BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori Pencahayaan 2.1.1. Definisi Cahaya Menurut IESNA (2000), cahaya adalah pancaran energi dari sebuah partikel yang dapat merangsang retina manusia dan menimbulkan sensasi visual. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, cahaya merupakan sinar atau terang dari suatu benda yang bersinar seperti bulan, matahari, dan lampu yang menyebabkan mata dapat menangkap bayangan dari benda – benda di sekitarnya. 2.1.2. Definisi Pencahayaan Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada sebuah bidang permukaan. Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan didefinisikan sebagai tingkat pencahayaan rata – rata pada bidang kerja, dengan bidang kerja yang dimaksud adalah sebuah bidang horisontal imajiner yang terletak setinggi 0,75 meter di atas lantai pada seluruh ruangan (SNI Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Buatan pada Bangunan Gedung, 2000). Pencahayaan memiliki satuan lux (lm/m²), dimana lm adalah lumens dan m² adalah satuan dari luas permukaan. Pencahayaan dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitar. Pencahayaan yang baik menyebabkan manusia dapat melihat objek – objek yang dikerjakannya dengan jelas. 2.2. Sumber Pencahayaan Menurut sumber cahaya, pencahayaan dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu : 1. Pencahayaan Alami Pencahayaan alami adalah pencahayaan yang memiliki sumber cahaya yang berasal dari alam, seperti matahari, bintang, dll. Matahari adalah sumber pencahayaan alami yang paling utama, namun sumber pencahayaan ini
4
Universitas Sumatera Utara
5
tergantung kepada waktu (siang hari atau malam hari), musim, dan cuaca (cerah, mendung, berawan, dll). Pencahayaan alami memiliki beberapa keuntungan yaitu : hemat energi listrik, dapat membunuh kuman penyakit, variasi intensitas cahaya matahari dapat membuat suasana ruangan memiliki efek yang berbeda – beda, seperti pada hari mendung, suasana di dalam ruangan akan memiliki efek sejuk, dan hari cerah menyebabkan suasana bersemangat, dan Kelemahan dari pencahayaan alami yaitu : tidak dapat mengatur intensitas terang cahaya matahari sehingga jika cuaca terik akan menimbulkan kesilauan, sumber pencahayaan alami yaitu matahari dapat menghasilkan panas, dan distribusi cahaya yang dihasilkan tidak merata. 2. Pencahayaan Buatan Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang berasal dari sumber cahaya selain cahaya alami, contohnya lampu listrik, lampu minyak tanah, lampu gas, dll. Pencahayaan buatan diperlukan ketika : pencahayaan alami tidak tersedia di ruangan pada saat matahari terbenam, pencahayaan alami tidak mencukupi kebutuhan cahaya seperti pada saat hari mendung, pencahayaan alami tidak dapat menjangkau tempat tertentu yang jauh dari jendela dalam sebuah ruangan, pencahayaan merata pada ruangan yang lebar diperlukan, pencahayaan konstan diperlukan seperti pada ruangan operasi, diperlukan pencahayaan yang arah dan warnanya dapat diatur, dan diperlukan pencahayaan untuk fungsi tertentu seperti menyediakan kehangatan bagi bayi yang baru lahir.
Universitas Sumatera Utara
6
Pencahayaan buatan memiliki beberapa keuntungan seperti : dapat menghasilkan pencahayaan yang merata, dapat menghasilkan pencahayaan khusus sesuai yang diinginkan, dapat menerangi semua daerah pada ruangan yang tidak terjangkau oleh sinar matahari, dan dapat menghasilkan pencahayaan yang konstan setiap waktu. Pencahayaan buatan memiliki beberapa kelemahan seperti : memerlukan energi listrik sehingga menambah biaya yang dikeluarkan, dan tidak dapat digunakan selamanya karena lampu dapat rusak. 2.3. Pencahayaan Buatan 2.3.1. Sejarah Pencahayaan Buatan Pencahayaan buatan diperlukan ketika sumber cahaya alami yaitu matahari tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pencahayaan. Setelah matahari terbenam, api adalah sumber pencahayaan buatan pertama yang dikenal oleh manusia. Menurut Binggeli (2003), lampu minyak dari batu adalah lampu pertama buatan manusia yang dibuat oleh suku Cro-Magnon 50.000 tahun yang lalu. Sumber pencahayaan buatan pertama yang paling terang ditemukan oleh Leonardo da Vinci yang memasukkan lampu minyak ke dalam silinder kaca berisi air dan air di dalamnya memperlipatgandakan pencahayaan yang dihasilkan. Bangsa Romawi adalah penemu lilin pertama yang menggunakan lemak binatang sebagai bahan pembuat lilin. Pencahayan buatan terus berevolusi hingga Thomas Alva Edison menemukan lampu pijar pertama pada tahun 1879 yang berusia hanya 15 jam.
