BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Efisiensi Pengertian efisiensi menurut Horngren dkk (2000: 228) adalah sebagai
berikut: ”Effectiveness: the degree to which a predetermined objective or target is met. Efficiency: the relative amount of inputs use to achieve a given output level.” Menurut Supriyono (1999: 26-27) adalah: ”Efektivitas
adalah
hubungan
antara
keluaran
pusat
pertanggungjawaban dengan tujuannya. Efisiensi adalah rasio keluaran terhadap masukan.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat diartikan bahwa efektivitas merupakan ukuran
keberhasilan
dalam
pencapaian
tujuan.
Efektivitas
cenderung
dihubungkan dengan hasil guna, sedangkan efisiensi lebih sering dihubungkan dengan ketepatan waktu dan daya guna atau dapat diartikan bahwa efisiensi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan tepat tanpa menghabiskan waktu dan biaya. Selain itu, dalam Kamus Istilah Manajemen (1994: 51) efisiensi dapat didefinisikan sebagai suatu besaran atau angka untuk menunjukkan seberapa jauh sumber daya berhasil dimanfaatkan. 2.2
Persediaan Bahan Baku
2.2.1
Definisi Persediaan Menurut Kieso dan kawan-kawan (1998: 394), definisi persediaan
adalah: “ Inventory are asset items held for sale in the ordinary course of business or goods that will be used or consumed in the production of goods to be sold “
Menurut Hawkins (1998: 570), definisi persediaan adalah: “ Inventories include all tangible items held for sale or consumption in the normal course of business for which the company holds title, whenever they might be located “ Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), dalam Standar Akuntansi Keuangan (2000: 14.1), menyatakan bahwa: “ Persediaan meliputi barang yang dibeli untuk disimpan dan dijual kembali, misalnya barang dagang dibeli oleh pengecer untuk dijual kembali, atau pengadaan tanah atau properti lainnya untuk dijual kembali. Persediaan juga mencakupi barang jadi yang telah diproduksi, atau barang dalam penyelesaian dan termasuk bahan serta perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi. Bagi perusahaan jasa, persediaan meliputi biaya jasa yang diuraikan dalam paragraf 16, dimana pendapatan yang bersangkutan belum diakui perusahaan (PSAK no. 23 tentang Pendapatan). “ Sofyan Assauri (1999: 171) berpendapat bahwa persediaan bahan baku adalah persediaan dari barang-barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi yang dapat diperoleh dari sumber-sumber alam maupun dibeli dari supplier atau perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik yang menggunakannya.
2.2.2
Jenis Persediaan Jenis persediaan dalam suatu perusahaan, khususnya perusahaan
industri, dikelompokkan oleh Lukman Syamsudin (2002: 281-285) menjadi: 1. Persediaan Bahan Baku Merupakan persediaan yang dibeli oleh perusahaan untuk diproses menjadi barang setengah jadi dan akhirnya menjadi barang jadi, atau barang yang diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari pemasok atau perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan industri yang menggunakannya. 2. Persediaan Barang Dalam Proses Merupakan barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik, atau barang yang sudah diubah bentuknya tetapi perlu diproses kembali untuk menjadi barang jadi.
3. Persediaan Barang Jadi Merupakan persediaan barang dagang yang telah selesai diproses tetapi belum dijual namun telah siap dijual kepada konsumen. 4. Persediaan Bahan Pembantu Merupakan barang-barang yang diperlukan untuk membantu dalam proses produksi guna berhasilnya proses produksi perusahaan. Bila persediaan digolongkan menurut jenis dan posisi barang dalam urutan pengerjaan produk, seperti yang dikemukakan Sofyan Assauri (1993: 177) yaitu: •
Persediaan bahan baku (Raw material stock) Persediaan yang digunakan dalam proses produksi, diperoleh dari sumber alam atau dibeli dari perusahaan yang menghasilkan bahan baku tersebut.
•
Persediaan
bagian
produk
yang
dibeli
(Components
stock/purchased stock) Persediaan barang-barang yang terdiri dari parts yang diterima dari perusahaan lain, yang secara langsung dapat dirakit dengan parts lainnya tanpa melalui proses produksi sebelumnya. •
Persediaan
bahan-bahan
pembantu
atau
barang-barang
perlengkapan (Supplies stock) Persediaan barang-barang dan bahan-bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu keberhasilan suatu proses produksi, tetapi bukan merupakan bagian atau komponen dari barang jadi. •
Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (Work in process/progress stock) Persediaan barang-barang yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik, atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, namun masih memerlukan proses lebih lanjut sampai menjadi barang jadi.
