BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pergeseran Paradigma Pembangunan Pembangunan (development) adalah kata yang mulai populer pada masa
sesudah Perang Dunia II (Streeten, 1981). Pada saat itu, tingkat pendapatan domestik bruto (PDB) merupakan indikator yang sangat praktis yang dipakai untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan. Menurut Singer (1981), pada waktu itu (masa setalah Perang Dunia II) orang berpendapat bahwa dalam pembangunan, ‘kue’nya perlu diperbesar dahulu, baru sesudahnya dapat dibagi rata. Dengan kata lain, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas. Pembangunan diharapkan akan otomatis menetes ke bawah setelah mencapai tingkat PDB tertentu. Menurut Misra (1981-a), pembangunan akan tercapai dengan sendirinya setelah negara bebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi, berkembang melalui industrialisasi. Pendapat ini juga diperkuat oleh keberadaan kurva ‘U’ terbalik Kuznets. Lebih lanjut lagi, Rostov (1977) menyatakan bahwa pembangunan berjalan secara linier mengikuti tahap-tahap tertentu. Negara-negara berkembang pun harus mengikuti tahap-tahap tertentu untuk dapat menjadi lebih maju. Tahapan tersebut secara berurutan adalah: (1) masyarakat tradisional, (2) prakondisi untuk lepas landas, (3) lepas landas, (4) dorongan menuju kematangan, (5) konsumsi massal. Namun selanjutnya Misra (1981-b) menentang pendapat Rostov ini karena menyamakan sejarah pembangunan Eropa dengan masyarakat lainnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Selain itu, Misra mempertanyakan apakah pertanian memang ciri dari keterbelakang jika melihat dari tahapan Rostov. Menurut Shalih et al. (1978) dalam Nurzaman (2002), industrialisasi yang dalam teori perkembangan Rostov merupakan salah satu kunci perkembangan yang selain sukar untuk dilakukan juga tidak selamanya mengarah pada perkembangan yang diharapkan. Industrialisasi memerlukan tabungan yang tinggi dari masyarakat. Apabila tidak tercapai, maka industrialisasi mengandalkan pada
12
penanaman modal asing (pinjaman). Industrialiasi semacam ini seringkali menimbulkan masalah kesenjangan. Todaro
(1981)
secara
ekstrim
menyatakan
bahwa
industrialisasi
menyebabkan ketergantungan negara berkembang semakin besar terhadap negara asing, disintegrasi dan pengasingan sosial serta penekanan terhadap penduduk. Hal ini disebabkan oleh elit negara berkembang yang menjadi agen dari kepentingan-kepentingan investasi asing. Ada banyak pendapat yang kemudian menjadi kesepemahaman bersama bahwa perkembangan1 tidak lagi hanya diukur dari kenaikan PDB atau PDB per kapitanya saja. Lebih jauh lagi, Misra (1981-b) dan Todaro (1981) menyatakan bahwa sebenarnya perkembangan tidak lain adalah keberhasilan seseorang mencapai nilai budaya yang lebih tinggi. Pembangunan yang disebut sebagai mainstream pembangunan dari atas (development from above) ini kemudian semakin lama semakin bergeser (dalam konteks pembangunan di negara-negara berkembang dan dunia ketiga) menjadi mainstream pembangunan dari bawah (development from below). Pembangunan dari bawah mengandalkan pada sumber daya alam dan keahlian setempat. Konsep-konsep turunan dari pembangunan tipe ini mulai dikembangan oleh beberapa ahli seperti Friedman dan Douglas (agropolitan) serta Blakely (pengembangan ekonomi lokal / local economic development). Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), telah terjadi evolusi strategi pembangunan dari masa ke masa, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian kepada pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan pada pemenuhan kebutuhan dasar, pertumbuhan dan lingkungan hidup, kemudian sampai pada pembangunan yang berkelanjutan. Definisi pembangunan berkelanjutan yang seringkali dipakai adalah menurut World Comission on Environmental and Development (1987), yaitu pembangunan
yang
mempertemukan
kebutuhan
masa
sekarang
tanpa
mengganggu kebutuhan generasi mendatang.
