BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesiapan Menikah Individu dapat dikatakan telah siap menikah ketika ia telah mampu menyandang peranperan barunya yaitu sebagai suami atau istri, kemudian berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan (Duvall & Miller, 1985). Blood and Blood (1978) mengatakan bahwa individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan harus memiliki 2 aspek kesiapan menikah. Jika kedua aspek tersebut telah terpenuhi barulah dapat dikatakan bahwa ia telah siap menikah. Kedua aspek yang dimaksud tersebut ialah aspek kesiapan pribadi yang dilhati dari sejauh mana individu memiliki komitmen terhadap pernikahan dan segala konsekuensinya, yang terakhir aspek kesiapan penunjang. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya yaitu sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004). 2.1.1 Area-area Dalam Kesiapan Menikah Terdapat delapan area-area dalam kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Wiryasti (2004), yaitu : 1. Komunikasi : Kemampuan untuk mengekspresikan ide dan perasaann, dan mendengarkan pesan. Pernikahan merupakan persekutuan antara dua individu yang berbeda. Perbedaan diantara kedua individu tersebut harus di akomodasi dan salah satu caranya adalah melalui komunikasi. Menurut Risnawaty (2003), kemampuan untuk mengekspresikan ide dan perasaan serta kemampuan untuk mendengarkan pesan adalah inti dari proses komunikasi. 2. Keuangan : Kemampuan yang berkaitan dengan masalah pengaluran ekonomi rumah tangga. Aspek ini merupakan aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan pernikahan. Jika pasangan tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang
7
8 mampu mencukupi kebutuhan mereka, maka kondisi tersebut dapat menciptakan konflik dalam pernikahan. Masalah keuangan juga berkaitan dengan cara pengaturan dan pengendalian keuangan, serta kapasitas individu untuk membuat kesepakatan yang efektif dalam pengaturan keuangan. 3. Anak dan Pengasuhan : Berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan atau didikan yang akan diberikan. Kehadiran anak dapat mempengaruhi hubungan antar pasangan (Risnawaty, 2003). Pengaruh tersebut dapat bersifat positif, seperti memperkuat hubungan dan dapat meningkatkan kebahagiaan dalam pernikahan. Namun kehadiran anak dapat menyebabkan dampak negatif, apabila pasangan tersebut tidak siap untuk menghadapi kehadiran anak. Masalah anak dan pengasuhan berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak, perencanaan mengenai pola asuh dan pengaruh kehadiran anak. 4. Pembagian Peran Suami-Istri : Persepsi dan sikap dalam memandang peranperan dalam rumah tangga (domestik) dan publik, serta kesepakatan dalam pembagiannya. Setiap pasangan memiliki perannya masing-masing, seperti peran suami diluar rumah tangga dan peran istri didalam rumah tangga. Perbedaan persepsi mengenai kedua peran tersebut serta tidak adanya kesepakatan pembagian peran, seringkali dapat menyebabkan konflik didalam pernikahan. 5. Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar : Nilai-nilai dan system keluar besar (asal) yang membentuk karakter individu dan relasi antar anggota keluarga. Membangun relasi dengan keluarga besar merupakan proses penyesuaian diri yang kritis bagi pasangan yang baru menikah. Oleh sebab itu aspek ini berkaitan dengan seberapa jauh individu mengetahui latar belakang pasangannya, seberapa baik keluarga pasangan menerima individu tesebut dan apakah individu tersebut merasa diterima oleh keluarga pasangannya. 6. Agama : Nilai-nilai religius menjadi dasar pernikahan. Pasangan yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap agama menunjukan pernikahan yang lebih berhasil dan memuaskan (Risnawaty, 2003). Aspek agama berkaitan dengan penermpatan nilai agama dalam kehidupan pernikahan, serta apakah janji pernikahan yang dibuat sungguh-sungguh berarti bagi pasangan.