•
Persediaan barang jadi (Finished goods stock) Persediaan barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual kepada konsumen. Persediaan dalam industri manufaktur merupakan stok item yang dijaga
oleh perusahaan agar memenuhi permintaan. Setiap perusahaan memiliki jenis persediaan yang berbeda-beda bergantung pada usaha yang dikelolanya. Pada
industri manufaktur, persediaan bukan hanya produk akhir saja tetapi dapat juga berupa yang lainnya. Dengan demikian persediaan perlu diklasifikasikan menurut jenisnya. 2.2.3
Fungsi Persediaan Proses produksi suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh jumlah
persediaan yang dimilikinya. Persediaan timbul karena adanya penawaran dan permintaan yang berada pada tingkat yang berbeda, sehingga material yang tersedia berbeda jumlahnya dengan yang dibutuhkan. Adanya persediaan di perusahaan manufaktur memiliki alasan tertentu. Menurut Sofyan Assauri (1993: 176-177), alasan perusahaan manufaktur memerlukan persediaan karena: • •
Dibutuhkan waktu untuk menyelesaikan operasi produksi dan untuk memindahkan produk dari suatu tingkat proses ke tingkat proses berikutnya, yang disebut persediaan dalam proses dan pemindahan. Alasan organisasi, untuk memungkinkan satu unit atau bagian membuat skedul operasinya secara bebas, tidak tergantung yang lainnya.
Dilihat dari fungsinya, Freddy Rangkuti (2004: 8) menyebutkan bahwa persediaan dibedakan menjadi: a. Batch Stock atau Lot Size Inventory yaitu persediaan yang diadakan karena membeli atau membuat bahan-bahan/barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan pada saat itu. b. Fluctuation Stock adalah persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan c. Anticipation Stock yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi permintaan yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun untuk menghadapi penjualan atau permintaan yang meningkat.
Adapun fungsi (dan manfaat yang dapat diperoleh) perusahaan menyimpan persediaan menurut Abas Kartadinata (1983: 176), yaitu: 1. Mencegah hilangnya kesempatan untuk menjual 2. Menarik keuntungan dari potongan-potongan 3. Mengurangi biaya-biaya pemesanan
4. Menjamin kelancaran proses produksi
2.2.4
Faktor yang Mempengaruhi Persediaan Persediaan merupakan salah satu unsur yang paling aktif dalam kegiatan
operasional perusahaan yang secara terus menerus diperoleh, diubah dan kemudian dijual. Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi tidak selalu dapat didatangkan sejumlah dan pada saat yang dibutuhkan. Dengan adanya persediaan, dapat menghindarkan kemungkinan terjadinya kehabisan bahan baku yang akan menghambat proses produksi. Akan tetapi, persediaan yang terlalu besar dapat merugikan perusahaan karena timbul biaya-biaya seperti biaya pengadaan dan penyimpanan yang cukup tinggi serta beban biaya akibat kerusakan barang. Oleh karena itu, menurut Abas Kartadinata (1983: 180), dalam menentukan besarnya persediaan bahan baku, terdapat beberapa hal yang akan mempengaruhi dan perlu diperhatikan seperti: •
Perkiraan pemakaian, merupakan perkiraan tentang berapa jumlah bahan baku yang akan digunakan oleh perusahaan untuk proses produksi pada periode mendatang.
•
Harga bahan baku, merupakan dasar penyusunan perhitungan dana perusahaan yang harus disediakan untuk diinvestasikan dalam bahan baku tersebut.
•
Biaya-biaya persediaan, merupakan biaya-biaya yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk pengadaan bahan baku.
•
Kebijaksanaan pembelanjaan, merupakan faktor
penentu dalam
menentukan berapa besar persediaan bahan baku yang akan didanai perusahaan. •
Pemakaian sesungguhnya, merupakan pemakaian bahan baku yang sesungguhnya dari periode yang lalu dan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan.
•
Waktu tunggu, merupakan tenggang waktu yang tepat sehingga perusahaan dapat membeli kembali pada saat yang tepat pula agar resiko penumpukan ataupun kekurangan persediaan dapat ditekan seminimal mungkin.
