6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enterobacteriaceae 2.1.1 Definisi Enterobacteriaceae adalah kelompok batang gram negatif yang besar dan heterogen, dengan habitat alaminya di saluran cerna manusia dan hewan (Brooks et al, 2008). Kebanyakan Enterobacteriaceae merupakan flora normal pada saluran pencernaan meskipun ada juga yang beberapa tersebar luas di lingkungan sekitar (Tham, 2012). Enterobacteriaceae dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi seperti septikemia, infeksi saluran kemih (ISK), pneumonia, kolesistitis, kolangitis, peritonitis, meningitis dan gastroenteritis (Brooks et al, 2008). 2.1.2 Klasifikasi Familinya
memilki
banyak
genus
(Escherichia,
Shigela,
Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia, Proteus, dan lain-lain). Enterobacteriaceae terdiri dari 25 genus dan 110 spesies, namun hanya hanya 20-25 spesies yang memiliki arti klinis, dan spesies lainnya jarang ditemukan (Brooks et al, 2008). Berikut adalah beberapa genus dari famili Enterobacteriaceae: a. Enterobacter Enterobacter terdiri dari 11 spesies, tetapi hanya 8 spesies yang berhasil diisolasi dari material klinis. Mereka memfermentasikan glukosa dan juga menghasilkan asam dan gas. Pada umumnya Enterobacter memliki flagel peritrik. Beberapa strain Enterobacter yang memilki antigen K mempunyai kapsul sebagai pelindung dari bakteri (NHS, 2014). b. Escherichia
Universitas Sumatera Utara
7
Escherichia terdiri dari enam spesies dimana empat diantaranya dikenal sebagai penyebab penyakit pada manusia. Spesies yang paling banyak diisolasi adalah Escherichia coli (NHS, 2014). E. coli merupakan spesies yang bersifat fakultatif anaerob yang paling banyak terdapat di saluran cerna manusia (109CFU/g feses) sehingga ditemukannya bakteri tersebut pada
jumlah
tertentu
dapat
dijadikan
sebagai
indikator
dari
kontimanisasi fekal pada makanan maupun minuman. Beberapa strain dari E. coli menghasilkan enterotoksin atau faktor virulensi lainnya. Serotipe dan kelompok patogenitas dari E.coli dibuat berdasarkan lipopolisakaridanya (O) dan antigen flagelanya (H) (Tham, 2012). c. Klebsiella Genus Klebsiella terdiri dari lima spesies dan empat subspesies (NHS, 2014). Seperti E.coli, Klebsiella spesies biasanya ditemukan di traktus gastrointestinal manusia (104CFU/ g feses). Faktor virulensi yang paling utama dari Klebsiella adalah kapsul polisakaridanya, yang menyebabkan permukaan
koloninya
menjadi
berlendir
(mucoid).
Klebsiella
pneumoniae adalah spesies yang paling banyak diisolasi dari infeksi pada manusia karena dapat menyebabkan infeksi nosokomial seperti infeksi saluran kemih (ISK), septikemia, kolesistitis, dan lain-lain (Tham, 2012). d. Proteus Proteus terdiri dari empat spesies, dimana tiga diantaranya dapat menyebabkan penyakit. Semua strain dari Proteus bersifat urease positif dan motil (NHS, 2014). Proteus sering menjadi penyebab infeksi saluran kemih (ISK) terutama infeksi pada pasien yang memakai indwelling catheters atau yang memilki kelainan anatomis atau fungsional pada saluran kemihnya. Jika dibandingkan dengan E.coli, infeksi yang disebabkan oleh Proteus cenderung akan lebih parah dan mengarah kepada kejadian pyelonefritis (Tham, 2014).