1
Yang dimaksud dengan ‘perkembangan’ adalah perkembangan wilayah sebagai dampak dari pembangunan
13
2.2
Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Pembangunan dan pengembangan merupakan arti harifiah dari kata
Bahasa Inggris yang sama, yaitu development. Menurut Rustiadi et al. (2008), beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada pembangunan untuk beberapa hal spesifik. Secara umum pembedaan istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang secara sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan, dan lokalitas. Menurut Rustiadi et al. (2008), ada juga yang berpendapat bahwa kata pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam artian, pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol (dari sesuatu yang sebelumnya tidak ada), melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Oleh karena itu dalam konteks kewilayahan, istilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada pembangunan wilayah.
2.3
Perencanaan Pengembangan Wilayah Riyadi (2002) mengemukakan bahwa pengembangan wilayah merupakan
upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga suatu kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Adapun perencanaan wilayah pada dasarnya merupakan upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah memiliki tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antarsektor, meningkatkan kemajuan sektoral, dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Suwardji dan Tejowulan (2008), pengembangan wilayah adalah segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua komponen yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara normal. Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu (1) sumberdaya alam/fisik-lingkungan (2) sumberdaya buatan/ekonomi (3) sumberdaya manusia, dan (4) sumberdaya sosial-kelembagaan.
14
Menurut Misra (1982), pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut Rustiadi et al. (2008), perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek proses politik, manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang dan waktu. Menurut Rustiadi et al. (2008), perencanaan pengembangan wilayah merupakan sekumpulan ilmu yang mencakup aspek: 1. Pemahaman, yakni mencakup ilmu-ilmu pengetahuan dan teori-teori untuk memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antarwilayah. Selanjutnya, pengetahuan mengenai ilmu sistem merupakan alat penting untuk memahami keterkaitan unsur-unsur fisik dan non-fisik wilayah guna mengenal dan mendalami permasalahan maupun potensi pengembangan wilayah. 2. Perencanaan, yakni mencakup proses formulasi masalah, visi, misi, dan tujuan pembangunan; teknik-teknik desain dan pemetaan; sistem pengambilan keputusan; hingga perancangan teknis dan kelembagaan perencanaan. 3. Kebijakan, yakni mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi serta proses pelaksanaannya, termasuk proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan.
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal.
15
Anwar dan Rustiadi. (2000) lebih menekankan konsep pengembangan wilayah pada keterpaduan antara pembangunan secara sektoral, kewilayahan, dan institusional.
Pembangunan
berbasis
pengembangan
wilayah
dan
lokal
memandang penting keterpaduan antarsektor, antarspasial (keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam maupun antardaerah. Dengan demikian, setiap program-program
pembangunan
sektoral
dilaksanakan
dalam
kerangka
pembangunan wilayah. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), terlepas dari berbagai definisi pengembangan wilayah yang ada, tujuan pengembangan wilayah seharusnya diarahkan untuk mencapai: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan, (3) keberlanjutan ekosistem. Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi sosial ekonomi serta geografis wilayah yang sangat beragam seperti Indonesia, pengembangan wilayah (regional development) sangat penting dalam mendampingi pembangunan nasional. Tujuan pengembangan wilayah sangat bergantung pada permasalahan serta karakteristik spesifik wilayah yang terkait, namun pada dasarnya ditujukan pada pendayagunaan potensi serta manajemen sumber-sumber daya melalui pembangunan perkotaan, pedesaan dan prasarana untuk peningkatan kondisi sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Pada tingkat nasional pengembangan wilayah juga ditujukan untuk memperkuat integrasi ekonomi nasional melalui keterkaitan (linkages), serta mengurangi kesenjangan antarwilayah (Firman, 2008).
