BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
HIV (Human Immunodeficiency Virus)
2.1.1. Defenisi HIV
(Human
Immunodeficiency
Virus)
adalah
retrovirus
yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel, makrofag, dan komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), yang bersifat menghancurkan atau mengganggu fungsi sistem kekebalan tubuh. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh (Levy, 2005). Sistem kekebalan dianggap defisiensi ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisiensi (Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai “infeksi oportunistik” karena infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah (KPAa, 2011). 2.1.2. Epidemiologi Berdasarkan data UNAIDS (United Nations Programme On HIV/AIDS), pada akhir tahun 2010, diperkirakan terdapat 34 juta orang hidup dengan HIV. Kemudian terdapat 2,7 juta kasus baru orang yang terinfeksi
HIV
(UNAIDS,
2011). Berdasarkan data CDC (Centers for Disease Control and Prevention), terdapat 50.000 orang yang terinfeksi HIV setiap tahun di Amerika Serikat. Pada akhir tahun 2008, diperkirakan 1.178.350 orang berusia 13 tahun dan berusia tua hidup dengan HIV di Amerika Serikat, 20% tidak terdiagnosa terinfeksi HIV (CDC, 2009). Menurut Ditjen PPM & PL Depkes RI (2011), terdapat 591 kasus
HIV di Indonesia. Data dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2011 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.442 kasus. Persentase kasus HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (73,6%), diikuti kelopmpok umur 20-24 tahun (14,2%), dan kelompok umur≥ 50 tahun (4,6%). Rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1, serta persentase faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan seks tidak aman pada heteroseksual (49,5%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna narkoba (13,2%) dan homoseksual (5,7%) (Ditjen PPM dan PL RI, 2011).
2.1.3. Siklus Hidup Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus.
Virus
menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena
itu
virus
hanya
dapat
menginfeksi dengan efisien sel CD4 serta makrofag dan sel dendritik (Baratawidjadja., Rengganis, 2009). Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Lalu RNA disintesis oleh enzim transcriptase dan bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain (Baratawidjaja., Rengganis, 2009).
2.1.4. Patogenesis HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan
sel
limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (Fauci., Lane, 2000) . Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya (Brook et al, 2008). Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV.
Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi kemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brook et al, 2008). Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan kadar sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna (Brooks, 2008). Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang terus meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2008).
2.2.
Limfadenopati
2.2.1. Defenisi Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening diluar dari ukuran normal. Secara umum bila ditemukan pembesaran kelenjar lebih dari 1 cm dalam diameter yang besar disebut dengan limfadenopati, tetapi
pada
bagian
yang lain pembesaran kelenjar tersebut mempunyai ukuran yang berbeda-beda, contohnya kelenjar epitochlear lebih dari 0,5 cm, kelenjar inguinal lebih dari 1,5 cm, kelenjar submandibula lebih dari 1,5 cm ( D’Allesandro, 2005). Limfadenopati merupakan adanya ketidaknormalan pada kelenjar getah bening, baik dari jumlah, ukuran, maupun konsistensinya. Terdapat beberapa klasifikasi dari limfadenopati, yang biasa digunakan oleh para klinisi adalah limfadenopati generalisata dan limfadenopati lokalisata. Dikatakan limfadenopati generalisata bila kelenjar getah bening membesar pada dua atau lebih daerah yang tidak berdekatan, sedangkan limfadenopati lokalisata bila pembesaran kelenjar
getah bening hanya ada pada satu lokasi saja (Ferrer, 2002). Limfadenopati mewakili respon keadaan patologis baik generalisata maupun lokalisata sebagai hasil dari rangsangan antigen atau infiltrasi (Moore et al, 2003).
2.2.2. Etiologi Banyak faktor penyebab dari limfadenopati, antara lain: a. Virus: Epstein-Barr Virus, toxoplasmosis, cytomegalovirus, HIV. b. Bakteri:
Mycobacterium
tuberculosis,
Sarcoidosis,
Streptococcus,
gonococcus (Ferrer, 2002). c. Tumor: Limfoma Hodgkin, Limfoma non Hodgkin, Leukemia, metastasis tumor dari tempat lain (Kumar et al, 2007).
2.2.3. Klasifikasi Limfadenopati dibagi atas: 2.2.3.1. Limfoma Limfoma merupakan suatu keganasan atau tumor, yang mengenai selsel darah putih yang berada di kelenjar getah bening. Limfoma dapat melibatkan jaringan limfoid dan non limfoid seperti paru-paru, hati, kulit, atau bagian tubuh lainnya (Foss, 2010). Limfoma ditandai dengan pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati) disertai rasa nyeri, dan kebanyakan lokasimya berada di leher. Paparan virus seperti HIV, dapat meningkatkan resiko limfoma. Ketika limfosit berubah menjadi ganas akibat paparan virus, sel-sel yang sehat akan berubah menjadi tumor atau keganasan,. Tumor ini akan menyebabkan limfadenopati dan/atau tumbuh dan berkembang di tempat lain dan merusak sistem kekebalan tubuh (Hicks, 2012).