Universitas Sumatera Utara
8
e. Shigella Shigella terdiri atas empat spesies, yaitu Shigella dysenteriae, Shigella flexnerri, Shigella. boydii, dan Shigella sonnei. Keempat spesies ini bersifat motil dan cenderung infeksius terutama S. dysenteriae (NHS, 2014). f. Salmonella Salmonella teridiri dari dua spesies yaitu Salmonella bongori dan Salmonella enteritica dan memiliki enam buah sub tipe. Hampir seluruh serotipe bersifat motil kecuali S. typhi yang menghasilkan gas dari glukosa. Secara umum, Salmonella menghasilkan hidrogen sulfida, kecuali S. paratyphi (NHS, 2014). 2.1.3 Morfologi Enterobactericeae adalah bakteri batang gram negatif pendek, tidak menghasilkan spora, bersifat motil dengan flagel peritrika atau nonmotil, dan tumbuh secara fakultatif aerob atau anaerob. Morfologi yang khas terlihat pada pertumbuhan di medium padat in vitro,tetapi morfologinya sangat bervariasi pada spesimen klinis (Brooks et al, 2008). 2.1.4 Biakan Secara umum, Enterobactericeae tumbuh pada medium pepton atau ekstrak daging tanpa penambahan natrium klorida atau suplemen lain dan juga pada agar MacConcey. E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya membentuk koloni yang sirkular, konveks, dan halus dengan tepi yang datar. Koloni Enterobacteriaceae sama dengan koloni tersebut tetapi lebih mukoid. Koloni Klebsiella besar akan terlihat sangat mukoid dan cenderung bersatu pada inkubasi lama. Salmonella dan Shigela akan membentuk
koloni
yang
menyerupai
memfermentasikan laktosa. Beberapa strain
E.
coli
tetapi
tidak
E. coli menyebabkan
hemolisis pada darah (Brooks et al, 2008). 2.1.5 Sifat Pertumbuhan Pada umumnya, Enterobacteriaceae melakukan fermentasi glukosa dan sering disertai dengan produksi gas. Enterobacteriaceae juga bersifat
Universitas Sumatera Utara
9
katalase-positif, oksidasi negatif, dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit (Brooks et al, 2008).
a. Eschericia E.coli secara khas menunjukkan hasil positif pada tes indol, lisin dekarboksilase, fermentasi
manitol, dan menghasilkan gas dari
glukosa. Pada isolat urin dapat segera diidentifikasi sebagai E.coli dengan melihat hemolisisnya pada agar darah, morfologi koloni yang khas dengan warna pelangi yang “berkilau” pada medium diferensial Eosin Methylen Blue (EMB), dan tes bercak indol positif (Brooks et al, 2008). b. Klebsiella-Enteobacter-Serratia Pertumbuhan spesies Klebsiella menghasilkan pertumbuhan yang bersifat mukoid, kapsul polisakarida yang besar, kurang motil, dan menunjukkan hasil positif untuk lisin dekarboksilase dan sitrat. Kebanyakan spesies Enterobacter menunjukkan hasil positif terhadap uji motilitas, sitrat, dan ornitin dekarboksilase serta menghasilkan gas dari glukosa. Serratia menghasilkan lipase dan gelatinase. Klebsiella, Enterobacter dan Serratia biasanya memberikan hasil positif terhadap reaksi Voges-Proskauer (Brooks et al, 2008). c. Proteus-Morganella-Providencia Anggota grup ini mendeaminasi fenilalanin, bersifat motil, tumbuh pada medium kalium sianida (KCN), dan memfermentasikan xilosa. Spesies Proteus bergerak sangat aktif dengan menggunakan flagel peritrika, menghasilkan “swarming” pada medium padat kecuali swarming dihambat oleh zat-zat kimia seperti medium feniletil alkohol atau CLED (cystine-lactose-electrolyte-deficient). Spesies Proteus dan Morganella morganii merupakan urease positif, sedangan spesies Providencia biasanya urease-negatif. Kelompok Proteus-Providencia sangat
lambat
memfermentasi
laktosa
atau
tidak
memfermentasikannya sama sekali (Brooks et al, 2008) .