2.2.5
Biaya Persediaan Informasi biaya merupakan data yang diperlukan untuk menyusun suatu
perencanaan dan pengambilan keputusan. Sehubungan dengan pembelian bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan, pihak perusahaan perlu menentukan jumlah bahan baku optimal yang harus dibeli. Tujuannya ialah meminimumkan biaya persediaan yang harus dikeluarkan perusahaan. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), dalam Standar Akuntansi Keuangan (2000: 14.6), menyatakan bahwa: “ Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau dipakai (present location and condition). “ Sofyan Assauri (1993: 180) mengelompokkan biaya-biaya persediaan menjadi empat kelompok, yaitu: a. Biaya pemesanan (Ordering Cost) Biaya yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas perencanaan dan pembelian persediaan, mulai saat adanya kebutuhan sampai dengan persiapan pembayaran. Total biaya pemesanan umumnya menyangkut beberapa atau seluruh hal berikut: -
Biaya pemrosesan pesanan
-
Biaya transportasi untuk mengangkut pesanan
-
Biaya menurunkan pesanan dan menempatkannya pada persediaan
-
Gaji pegawai yang terlibat dalam proses pemesanan
-
Biaya jasa bank
-
Seluruh perlengkapan yang digunakan dalam pemesanan
b. Biaya yang terjadi dari adanya persediaan atau biaya penyimpanan (Inventory Carrying Cost) Biaya-biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan pengadaan persediaan atau penyimpanan bahan. Total biaya penyimpanan umumnya menyangkut beberapa atau seluruh hal berikut: -
Biaya penyimpanan langsung (asuransi, keamanan, tenaga kerja, dan sejenisnya)
-
Laba investasi yang ditangguhkan
-
Bunga investasi persediaan
-
Penyusutan gudang, pajak
c. Biaya kekurangan-kekurangan persediaan (Out of Stock Cost) Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat terjadi persediaan yang lebih kecil dari yang diperlukan. d. Biaya yang sehubungan dengan kapasitas (Capasity Associated Cost) Biaya-biaya yang terjadi akibat adanya penambahan atau pengurangan kapasitas atau jika terlalu banyak atau sedikit kapasitas yang digunakan pada suatu waktu tertentu, seperti biaya lembur, biaya pelatihan kerja, biaya pemberhentian kerja, dan sejenisnya. 2.3
Metode Tradisional Dalam bukunya, Hansen & Mowen (1997: 397) disebutkan bahwa
menurut pandangan tradisional, persediaan memecahkan beberapa masalah yang
berkaitan
dengan
masing-masing
masalah,
diantaranya
masalah
pemecahan konflik antara biaya pemesanan atau persiapan dengan biaya penyimpanan yang dipecahkan dengan memilih tingkat persediaan yang meminimalkan biaya-biaya tersebut. Jika permintaan lebih besar dari yang diharapkan atau jika produksi menurun karena kegagalan mesin atau ketidakefisienan produksi, maka persediaan akan berfungsi sebagai penyangga, yaitu menyediakan produk bagi konsumen. Demikian juga persediaan dapat mencegah penutupan yang disebabkan oleh pengiriman bahan terlambat, komponen yang rusak, dan kegagalan mesin yang digunakan untuk membuat subperakitan. Pada akhirnya persediaan sering dijadikan solusi terbaik untuk masalah pembelian bahan baku dengan biaya terendah melalui penggunaan diskon kuantitas. Hansen & Mowen (1997: 399) Pendekatan tradisional menggunakan persediaan untuk mengelola tradeoff antara biaya pemesanan (persiapan) dengan biaya penyimpanan. Trade-off optimal menetapkan kuantitas pesanan yang ekonomis (Economic Order Quantity). Pada EOQ, jumlah persediaan sama dengan jumlah pemakaian (usage) ditambah dengan persediaan sisa (idle). Persediaan sisa ini yang nantinya menjadi cadangan bagi setiap kenaikan permintaan secara tiba-tiba. Lain halnya dengan JIT yang memandang sebaliknya, memandang persediaan terlalu mahal dan digunakan untuk menutupi masalah mendasar yang harus diperbaiki sehingga organisasi dapat menjadi kompetitif.
2.3.1
Fungsi Persediaan Alasan-alasan tradisional untuk menyimpan persediaan menurut Hansen
& Mowen (1997: 585) adalah: 1. Untuk menyeimbangkan biaya pemesanan atau perencanaan dan biaya penyimpanan. 2. Untuk memuaskan permintaan pelanggan (misalnya untuk memenuhi jatuh tempo pengiriman). 3. Untuk menghindari fasilitas manufaktur yang tidak bisa bekerja lagi karena adanya: a. Kegagalan mesin b. Suku cadang yang rusak c. Suku cadang yang tidak tersedia d. Pengiriman suku cadang yang terlambat 4. Proses produksi yang tidak dapat diandalkan. 5. Untuk mengambil keuntungan dari diskon-diskon. 6. Untuk berjaga-jaga jika terjadi kenaikan harga di masa datang. 2.3.2
Kuantitas Pemesanan Ekonomis Kuantitas
Pemesanan
Ekonomis/Eonomic
Order
Quantity
(EOQ)
merupakan salah satu model tradisional yang dipergunakan untuk menentukan jumlah persediaan yang ekonomis dengan menggunakan biaya yang minimal. Adapun syarat persediaan ekonomis adalah terjadinya keseimbangan antara biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Dengan menyeimbangkan dua biaya tersebut, maka dapat diformulasikan persamaan EOQ. Walaupun model ini diperkenalkan oleh F.W. Harris, akan tetapi lebih dikenal dengan EOQ Wilson karena Wilson yang berusaha mengembangkan model ini. Keterbatasan penggunaan model EOQ oleh karena adanya beberapa asumsi yang menyebabkan EOQ dianggap sebagai model ang konvensional, namun demikian masih banyak digunakan di perusahaan-perusahaan karena penggunaannya sangat sederhana dan mudah. Dengan EOQ dapat diketahui frekuensi pemesanan dalam satu periode, sehingga dapat pula ditentukan pelaksanaan pemesanan kembali/Reorder Point (ROP). (Fien Zulfikarijah, 2005: 140)