Universitas Sumatera Utara
7
2.3.2. Sistem Pencahayaan Buatan Sistem pencahayaan buatan secara umum terbagi menjadi 3 yaitu: 1. Sistem Pencahayaan Merata Pada sistem ini, pencahayaan tersebar pada semua area di ruangan secara merata (Ganbar 2.1). Sistem pencahayaan merata digunakan pada ruangan yang tidak memerlukan ketelitian dalam melihat seperti pada koridor atau jalan. 2. Sistem Pencahayaan Setempat Pada sistem ini, cahaya hanya dikonsentrasikan pada objek yang membutuhkan cahaya secara optimal seperti pada area kerja (Gambar 2.2). Sistem pencahayaan jenis ini cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi dan mengamati benda yang membutuhkan cahaya. 3. Sistem Pencahayaan Gabungan Sistem pencahayaan gabungan didapatkan dengan menggabungkan sistem pencahayaan setempat dan sistem pencahayaan merata (Gambar 2.3). Sistem pencahayaan ini cocok untuk memenuhi pencahayaan tugas visual yang memerlukan tingkat pencahayaan tinggi.
Gambar 2.1 Sistem Pencahayaan Merata
Gambar 2.2 Sistem
Gambar 2.3 Sistem
Pencahayaan Setempat
Pencahayaan Gabungan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Universitas Sumatera Utara
8
2.3.3. Kualitas Pencahayaan Kualitas pencahayaan yang baik dapat memaksimalkan performa visual, komunikasi interpersonal, dan mempengaruhi perilaku manusia di dalam ruangan, sedangkan kualitas pencahayaan yang buruk akan menyebabkan ketidaknyamanan dan memusingkan performa visual. Menurut IESNA (2000), kualitas pencahayaan dapat dikategorikan melalui tiga pendekatan yaitu dari bidang arsitektur, ekonomi dan lingkungan, dan kebutuhan manusia.
Arsitektur Pencahayaan terdapat di dalam konteks arsitektur baik itu interior maupun eksterior. Menurut Setiawan (2012), pencahayaan bukan berperan sebagai pelengkap arsitektur, namun telah menjadi bagian dari arsitektur itu sendiri. Keberadaan pencahayaan dapat mempengaruhi pengalaman ruang, estetika bangunan, dan visualisasi ruang.
Ekonomi dan Lingkungan Pemilihan pencahayaan sangat dipengaruhi dari bidang ekonomi. Investasi pada lampu harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan demi mendapat tingkat efektifitas dan performa lampu yang sesuai.
Kebutuhan Manusia Dari segi aspek kebutuhan manusia, untuk mendapatkan kualitas pencahayaan yang baik perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut:
1. Jarak Pandang (Visibility) Peran pencahayaan sangat penting dalam mengatur kemampuan untuk menangkap informasi sudut pandang visual dan juga jarak untuk melihat daerah di sekeliling. 2. Performa Aktivitas (Task Performance) Salah satu peran utama pencahayaan adalah memfasilitasi aktivitas yang dilakukan manusia agar performa kerja mereka dapat optimal.