2.4
Pendekatan Sektoral dalam Pengembangan Wilayah Jhingan (2004) mengatakan bahwa model perencanaan pembangunan
ekonomi termasuk pengembangan ekonomi wilayah dikategorikan atas 3 yakni: (1) model agregat, yang menyajikan aspek perekonomian secara keseluruhan; (2) model antar industri, yang didasarkan pada keterkaitan seluruh sektor ekonomi yang produktif; (3) model sektoral, yang lebih menekankan pada industri yang memberikan kontribusi paling besar pada perekonomian. Tarigan (2004) mengungkapkan bahwa pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang
16
seragam atau dianggap seragam. Sedangkan pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya, Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang. Pembangunan yang berbasis kepada keunggulan komparatif (sektoral) wilayah merupakan suatu upaya pembangunan yang tepat sebagai batu pijakan awal untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Namun dalam perspektif jangka panjang, kemajuan ekonomi wilayah berbasis keunggulan komparatif bukan merupakan suatu strategi pembangunan yang efektif. Keunggulan
komparatif
yang
dimiliki
harus
ditransformasikan
menjadi
keunggulan kompetitif wilayah. Sejarah membuktikan bahwa memasuki abad informasi dan teknologi yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi, perkembangan perekonomian semakin diwarnai oleh kompetisi yang semakin meningkat, sehingga kebutuhan akan keunggulan kompetitif menjadi prasayarat untuk mencapai kemajuan. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif, maka harus terjadi interkoneksi diantara keunggulan-keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing wilayah (Pribadi, 2008). Saefulhakim (2004) mengatakan perlu untuk mencermati secara seksama bahwa seringkali terjadi bahwa beberapa sektor yang diidentifikasikan memiliki peranan strategis karena keterkaitannya yang luas dan potensi menumbuhkan dampak ganda bagi beberapa indikator pembangunan, ternyata secara empirik dampak yang ditimbulkannya (penggandaan pendapatan, tenaga kerja, keluaran, PAD) tidak terlalu luas sebagai akibat dari fenomena-fenomena: (1) keterkaitan yang asimetrik dan (2) karakteristik sektor yang bersifat price-taker. Beberapa sektor cenderung memiliki posisi tawar yang rendah terhadap sektor lainnya di dalam penetapan harga. Sektor-sektor primer, terutama pertanian dengan pelaku ekonomi petani-petani tanpa organisasi penunjang cenderung akan memiliki posisi tawar yang rendah di dalam penetapan harga.
17
Anwar dan Rustiadi (2000) mengungkapkan bahwa perencanaan pembangunan memerlukan skala prioritas karena: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian sasaran-saran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial yang ada. Oleh karena itu, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spasialnya. Menurut Anwar (1995), kegiatan pembangunan seringkali bersifat eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar. Efek penggandaan yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional sehingga penduduk setempat seolah-olah menjadi penonton. Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah, antara lain: 1. Sifat Komoditas Komoditas
yang
bersifat
eksploitasi
(sumberdaya
alam)
mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutukan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar, maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lainnya. 2. Sifat Kelembagaan Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners) karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilihan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata. Namun, sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah
18
misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan dengan pemilik yang berasal dari daerah setempat.
Menentukan sektor-sektor unggulan memerlukan beragam pertimbangan, tergantung pilihan yang ditawarkan. Menurut Arief (1993), sektor unggulan adalah sektor yang memenuhi kriteria: (1) mempunyai keterkaitan dan ke belakang yang relatif tinggi; (2) menghasilkan output bruto yang yang relatif tinggi sehingga menghasilkan permintaan akhir yang juga relatif tinggi; (3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa relatif tinggi; (4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi. Menurut Tanea (2009), sektor unggulan pada dasarnya bisa dilihat dari 4 ragam keunggulan, yaitu: (1) keunggulan komparatif, (2) keunggulan kompetitif, (3) keunggulan pengganda, (4) keunggulan keterkaitan. Dia menjelaskan bahwa suatu sektor bisa unggul secara komparatif maupun kompetitif secara ekonomi dalam wilayahnya, namun jika sifatnya enclave maka keunggulan ini tidak lengkap karena tidak memperhitungkan dampak penggandaan yang dihasilkan sektor tersebut. Lebih lanjut lagi, Tarigan (2004) mengatakan bahwa pendekatan sektoral saja tidak akan mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan, perubahan struktur ruang, perubahan pergerakan arus orang dan barang. Sedangkan pendekatan regional (kewilayahan) saja juga tidak cukup karena analisanya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk membahas sektor per sektor apalagi komoditi per komoditi, misalnya komoditi apa yang dikembangkan (luas, pasar, input, perilaku pesaing). Hal senada diungkapkan oleh Riyadi (2002) bahwa pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada isu (permasalahan) pokok secara saling terkait, sementara pembangunan
sektoral
untuk
mengembangkan
memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya.