9 7. Minat dan pemanfaatan waktu luang : Sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waku luang bagi diri sendiri dan pasangan. Pasangan memiliki minat dan kepentingan yang sama, maka mereka akan lebih mudah untuk saling menyesuaikan diri. Faktor lain selain minat ialah pemanfaatan waktu luang yang dimana pasangan melakukan kegiatan secara bersama-sama dan waktu yang dibutuhkan oleh setiap individu bagi dirinya sendiri. 8. Perubahan pada Pasangan dan Pola Hidup : Persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan dan pola hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah. Dari kedelapan area dalam kesiapan menikah tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang telah siap untuk menikah memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama komunikasi yang dilakukan kepada pasangan; telah memiliki perencanaan yang baik mengenai keuangan dan kepemilikan anak serta telah mengkomunikasikan hal tersebut kepada pasangan; telah bersepakat dengan pasangan mengenai masalah pembagian peran suami-istri dan agama; memiliki hubungan yang baik dengan keluarga pasangan; saling memahami minat pribadi, sepakat mengenai penggunaan waktu luang yang akan digunakan untuk melakukan minat masingmasing serta sudah siap dalam menghadapi perubahan pada pasangan dan pola hidup yang akan dijalani setelah pernikahan.
2.2 TA’ARUF Ta’aruf berasal dari kata ‘arafa yang artinya adalah mengetahui atau mengenal (Miftahuljannah, 2014). Taaruf (perkenalan) merupakan bagian dari Ukhuwah Islamiyah, dimana Islam sangat menganjurkan umatnya saling berta’aruf satu sama lain, suku tertentu dengan suku lain, bangsa tertentu dengan bangsa lain, maupun individu tertentu dengan individu lain (Donna, 2010). Abdullah (Donna, 2010) mendefinisikan ta’aruf sebagai proses mengenal dan penjajakan calon pasangan dengan bantuan dari seseorang atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara atau mediator untuk memilihkan pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal untuk menuju pernikahan. Selanjutnya, menurut Sakti (Nidaya, 2008) ta’aruf sebetulnya merupakan langkah untuk
10 memantapkan diri sebelum melangkah ke pernikahan. Menurut Amran (Nidaya, 2008) sebelum ta’aruf dilaksanakan,masing-masing pihak baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki informasi tentang kepribadian masing-masing calon dengan saling bertukar biodata dan foto, yang diperoleh melalui mediator atau orang ketiga yang dipercaya sebaga perantara. Orang yang dimaksud sebagai perantara atau mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian individu yang akan melakukan ta’aruf, seperti orangtua, guru ngaji, atau sahabat yang dipercaya, sehingga diharapkan ia dapat memberikan informasi dan penjelasan yang benar dan akurat serta menyeluruh mengenai individu tersebut. 2.2.1
TATA CARA BERTA’ARUF Istilah ta’aruf secara umum dan sederhana berarti saling kenal mengenal. Ta’aruf
dilakukan ketika seorang individu sudah mempunyai komitmen untuk menikah (Nidaya, 2008). Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bertaaruf, yaitu: 1. Persiapan Ta’aruf Seseorang yang hendak menikah harus mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya tersebut secara jelas dan utuh. Hal-hal yang perlu diketahui dari masing-masing calon pendaming antara lain: kepribadian, pandangan idup, pola pikir serta cara menyelesaikan suatu masalah, menurut Abdullah (dalam Donna, 2010) 2. Adab bertaaruf selama melakukan ta’aruf Meskipun ta’aruf merupakan salah satu cara untuk menemukan dua jenis insan dalam perkawinan, namun jika dilakukan dengan asal-asalan, gegabah, tidak cermat, sangat terburu-buru dan menabaikan segi-segi kebaikan lainnya, maka bukan tidak mungkin jika hanya keburukan semata yang meenjadi hasil akhirnya menurut Abdullah (dalam Donna, 2010). Dalam mengenal calon pasangan, dengan selembar pas photo ataupun secarik kertas berisi data-data diri tidaklah cukup. Untuk mengenal lebih jauh lagi calon pasangan, hendaknya ada mediator untuk mendapatkkan informasi lebih seperti sahabat calon pasangan, orang tua, tetangga terdekat, teman-teman maupun kerabat untuk mendapatkan informasi yang lebih mengenai calon pasangan menurut Donna (2010). Selain itu juga calon pasangan bisa saling mengenal satu sama lain dengan saling bertatap muka, tetapi ada hal-hal atau rambu-rambu yang harus diperhatikan
11 dalam pertemuan keduanya. Menurut Assyarkhan (dalam Nidaya, 2008) ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dalam melakukan pnenjajakan yang islami, yaitu: a.