Universitas Sumatera Utara
9
3. Perasaan dan Suasana (Mood and Atmosphere) Pencahayaan dapat mempengaruhi mood manusia di dalam ruangan dan menghasilkan bermacam suasana seperti suasana ruangan yang santai pada cafe, suasana produktif pada perkantoran, ataupun suasana angker di suatu tempat. 4. Kenyamanan Visual (Visual Comfort) Aktivitas dan tipe tempat dapat mempengaruhi kenyamanan visual dari ruangan tersebut. Pegawai di perkantoran akan merasa tidak nyaman dengan cahaya yang menyilaukan dari instalasi peencahayaan, namun cahaya yang berkilauan di dalam diskotik justru dapat membuat orang di dalamnya semakin bersemangat. 5. Penilaian Estetika (Aesthetic Judgement) Pencahayaan dapat memiliki fungsi seperti mengkomunikasikan suatu pesan, memperkuat pola dan ritme dalam arsitektur, memaksimalkan warna, dan membentuk sosial hirarki dari suatu tempat. Pencahayaan dapat menjadi elemen yang membantu mencipatakan estetika dari sebuah elemen lain dan juga dapat menjadi estetika itu sendiri. 6. Health, Safety, and Well-Being Pencahayaan
dapat
mempengaruhi
kesehatan
manusia
seperti
pada
pencahayaan berlebih pada kamar tidur dapat menyebabkan gangguan tidur. Aspek kesehatan sering diabaikan oleh para desainer pencahayaan. 7. Komunikasi Sosial (Social Communication) Kondisi pencahayaan dari suatu ruang dapat menyebabkan
komunikasi
antara sesama penghuni ruangan dengan mengatur pola pencahayaan dan jumlah bayangan. 2.4. Sumber Cahaya dan Armatur Lampu Menurut Manurung (2009), pemahaman mengenai sumber cahaya dalam desain pencahayaan arsitektural (architectural lighting design) sangat penting mengingat tiap – tiap sumber cahaya memiliki karakteristik, tingkat efficacy (perbandingan daya yang dibutuhkan dengan kuat cahaya yang dihasilkan),
Universitas Sumatera Utara
10
renderasi warna, dan temperatur warna yang berbeda. Menurut Moyer (1992), di dalam memilih lampu bagi desain pencahayaan terdapat beberapa faktor yang sangat penting untuk diperhatikan , yaitu intensitas, ukuran fixture, besaran watt, tipe lampu (dalam variasi beamspread dan watt), dan warna. 2.4.1. Macam – Macam Sumber Cahaya Menurut Manurung (2009) sumber cahaya yang beredar di pasaran dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : incandescent lamp (lampu pijar), fluorescent lamp (lampu fluoresens), High Intensity Discharge, dan LED. 2.4.1.1. Lampu Pijar (Incandescent Lamp) Lampu pijar merupakan salah satu lampu yang paling tua usianya sejak pertama kali dikembangkan oleh Thomas Alfa Edison. Lampu yang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan bohlam karena bentuknya yang menyerupai bola. Dari total energi listrik yang digunakan oleh lampu pijar, hanya sekitar 10% saja yang diubah menjadi cahaya, sedangkan sekitar 90% lainnya dibuang sebagai energi panas. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan usia lampu pijar menjadi pendek (sekitar 1000 jam). Warna kekuningan (warm light) yang dihasilkan lampu pijar mampu menciptakan suasana hangat, akrab, lebih alami, dan teduh sehingga lampu pijar sering digunakan sebagai lampu utama pada hunian.
Gambar 2.4 Lampu pijar
Gambar 2.5 Lampu halogen
Sumber : Lighting Design Basic (2004) Sumber : Lighting Design Basic (2004)
Universitas Sumatera Utara
11
2.4.1.2. Lampu Fluoresens (Fluorescent Lamp) Lampu fluoresens di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan yang sesungguhnya keliru, yaitu lampu “neon”. Pada hakikatnya, lampu neon ditujukan pada sumber cahaya yang menggunakan gas neon. Sebutan lain untuk lampu fluoresens adalah lampu TL (Tubular Lamp) karena berbentuk tabung, walaupun variasi bentuk lampu jenis ini sesungguhnya sangat banyak. Pada desain pencahayaan ruang, lampu fluoresens banyak digunakan untuk menghasilkan cahaya yang merata untuk memenuhi kebutuhan fungsional berbagai aktivitas. Cahaya putih jernih yang merata yang dihasilkan dengan kecenderungan untuk tidak mempengaruhi warna benda, membuat lampu fluoresens mampu menampilkan objek visual dengan sangat baik.
Gambar 2.6 Lampu fluoresens Sumber : Lighting Design Basic (2004)
Gambar 2.7 Compact Fluoresens Lamp (CFL) Sumber : Lighting Design Basic (2004)
2.4.1.3. High Intensity Discharge Seperti yang tergambar dari namanya, lampu High Intensity Discharge (HID) adalah lampu – lampu discharge yang mampu menghasilkan cahaya dengan intensitas tinggi. Lampu HID dibagi menjadi tiga jenis yang paling umum, yaitu metal halida (Gambar 2.8), merkuri, dan sodium bertekanan tinggi (High Pressure Sodium/HPS) (Gambar 2.9). Lampu – lampu HID sangat baik dalam pencahayaan ruang luar karena mampu menghasilkan cahaya dengan intensitas tinggi.