(Tan, 2004) Gambar 2.1. Gambaran sitologi aspirasi biopsi Limfoma Hodgkin di atas terdiri dari populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg.
(Armitage., Wyndham., 2008) Gambar 2.2. Gambaran sitologi aspirasi Limfoma non Hodgkin diatas terdiri dari folikel limfoid tumor limfosit (monomorfik)
2.2.3.2. Limfadenitis Tuberkulosis (TB) Limfadenitis TB merupakan peradangan pada kelenjar getah bening yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Bayazit, 2004). Basil TB pertama kali menyebar secara secara limfogen menuju kelenjar getah bening regional di hilus, kemudian penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Basil TB dapat menginfeksi kelenjar getah bening tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
(Eliady, 2010) Gambar 2.3. Limfadenitis granulomatosa (TB). Kelompokan seperti granuloma dari histiosit-histiosit epiteloid pada latar belakang dari nekrosis kaseosa granular (pewarnaan MGG)
(Eliady, 2010) Gambar 2.4. Material granular dari nekrosis kaseosa dengan inti mengalami degenerasi dan fragmentasi. Adanya polimorfisme, gambaran yang tidak biasa dijumpai, tertama pada pasien AIDS (pewarnaan Pap)
(Eliady, 2010) Gambar 2.5. Gambaran aspirasi biopsi pada limfadenitis TB, tampak histiosit epiteloid dan sel-sel radang limfosit.
(Lubis et al, 2008). Gambar 2.6. Aspirat menunjukkan adanya bercak-bercak gelap pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik. Sel-sel epiteloid merupakan tanda yang khas dari sediaan aspirasi biopsi. Sel epiteloid dengan inti berbentuk elongated, yang dideskripsikan sebagai bentuk seperti tapak sepatu. Kromatin inti bergranul halus dan sitoplasma pucat dengan pinggir sel yang tidak jelas (Eliady, 2010). Sel-sel epiteloid pada limfadenitis TB membentuk gumpalan kohesif, berukuran kecil maupun berukuran besar yang dapat mirip granuloma yang terdapat pada sediaan histopatologi. Dijumpai nekrosis sentral pada kelompokan yang berukuran besar, adanya fibrinoid atau
kaseosa. Materi keseosa bergranul dan eosinofilik dapat dijumpai pada sediaan aspirat (Orell et al, 2005). Pada penelitian Lubis et al (2008) menemukan adanya gambaran lain dari aspirasi limfadenopati dan non limfoid (servikal, axillary, inguinal, breast, skin/soft tisssue, intraabdominal dan testis) yaitu berupa bercak-bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik granular eosinofilik. Limfadenitis TB dapat ditegakkan apabila kriteria histiosit dari tipe epiteloid yang membentuk kelompokkan-kelompokkan kohesif ditemukan, juga adanya multinucleated giant cell tipe Langhans (Cousar et al, 2005).
2.2.4. Patogenesis Kelenjar limfe atau kelenjar getah bening adalah kapsul kecil jaringan limfoid yang terdapat di seluruh sistem limfatik, dekat vena limfatika. Cairan limfe yang mengalir pada pembuluh limfe disaring oleh nodus-nodus ini. Kelenjar limfe banyak mengandung limfosit, monosit, dan makrofag. Sel-sel ini berproliferasi di kelenjar tersebut dan sebagian di bebaskan ke sirkulasi selama infeksi atau peradangan. Sel-sel darah putih yang ada di limfe menangkap dan memfagositosis mikroorganisme yang dibawa aliran limfe sehingga cairan limfe dibersihkan sebelum kembali ke sirkulasi. Kelenjar limfe yang terdekat dengan area infeksi akan terpajan dengan mikroorganisme dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan makrofag dan limfosit berproliferasi sehingga kelenjar membesar. Kelenjar menjadi rentan sewaktu bertempur melawan infeksi (Corwin, 2009). Kelenjar limfe merupakan organ anatomi yang pertama kali akan terinfeksi HIV. HIV merupakan sel-sel individual yang mengekspresikan RNA, dan akan mencapai puncak pada hari ke 7 setelah inokulasi. Pada fase transisi ke fase kronik, terjadi pergantian dari ekspresi sel secara individual ke bentuk seperti jaring HIV oleh jaringan sel dendritik folikuler didalam germinal senter kelenjar limfe. Bentuk ini mendominasi keberadaan HIV dan pada saat ini terjadi penurunan secara drastis jumlah sel-sel individual yang mengekspresikan HIV. Jadi pada fase akut ini dapat dilihat adanya upaya sel-sel limfosit T sitotoksik untuk
mengurangi
jumlah
HIV
akan
membentuk
kompleks
dengan
imunoglobulin dan komplemen. Kompleks ini akan terikat pada reseptor komplemen pada permukaan sel dendritik. Secara klinik akan terjadi penurunan jumlah RNA HIV dalam plasma dan menghilangnya sindroma infeksi akut (Pantaleo et al, 1993).