BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kusta Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.11
2.1.1. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta 2 Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 zaman yaitu : 1. Zaman Purbakala Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal di dalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
Universitas Sumatera Utara
2. Zaman Pertengahan Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup. 3. Zaman Modern Dengan ditemukannnya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut : a. Pada tahun 1951 dipergunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) sebagai pengobatan penderita kusta. b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas. c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Etiologi Penyakit Kusta Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi).12 Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan buatan.13 Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.12,14
2.2.1. Pewarnaan15 Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehl’s Neelsen dengan cara : a. Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin. b. Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit. c. Cuci dengan air. d. Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai warna merah dilepaskan oleh alkohol. e. Cucilah dengan air ½ menit. f. Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama ½ - 2 menit. g. Cuci dengan air.
Universitas Sumatera Utara
h. Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop. Hasil pembacaan : BTA (+) : bewarna merah BTA (-) : bewarna biru Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI). Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil pengobatan. Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.1. bakteri Mycobacterium leprae
Universitas Sumatera Utara
BACTERIAL INDEX (BI)15 : (-)
: Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandangan.
( 1+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan. ( 2+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan. ( 3+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 4+ ) : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 5+ ) : 100 – 1000 kuma BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. ( 6+ ) : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
MORPHOLOGICAL INDEX (MI)15 : Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae a. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat warna secara merata b. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus sebagian atau seluruhnya. c. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun membentuk garis lurus atau berkelompok. d. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 – 200 kuman) yang utuh (solid) atau putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam suatu bentuk ikatan atau lingkaran. e. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir (granulated) membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari ± 500 BTA.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Struktur Antigen Penderita lepra memberikan hasil negatif pada tes kulit yang dilakukan dengan penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous. Tes ini disebut tes lepromin.15 Tes lepromin merupakan tes imunologi yang spesifik dan digunakan untuk: mengetahui ketahanan hospes terhadap Mycobacterium leprae, menentukan prognosis penyakit lepra, dan mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.16 Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut :16 a. Early Fernandez Reaction (dibaca setelah 48 jam) Reaksi timbul cepat dalam kurun waktu 24-48 jam. Dikatakan positif bila terdapat eritema (kemerahan) dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema (kemerahan) saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan. b. Delayed Mitsuda Reaction (dibaca setelah 4-6 minggu) Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm. Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil lepra yang utuh.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta 2.3.1. Distribusi dan Frekuensi Penderita Kusta Menurut Orang a. Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1,12 kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.2 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 61,10% dan penderita perempuan 38,90%.8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti terdapat 125 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 58,40% dan penderita perempuan 41,60%.9 b. Distribusi dan Frekuensi Menurut Umur Penyakit kusta dapat menyerang semua umur.12 Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.17 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 17-24 tahun (proporsi 30,60%).
8
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah golongan umur 20-39 tahun (proporsi 56,80%)9
2.3.2. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu angka prevalensi < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah disembuhkan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000.2 Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB (proporsi 15,36%) dan 15.498 penderita kusta tipe MB (proporsi 84,64%) dengan angka prevalensi 86 per 1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.2 Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB (proporsi 11,19%) dan 254 penderita kusta tipe MB (proporsi 88,81%).6 Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta yang terdiri dari 33 penderita kusta tipe PB (proporsi 30,60%) dan 75 penderita kusta tipe MB (proporsi 69,40%).8
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta tipe PB (proporsi 38,40%) dan 77 penderita kusta tipe MB (proporsi 61,60%).9
2.3.3. Faktor Determinan Penyakit Kusta2 a. Host Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse). Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-107. Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M & PL) (1996) menunjukkan gambaran sebagai berikut: Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga kelompok berikut ini, yaitu : a. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta. b. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita penyakit kusta bisanya tipe PB. c. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB. b. Agent Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari system retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 270-300C.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Klasifikasi Penyakit Kusta Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita dinyatakan Release from Treatment ( RFT).2
2.4.1. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):18 a. Indeterminate (I) Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. batas lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin. b. Tuberkuloid (T) Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah. c. Borderline (B) Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan Tuberkuloid. d. Lepromatosa (L) Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas. Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata di seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)18 Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologi, dan imunologis. a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT) Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi
merupakan
gejala
yang menonjol.