2.3.3
Titik Pemesanan Ulang Reorder Point (ROP) atau Titik Pemesanan Ulang terjadi apabila jumlah
persediaan yang terdapat di dalam stok berkurang terus. Dengan demikian harus ditentukan berapa banyak batas minimal tingkat persediaan yang harus dipertimbangkan sehingga tidak terjadi kekurangan persediaan. Jumlah yang diharapkan tersebut dihitung selama masa tenggang. Secara sederhana, ROP dirumuskan sebagai jumlah permintaan yang diharapkan ditambah dengan safety stock selama masa tenggang. (Freddy Rangkuti, 2004: 93) Ada empat model yang dikenal dalam Reorder Point, yaitu: 1. Constant Demand Rate, Constant Lead Time Dalam model ini, baik besarnya permintaan maupun masa tenggang konstan, sehingga tidak ada penambahan persediaan. 2. Variable Demand Rate, Constant Lead Time Model ini memiliki asumsi bahwa periode lead time tidak tergantung pada permintaan harian yang digambarkan melalui suatu distribusi normal. 3. Constant Demand Rate, Variable Lead Time Lead time pada kondisi distribusi normal, diharapkan permintaan selama masa tenggang pada kondisi distribusi normal, tetapi variannya tidak mencakup
perhitungan
atau
penjualan
varian-varian
pada
model
sebelumnya. 4. Variable Demand Rate, Variable Lead Time Pada model ini, besarnya permintaan dan masa tenggang merupakan variabel (dapat berubah-ubah) sesuai dengan perubahan masa tenggang. (2004: 98)
2.3.4
Persediaan Pengaman Dalam
persediaan,
adanya
ketidakpastian
dapat
menyebabkan
perusahaan kehabisan stock-nya. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan permintaan yang tiba-tiba atau lonjakan permintaan oleh berbagai sebab. Apabila hal ini terjadi, maka perusahaan harus memiliki stock yang disebut persediaan pengaman/safety stock.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perusahaan melakukan safety stock (Fien Zulfikarijah, 2005: 144): 1. Biaya atau kerugian yang disebabkan oleh stockout tinggi. Apabila bahan yang digunakan untuk proses produksi tidak tersedia, maka aktivitas perusahaan akan terhenti yang menyebabkan terjadinya idle tenaga kerja dan fasilitas pabrik, yang pada akhirnya perusahaan akan kehilangan penjualannya. 2. Variasi atau ketidakpastian permintaan yang meningkat. Adanya jumlah permintaan yang meningkat atau tidak sesuai dengan peramalan yang ada di perusahaan menyebabkan tingkat kebutuhan persediaan yang meningkat pula, oleh karena itu perlu dilakukan antisipasi terhadap safety stock agar semua permintaan dapat terpenuhi. 3. Resiko stockout meningkat. Keterbatasan jumlah persediaan yang ada di pasar dan kesulitan yang dihadapi perusahaan mendapatkan persediaan, akan berdampak pada sulitnya terpenuhi persediaan yang ada di perusahaan. Kesulitan ini akan menyebabkan persediaan mengalami stockout. 4. Biaya penyimpanan safety stock yang murah. Apabila perusahaan memiliki gudang yang memadai dan memungkinkan, maka biaya penyimpanan tidaklah terlalu besar.
Hal ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi terjadinya stockout. Dalam menentukan jumlah safety stock, Fien Zulfikarijah (2005: 145) menyebutkan ada tiga metode yang dapat digunakan oleh perusahaan, yakni: 1. Intuisi Seringkali
manajer
berdasarkan
persediaan
pengalaman
menentukan
sebelumnya.
jumlah
Dalam
safety
metode
ini
stock tidak
mempertimbangkan probabilitas terjadinya stockout, biaya persediaan atau biaya stockout. Pemesanan kembali di masa lampau atau pembatalan pesanan merupakan presentase rata-rata permintaan mengindikasikan adanya variasi permintaan atau resiko terjadinya stockout untuk berbagai tingkat reorder. 2. Service level tertentu Metode ini mengukur seberapa efektif perusahaan mensuplai permintaan barang dari stoknya. Dalam perhitungan, digunakan probabilitas untuk
memenuhi permintaan. Untuk itu diperlukan informasi yang lengkap tentang probabilitas berbagai tingkat permintaan selama lead tme karena seringkali terjadi variasi. Variasi ini disebabkan oleh fluktuasi lama lead time dan tingkat permintaan rata-rata. 3. Pengunaan alat statistik Metode ini didasarkan pada pengalaman empiris dimana dalam penentuan stok didasarkan pada kondisi riil yang dihadapi oleh perusahaan. 2.4
Metode Just In Time
2.4.1
Pengertian Metode Just In Time Dalam
pengertian
luas,
Just
In
Time
merupakan
filosofi
yang
memusatkan pada aktivitas yang diperlukan untuk segmen-segmen internal yang lain di dalam suatu organisasi (Supriyono, 1994: 345). Menurutnya, terdapat empat aspek pokok dalam Just In Time (JIT), yaitu: 1. Semua aktivitas yang tidak bernilai tambah terhadap produk/jasa harus dieliminasi. Ini termasuk kegiatan dan sumber daya yang merupakan target untuk produksi. Misalnya, persediaan yang dipertahankan di gudang/area penyimpanan, ditumpuk beberapa kali hingga menjadi finished goods. 2. Adanya komitmen untuk selalu meningkatkan mutu. 3. Selalu diupayakan penyempurnaan yang berkesinambungan dalam meningkatkan efisiensi kegiatan. 4. Menekankan
pada
penyederhanaan
aktivitas
dan
meningkatkan
pemahaman terhadap aktivitas yang bernilai tambah. Sedangkan tujuan stratejik dari JIT, yaitu: 1. Meningkatkan laba. 2. Memperbaiki posisi perusahaan. Adapun cara mencapai tujuan tersebut, dilakukan dengan: 1. Pengendalian
biaya
(sehingga
meningkatkan laba). 2. Memperbaiki kinerja distribusi. 3. Meningkatkan mutu.
