napas
Bronkiektasis
Volume sputum besar Umumnya berhubungan dengan infeksi Foto toraks menunjukkan dilatasi, dan penebalan dinding bronkus
Tuberculosis (TB)
Onset: semua usia Foto toraks menunjukkan adanya infiltrasi pada lapangan paru Diagnosis pasti: pemeriksaan mikrobiologi Muncul di daerah dengan prevalensi tinggi
Bronkiolitis obliteratif
Onset pada usia muda, tidak merokok Dapat memiliki riwayat rheumatoid arthritis, atau paparan gas kronis Hasil CT saat ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
21
Panbronkiolitis difusa
Umumnya ditemukan pada orang Asia Sebagian besar pasiennya adalah pria dan tidak merokok Hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis Foto toraks menunjukkan hiperinflasi dan sentrilobular nodular opak yang kecil
Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK (Sumber: GOLD 2010 updated dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160) 2.1.6. Penatalaksanaan PPOK merupakan penyakit progresif yang akan memburuk seiring dengan waktu, sehingga prinsip penanganannya ialah bukan untuk mengembalikan keadaan paru ke keadaan normal namun untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan frekuensi serangan dan keluhan yang dirasakan (NHLBI, 2014). 2.1.6.1. Penghentian Merokok Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah berhenti merokok (Reilly, et al., 2012). Sebagai faktor risiko utama yang melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan. 2.1.6.2. Bronkodilator Bronkodilator inhalasi adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, dan bertujuan sebagai pencegahan/mengurangi gejala yang akan timbul. Bronkodilator inhalasi kerja lama (long-acting) lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat (Buist, et al., 2014). Bermacam-macam bronkodilator yang dapat digunakan yaitu: - Golongan agonis beta-2 Digunakan untuk mengatasi sesak. Beta-2 agonis bekerja dengan cara merelaksasi otot polos dengan cara meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) intraseluler. Pada penggunaan yang lebih banyak dapat mengindikasikan serangan
22
eksaserbasi akut. Untuk pemeliharaan, dapat dipergunakan bentuk tablet yang berefek lebih panjang (PDPI,2003). Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Saat ini sediaan yang tersedia adalah salbutamol yang bekerja cepat, formoterol (Foradil) dan salmeterol (Serevent) yang bekerja lama. - Antikolinergik Antikolinergik bekerja pada postganglionik reseptor kolinergik dan dapat mengurangi sesak dengan menimbulkan efek bronkodilatasi. Obat ini ada yang bersifat kerja cepat, contohnya ipratropium bromida (Atrovent) dan kerja lambat contonya tiotropium bromida (Spiriva) - Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (PDPI, 2003) - Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin. Teofilin
merupakan
phosphodiesterase
inhibitor
(PDEi)
yang
saat
ini
penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama jantung (aritmia) dan kejang (Mosenifar, 2014). Maka pada penggunaan panjang perlu dimonitor kadar aminofilin darah. - Selektif Phosphodiesterase-4 (PDE4) Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi paru (Mosenifar, 2014). Contoh obatnya adalah Roflumilast (Daliresp). - Kortikostreoid inhalasi Kortikosteroid berfungsi mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Contohnya budesonide, fluticasone, beclomethasone.