Lesi
dapat
mengalami
penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. 19 b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT) Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.19 c. Tipe Mid Borderline (BB) Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat
satelit yang
mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional.19
Universitas Sumatera Utara
d. Tipe Borderline Lepromatous (BL) Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine.19 e. Tipe Lepromatosa (LL) lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine)19
Berikut ini adalah gambar penderita kusta menurut Ridley-Jopling :
Gambar 2.2. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Bordeline
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3.Penderita Kusta Tipe Lepramatosa
Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe L.L dan B.L.
Gambar 2.5. Penderita Kusta Tipe B.B dan B.T.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3. Klasifikasi WHO (1982) yaitu;2 a. Tipe PB (Pausibasiler) Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular. b. Tipe MB (Multibasiler) Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular. Berikut ini adalah gambar penderita kusta tipe PB dan MB
Gambar 2.6. Penderita Kusta Tipe PB
Gambar 2.7. Penderita Kusta Tipe MB
Universitas Sumatera Utara
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB pada kriteria seperti pada table di bawah ini : Kelainan kulit & hasil Pausi Basiler (PB)
No.
Multi Basiler (MB)
pemeriksaan 1.
Bercak (makula) mati rasa a. Jumlah
1-5
>5
b. Ukuran
Kecil dan besar
Kecil-kecil
c. Distribusi
Unilateral
dan Bilateral dan simetris
bilateral asimetris d. Konsistensi
Kering dan kasar
Halus, berkilat
e. Batas
Tegas
Tidak tegas
f. Kehilangan rasa
Selalu ada dan jelas
Biasanya tidak jelas,
pada bercak
Jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut
g.Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan
berkeringat, ada bulu tidak rontok pada bercak.
berkeringat,
Bercak masih berkeringat, bulu
bulu rontok pada bercak
rontok pada bercak 2.
Infiltrat a. kulit
Tidak ada
b. Membran mukosa Tidak pernah ada
(hidung
Ada, kadang-kadang tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada
tersumbat,
Universitas Sumatera Utara
perdarahan di hidung) 3.
Ciri-ciri
Central healing (penyembuhan
Punched di bentuk
telinga)
out
lesion
donat),
(lesi
madarosis,
ginekomasti, hidung pelana, dan suara sengau
4.
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Deformitas (cacat)
Biasanya terjadi dini
Terjadi pada stadium lanjut
6.
Apusan
BTA negatif
BTA positif
2.5. Reaksi Kusta 2.5.1. Pengertian2 Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya : 1. Penderita dalam kondisi lemah 2. Kurang gizi
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Jenis Reaksi2 Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan reaksi tipe II a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading) Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita. Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. 1) Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (konstitusi). 2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 3) Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih. b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum) Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks). 1) Gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh.
Universitas Sumatera Utara
2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. 3) Perjalanan reaksi Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.