sektor
tertentu
tanpa
19
2.5
Keterkaitan dan Interaksi Wilayah serta Pembangunan yang Berimbang Setiap wilayah mempunyai potensi dan kekuarangannya masing-masing
secara khas dalam bentuk beragam sumberdaya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi, dan teknologi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, wilayah seringkali harus memenuhinya dari wilayah lainnya. Oleh karena itu wilayah berinteraksi satu dengan yang lainnya karena adanya keterkaitan permintaan dan penawaran. Menurut Preston (1975), keterkaitan dicerminkan oleh perpindahan orang dan migrasi, aliran barang, aliran jasa, aliran energi, financial transfer (dapat melalui trade, taxes dan state disbursements), transfer aset (property right dan state investment) dan informasi. Adapun menurut Rondinelli (1985), keterkaitan dapat dikelompokkan menjadi hubungan fisik, ekonomi, teknologi, population movement, sosial, service delivery dan berbagai hubungan-hubungan politik. Bendavid-Val (1991) mengelompokkan keterkaitan antar wilayah atas keterkaitan transportasi, komunikasi, natural resources, ekonomi, sosial, pelayanan umum, dan institusi. Jika keterkaitan antarwilayah ini tidak berimbang maka yang terjadi adalah disparitas wilayah dimana wilayah yang satu akan mendapatkan keuntungan (rent) yang lebih besar; wilayah lainnya akan terkuras habis (backwash effect). Lo (1981) menjelaskan bahwa keterkaitan wilayah yang tidak baik akan menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Ada 3 hubungan dualistik dalam keterkaitan antarwilayah, yaitu: 1. Utara-selatan yang menggambarkan keterkaitan antar dua kutub utaraselatan (maju-berkembang) di belahan dunia 2. Perkotaan-perdesaan yang menggambarkan keterkaitan intrawilayah 3. Formal-informal yang menggambarkan keterkaitan antar- maupun intrawilayah yang menekankan pada aktivitas ekonominya
Menurut Lo (1981), ketiga hubungan ini tentunya dipengaruhi oleh faktorfaktor dominan yang terdapat di setiap wilayah, yaitu: 1. Sumberdaya alam: pertanian, mineral, dan jenis sumberdaya alam lainnya
20
2. Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, dan tingkat urbanisasi 3. Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadaptasi dan pembangunan sumberdaya manusia 4. Ideologi pembangunan: ideologi dalam pembangunan negara
Dalam konteks interaksi wilayah yang berimbang, Murty (2000), menjelaskan bahwa pembangunan wilayah yang berimbang merupakan suatu pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan kapabilitas dan kebutuhannya. Hal ini tidak berarti bahwa harus terjadi keseragaman pembangunan (perkembangan, industrialisasi, pola ekononomi, dan sebagainya) yang sama; tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki masing-masing wilayah. Dalam konteks pengembangan wilayah, Mariani (2005) mengungkapkan bahwa masalah pembangunan (development) pada dasarnya adalah sisi lain dari masalah keterbelakangan (underdevelopment) yang umumnya menyebabkan ketimpangan wilayah.
2.6
Pengembangan Wilayah di Era Desentralisasi Sejak diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia memulai era desentralisasi (otonomi daerah) yang secara signifikan menggeser orientasi pengembangan wilayah menjadi berbasis kewilayahan dengan memperhatikan lokalitas. Menurut Wiranto (2008), dampak yang ditimbulkan desentralisasi terhadap kegiatan perencanaan adalah: (1) wewenang daerah dalam kegiatan perencanaan yang penuh, sehingga proses pengambilan keputusan terjadi ditingkat lokal, hubungan horisontal-internal menjadi kuat dibandingkan hubungan vertikal-eksternal; (2) peran lembaga perwakilan semakin besar dibandingkan dengan eksekutif, rasionalistas perencanaan melemah dibandingkan rasionalitas konstituen, metoda dan proses perencanaan berubah dari teknikal ke politikal dengan partisipasi penuh dari berbagai pihak berkepentingan melalui
21
forum-forum; dan (3) sumber pembiayaan dari pihak pemerintah propinsi dan pusat berkurang, sehingga kekuasaan alokasi sumberdaya berada di tingkat lokal. Sesungguhnya suatu pengembangan wilayah harus mampu mendorong wilayah untuk tumbuh secara "mandiri" berdasarkan potensi-potensi sosial ekonomi serta karakteristik spesifik yang dimilikinya, tanpa harus memperlemah kesatuan nasional. Begitu pula interaksi ekonomi antarwilayah harus semakin menguat (Firman, 2008) Dalam perspektif jangka panjang, suatu pengembangan wilayah harus menjadi suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian wilayah dan lokal (local economic development), sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Jelas bahwa insiatif pembangunan secara lokal dan regional memegang kunci yang sangat penting, dan pemerintah daerah serta organisasi lokal tidak bersifat pasif atau menunggu insiatif pemerintah pusat (Firman, 2008). Terdapat dua pandangan yang menjiwai makna otonomi, yaitu: (1) legal self sufficiency dan (2) actual independence. Berdasarkan pada pemahaman otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusanurusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah (Cristanto, 2002). Menurut Cristanto (2002), beberapa hal lain yang mendasari perubahan paradigma pembangunan regional adalah faktor-faktor internal dan eksternal yang diperkirakan dapat mempengaruhi jalannya pembangunan regional masa kini dan masa yang akan datang. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain: 1. Faktor Internal a. Faktor Sumberdaya Wilayah b. Faktor Sumberdaya Manusia c. Faktor Kedudukan Geografis d. Faktor Perkembangan Penduduk dan Demografi e. Faktor Peningkatan Kebutuhan