23
2.1.6.3. PPOK Eksaserbasi Untuk PPOK eksaserbasi akut, manajemen di rumah sakit dapat diberikan bronkodilator kerja cepat: beta-2 agonis dan antikolinergik dosis tinggi; steroid oral atau intravena; antibiotik, dan dapat dipertimbangkan pemberian ventilator mekanik invasif (IPD, 2009). Eksaserbasi PPOK diakibatkan oleh (Sethi, et al., 2002, dalam Miravitlles et al., 2004). •
80% dari eksaserbasi disebabkan infeksi o 40-50% oleh
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Streptococcus pneumoniae
o 5–10% oleh bakteri atipikal
Chlamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumonia
o Terkadang dapat juga disebabkan oleh
Haemophilus parainfluenzae
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus
Enterobacteriaceae
o 30% oleh virus •
20% dari eksaserbasi bukan infeksi o Faktor lingkungan o Ketidakpatuhan minum obat Antibiotik yang dapat digunakan adalah:
a. Lini I
: - Amoksisilin - Makrolid - Ko-trimoksasole
b. Lini II
: - Amoksisilin klavulanat - Sefalosporin
24
- Kuinolon - Makrolid baru - Oksigen (di rumah sakit) Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang tepat adekuat. -Ventilasi mekanik Indikasi penggunaan ventilasi mekanik: ventilasi alveolar tidak adekuat, paru kurang mengembang, hipoksemia,kelelahan otot pernapasan, kerja napas yang berlebihan. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara: - ventilasi mekanik dengan intubasi - ventilasi mekanik tanpa intubasi (PDPI, 2003) Tambahan: •
Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
•
Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
•
Antitusif Diberikan dengan hati-hati (PDPI, 2003)
2.1.7. Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Merujuk 2.1.7.1. Follow-up Follow-up dapat dilakukan dalam 4-6 minggu pasca keluar dari rumah sakit. Berdasarkan GOLD (2014), kriteria pasien dipulangkan dari rumah sakit:
25
1. Menggunakan bronkodilator tidak lebih tiap 4 jam 2. Mampu berjalan keluar kamar 3. Bisa makan minum sendiri tanpa gangguan sesak 4. Stabil 12-24 jam pasca terapi parenteral 5. AGDA stabil dalam 24 jam 6. Pasien dapat menggunakan obat obat sendiri 7. Follow-up dan observasi saat di RS sudah lengkap (contoh: perawatan oleh perawatan, oksigen yang diberi, makanan) 8. Pasien, keluarga, dan relative sudah yakin dapat menangani saat berada di rumah. Yang dinilai selama proses follow-up adalah: 1. Mampu beraktivitas seperti orang lain 2. Menilai nilai VEP1 3. Menilai cara memakai inhaler 4. Mengerti regimen pengobatan 5. Menilai kembali kebutuhan oksigen atau nebulizer di rumah 6. Menilai gejala dengan CAT atau mMRC 7. Status komorbiditas 2.1.7.2. Komplikasi dan Indikasi Merujuk Komplikasi yang dapat ditimbulkan PPOK adalah: 1. Gagal Napas 2. Infeksi Berulang 3. Kor Pulmonale 4. Pneumotoraks 5. Bronkiektasis 6. osteoporosis 7. Depresi, gangguan tidur, dan gangguan kecemasan Rujukan ke spesialis paru dilakukan apabila:
26
1. Timbul pada usia muda 2. Sering mengalami eksaserbasi 3. Memerlukan terapi oksigen 4. Memerlukan terapi bedah paru 5. Sebagai persiapan terapi pembedahan 6. PPOK dengan komplikasi 7. PPOK tipe C atau D Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah, maka penting untuk diketahui bagaimana pencegahan dan edukasi perburukan gejalanya. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah merokok, atau bagi perokok dengan usia yang masih relative muda (<30 tahun) frekuensi dan intensitas merokok dapat dikurangi. Hal ini dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian terjadinya penyakit ini. Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang dapat dilakukan adalah: •
Exercise training seperti berjalan, menggunakan treadmill ataupun bersepeda, dapat dilakukan selama 10-45 menit setiap sesi yang bertujuan untuk meningkatan konsumsi oksigen, meningkatkan denyut jantung, dan kemampuan paru menggunakan oksigen. Menurut GOLD 2010, keefektifan training ini tergantung pada kemampuan pasien dan tingkat keparahan penyakitnya, dengan lama training sekitar 6-10 minggu.
•
Nutrition counseling perlu diperhatikan dalam manajemen PPOK. Berat badan berlebih ataupun kurang dapat menjadi permasalahan dalam mendapatkan perbaikan. Kelebihan berat badan lebih menyulitkan untuk mendapat perbaikan dibanding yang kurang, untuk itu penurunan indeks massa tubuh pada pasien overweight dan obese dapat menurunkan angka mortalitas.