2.6. Kecacatan Pada Penderita Kusta2 Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah.
2.6.1. Proses terjadinya cacat kusta2 Terjadinya cacat tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak. Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses : a. Infiltrasi langsung Mycobacterium leprae kesusunan saraf tepi dan organ (misalnya mata) b. Melalui reaksi kusta
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Tingkat Cacat2 WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta menjadi tiga tingkat, yaitu: a. Tingkat 0 Jika mata , tangan atau kaki tetap utuh, maka dinyatakan tingkat cacat 0 b. Tingkat 1 Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf karena penyakit kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan, maka dinyatakan tingkat cacat 1. Anastesi mata tidak dilakukan pemeriksaan. Kelemahan otot masuk cacat 1 kecuali mata. c. Tingkat 2 Jika ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting, lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea) maka dinyatakan tingkat cacat 2. Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu : luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak mati rasa), alis mata menipis (madarosis), hidung pelana, mati rasa selain pada telapak ( pada kulit umum atau pada bercak); kiting, kelemaham otot atau kehilangan jari yang disebabkan oleh kecelakaan.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Pencegahan dan Pengawasan Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya kerena penyakitnya saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan.18 Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anakanak dari orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa, maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut.13
2.7.1. Pencegahan Primodial20 Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Pencegahan Primer (Primary Prevention) Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit..20 Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.21 Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
2.7.3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi.20 Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.21 Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal sign” pada badan, yaitu :2 a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi). b. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bias berupa: a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise) c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak. c. Ditemukan Basil Tahan Asam2 Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif). Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tandatanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Universitas Sumatera Utara
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) 1. Tanda-tanda pada kulit a. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh b. Kulit mengkilap c. Bercak yang tidak gatal d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut. e. Lepuh tidak nyeri. 2. Tanda-tanda pada saraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka. b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka c. Adanya cacat (deformitas) d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
2.7.4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention) Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.20 Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya.22 Pencegahan tertier meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Pencegahan Kecacatan Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. 18 Upaya pencegahan cacat terdiri atas : a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : 1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis 2) Pengobatan secara teratur dan adekuat 3) Deteksi dini adanya reaksi kusta 4) Penatalaksanaan reaksi kusta b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi : 1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka 2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. 3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. 4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi. 5)
Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot. 2,17
Universitas Sumatera Utara
b. Rehabilitasi 17 Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
2.8. Program Pemberantasan Penyakit Kusta2 Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) harus memenuhi resolusi tersebut. Suatu kenyataan bahwa kusta tersebar di Indonesia secara tidak merata dan prevalensi rate (PR) sangat bervariasi menurut propinsi, Kabupaten/Kota/Kecamatan. Penderita terdaftar di Indonesia sampai dengan desember 2003 sebanyak 18.312 penderita. Eliminasi kusta di Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah dicapai secara nasional pada pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi dan kabupaten masih banyak yang belum mencapai eliminasi. Sampai akhir desember 2003, baru 18 dari 30 propinsi dan 325 dari 440 Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi.
Universitas Sumatera Utara
2.8.1. Tujuan2 a. Tujuan Jangka Panjang 1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. 2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar. 3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang terkena penyakit kusta. b. Tujuan Jangka Pendek2 1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemik rendah sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%. 2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan (RFT Rate) lebih dari 90%. 3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah RFT kurang dari 5%. 4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk kasus yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis. 5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan starategi sesuai endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan penunjangnya.
Universitas Sumatera Utara
2.8.2. Target2 1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008. 2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010. 3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.
2.8.3. Kebijakan2 1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan pelayananan kesehatan dasar di puskesmas. 2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan cuma-cuma. 3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
2.9. Pengobatan Penderita Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang efektif. 12,18
Universitas Sumatera Utara
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.18 Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : 2
2.9.1. Tipe PB 2,23 Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson. a. Jenis dan obat untuk orang dewasa: 1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas. 2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah. b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak : 1. DDS 1-2 mg / kg berat badan 2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan c. Lama pengobatan Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan.
Universitas Sumatera Utara
2.9.2. Tipe MB 2,23 Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin (lamprene). a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa: 1. Lamprene 300 mg / bulan 2. Rifampisin 600 mg / bulan 3. DDS 100 mg / bulan Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan. 1. DDS 100 mg / hari 2. Lamprene 50 mg / hari Kedua obat ini diminum di rumah. b. Dosis Lamprene untuk anak-anak: Umur dibawah 10 tahun :
Umur 11 – 14 tahun
:
Bulanan
: 100 mg / bulan
Harian
: 50 mg / 2 kali / minggu
Bulanan
: 200 mg / bulan
Harian
: 50 mg / 3 kali / minggu
Lama pengobatan 2 tahun Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk dalam masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC).2
Universitas Sumatera Utara