harga
jual
lebih
bersaing
dan
Manajemen persediaan JIT merupakan bagian dari sistem pembelian dan produksi JIT secara keseluruhan. JIT dapat diterapkan pada berbagai bidang seperti distribusi, pengeceran dan bidang-bidang administrasi seperti payroll dan account payable. Namun begitu, yang sudah cukup banyak menerapkan JIT adalah dalam bidang fungsional pembelian dan produksi, seperti yang diuraikan oleh Foster dan Horngren (1988: 5-8), yaitu: 1. JIT Purchasing With JIT purchasing, the acquisition of goods is scheduled in such a way that delivery immedietely procedes demand. In some industries, JIT purchasing has long been an accepted practise (e.g., industries dealing with such perishable as baked goods, fresh flower and fresh fish). Today, JIT purchasing is being adopted by organization that acquire nonperishables. This organization previously ordered lots much longer than required by short-run demand or use and often store inventory in large warehouses for weeks or longer. Dengan
pembelian
JIT,
pengadaan
barang
dijadwalkan
sedemikian sehingga pengantaran dilakukan sesaat sebelum permintaan. Di beberapa industri, JIT pembelian telah lama menjadi praktek yang diterima (misalnya, industri yang mengurus barang yang mudah rusak seperti roti, bunga segar dan ikan segar). Penjadwalan dalam JIT memecahkan masalah kinerja tepat waktu lewat pengurangan waktu tunggu secara dramatis. Hal itu dapat dicontohkan dalam kasus pada suatu sistem manufaktur tradisional, suatu perusahaan memerlukan dua bulan untuk memproduksi sebuah tabung elektron. Saat menerapkan JIT, dengan memisahkan mesin bubut dan bor listrik yang biasa digunakan untuk membuat tabung elektron, waktu tunggu dikurangi hingga dua atau tiga hari. Sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi gergaji mesin mampu mengurangi waktu tunggunya dari 21 hari menjadi tiga hari. (Gene Schwind, 1984: 28)
Beberapa karakteristik dari aktivitas operasi diuraikan sebagai berikut: Characteristics of Operating Activities Organization that adopt JIT purchasing report a substantial increase in individual deliveries, each containing fewer unit. The cost and time associated with purchasing activities have been reduce by: • Decreasing the number of suppliers and consequently, the resources devoted to purchase negotiations. • Stipulating price and acceptable quality levels in long-term agreements with suppliers, thus eliminating negotiations for each purchase transaction. • Having purchases establish programs to in-form vendor about quality and delivery requirement. These requirements can be stringent, baring high penalties for nonconformance. • Using shop-ready containers. Activities associated with packing and unpaking are examples of how non-value-added are often incurred. • Costs for incoming quality inspection program are reduced. The number of quality inspectors can be reduced or even eliminated. Karakteristik Kegiatan Operasi Organisasi
yang
mengadopsi
pembelian
JIT
melaporkan
peningkatan yang substansial pada pengantaran individual, yang masingmasing memuat unit yang lebih sedikit. Biaya dan waktu yang terkait dengan kegiatan pembelian telah dikurangi oleh: •
Penurunan jumlah supplier dan konsekuensinya, sumber daya dicurahkan untuk negosiasi pembelian.
•
Penentuan harga dan tingkat kualitas yang dapat diterima dalam perjanjian jangka panjang dengan supplier, dengan demikian meniadakan negosiasi untuk setiap transaksi pembelian.
•
Membuat
para
pembeli
menetapkan
program-program
untuk
memberitahukan syarat-syarat kualitas dan pengantaran kepada pemasok. •
Menggunakan kontainer shop-ready. Kegiatan yang terkait dengan pengemasan dan pembongkaran adalah contoh bagaimana biaya yang tidak bernilai tambah sering timbul.
•
Biaya untuk program pemeriksaan kualitas dapat dikurangi di masa mendatang.