27
2.2.
ELEKTROKARDIOGRAFI Pada setiap detakan, jantung berdepolarisasi untuk membangkitkan
kontraksi. Aktivitas ini merupakan aktivitas listrik yang ditransmisikan ke seluruh tubuh dan dapat dideteksi di permukaan kulit (Ashley dan Niebauer, 2006). Elektrokardiograf adalah alat yang merekan aktivitas listrik jantung, sedangkan elektrogradiogram adalah hasil perekaman tersebut. EKG dapat digunakan sebagai alat diagnosis adanya kelainan ritme jantung, perubahan konduksi listrik, dan adanya iskemi atau infark jaringan otot jantung. Aktivitas listrik yang terjadi di jantung terekam dalam bentuk gelombang, dan terbentuk mengikuti fisiologi jantung, terdiri dari gelombang depolarisasi dan repolarisasi (Thaler, 2009). 2.2.1. Fisiologi Konduksi Jantung Secara anatomi menurut sudut pangang EKG, jantung terdiri dari 3 tipe sel: 1. Sel pacu jantung – sumber tenaga listrik pada jantung 2. Sel penghantar listrik 3. Sel kontraktil Sel-sel tersebut bekerjasama membentuk sistem konduksi jantung. Sistem tersebut bergerak melalui: a. Sel pacu jantung (pacemaker) yaitu nodus sinoatrial (SA Node) merupakan sel-sel yang berada pada posterior dinding atrium kanan. Selsel ini biasanya mencetuskan impuls listrik pada frekuensi 60-100 kali per menit, namun frekuensi tidak mutlak teratur karena dipengaruhi oleh aktivasi sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), kadar elektrolit, serta keadaan tubuh akan peningkatan/penurunan curah jantung (aktivitas atau pekerjaan). b. Internodal pathway yaitu jalur yang menghubungkan antara nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular (AV node). Terletak di atrium kanan. c. Nodus atrioventrikular (AV node) merupakan jaringan yang bekerja sebagai penghantar impuls listrik (konduksi) yang terletak di inferior-
28
posterior septum interartrial. Berbeda dengan nodus SA yang berasal dari sel saraf, sel-sel penyusun nodus AV merupakan sel konduksi khusus yang berasal dari sel jantung yang memperlambat impuls menjadi 0.05 m/det impuls listrik di nodus AV. d.
Berkas His terdiri dari kanan (right bundle of His) dan kiri (left bundle of His). Berkas His kanan keluar dari nodus AV menuju ke ventrikel kanan. Berkas His kiri memiliki tiga jalur atau disebut fasikula (Thaler, 2009): •
Fasikula septum yang mendepolarisasi septum antarventrikel (kanan dan kiri)
•
Fasikula anterior yang mendepolarisasi bagian anterior ventrikel kiri
•
Fasikula posterior yang mendepolarisasi bagian posterior ventrikel kiri
e. Serabut purkinje yaitu penghantar listrik ke sel kontraktil atau disebut miokardium (otot jantung) sehingga akhirnya jantung dapat berkontraksi.
Gambar 2.5. Sistem konduksi jantung (Sumber: Niebauer, 2006: 15-34)
29
2.2.2. Sistem Kerja Elektrokardiograf EKG bekerja berdasarkan sistem konduksi jantung, yaitu proses depolarisasi-repolarisasi. Terdapat beberapa komponen yang digambarkan di EKG aeperti gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan garis lurus mendatar.
Gambar
2.6.