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.8 Lampu metal halida
Gambar 2.9 Lampu sodium bertekanan tinggi
Sumber : Lighting Design Basic (2004)
Sumber : Lighting Design Basic (2004)
2.4.1.4. LED (Light Emitting Diode) Perkembangan teknologi lampu yang pesat telah mengantar penciptaan jenis lampu baru, yaitu LED (Light Emmiting Diode). Lampu LED memiliki usia yang sangat panjang, mencapai 100.000 jam, dengan konsumsi daya listrik yang sangat kecil. Kelemahan LED adalah intensitas cahaya yang dihasilkannya lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis sumber cahaya lainnya. Lampu LED sangat menunjang desain pencahayaan karena memiliki variasi warna, yaitu putih dingin (cool white), kekuningan, merah, hijau, dan biru. Variasi warna ini memungkinkan penciptaan suasana ruang maupun objek yang senantiasa berubah (color changing) dengan memainkan warna – warna yang berbeda pada waktu – waktu tertentu. Warna – warna tersebut juga dapat digunakan sebagai elemen pengarah pada jalur sirkulasi maupun sebagai penanda ruang – ruang fungsional.
Gambar 2.10 Light Emitting Diode (LED) Sumber : Lighting Design Basic (2004)
Universitas Sumatera Utara
13
2.4.2. Tipe Armatur Lampu Setiap lampu memiliki karakter, spesifikasi, kebutuhan daya, dan daya tahan sumber cahaya yang berbeda antara satu dengan lainnya. Namun tanpa perlengkapan lampu (armatur lampu/luminair), semua sumber cahaya hampir terlihat sama kecuali pada renderasi warna yang dihasilkan. Tanpa armatur lampu (rumah lampu, soket, ballast, pengatur kemiringan), sumber cahaya terdiri atas dua jenis yaitu sumber cahaya titik (sumber cahaya berbentuk bola) dan sumber cahaya linear (sumber cahaya lampu fluoresens). Armatur lampu memiliki peran dalam mengarahkan/membelokkan cahaya, menyebarkan cahaya, dan juga memusatkan konsentrasi cahaya. Pengaturan distribusi cahaya ini memiliki tujuan untuk menciptakan pola cahaya yang beragam dalam desain pencahayaan dan mengurangi ketidaknyamanan visual akibat kesilauan. Tanpa armatur lampu, setiap sumber cahaya cenderung menghasilkan cahaya yang datar dan menyebar sehingga akan menciptakan suasana ruang yang monoton. Selain itu, armatur lampu juga sering dilengkapi dengan berbagai elemen reflektor yang menyebabkan intensitas cahaya yang dihasilkan oleh sumber cahaya menjadi lebih terang beberapa kali lipat. Menurut Manurung (2009), armatur lampu dikelompokan menjadi beberapa kategori yaitu : armatur berdasarkan distribusi cahaya, armatur berdasarkan arah cahaya, armatur berdasarkan sudut cahaya, dan armatur berdasarkan peletakan armatur. 2.4.2.1. Berdasarkan Distribusi Cahaya Berdasarkan distribusi cahaya, armatur lampu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. Pencahayaan Langsung (Direct Lighting) Pencahayaan langsung merupakan pencahayaan dengan distribusi sumber cahaya langsung menuju ke sasaran yang dituju. Pencahayaan langsung biasanya merupakan cahaya yang ditujukan secara fungsional untuk
Universitas Sumatera Utara
14
memenuhi kebutuhan cahaya secara kuantitatif pada sebuah ruang atau bidang kerja.
Gambar 2.11 Pencahayaan Langsung Sumber : google images
2. Pencahayaan Semilangsung/tak Langsung (Semi-direct/indirect) Pencahayaan semilangsung atau tak langsung merupakan pencahayaan yang pendistribusiannya terbagi pada dua arah distribusi, yaitu sebagian cahaya yang berasal dari sumber cahaya langsung dan sebagian lagi dipantulkan pada bidang permukaan. Pencahayaan jenis ini sering digunakan karena dapat diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan kuantitas cahaya dan juga dapat diaplikasikan untuk menciptakan kualitas visual suatu objek arsitektural. Pencahayaan semilangsung atau tak langsung sering diaplikasikan pada pencahayaan untuk mendefinisikan dinding, kolom, dan bidang vertikal lainnya.