2. JIT Production Characteristics of Operating Activities In a JIT production environment, each components is produced as needed by the next step in the production line. Key elements of JIT production include: • The production line is run on demand-pull basic, so that activity at each workstation authorized by the demand of downstream workstations. Work in process at each workstation is therefore held for a minimum. • Emphasis is placed on reducing the production lead time (the time from the first stage of production to when the finished product leaves the production line). • The production line is stop if work-in-process defective. In JIT, there are no buffer inventories at each workstation to keep workers busy. • Emphasis is on simplifying activities on the production line so that area in which non value-added activities occur are highly visible and can eliminated. Some firm adopting JIT production method restructured layout of their plants. Karakteristik Kegiatan Operasi Dalam
lingkungan
produksi
JIT,
setiap
komponen
diproduksi
sebagaimana dibutuhkan oleh tahap berikutnya dalam lini produksi. Unsur-unsur utama JIT mencakup: •
Lini produksi dijalankan atas dasar tarikan-permintaan, sehingga kegiatan masing-masing workstation disahkan oleh permintaan workstation hilir. Oleh karena itu, pekerjaan yang sedang berlangsung pada setiap workstation dipertahankan minimum
•
Penekanan ditempatkan pada pengurangan lead time produksi (waktu dari tahap pertama produksi hingga ketika produk jadi meninggalkan lini produksi).
•
Lini produksi dihentikan jika barang-dalam-proses cacat. Dalam JIT tidak ada penyangga dalam masing-masing workstation, untuk membuat pekerja tetap sibuk.
•
Penekanan adalah pada penyederhanaan kegiatan pada lini produksi sehingga bidang-bidang pada kegiatan yang tidak bernilai tambah dapat jelas terlihat dan ditiadakan. Beberapa perusahaan yang menerapkan
JIT,
merestrukturisasi
perampingan penanganan bahan.
tata
ruang
pabrik
dan
2.4.2
Konsep Just In Time Konsep JIT oleh Garrison (2000: 11) disebutkan bahwa dalam kondisi
ideal, perusahaan yang menjalankan JIT akan membeli bahan baku hanya untuk keperluan hari itu saja. Lebih lanjut, perusahaan tidak memiliki persediaan barang dalam proses pada akhir hari tersebut dan semua barang jadi yang diselesaikan hari itu telah dikirimkan kepada konsumen begitu produk selesai diproduksi. Dengan pola seperti itu, JIT berarti bahwa bahan baku diterima, segera masuk dalam proses produksi, bahan-bahan produksi yang lain segera digabungkan dan dikerjakan, serta produk yang telah jadi segera dikirimkan pada konsumen. Dalam lingkungan JIT, arus barang dikendalikan dengan pendekatan pull (tarik) yaitu pada saat level akhir perakitan, sinyal dikirim pada workstation dibelakangnya. Sinyal tersebut mengindikasikan sejumlah partisi dan bahanbahan yang akan dikerjakan pada jam-jam berikutnya untuk memenuhi kebutuhan
konsumen
dan
workstation
dibelakangnya
tersebut
hanya
menyediakan jumlah partisi dan bahan yang diminta. Sinyal yang sama diberikan oleh workstation dibelakangnya lagi sehingga arus barang tetap terpelihara dan berjalan baik tanpa adanya penambahan barang yang berarti pada setiap workstation. Lain halnya dengan metode konvensional, bila suatu workstation telah melakukan pekerjaannya, barang setengah jadi segera dikirim ke workstation berikutnya tanpa melakukan analisis apakah workstation tersebut suah siap atau belum untuk menerima kiriman barang setengah jadi tersebut. Kondisi ini akan memakan banyak dana dan mengakibatkan inefisiensi operasi.
2.4.3
Tujuan Penggunaan JIT Tujuan JIT adalah menyeimbangkan sistem dan untuk mencapainya
adalah melalui sistem aliran material dengan menciptakan proses sependek mungkin dengan menggunakan sumber daya yang ada dengan cara yang terbaik. Zulfikri (2000: 200) juga menegaskan bahwa tujuan tersebut dapat dicapai bila perusahaan memiliki tujuan: a. Mengurangi kegiatan yang tidak perlu dilakukan b. Mengurangi persediaan dalam perusahaan c. Mengurangi waktu persiapan dan lead time d. Membuat sistem yang fleksibel
e. Mengurangi kesalahan 2.4.4
Kerangka Kerja JIT Zukfikri (2000: 203-213) mengemukakan, desain dan operasi JIT
merupakan dasar untuk melengkapi tujuan yang telah disebutkan sebelumnya yang meliputi: 1. Desain Produk a. Penggunaan komponen standar pekerja mengerjakan sebagian kecil komponen, mengurangi waktu pelatihan dan biaya. b. Desain modular merupakan perluasan dari standar komponen dengan mengurangi
sejumlah
komponen,
menyederhanakan
perakitan,
pembelian, pengangkutan, pelatihan, dan lainnya. c. Kualitas, implementasi konsep kualitas Jepang terkenal dengan nama jidoka, yang berarti ”stop everything when something goes wrong”. 2. Desain Proses a. Ukuran lot yang kecil sesuai dengan filosofinya dalam praktek perlu dipertimbangkan ukuran lot yang kecil, dengan ukuran lot yang kecil baik pada proses maupun pengiriman akan mengefektifkan operasi sistem JIT yaitu jumlah lot yang kecil dalam proses akan mengurangi persediaan dalam proses yang berakibat berkurangnya biaya penyimpanan, kebutuhan ruangan dan menyederhanakan ruang kerja. b. Layout. Pengaturan peralatan pada sistem JIT mempertimbangkan efisiensi ruangan yaitu dengan menghapuskan gudang karena ukuran lotnya kecil. c. Sel manufaktur, sel berisi mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk memproses kelompok komponen dalam proses yang sama, sel memiliki spesialisasi yang tinggi dan merupakan pusat produksi yang efisien. d. Mengurangi waktu persiapan. Persiapan peralatan dan perlengkapan dibuat sederhana dan terstandar, peralatan yang multiguna sangat membantu mengurangi waktu persediaan. e. Perbaikan kualitas, kualitas yang jelek dapat dipantau dan dikurangi dalam aliran kerja dengan cara otonomasi, yaitu melakukan
pendeteksian kerusakan selama produksi baik dengan menggunakan mesin maupun manual. f.