Universitas Sumatera Utara
10
d. Citrobacter Bakteri
ini
secara
khas
bersifat
sitrat
positif
dan
tidak
mendekarboksilasi lisin. Organisme ini sangat lambat memfermentasi laktosa (Brooks et al, 2008). e. Shigella Shigella bersifat nonmotil dan biasanya tidak memfermentasikan laktosa tetapi memfermentasikan karbohidrat lain, serta memproduksi asam tetapi tidak H2S (Brooks et al, 2008). f. Salmonella Salmonella merupakan bakteri berbentuk batang motil yang secara khas memfermentasikan laktosa dan manosa tanpa memproduksi gas tetapi tidak memfermentasikan sukrosa. Sebagian besar Salmonella menghasilkan H2S. Organisme ini umumnya bersifat patogen untuk manusia bila termakan (Brooks et al, 2008). 2.1.6 Struktur Antigenik Enterobacteriaceae memilki struktur antigenik yang kompleks. Enterobacteriaceae digolongkan berdasarkan lebih dari 150 antigen somatik O (lipopolisakarida) yang tahan panas, lebih dari 100 antigen K (kapsular) yang tidak tahan panas, dan lebih dari 50 antigen H (flagella) (Brooks, 2008). Antigen O adalah bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung pola yang unik. Antigen O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM (Brooks et al, 2008). Antigen
K
terletak
di
luar
antigen
O
pada
beberapa
Enterobacteriaceae tetapi tidak semuanya. Beberapa antigen K merupakan polisakarida, termasuk antigen K pada E.coli, sementara yang lainnya
Universitas Sumatera Utara
11
merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi (misalnya, strain E.coli yang menghasilkan antigen K1 sering ditemukan pada meningitis neonatal) (Brooks et al, 2008). Klebsiella
membentuk
kapsul
besar
yang
mengandung
polisakarida (antigen K) yang menutupi antigen somatik (O atau H) dan dapat diidentifikasi dengan menggunakan uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik. Infeksi saluran napas pada manusia terutama disebabkan oleh kapsular tipe 1 dan 2, sementara infeksi saluran kemih disebabkan oleh tipe 8,9,10, dan 24 (Brooks et al, 2008). Antigen H terdapat di flagela dan didenaturasi atau dirusak oleh panas atau alkohol. Antigen ini dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang motil. Antigen H seperti ini akan beraglutinasi dengan antibodi anti-H, terutama IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin) (Brooks et al, 2008).
Gambar 2.1. Struktur antigenik pada Enterobacteriaceae (Brooks et al, 2008)
2.2 Resistensi bakteri terhadap antibiotik Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotik terjadi melalui 3 mekanisme (Setiabudy, 2009): a. Obat tidak mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri
Universitas Sumatera Utara
12
Pada bakteri gram negatif, molekul antibiotik yang kecil dan polar dapat menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang kecil yang disebut porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka masuknya antibiotik ini akan terganggu. Mekanisme lain adalah bakteri mengurangi mekanisme transport aktif yang memasukkan antibiotik ke dalam bakteri (misalnya gentamisin). Selain itu ada juga mekanisme berupa bakteri mengaktifkan pompa keluaran (efflux) untuk membuang antibiotik yang ada dalam sel (misalnya tetrasiklin). b. Inaktivasi obat Mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta-laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang dapat merusak kedua golongan antibiotik tersebut. c. Bakteri mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin (Methicillin-Resistant
Staphylococcus
Aureus/MRSA).
Bakteri
ini
mengubah penicillin binding protein sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam lainnya. Penyebaran resistensi pada bakteri dapat terjadi secara vertikal (diturunkan ke generasi berikutnya) tetapi yang lebih yang sering adalah secara horizontal atau sel donor. Dilihat dari segi bagaimana resistensi dipindahkan maka dapat dibedakan dalam 4 cara, yaitu (Setiabudy, 2009): a. Mutasi Proses ini terjadi secara spontan,acak dan tidak tergantung dari ada atau tidaknya paparan antibiotik. Mutasi terjadi akibat perubahan pada gen mikroba mengubah binding site antibiotik, protein transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
13
b. Transduksi Adalah kejadian dimana suatu bakteri menjadi resisten karena mendapat DNA dari bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) yang membawa DNA dari bakeri lain yang memilki gen resisten terhadap antibiotik tertentu. Bakteri yang sering mentransfer resistensi dengan cara ini adalah S. aureus. c. Transformasi Transfer resistensi terjadi karena antibiotik mengambil DNA bebas yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi sering menjadi transfer resistensi terhadap penisilin pada Pneumococcus dan Neisseria. d. Konjugasi Resistensi terjadi secara langsung antara 2 bakteri dengan suatu “jembatan” yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah mekanisme transfer resistensi yang dapat terjadi pada dua bakteri dengan spesies yang berbeda. Transfer resisteni dengan cara konjugasi lazim terjadi antara bakteri gram negatif. Sifat resisteni dibawa oleh plasmid. Faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi bakteri terhadap antibiotik di klinik adalah (Setiabudy, 2009): penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama.