Gambar 2.12 Pencahayaan semi langsung/tak langsung Sumber : google images
Universitas Sumatera Utara
15
3. Pencahaaan Tak Langsung (Indirect Lighting) Pencahayaan tak langsung diaplikasikan dengan memantulkan cahaya yang berasal dari sumber cahaya pada bidang pemantul atau reflektor. Pencahayaan tak langsung biasanya digunakan untuk mengurangi tingkat kesilauan yang dihasilkan oleh sumber cahaya sehingga pencahayaan tersebut dapat menghasilkan cahaya yang lebih lembut. Pencahayaan jenis ini sering diaplikasikan pada ruangan dengan aktivitas yang memiliki tingkat pergerakan serta ketelitian yang rendah.
Gambar 2.13 Pencahayaan tak langsung Sumber : google images
2.4.2.2. Berdasarkan Arah Cahaya Berdasarkan arah cahaya, armatur lampu dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Uplight (Arah Cahaya ke Atas) Uplight merupakan kelompok armatur yang mendistribusikan cahaya dari bawah ke arah atas dengan sudut tertentu (Gambar 2.14). Lampu uplight sering diletakkan di lantai, trotoar, ataupun di dinding dan kolom untuk memberikan aksentuasi pada kedua elemen arsitektur tersebut. Menurut Karlen (2004), contoh aplikasi yang paling sering digunakan dalam teknik uplight adalah cove lighting (Gambar 2.15). Cove lighting merupakan teknik menyinari langit – langit ruangan dari sisi langit – langit ruangan.
Universitas Sumatera Utara
16
Gambar 2.14 Uplight Sumber : Desain Pencahayaan Arsitektural (2009)
Gambar 2.15 Cove Lighting Sumber : Lighting Design Basic (2004)
2. Downlight (Arah Cahaya ke Bawah) Downlight merupakan kelompok armatur yang mendistribusikan cahaya dari atas ke bawah dengan sudut tertentu. Lampu ini biasanya diletakkan di langit – langit untuk penerangan umum (general lighting) dan untuk menciptakan kesan yang bersih pada langit – langit. Lampu downlight dapat diletakkan di dinding dan kolom untuk menciptakan aksentuasi maupun variasi pola cahaya. Untuk tujuan tersebut, berbagai variasi armatur dapat digunakan agar menghasilkan pola cahaya yang diinginkan. Beberapa armatur lampu dapat menampung lebih dari satu sumber cahaya agar intensitas cahaya yang dihasilkan menjadi semakin besar.
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.16 Downlight Sumber : Desain Pencahayaan Arsitektural (2009)
3. Diffuse (Arah Cahaya Menyebar) Cahaya dengan arah menyebar merupakan pencahayaan yang paling sering diaplikasikan terutama pada hunian. Arah cahaya yang menyebar secara merata atau baur sesungguhnya dapat dicapai langsung dari sumber cahaya tanpa menggunakan rumah lampu. Meskipun begitu, rumah lampu tetap dibutuhkan untuk memaksimalkan intensitas cahaya agar dapat menyebar dalam jangkauan yang lebih luas. Biasanya material yang digunakan pada rumah lampu agar dapat menghasilkan cahaya yang lembut adalah kaca susu, plastik semitransparan, dan kaca kristal. Untuk menciptakan distribusi cahaya yang merata, armatur lampu biasanya akan digantung. Penggunaan lampu gantung untuk menunjang pencahayaan dengan arah merata berfungsi untuk menghindari bayangan yang ditimbulkan oleh perlengkapan lampu yang berada dibawahnya. Dengan menggantung lampu, bidang – bidang permukaan yang berada di sekitarnya dapat diterangi secara merata. Pencahayaan dengan arah cahaya menyebar digunakan untuk menciptakan ruang dengan kesan datar dan terkadang monoton.
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.17 Diffuse light Sumber : Desain Pencahayaan Arsitektural (2009)
2.4.2.3. Berdasarkan Sudut Cahaya Berdasarkan sudut cahaya, armatur lampu dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu : 1. Armatur Spotlight (Lampu Sorot) Lampu sorot digunakan untuk memberikan aksentuasi pada sebuah objek atau detail yang spesifik dan memiliki dimensi yang kecil. Lampu sorot memiliki sudut cahaya yang kecil ( ≤ 30°) dan sering diaplikasikan pada pencahayaan eksterior dengan tujuan menonjolkan objek – objek eksterior.