22
f. Faktor Perkembangan Persepsi Masyarakat g. Faktor Kesenjangan 2. Faktor Eksternal a. Faktor Era Globalisasi b. Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi c. Faktor Persepsi Masyarakat Internasional
2.7
Kelembagaan Menurut Rustiadi et al. (2008), kelembagaan sebagai aturan main dan
organisasi berperan penting dalam mengatur penggunaan / alokasi sumber daya secara efisien, merata, dan berkelanjutan. Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumber daya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour). Peningkatan pembagian pekerjaan akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi. Terdapat paling tidak 3 (tiga) komponen utama yang mencirikan suatu kelembagaan, yaitu: (1) batas yuridiksi, (2) property right, (3) aturan representasi. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan. Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi menentukan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumber daya yang dibicarakan (Rustiadi et al., 2008). Pembangunan kelembagaan bukan hanya mengenai masalah perubahan sosial saja, akan tetapi juga perubahan-perubahan sosial yang tidak direncanakan, ekonomi, dan hubungan politik akan selalu muncul sepanjang waktu dengan sesuatu usaha ataupun tanpa usaha mereka, sehingga di dalam tujuan pembangunan kelembagaan haruslah diperhatikan faktor dimensi waktu yang terdiri dari unsur-unsur aspirasi, produktivitas, perencanaan, institusional koherensi,dan ketergantungan (Uphoff dan Ilchman, 1972).
23
2.7.1
Lembaga Hermawan (2004) mengatakan bahwa lembaga mempunyai pengertian
yang sangat berkaitan dengan organisasi. Dari pengertian tersebut lembaga adalah sebagai suatu organisasi formal yang menghasilkan perubahan dan yang melindungi perubahan, dan jaringan dukungan-dukungan yang dikembangkan dalam lingkungan. Suatu organisasi merupakan suatu susunan hierarki yang mempunyai aturan kelembagaan dalam pengambilan keputusan yang dapat memakai sistem voting atau musyawarah untuk mufakat (konsensus) dalam rangka membentuk semacam dewan, paguyuban, atau asosiasi. Di dalam suatu organisasi dengan kelembagaan tertentu, pada hakekatnya organisais tersebut merupakan wadah untuk melakukan negoisasi bagi para anggota dan pengurusnya dalam menentukan arah dan tujuan organisasi serta melancarkan aktivitas yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan (Gustiar, 2005). Menurut Esman (1972), suatu organisasi dapat dikatakan sebagai lembaga pembaharuan bila memiliki sifat ganda, yaitu: 1. Bangun lembaga ini merupakan organisasi yang secara teknik dan sosial dapat lestari, efektif, dan dinamis serta dapat merupakan wahana pembawa inovasi baru 2. Mampu mengembangkan hubungan dengan organisasi dan kelompok lain yang memiliki sifat ketergantungan maupun dukungan atau pelengkap yang pada gilirannya dapat dipengaruhi oleh lembaga pembaharuan
Menurut Arlianto (2002), ada beberapa jenis struktur organisasi, yaitu: 1. Struktur sederhana (simple structure), merupakan struktur non formal yang banyak ditemukan di organisasi-organisasi kecil 2. Struktur fungsional (fungsional structure), struktur organisasi dibedakan untuk setiap fungsi organisasi, sesuai dengan tugas-tugas utama yang dibebankan kepadanya 3. Struktur multidivisi (multidivisional structure), bentuk ini lebih kompleks dari struktur fungsional karena membagi organisasi kedalam divisi-divisi
24
4. Struktur perusahaan induk (holding company structure), merupakan struktur organisasi yang terdiri dari berbagai anak organisasi 5. Struktur matriks (matrix structure), merupakan kombinasi antara struktur fungsional dan struktur multidivisi 6. Struktur antara/variatif, pada intinya tidak semua organisasi menerapkan jenis struktur organisasi ini