Fleksibilitas
produksi. Salah satu tujuan JIT
adalah mampu
menghasilkan aliran yang baik. Hal ini dapat tercipta dengan mempertahankan peralatan dalam kondisi baik. g. Penyimpanan persediaan yang minim. Filosofi JIT adalah menekan jumlah persediaan untuk memperlancar proses produksi karena persediaan dalam jumlah besar akan menghalangi produksi. 3. Elemen Personalia a. Pekerja sebagai aset, dalam sistem JIT pelatihan dan motivasi yang baik merupakan jantungnya sistem JIT, pekerja diberi wewenang membuat keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan dan diharapkan bekerja lebih baik. b. Pelatihan lintas kerja. Setiap pekerja dilatih dalam berbagai keterampilan agar dapat menguasai beberapa pekerjaan, sehingga apabila terjadi permasalahan dengan pekerja lain, maka dapat digantikan posisinya sementara. c. Perbaikan berkelanjutan, setiap pekerja dalam sistem JIT memiliki tanggungjawab yang besar terhadap kualitas dan mereka diharapkan dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri dan melakukan perbaikan berkelanjutan berdasarkan keahlian yang dimiliki dan pengalaman kerjanya. d. Akuntansi baya, pendekatan terbaru adalah menggunakan metode biaya yang didasarkan pada kegiatan (activity based costing). Metode ini menggambarkan secara aktual jumlah biaya overhead dari berbagai jenis kegiatan atau pekerjaan. e. Kepemimpinan/manajemen proyek, manajer diharapkan menjadi pemimpin dari fasilitator bukan pemberi pesan, menjalin komunikasi dua arah. Manajer proyek memiliki otoritas penuh pada setiap tahapan proyek dari awal sampai akhir. 4. Perencanaan dan pengendalian perusahaan a. Kapasitas beban, dalam sistem JIT menekankan pada pencapaian stabilitas jadwal kerja harian yaitu dengan mengembangkan jadwal induk produksi pada tingkat kapasitas tertentu.
b. Sistem menarik (pull system), mengendalikan pergerakan dengan cara setiap stasiun kerja menarik output dari stasiun sebelumnya sesuai dengan kebutuhan dan output akhir ditarik oleh permintaan pelanggan atau jadwal induk, sehingga gerakan kerja merupakan respon dari permintaan selanjutnya dalam proses. c. Sistem visual/kanban, yaitu kartu atau tanda atau catatan yang akurat yang digunakan untuk mengendalikan urutan pekerjaan melalui urutan proses. d. Pemasok, dalam bekerjasama dengan pemasok diusahakan sesedikit mungkin pemasok yang digunakan den dengan memberdayakan sedikit pemasok akan ditemukan perbaikan yang berkelanjutan agar dicapai standarisasi. e. Menjalin hubungan yang baik dengan penjual agar frekuensi pengiriman dan kualitas produk yang diharapkan dapat terpenuhi. Dalam
model JIT,
penjual dan pembeli
bekerjasama dalam
menentukan kualitas produk, sehingga pembeli tidak perlu lagi melakukan inspeksi terhadap persediaan yang dikirm oleh pemasok. 2.4.5
Keuntungan Menerapkan Filosofi JIT Perbaikan proses dan penyeesaian masalah sangat membantu sistem
dalam menghasilkan kepuasan yang meningkat dan produktivitas yang tinggi. Berikut keuntungan menggunakan JIT: 1. Membangun
sistem
yang
fleksibel,
dengan
pelatihan
beberapa
keterampilan kepada karyawan akan meningkatkan keahlian karyawan dalam berbagai bidang. 2. Mengurangi kesalahan dengan menekankan pelayan yang standar dan berkualitas. 3. Meminimalkan waktu proses. 4. Menyederhanakan proses yaitu dengan membuat sistem yang baik, misalnya self service dalam toko swalayan. 2.5
Perbandingan Metode Tradisional dan Just In Time Dalam kacamata tradisional, perusahaan manufaktur harus memiliki tiga
jenis persediaan dalam jumlah yang besar sebagai penyangga sehingga operasi