Gambar 2.18 Spotlight Sumber: google images
Gambar 2.19 Aplikasi penggunaan spotlight Sumber : google images
Universitas Sumatera Utara
19
2. Armatur Floodlight Floodlight merupakan lampu sorot dengan sudut cahaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan spotlight. Untuk menghasilkan cahaya dengan sudut lebar, rumah lampu yang digunakan biasanya berbentuk kotak.
Gambar 2.20 Floodlight Sumber : google images
Gambar 2.21 Aplikasi penggunaan floodlight Sumber : google images
3. Armatur Wallwasher Sesuai dengan namanya, wallwasher atau ”penyiram dinding” digunakan untuk memberikan aksentuasi pada permukaan bidang vertikal. Wallwasher memiliki sudut cahaya yang sangat lebar dan lebih besar jika dibandingkan dengan floodlight, namun mempunyai pola cahaya yang sama yaitu segiempat.
Gambar 2.22 Wallwasher Sumber: google images
Gambar 2.23 Aplikasi penggunaan wallwasher Sumber: google images
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.2.4. Berdasarkan Peletakan Armatur Armatur lampu dapat dikelompokkan berdasarkan tempat peletakan armatur lampu yang berupa bidang horizontal (lantai dan langit – langit), bidang vertikal (dinding dan kolom), maupun di elemen arsitektural. Berdasarkan peletakannya, armatur lampu dikelompokkan menjadi beberapa macam yaitu : 1. Armatur Wall Light/ Lampu Dinding Wall light merupakan lampu yang dirancang agar dapat diletakkan di permukaan dinding maupun kolom.
Gambar 2.24 Lampu dinding Sumber : google images
2. Armatur Step Light/ Lampu Tangga Step light atau lampu tangga digunakan untuk menerangi anak tangga dengan membentuk pola cahaya tertentu agar tangga dapat diakses dengan baik.
Gambar 2.25 Lampu tangga Sumber : Desain Pencahayaan Arsitektural (2009)
Universitas Sumatera Utara
21
3. Armatur Suspension/ Lampu Gantung Lampu gantung sering menjadi bagian dalam desain pencahayaan interior, baik sebagai pencahayaan fungsional maupun sebagai pencahayaan dekorasi. Pada ruang luar, lampu gantung lebih sering digunakan sebagai pencahayaan fungsional
yang
diletakkan
pada
bagian
teras
bangunan,
maupun
digantungkan pada balok – balok kantilever.
Gambar 2.26 Lampu gantung Sumber : google images
4. Armatur Pole Lighting/ Lampu Tiang Lampu tiang merupakan lampu eksterior yang sering digunakan pada penerangan jalan, jalur pejalan kaki, maupun taman. Penggunaan tiang ditujukan untuk mengatur letak lampu agar mampu menghasilkan cahaya dengan jangkauan yang lebih luas.
Gambar 2.27 Lampu tiang Sumber : google images
5. Armatur Bollard Pada dasarnya bollard merupakan salah satu bentuk dari lampu tiang namun dengan dimensi yang lebih kecil. Bollard sering difungsikan pada pencahayaan jalur pejalan kaki dan taman.
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 2.28 Bollard Light Sumber : google images
6. Armatur Underwater/ Lampu Bawah Air Lampu bawah air didesain sebagai elemen pencahayaan pada water feature dan kolam. Secara fisik, armatur lampu harus dapat menjamin keamanan sumber cahaya agar air tidak dapat masuk ke dalam rumah lampu.
Gambar 2.29 Lampu bawah air Sumber : google images
2.5. Pencahayaan Buatan pada Interior Restoran 2.5.1. Pengertian dan Jenis Restoran Menurut Marsum (2005), restoran adalah sebuah tempat atau bangunan yang memberikan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya baik berupa makan maupun minum dan tempat ini terorganisasi secara komersial. Restoran dapat berada di dalam suatu hotel, kantor, pabrik, maupun berdiri sendiri di luar bangunan itu. Marsum (2005) menyatakan bahwa tujuan dari operasi restoran adalah untuk bisnis, mencari untung, dan membuat puas para tamu yang datang ke restoran tersebut.