Konfigurasi
EKG
(Sumber:
Nibauer,
2006:15-34
)
1. Gelombang P :
gelombang
kecil
yang
pertama
muncul
dan
menggambarkan depolarisasi atrium (p: ± 0.06 det; t: 0.2 mV) 2. Interval P-R
: adalah waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel
3. Kompleks QRS: depolarisasi seluruh ventrikel (N: 0,06-0,1 det). Terdiri dari tiga gelombang: •
Gelombang
Q
kecil
menunjukkan
depolarisasi
septum
interventrikel; gelombang Q juga berhubungan dengan bernapas (gelombang kecil dan tipis) •
Gelombang R menunjukkan depolarisasi sebagian besar massa ventrikel (oleh karena itu merupakan gelombang terbesar)
30
•
Gelombang S menunjukkan depolarisasi terakhir di bagian dasar ventrikel
4. Segmen S-T
: merupakan jarak antara akhir gelombang kompleks QRS
dan awal gelombang T yang menunjukkan fase nol (tidak ada potensial aksi) sebelum terjadi repolarisasi 5. Gelombang T : repolarisasi ventrikel (repolarisasi atrium terjadi pada kompleks QRS) 6. Gelombang U : gelombang ini tidak begitu jelas, namun kemungkinan menunjukkan keadaan setelah repolarisasi ventrikel 7. Interval P-R
: waktu mulai atrium depolarisasi sampai onset depolarisasi
ventrikel (N: 0,12-0,2 det) 8. Durasi QRS
: durasi ventrikel depolarisasi
9. Interval Q-T : durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (N: 0,32-0,4 det) 10. Interval R-R : durasi siklus kontraksi jantung berdasarkan kontraksi ventrikel 11. Interval P-P
: siklus kontraksi atrium
2.2.2.1. EKG Normal Menurut Ashley dan Niebauer (2006), EKG normal dapat dinilai dari beberapa hal berikut ini: a. Sinus rhythm (ritme sinus) apabila laju denyut jantung atau heart rate dinilai dari banyaknya gelombang R dalam 1 menit pada orang dewasa terbentuk sebanyak 60-100; interval R-R dan P-P teratur; Denyut jantung dapat dihitung dengan cara: 1. 1500 / jumlah kotak kecil antara R-R 2. 300 / jumlah kotak besar antara R-R 3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10 atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5 b. Interval setiap gelombang normal seperti yang telah dijelaskan di atas. c. Morfologi gelombang normal (gambar 2.6.)
31
Gambar
2.7.
Gelombang
normal
di
12
sadapan
(Sumber:
www.merckmanuals.com diakses: 10 Mei 2014 )
Setiap sadapan memiliki sudut orientasi yakni sudut pandangnya sendiri terhadap jantung. Keduabelas sadapan diperoleh melalui (Thaler, 2009): 1. Sadapan I dihasilkan dengan menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 0° 2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 60° 3. Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kiri sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya 120° 4. Sadapan aVL dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah -30° 5. Sadapan aVR dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kanan sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya -150°
32
6. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya +90°. 7. V1 ditempatkan di sela iga ke-empat kanan 8. V2 ditempatkan di sela iga ke-empat kiri 9. V3 di antara V1 dan V2 10. V4 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid klavikularis kiri 11. V5 ditempatkan antara V4 dan V6 12. V6 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid aksilaris kiri Morfologi normal gelombang pada EKG (Thaler, 2009): 1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri (I, aVL, V5, V6) dan inferior (II, III, aVF); bifasik di sadapan III dan V1; paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan aVR. 2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat berurutan saat melintasi sadapan V1-V5. Gelombang Q yaitu depolarisasi septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan kadang pada inferior. 3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan gelombang R yang tinggi. d. Aksis normal Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu X dan sadapan aVF sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30° sampai +110°. Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis jantung adalah (Ashley dan Niebauer, 2006): a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF positif, maka sumbu jantung (aksis) berada pada posisi normal.