Menurut Arlianto (2002), dimensi-dimensi utama struktur organisasi yang perlu diperhatkan dalam penyusunan struktur organisasi adalah: 1. Kompleksitas, menyatakan tingkat diferensiasi yang ada dalam organisasi. Diferensiasi horizontal mempertimbangkan tingkat pemisahan horizontal diantara unit-unit di dalam organisasi. Diferensiasi vertikal merujuk pada kedalaman hierarki organisasi 2. Formalisasi, menyatakan sejauhmana proses di dalam organisasi sistandarisasi. Jika sebuah proses telah distandarisasi, maka pemegang kekuasaan atas proses itu mempunyai sedikit kebebasan mengenai apa yang harus dilakukan, kapan melakukan dan bagaimana melakukan. Formalisasi atau standarisasi dapat mengurangi keragaman, mendorong munculnya koordinasi yang lebih mudah dan mendorong penghematan. Formalisasi di dalam organisasi dapat dilakukan melalui seleksi, peraturan, prosedur, kebijakan, pelatihan, dan ritual. 3. Sentralisasi,
menyatakan
tingkat
dimana
pengambilan
keputusan
dikonsentrasikan pada satu titik di dalam organisasi. Konsentrasi yang tinggi mentakan adanya desentralisasi yang tinggi. Sedangkan konsentrasi yang rendah menunjukkan sentralisasi yang rendah atau dikenal sebagai desentralisasi.
Dalam
konteks
lembaga
pemerintahan,
Djojohadikusumo
(1985)
mengungkapkan bahwa rencana dan kebijakan pembangunan yang bagaimanapun baiknya dan idealnya apabila tidak disertai dengan pengetahuan, kemampuan dan aparat administrasi yang baik dan tepat untuk menunjang pelaksanaannya, akan menemui kemacetan dan kegagalan.
25
2.7.2
Perencanaan, Kelembagaan, dan Kebijakan Publik Menurut Friedman (1987), dikaitkan dengan kelembagaan, sistem
perencanaan diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Perencanaan sebagai Social Reform Dalam sistem perencanaan ini, peran Pemerintah sangat dominan, sifat perencanaan : centralized, for people, top-down, berjenjang dan dengan politik terbatas. Tradisi perencanaan seperti ini berkembang pada paruh kedua abad IX. Reformasi sosial mempunyai ide dasar bahwa masyarakat ilmiah akan dapat memandu dunia dalam jalur yang pasti menuju kemajuan sosial. Tradisi ini mencoba memandu masyarakat dari atas, sebab masyarakat biasa tidak cukup tahu untuk terlibat dalam perencanaan. 2. Perencanaan sebagai Policy Analysis Dalam sistem perencanaan ini, pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka. Muncul pada saat masa antara Krisis Malaise tahun 1930-an sampai pasca perang dunia kedua. Tujuan utamanya ialah penyajian pilihan
kebijakan
kepada
pembuat
keputusan
dan
menjelaskan
konsekuensi dari setiap pilihan, dengan asumsi dasar bahwa solusi yang tepat akan muncul dari analisis data yang ilmiah. Posisi perencana adalah analis yang merupakan teknisi yang melayani pusat kekuasaan yang ada dan posisi masyarakat ialah objek rekayasa oleh negara. 3. Perencanaan sebagai Social Learning Dalam sistem perencanaan ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka. Tokoh utamanya adalah John Dewey yang mengkonsepkan bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi merupakan bentuk politik ilmiah. Ide utama paradigma ini adalah ekstensifikasi nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumentasinya tradisi ini menekankan adanya proses dialogis, relasi non-hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi
26
terhadap perbedaan dan mengutamakan transaksi sosial. Perencanaan partisipatif diidentifikasi berkembang pada tradisi ini. 4. Perencanaan sebagai Social Transformation Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideologi 'kolektivisme komunitarian'. Berkembang dari kaum utopian, anarkis dan Marxis, yang bermula dari kritikan terhadap tatanan kapitalisme industri. Perencana radikal langsung berbicara kepada kaum buruh, wanita dan kaum tertindas lainnya, dan melupakan kewenangan negara dan pencerahan bagi kaum elit. Tabel 1 Matriks Pembagian Aspek Formal Dalam Perencanaan Political Ideologi Conservative Radical Knowledge to Action Policy Analysis Social Reform Societal Guidance Social Learning Social Mobilization Social Transformation Sumber: Friedman, 1987
2.8
Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya Menelaah penelitian sebelumnya memerlukan berbagai pertimbangan
khususnya
menyangkut
penelitian
yang
memuat
substansi
perencanaan
pengembangan wilayah di era otonomi daerah maupun penelitian yang terkait substansi
penelitian
di
wilayah
Bandung
Barat
dan
wilayah
yang
mempengaruhinya seperti Provinsi Jawa Barat. Desmawati (2008) melakukan studi tentang sektor unggulan dan arahan penerapannya di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini penting karena menyangkut studi perekonomian Jawa Barat yang tentunya (dalam skala makro) akan berpengaruh terhadap orientasi pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat. Desmawati (2008), meyimpulkan bahwa meskipun kabupaten pertanian memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian, tetapi 6 dari 4 kabupaten pertanian yang ada sektor pertaniaannya tidak memiliki keunggulan kompetitif. Bahkan, sektor pertanian di kabupaten/kota industri dan jasa termasuk sektor yang kompetitif. Indikasi ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian di wilayah berbasis pertanian masih belum optimal.