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut Marsum (2005), terdapat bermacam jenis restoran yaitu : 1. A’la Carte Restaurant Restoran a’la carte adalah restoran yang menjual makanan lengkap dan memiliki banyak variasi untuk dipilih tamu sesuai yang mereka inginkan. Tiap makanan yang ada di restoran ini memiliki harga tersendiri sesuai jenisnya. 2. Cafetaria atau Cafe Restoran jenis ini mengutamakan penjualan cake, sandwich, kopi, dan teh. Restoran ini biasanya tidak menjual minuman berakohol dan pilihan makanannya terbatas. 3. Canteen Restoran jenis ini biasanya berada di kantor, pabrik, atau sekolah dimana para pekerja dan pelajar bisa mendapatkan makan siang. 4. Night Club/Super Club Night Club adalah restoran yang dibukan menjelang larut malam dengan dekorasi yang mewah dan pelayanan yang megah. Para tamu yang mengunjungi restoran ini dituntut untuk berpakaian resmi dan rapi. 5. Specialty Restaurant Restoran jenis ini biasanya menyesuaikan tipe khas makanan yang disajikan dengan suasana dan dekorasi restoran. Restoran ini menyediakan masakan Cina, Jepang, India, Italia, dan sebagainya. 2.5.2. Jenis Pencahayaan pada Restoran Menurut The IESNA (2000), pencahayaan pada restoran dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu : a. Tipe Restoran Intim (Intimate Restaurant) Tipe restoran ini menampung kegiatan dimana para pengunjungnya berkumpul, bersantai, dihibur, dan mendapatkan makanan dan minuman. Restoran ini memiliki pencahayaan yang lembut dengan luminance yang
Universitas Sumatera Utara
24
rendah serta memiliki beberapa area atau objek yang disorot. Contoh dari restoran tipe ini adalah cocktail lounge dan nightclub.
Gambar 2.30 Restoran intim Sumber : google images
b. Tipe Restoran Santai (Leisure Restaurant) Tipe restoran ini mengutamakan aktivitas makan sebagai yang paling penting. Pencahayan pada restoran ini biasanya menggunakan sistem pencahayaan merata dan memiliki iluminance yang sedang antara 50 sampai 100 lux.
Gambar 2.31 Restoran santai Sumber : google images
c. Tipe Restoran Cepat (Quick Service Restaurant) Pada tipe restoran ini, kecepatan adalah hal yang diutamakan. Pencahayaan di restoran ini biasanya memiliki tingkat iluminance yang tinggi yaitu antara 500 sampai 1000 lux dengan distribusi cahaya yang seragam. Contoh tipe restoran ini adalah kafetaria dan snack bars.
Gambar 2.32 Restoran cepat saji Sumber : google images
Universitas Sumatera Utara
25
Menurut Karlen (2004), berdasarkan sistem pencahayaannya, restoran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu fast food restaurant dan fine dining restaurant. Fast food restaurant merupakan restoran cepat saji yang lebih banyak menggunakan lampu fluoresens yang murah dan merata pada area makan restorannya. Fine dining restaurant merupakan restoran yang lebih mahal dan lebih mewah dibanding fast food restaurant. Restoran jenis ini lebih mengutamakan penggunaan lampu halogen dan lampu pijar sebagai sumber pencahayaannya. Pada fine dining restaurant, pencahayaan pada meja makan adalah sangat penting. Pencahayaan pada meja makan biasanya menggunakan lampu sorot dengan voltase yang rendah. Pencahayaan ini digunakan untuk tujuan fungsional yaitu menerangi aktivitas yang dilakukan di meja makan dan juga untuk menghasilkan suasana dramatis. Karlen (2004) juga membagi restoran berdasarkan pengunjung yang mengunjungi restoran tersebut menjadi beberapa restoran yaitu restoran yang dikunjungi keluarga (family type restaurant), restoran yang dikunjungi sekelompok teman (group type restaurant), dan restoran yang dikunjungi oleh pasangan (couple type restaurant). Family type restaurant dan group type restaurant biasanya lebih banyak menggunakan pencahayaan yang menyinari seluruh area makan secara terang dan menyeluruh karena lebih disukai oleh pengunjungnya. Pada kedua restoran ini, digunakan general lighting yang menerangi meja makan, kursi, dan seluruh area di restoran tersebut. Hal ini berbeda pada couple type restaurant yang memiliki suasana yang lebih dramatis. Menurut Karlen (2004), pasangan lebih menyukai restoran yang redup atau gelap dengan penggunaan lampu yang lebih memfokuskan meja makan di restoran tersebut. 2.6. Studi Kasus Penelitian – Penelitian Terkait Studi kasus penelitian-penelitian ini berasal dari jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian „Pengaruh Pencahayaan Buatan pada Restoran terhadap Minat Pengunjung‟. Studi kasus ini dilakukan untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