33
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri (LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30° sampai -90°. c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis ke kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110° sampai +180°. d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis kanan atas, berada pada sudut -90° sampai +180°. 2.2.2.2. EKG Abnormal EKG dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya gangguan-gangguan pada jantung. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan fungsi, irama, maupun struktur (Thaler, 2009). Penyakit yang dapat menunjukkan kelainan pada EKGnya adalah: 1. Aritmia (gangguan irama) 2. Penyakit pada jantung seperti iskemik miokardial akut, gagal jantung, perikarditis, kardiomiopati obstruktif hipertrofi, miokarditis, 3. Penyakit paru seperti PPOK, emboli paru akut. 4. Penyakit sistem saraf pusat seperti perdarahan subarakhnoid, infark serebral. 5. Kondisi lain seperti jantung atlet, gangguan elektrolit, hipotermia, ataupun akibat penggunaan obat-obatan.
2.3.
EKG PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Menurut Mosenifar, et al., (2014), manifestasi PPOK ke sistem
kardiovaskular dapat timbul akibat penurunan kemampuan rekoil alveoli (emfisema) sehingga tekanan dalam paru akan menjadi lebih tinggi. Tekanan yang tinggi ini mengakibatkan aliran darah jantung kanan terganggu. Jantung kanan akan bermanifestasi untuk meningkatkan kontraksinya agar darah terpompakan ke paru-paru. Kontraksi yang semakin kuat ini akan menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dapat terlihat peningkatan tekanan vena jugularis, maka pada perekaman EKG akan terdapat hasil yang menunjukkan keadaan
34
tersebut. Keadaan lain seperti hipoksemia dan hipoksia jaringan yang didukung oleh keadaan inflamasi bronkus akan memperberat kondisi. Laratta dan Van Eeden (2014) mengatakan bahwa pasien PPOK memiliki risiko yang cukup tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif (kor pulmonal). Faktor risiko lain yang dilaporkan dapat meningkatkan risiko pasien PPOK mengalami manifestasi kardiovaskular adalah adanya hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga, abnormal profil lipid, atau diabetes (O’Donnell, et al., 2008). Telah banyak dilaporkan bahwa risiko mendapat penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dalam populasi, pasien dengan infeksi sistem pernapasan dalam 1-2 minggu dapat mengalami miokardiak infark (segmen S-T elevasi/STEMI atau tidak/NSTEMI) dengan risiko 2-3 kali dibanding yang tidak. Selain itu, berdasarkan Huiart, et al. (2009), pasien stabil yang menggunakan kortikosteroid memiliki risiko yang lebih besar mendapat miokardiak infark. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat menganalisaadanya penyakit jantung seperti iskemia atau aritmia. Pada PPOK stabil biasanya hanya ada perubahan halus/sedikit pada EKG-nya dibanding dengan yang eksaserbasi akut. Kelainan yang dapat terjadi adalah seperti: variasi interval R-R yang berhubungan dengan derajat hipoksemia (Laratta dan Van Eeden, 2014). Studi lain melaporkan variasi interval R-R juga dapat mengindikasikan gangguan irama jantung akibat gangguan simpatis yang biasanya muncul pada pasien PPOK. Kelainan hasil EKG lain dapat meliputi amplitudo gelombang P di sadapan II, III, dan aVF yang lebih tinggi pada pasien PPOK dengan tekanan darah sistolik tinggi (Humagain, et al., 2011), aksis gelombang ≥P 90° sebagai indikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, aksis kompleks QRS > 90°. Deviasi aksis ke kanan disebabkan oleh paru berekspansi yang memaksa jantung mengubah posisinya lebih vertical sehingga berorientasi semakin ke kanan (Thaler, 2009). Kelainan EKG dijumpai lebih tinggi pada pasien PPOK berat dibanding dengan yang ringan-sedang (Holtzman, et al., 2011) seperti pembesaran atrium
35
kanan (Right Atrium Enlargement/RAE), hipertrofi ventrikel kanan (Right Ventricle Hypertrophy/RVH), blok berkas serabut kanan (Right Bundle Branch Block/RBBB), deviasi aksis ke kiri (Left Axis Deviation/LAD), dan di sebagian kecil populasi terdapat supraventrikular takikardi (SVT). Kelainan-kelainan tersebut dapat sebagai indikasi gangguan jantung kanan bahkan sampai gagal jantung kanan (Banker dan Verma, 2013).