dapat berjalan baik meskipun ada gangguan yang tidak terantisipasi. Bahan baku dengan jumlah yang besar digunakan untuk mengantisipasi jika pemasok terlambat mengantar barang yang diminta. Barang dalam proses dipelihara dalam jumlah yang tinggi untuk mengantisipasi jika ada workstation yang tidak beroperasi normal atau gangguan lainnya. Barang jadi ditumpuk untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan. Metode JIT menerapkan sistem tarikan (demand pull). Tujuan sistem ini adalah memproduksi barang hanya jika barang tersebut dibutuhkan dan hanya sebesar permintaan pelanggan. Tidak ada produk yang dilaksanakan hingga ada isyarat dari operasi berikutnya yang menunjukkan bahwa barang atau komponen perlu diproduksi. Komponen dan bahan datang tepat waktu (just in time) untuk digunakan dalam produksi. Beberapa perbedaan metode Tradisional dan Just In Time disebutkan oleh Hansen & Mowen (1997: 398) antara lain: •
Persediaan rendah Salah satu manfaat dari JIT adalah mengurangi persediaan ke tingkat yang rendah. Berbeda dengan metode Tradisional yang bersifat mendorong (push-throught), bahan baku dipasok dan komponen diproduksi serta dipindahkan ke proses berikutnya tanpa mempertimbangkan tingkat permintaan hingga timbul persediaan.
•
Sel-sel pemanufakturan dan tenaga kerja interdisipliner Dalam metode Tradisional, produk berpindah dari suatu kelompok mesin yang satu ke kelompok lainnya. Pekerja dispesialisasikan pada operasi mesin tertentu yang berlokasi di masing-masing departemen. Dalam JIT, mesin diatur sedemikian rupa sehingga mesin-mesin tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan berbagai operasi yang berurutan. Para pekerja ditugaskan untuk setiap sel dan dilatih untuk mengoperasikan semua mesin di dalam sel tersebut. Jadi pekerja dalam sistem JIT terindisipliner, bukan spesialis.
•
Filosofi Total Quality Control Sistem produksi JIT membutuhkan penekanan yang lebih kuat pada pengendalian
mutu.
Komponen
yang
rusak
mengakibatkan
pada
penghentian putaran produksi. Mutu yang kurang baik tidak dapat ditoleransi dalam lingkungan sistem produksi yang beroperasi tanpa persediaan. JIT tidak dapat diimplementasikan tanpa komitmen pada
pengendalian mutu total (Total Quality Control). Hal ini berlawanan dengan doktrin tradisional yang disebut dengan tingkat mutu yang dapat diterima (acceptable quality level) yang memungkinkan atau mencadangkan terjadinya kerusakan yang tidak boleh melebihi tingkat kerusakan yang telah ditetapkan sebelumnya. •
Desentralisasi jasa Dalam JIT, desentralisasi jasa dilakukan terutama untuk mangatasi masalah pemakai jasa bersama dari suatu service department. Dengan konsep ini, setiap organisasi kecil dalam perusahaan akan mempunyai service department sendiri, sehingga masalah biaya bersama (common cost) dapat dihindari. Hal ini memberi dampak jika terjadi penyimpangan dari rencana maka akan mudah ditelusuri sumber masalahnya. Secara
sederhana,
Richardus
E
(1999:
153)
menggambarkan
perbandingan atau perbedaan sikap antara persediaan dalam
metode
Tradisional dan Just In Time pada tabel berikut ini: Tabel 2.1 Persediaan Tradisional vs Just In Time Tradisional Beberapa kerusakan dapat diterima Lot besar dianggap efisien Produksi yang cepat dianggap efisien Persediaan dianggap pengaman Persediaan melancarkan produksi Persediaan adalah aset Antrean dianggap perlu Pemasok dianggap lawan Pemasok banyak dianggap menjamin keamanan Pemeliharaan karena rusak dianggap cukup Waktu pemesanan panjang dianggap lebih baik Waktu pemasangan telah ditentukan Tenaga kerja perlu spesialisasi Manajemen dengan paksaan
Just InTime Tanpa kerusakan adalah keharusan Lot ideal adalah satu Produksi yang seimbang dianggap efisien Persediaan pengaman adalah pemborosan Persediaan sebetulnya tidak diharapkan Persediaan adalah beban Antrean harus dihilangkan Pemasok adalah mitra Pemasok sedikit memungkinkan pengawasan Pemeliharaan preventif dianggap penting Waktu pemesanan pendek dianggap lebih baik Waktu pemasangan harus nol Tenaga kerja multifungsi Manajemen dengan konsensus