26
metodologi penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini. Adapun pembahasan berupa pencahayaan buatan dalam kaitannya dengan restoran. 2.6.1. Peran Pencahayaan Buatan dalam Membentuk Selling Point Tenant di Pusat Perbelanjaan (Setiawan, 2012) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: (1)peran pencahayaan buatan pada beberapa tipe tenant yang ada di pusat perbelanjaan terkait kolerasinya dengan selling point; (2)bagaimana aplikasi pencahayaan buatan yang dapat mencipatakan selling point tenant; dan (3)seberapa besar peran pencahayaan di tiap contoh tenant. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: (1) survei langsung ke lokasi site yang dipilih untuk pendataan, dokumentasi, dan pengukuran nilai illuminance; (2)wawancara pada penjaga/pengelola tenant dan pengunjung tenant; dan (3)penyebaran kuesioner pada pengunjung tenant. Hasil dari penelitian ini adalah pencahayaan buatan yang tepat dapat menarik pengunjung dan pencahayaan yang terang, merata, dan memiliki CRI yang tinggi membuat tampilan produk menjadi lebih menarik. 2.6.2. Effects of Interior Colors, Lighting and Decors on Perceived Sociability, Emotion and Behaviour Related to Social Dining (Wardono, 2012) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana warna, pencahayaan, dan dekorasi dapat mempengaruhi manusia dari aspek sosial (makan bersama keluarga, pasangan, atau teman), emosi (keadaan psikologis manusia pada saat melakukan kegiatan), dan perilaku (interaksi sosial) pada saat makan. Penelitian ini dilakukan dengan simulasi digital terhadap delapan buah gambar suasana restoran yang memiliki warna dinding, langit – langit, lantai, warna kain meja, lampu gantung, dan dekorasi yang berbeda dan para objek survei akan memilih gambar simulasi digital mana yang paling disukai mereka. Hasil dari penelitian ini adalah restoran dengan warna monokromatik, pencahayaan remang, dan dekorasi yang sederhana lebih disukai oleh para objek survei yang merupakan mahasiswa dengan kisaran umur 19 – 22 tahun.
Universitas Sumatera Utara
27
2.6.3.
Pengaruh Store Atmosphere terhadap Minat Beli Konsumen pada Resort Cafe Atmosphere Bandung (Meldarianda, 2010) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh store atmosphere
terhadap minat beli konsumen pada Atmosphere Resort Cafe Bandung. Penelitian dilakukan dengan survei langsung ke lokasi untuk pendataan,dokumentasi, dan pembagian kuesioner kepada responden secara langsung. Hasil dari penelitian ini adalah instore atmosphere (suara, bau, tekstur, dan desain interior) mempengaruhi minat beli konsumen sedangkan outstore atmosphere (layout eksternal dan desain eksterior bangunan) tidak memepengaruhi minat beli konsumen. 2.6.4. Peran Pencahayaan Buatan dalam Pembentukan Suasana dan Citra Ruang Komersial (Savitri, 2007) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran pencahayaan terhadap pembentukan suasana dan citra pada cafe dan restoran di kota Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus secara literatur dan pembagian kuesioner. Hasil dari penelitian ini adalah : (1) segmen pasar masyarakat muda lebih fleksibel dalam menerima pencahayaan berintensitas tinggi maupun rendah, sedangkan segmen pasar masyarakat tua lebih memilih pencahayaan dengan intensitas tinggi; dan (2) penggunaan lampu pijar lebih disukai oleh responden karena berkesan hangat dan nyaman secara visual. 2.6.5.
Pengaruh Pencahayaan LED terhadap Suasana Ruang Cafe dan Restoran (Kurniawati, 2008) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh
lampu LED pada pencahayaan buatan pada cafe dan restoran. Penelitian ini dilakukan dengan metode empiris yang berupa studi kepustakaan dan analisa terhadap studi kasus yang dipilih peneliti. Hasil dari penelitian ini adalah pencahayaan LED dapat menghasilkan suasana ruang cafe dan restoran yang lebih atraktif dan dinamis. Lampu LED juga dapat menjadikan pencahayaan dalam ruangan menjadi efektif karena satu macam luminaire dapat menghasilkan berbagai macam suasana yang menarik perhatian pengunjung restoran.
Universitas Sumatera Utara