2.3 Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) ESBL (Extended Spectrum Beta-Lactamase) merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi pertama, kedua, ketiga dan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem) (Pajariu, 2010). ESBL adalah hasil mutasi dari enzim beta-laktamase TEM-1, TEM-2, dan SHV-1 yang biasa ditemukan pada plasmid Enterobacteriaceae (Behrooozi, 2010). Isolasi dari ESBL ini pertama kali dilakukan pada tahun 1983 dari kuman K. ozaenae di Jerman (Kuntaman
Universitas Sumatera Utara
14
et al, 2011).Bakteri yang paling banyak memproduksi ESBL adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia (Winarto, 2009).
2.3.1 Karakteristik Biologi ESBL Gen beta-laktamase (bla) biasanya ditemukan pada kromosom meskipun dapat juga ditemukan di plasmid. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi penyebaran resistensi (Winarto, 2009). Hal ini membedakan ESBL dengan AmpC tipe beta-laktamase yang biasa dikode di dalam kromosom. Selain itu, berbeda dengan ESBL, Amp C tipe beta-laktamase tidak dapat diinhibisi oleh asam klavulanat ataupun betalaktamse inhibitor (Tham, 2012). Kebanyakan ESBL terdiri dari serin pada sisi aktifnya dan merupakan enzim kelas A menurut klasifikasi molekular oleh Ambler. Enzim kelas A adalah enzim yang memiliki serin pada sisi aktifnya, berat molekul 29.000 Dalton dan memiliki kecenderungan dapat menghidrolisis penicillin (Bradford, 2001). Enzim beta-laktamase yang termasuk kelas A adalah
TEM-1,
SHV-1
dan
penisilinase
yang
ditemukan
pada
Staphylococcus aureus (Bradford, 2001). Sampai saat ini klasifikasi molekular tetap dilakukan, meskipun untuk membedakan setiap enzim yang termasuk klasifikasi grup A belum terlalu jelas. Oleh karena itu, Richmond dan Skyes menerapkan sistem klasifikasi yang baru berdasarkan profil substrat dan lokasi gen yang mengkode beta-laktamase. Sekarang ini, klasifkasi yang lazim dipakai adalah klasifikasi oleh Bush, Jacoby dan Medeiros dengan menggunakan karakteristik biokimia dari enzim dan struktur molekular serta nucleotide sequence dari gen yang mengkode beta-laktamase. Dengan menggunakan klasifikasi
ini,
ESBL adalah
enzim
beta-laktamase
yang
dapat
menghidrolisis oxymino-cephalosporin serta dapat diinhibisi oleh asam
Universitas Sumatera Utara
15
klavulanat sehingga secara fungsional dimasukkan kedalam grup 2be (Paterson dan Bonomo, 2005).