27
Pusat-pusat industri di Jawa Barat selain memiliki sumberdaya yang kuat, pertumbuhan sektornya juga mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi yang kuat dan dengan pertumbuhan sektornya yang mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Dilihat dari kesenjangan pendapatan antarpenduduk maka kabupaten dengan andalan sektor industri dan jasa di Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Dilihat dari kesenjangan pemilikan lahan maka kecenderungan fragmentasi lahan di kabupaten/kota industri dan jasa lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian dan pertambangan. Hal ini makin diperparah jika membandingakan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dimana proses fragmentasi lahan di perkotaan dipercepat oleh aktivitas sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan. Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri ada di atas tingkat pengangguran Jawa Barat. Ini disebabkan karena pengembangan industri pada modal memiliki keterbatasan dalam menampung tenaga kerja. Tingkat pengangguran terendah ada di kabupaten pertanian. Secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian pada sektor pertanian. Adapun yang memiliki nilai IKM yang relatif rendah adalah kabupaten/kota industri dan jasa. Secara umum angka IPM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian pada sektor industri dan jasa. Adapun yang memiliki nilai IPM yang relatif rendah adalah kabupaten pertanian. Dari analisis PCA yang dilakukan didapat bahwa tidak ada kaitan yang signikan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan kesejahteraan manusia. Kontribusi ekonomi (PDRB, output, nilai tambah bruto, serapan tenaga kerja) sektor industri terhadap perekonomian provinsi adalah yang paling dominan secara keseluruhan. Kontribusi sektor tertinggi per tipe ekonomi adalah sebagai berikut: PDRB Provinsi (industri 43,33 %), output (industri 57,2 %), nilai tambah bruto (industri 45,22 %), penyerapan tenaga kerja (pertanian 29,7 %). Adapun dari perspektif keterkaitan, keterkaitan ke belakang langsung tertinggi adalah industri (0,53), bangunan (0,53). Keterkaitan ke belakang total
28
tertinggi adalah bangunan (1,932), industri (1,888). Namun keterkaiatan sektor industri hanya dengan sektor industri itu sendiri dimana 63,7 % input sektor industri berasal dari sektor industri sendiri dan keterkaiatan ke depan, 80,6 % output menjadi input bagi sektor industri. Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Adapun 72,02 % dari total industri di Jawa Barat adalah non-pertanian. Sebenarnya pertanian mempunyai potensi untuk mendorong sektor industri terutama industri pertanian. Dari sisi pengganda sektor tertinggi per tipe adalah: pendapatan (industri 1,95), tenaga kerja (industri 3,79), PAD (ligas 6,43; jasa-jasa 2,86), PDRB (bangunan 2,36; industri 2,15). Sektor pertanian selalu berada terbawah kecuali untuk penggandaan PAD. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan besar pada teknologi dan manajemen sektor pertanian. Jika tidak, sektor pertanian bisa semakin tertinggal. Dari analisis IO 86 sektor ditemukan bahwa tidak semua industri memiliki indikasi negatif dalam keterkaitan antarindustri sendiri. Industri pertanian (agroindustri) ternyata memiliki keterkaitan sektoral yang kompleks dan kuat termasuk keterkaitan dengan sektor pertanian primer. Namun hasil positif agroindustri tidak muncul dalam penelitian Dermoredjo (2001). Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang paling tinggi namun kebijakan pengembangannya masih sulit. Tingkat kebocoran sektor ini masih tinggi, yaitu 66,18 %; sebagai perbandingan tingkat kebocoran sektor pertanian sebesar 31,27 %. Sama seperti penelitian Desamawati, penelitian Dermoredjo (2001) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terkait dengan pembangunan manusia. Penelitian Simanungkalit (2003) menyebutkan bahwa daya saing Kabupaten Bandung dalam perspektif Provinsi Jawa Barat baik. Penelitian ini pada prinsipnya digunakan untuk melihat pertimbangan akademis mengenai pemekaran Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini membuat penilaian tingkat daya saing (tinggi, sedang, rendah) per tipologi untuk setiap kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan nilai untuk Kabupaten Bandung, yaitu:
29
1. Daya saing tinggi: ekonomi dan fiskal, peternakan, pemerintahan dan rentang kendali 2. Daya saing sedang: aktivitas ekonomi penduduk, ketenagakerjaan, kependudukan, transportasi dan komunikasi, perumahan dan lingkungan, pertanian, perikanan 3. Daya saing rendah: kesenjangan daerah, sosial
Secara agregat, Kabupaten Bandung Barat mempunyai tipologi berdaya saing tinggi di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, dalam perspektif Provinsi Jawa Barat, alasan pemekaran Kabupaten Bandung Barat kurang bisa diterima terlebih melihat beberapa indikator yang pada umumnya dipakai untuk pemekaran seperti ekonomi dan fiskal, pemerintahan dan rentang kendali, serta kesenjangan daerah. Penelitian Ilyas (2002) tentang Analisis Kesiapan Potensi Ekonomi Wilayah di Sulawesi Utara terhadap Kemandirian Pembangunan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah mengungkapkan bahwa orientasi pembangunan di era otonomi daerah seharusnya terkait dengan: (1) tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal, (2) sumber daya ekonomi yang terbatas, (3) perlunya skala prioritas. Struktur perekonomian di Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi PDRB sebesar 45,80 %. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor kedua yang signifikan dengan kontrbusi PDRB sebesar 14,23 %. Dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) didapatkan bahwa tidak ada keterkaitan antara sektor hulu dengan hilir. Selain itu, sektor industri cenderung mengambil bahan impor dan kurang menyerap tenaga kerja. Ilyas (2002) melakukan prioritas pembangunan untuk setiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan Location Quotient (LQ) sektor ekonomi. Dari penelitian ini juga didapat bahwa indeks kemampuan rutin (IKR) Provinsi Sulawesi Utara masih rendah. Penelitian Rozi (2007) tentang Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemsikinan dengan Studi Kasus Provinsi Riau menyebutkan bahwa otonomi daerah pada intinya adalah desentralisasi fiskal. Untuk itu, dalam otonomi daerah, yang diperlukan adalah meningkatkan kinerja fiskal dan
30
perekonomian daerah untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Mekanisme yang dilakukan adalah dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi penerimaan adalah bagaimana memperbesar Dana Alokasi Umum (DAU) yang berorientasi penurunan kemiskinan dengan mengalokasikannya untuk program yang bersentuhan dengan masyarakat. Dari sisi pengeluaran yang perlu dilakukan adalah peningkatan alokasi anggaran infrastruktur dan pertanian yang langsung berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan serta alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang mempengaruhi peningkatan IPM yang kemudian akan menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian Suryadi (2002), lebih spesifik mengembangkan ekoturisme dalam rangka pengembangan wilayah di era otonomi daerah. Penelitian ini menyebutkan bahwa ekoturisme merupakan sektor ekonomi unggulan yang mempunyai keterkaitan dengan ekonomi rakyat. Penelitian ini lebih banyak menggunakan metode eksploratif. Suryadi (2002) memaparkan bahwa seharusnya pengembangan otonomi daerah itu berbasis lokal dan pro pada ekonomi rakyat. Penelitian Kurniawati (2005) dan Yuliati (2008) menyoroti pertanian di Kecamatan Lembang dan Parongpong yang selama ini dikenal sebagai daerah pertanian unggulan. Ada beberapa ancaman yang coba dimunculkan dari penelitian ini, yaitu konversi lahan sawah dan perekonomian petani marjinal. Konversi lahan sawah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman. Sedangkan petani marjinal yang selama ini turut serta meyumbangkan komoditas unggulan semakin mempunyai nasib yang tidak menentu karena tidak mempunyai lahan sendiri, berasal dari keluarga miskin, minim modal, serta tidak ada bantuan kelembagaan.