2.3.2 Tipe ESBL Kebanyakan ESBL berasal dari turunan enzim TEM dan SHV. Sekarang ditemukan lebih dari 90 enzim beta laktamase tipe TEM dan 36 enzim beta-laktamase tipe SHV. a. ESBL tipe TEM ESBL tipe TEM terdiri dari TEM-1 dan TEM-2. TEM-1 pertama kali ditemukan pada tahun 1966 dari E.coli yang diisolasi dari seorang pasien bernama Temoneira di Yunani (hal ini menyebabkan enzim ini disebut sebagai TEM) (Bonomo dan Paterson, 2005). TEM-1 betalaktamase adalah enzim yang bertanggungjawab atas resistensi bakteri terhadapat ampicillin, penicillin dan cephalosporin generasi pertama dan dapat diinhibisi oleh asam klavulanat. ESBL menyebabkan sekitar 90% resistensi E.coli terhadap ampicillin dan juga resistensi H. influenza dan N. gonorrhoeae terhadap penicillin. Mutasi spesifik yang terjadi pada blatem-1 yang dimediasi melalui proses seleksi antibiotik menyebabkan kemampuan enzim untuk menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas dan azteronam meningkat (Rupp dan Fey, 2003). ESBL tipe TEM paling banyak ditemukan pada E.coli dan K. pneumoniae (Bradford, 2001). b. ESBL tipe SHV ESBL tipe SHV lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan tipe ESBL lainnya (Paterson dan Bonomo, 2005). SHV berasal dari kata sulfhidril variabel. SHV tipe-1 beta-laktamase yang ditemukan pertama kali pada Klebsiella pneumoniae merupakan enzim yang dikode pada plasmid yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap penicillin dan cephalosporin generasi pertama (Rupp dan Fey, 2003). Seperti pada TEM-1, mutasi yang terjadi blashv-1 menyebabkan kemampuan hidrolisis SHV-1
meningkat
sehingga
dapat
menghidrolisis
cephalosporin
berspektrum luas dan juga monobactam. ESBL tipe SHV paling banyak
Universitas Sumatera Utara
16
ditemukan pada K. pneumoniae meskipun juga ditemukan pada Citrobacter diversus, E.coli dan P. aeruginosa. Sekarang ini telah ditemukan 36 ESBL tipe SHV (Rupp dan Fey, 2003). c. ESBL tipe lain Pada beberapa tahun terakhir, ESBL tipe lain ditemukan pada isolasi E. coli. Enzim baru ini dinamakan CTX-M karena kemampuannya dalam menghidrolisis cefotaxime. CTX-M banyak ditemukan pada Salmonella enterica dan juga E.coli, meskipun dapat juga ditemukan pada spesies lain dari famili Enterobacteriaceae (Bradford, 2001).
2.3.3 Epidemiologi ESBL Secara epidemiologi, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan prevalensi berbeda-beda tergantung dari pola pemakaian antibitiotik. a. Eropa ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa tepatnya di Jerman pada tahun 1983 (Rupp dan Fey, 2013). Survei yang dilakukan di Perancis menunjukkan terdapat 40% K. pneumoniae yang mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di Belanda dengan prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. pneumoniae <1%. Perbedaan prevalensi di benua Eropa ini belum diketahui penyebabnya (Rupp dan Fey, 2003). b. Amerika Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013, setiap tahunnya terjadi 26.000 infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia. c. Asia Berdasarkan survei
yang telah dilakukan oleh Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends (SMART) pada tahun 2007, prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
17
infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 % dan 35,8% (Kang dan Song, 2013). Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian urnuk mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan secara terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan
prevalensi ESBL
mencapai 58, 42% pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit (Saharman dan Lestari, 2011). Penelitian lain yang dilakukan pada Januari 2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr. Sutomo, Surabaya;RS. Dr. Kariadi, Semarang; dan RS. Dr. Saiful Anwar, Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL (Kuntaman et al, 2011). Selain itu, pada tahun 2009 penelitian yang sama juga dilakukan kembali di RS. Kariadi Semarang selama dua tahun, dimana dari 901 sampel yang ditumbuhi oleh bakteri gram negatif, 50,6% nya dinyatakan positif ESBL (Winarto, 2009). Tidak hanya di pulau Jawa, penelitian serupa telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan, didapatkan dari 91 isolat E.coli, 53 diantaranya dinyatakan positif ESBL.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabakan terjadinya kolonisasi ESBL pada manusia adalah (Rupp dan Fey, 2003): a.
Tingkat keparahan penyakit
b.
Lamanya tinggal di rumah sakit dan di intensive care unit (ICU)
c.
Prosedur invasif
d.
Penggunaan akses intravascular seperti kateter arterial dan juga kateter sentral
e.
Pemakaian nasogastric tube, mechanical ventilator, kateter urin
f.
Usia
g.
Penggunaan aztreonam,
antibiotik
seperti
fluoroquinolon,
cephalosporin
spektrum
cotrimoxazole
luas,
(trimethoprim/
sulfamethoxazole), aminoglycosida, dan metronidazole
Universitas Sumatera Utara
18
2.3.4 Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik golongan beta-laktam Mekanisme resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap antibiotika terjadi karena adanya mutasi titik/ point mutation pada gen yang dikode pada plasmid bakteri (Ejaz et al, 2011). Mutasi ini menyebabkan peningkatan
aktivitas
enzimatik
beta-laktamase
sehingga
dapat
menghidrolisis cephalosporin dan aztreonam (Pajariu, 2010). Terdapat empat mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhdapat antibiotik beta-laktam (Fauziyah, 2010): a. Inaktivasi antibiotik beta laktam melalui enzim beta-laktamase b. Produksi penicillin binding protein yang baru disertai dengan penurunan afinitas terhadap antibiotik c. Menurunkan permeabilitas antibiotik pada dinding sel bakteri dengan mengubah channel porin. d. Mengkatifkan pompa efflux sehingga dapat membuang antibiotik dari sel bakteri
2.3.5 Deteksi ESBL Metode yang digunakan untuk skrining ESBL dikeluarkan oleh NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) yang sekarang berganti nama menjadi CLSI (Clinical Laboratory Standard Institute). Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat digunakan untuk skrining ESBL: a. Uji Double Disk Synergy Metode ini pertama kali ditemukan oleh Jarlier et.al pada tahun 1988 dengan menggunakan agar Mueller Hinton (Rupp dan Fey, 2003). Skrining dengan metode uji Double Disk Synergy memiliki tingkat kesulitan yang tidak tinggi dan menggunakan alat dan bahan yang cukup sederhana (Rupp dan Fey, 2003).
Uji double disk synergy dilakukan
dengan menggunakan cakram augmentin (20 µg amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat) dan cakram cefotaxim (30 µg), ceftazidime (30 µg) serta cefpodoxime (30 µg) yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar
Universitas Sumatera Utara
19
16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka yang pasti sebagai batasan hasil positif dan negatif,
tingkat subjektivitas dalam
menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode in (Rupp dan Fey, 2003). Meskipun memiliki kelemahan, metode double disk synergy memilki tingkat sensitivitas yang cukup baik yaitu berkisar 79%-96% (Giriyapur et al, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Giriyapur (2011) dari 313 sampel Enterobacteriaceae, 176 sampel (56,23%) merupakan bakteri penghasil ESBL yang diskrining dengan metode double disk synergy, sementara 200 sampel (63,89%) dinyatakan bakteri penghasil ESBL dengan metode uji phenotypic confirmatory. Hal ini menunjukkan bahwa metode double disk synergy dapat diandalkan untuk skrining bakteri penghasil ESBL.
Gambar 2.2 Hasil positif uji Double Disk Synergy (Dhara et al, 2011)
Universitas Sumatera Utara
20
b. Uji Phenotypic Confirmatory Metode ini menggunakan cefotaxime, ceftazidime, cefotaxim yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dan juga ceftazidime yang dikombinasikan dengan asam klavulanat. Biakan bakteri yang telah disesuaikan kekeruhannya 0,5 McFarland diinokulasikan ke dalam agar Muller Hinton. Cefotaxime dan cefotaxime klavulanat diletakkan dengan jarak 20 mm diantara keduanya. Hal yang sama juga dilakukan pada ceftazidime dan ceftazidime klavulanat. Isolat bakteri dinyatakan positif ESBL jika setelah diinkubasi 1 malam pada suhu 37oC,
terdapat
peningkatan diameter > 5 mm pada zona inhibisi dengan cakram antibiotik (cefotaxim, ceftazidim) yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dibandingkan dengan zona inhibisi dengan cakram antibiotik tanpa kombinasi (Umadevi et al, 2011). 2.4. Infeksi Saluran Kemih Istilah infeksi saluran kemih dinyatakan sebagai kondisi klinis mulai dari adanya bakteri dalam urin pada keadaan asimptomatik sampai infeksi berat pada ginjal yang disertai dengan sesis (Stamm, 2005). Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 100.000 colony forming units (CFU) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna tanpa disertai manifestasi klinis infeksi saluran kemih (ISK) disebut bakteriuria asimptomatik. Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai manifestasi klinis disebut bakteriuria simptomatik (Yulianto, 2009). Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Angka kejadia penyakit ini lebih sering pada perempuan
daripada
laki-laki
dengan
angka
populasi
5%-15%
(Yulianto,2009). Prevalensi infeksi saluran kemih pada anak usia sekolah mencapai 1-3% dan meningkat pada remaja yang sudah melakukan hubungan seksual. Prevalensi ini akan terus meningkat sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
21
pertambahan usia sehingga perbandingan prevalensi antara laki-laki dan perempuan adalah 1:2 (Yulianto,2009). Pada umumnya, sekitar 50% infeksi saluran kemih disebabkan oleh E.coli, penyebab lainnya adalah Klebsiella, Staphylococcus aureus, Proteus, Pseudomonas sp. dan bakteri gram negatif lainnya. Sebagain besar dari spesies menjadi etiologi dari ISK yang telah disebutkan di atas adalah bakteri dari famili Enterobacteriacea. Tabel. 2.1 Famili, Genus dan Spesies Mikroorganisme (MO) yang Paling Sering Sebagai Penyebab Infeksi Saluran Kemih (Sukandar, 2004). Bakteri Gram negatif Famili
Genus
Enterobacteriaceae
Escherichia Klebsiella
Spesies
coli pneumonia oxytosa Proteus mirabilis vulgaris Enterobacter cloaca aerogenes Providencia rettgeri stuartii Morganella Morganii Citrobacter freundii diversus Serratia Morcesnes Pseudomonadaceae Pseudomonas Aeruginosa Bakteri Gram positif Famili Micrococcaceae Streptococcaceae
Genus Staphylococcus Streptococcus Enterococcus
Spesies aureus fecalis
Pada individu laki-laki maupun perempuan normal, biasanya urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi berkemih. Hampir semua infeksi saluran kemih disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi
Universitas Sumatera Utara
22
mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah oleh refluks vesikouretra. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemia atau endokarditis akibat S. aureus. Beberapa peneliti melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif (Sukandar, 2004). Manifestasi dari infeksi saluran kemih berbeda-beda tergantung dimana letak infeksinya. Infeksi saluran kemih bagian atas akan menghasilkan gejala klinis berupa demam, kram, nyeri punggung, muntah, dan penurunan berat badan, sementara gejala klinis dari infeksi saluran kemih bagian bawah yaitu nyeri suprapubik, disuria, frekuensi, hematuria, urgensi dan stranguria (Sukandar, 2004).Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa infeksi saluran kemih terdiri atas pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan yaitu analisa urin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin. Hal penting yang perlu diperhatikan untuk konfirmasi sebelum menegakkan diagnosa infeksi saluran kemih adalah cara pengambilan sampel urin. Sampel untuk pembiakan urin sebaiknya dilakukan segera (kurang dari setengah jam sesudah sampel urin diambil). Bila waktu tidak memungkinkan dapat disimpan alam lemari es pada suhu 4oC dan masih dapat dilakukan pembiakan sebelum 48 jam. Waktu pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan rutin yang terbaik adalah pagi hari segera sesudah bangun tidur, sedangkan bila untuk biakan bisa diambil urin sewaktu asalkan sudah lebih dari 4 jam urin terkumpul dalam kandung kemih. Baku emas untuk mendiagnosis infeksi saluran kemih adalah pemeriksaan kultur urin dimana dijumpai bakteriuria >105 CFU/ml urin segar (Sukandar, 2004).Prinsip tatalaksana infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi 2 yaitu manajemen infeksi saluran kemih bagian bawah dan infeksi saluran kemih bagian atas. Tatalaksanaa pada infeksi saluran kemih bagian bawah meliputi asupan cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkalinisasi urin. Dari hasil penelitian, sekitar 80% pasien
Universitas Sumatera Utara
23
akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotika tunggal seperti ampicillin 3 gram atau trimetoprim 200 mg (Sukandar, 2004). Pada infeksi saluran kemih bagain atas, tatalaksana yang dapat dilakukan adalah memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam (Sukandar, 2004). The Infectious Disease Society of America menganjurkan dari tiga alternatif terapi antibiotik IV sebagai awal selama 48-72 jam sebelum diketahui mikroorganisme sebagai penyebabnya, yaitu aminoglykosida dengan atau tanpa ampicillin, cephalosporin berspektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida serta fluorokuinolon (Sukandar, 2004).
Universitas Sumatera Utara