Tidak Berduaan (Tidak ber- Khalwat)
Khalwat adalah bersendirian dengan seorang lawan jenis. Lawan jenis yang dimaksud yaitu: bukan istri/suami, bukan salah satu kerabat yang haram dikawin untuk selama-lamanya, seperti ibu/bapak, saudara/i, bibi/paman dan sebagainya. Ini dilakukan demi menjaga kedua perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya. b. Tidak Melihat Lawan Jenis dengan Bersyahwat Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah gharizah, yaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina. c. Menundukkan Pandangan Menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah. Apa yang dimaksud menundukkan pandangan di sini maksudnya adalah menjaga pandangan agar tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan nafsunya. Perempuan-perempuan atau lakilaki yang beraksi. Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu. 3. Mediator atau perantara proses ta’aruf Idealnya perantara atau mediator ta’aruf tersebut adalah orang yang memiliki kedekatan personal dengan sang calon. Perantara sebaiknya adalah seseorang yang dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya jati diri sang calon, biasanya orang yang intens berinteraksi dengan salah satu pihak menurut Abdullah (dalam Donna, 2010). Selama menjalani proses ta’aruf peran mediator menjadi sangat vital dikarenakan fungsi mediator sendiri yaitu sebagai fasilitator kedua pasangan untuk saling mengenal satu sama lain selain itu juga untuk meminimalisir kontak langsung diantara pasangan selama masa ta’aruf berlangsung agar tidak terjadi khalwat atau berduaan. Pasangan ta’aruf menaruh
12 kepercayaan sepenuhnya kepada mediator. Mereka menganggap mediator merupakan seseorang yang bukan hanya sekedar fasilitator dalam proses ta’aruf namun mereka juga menganggap mediator sebagai orang tua kedua mereka yang mampu memberikan gambaran secara objektif terkait informasi diri calon pasangannya. Pasangan ta’aruf juga kerap menjadikan mediator sebagai tempat untuk mereka meminta pendapat dan pertimbangan selama berjalannya proses ta’aruf (Diani, 2015). Menurut Jundy (2002) ada beberapa model ta’aruf, yaitu: a. Otoritas pembina Pembina disini adalah guru ngaji atau ustadz. Proses ta’aruf pada model pertama ini berjalan sangat ketat. Interaksi antara kedua pasangan yang akan ta’aruf mendapat pengawasan intensif. Pertemuan-pertemuan harus dengan sepengetahuan pembina. b. Rekomendasi teman Pada model ta’aruf ini calon pendamping direkomendasikan oleh teman. Jika orang tersebut setuju maka proses dilanjutkan dengan memberitahukan kepada pembina. Apabila pembina setuju maka proses ta’aruf dilanjutkan dengan mempertemukan kedua pasangan tersebut dengan didampingi pembina atau teman yang merekomendasikan tersebut. c. Pilihan Pribadi Model ini tidak jauh beda dengan model kedua. Dimana orang yang akan ta’aruf tersebut sudah pernah melihat calon yang akan berproses dalam ta’aruf tersebut. Cara yang ditempuh adalah dengan meminta bantuan pembina atau orang lain.
4. Persiapan mental Persiapan yang penting diadakan adalah persiapan rohani, dimana orang yang hendak meelaksanakan tahapan ini hendaklah memersiapkan batin atau jiwa agar berada dalam kondisi yang stabil. Adapun segala hasil akhir dari tahap ini hendaklah diserahkan keada Allah SWT dan diyakini sepenuh hati adalah takdir yang terbaik bagi seseorang (Donna, 2010).
13 5. Proses Ta’aruf Proses ta’aruf berbeda dengan proses-proses lain yang dilakukan untuk mendapatkan calon pasangan hidup. Ada beberapa prosedur dan tata cara yang dapat dilakukan seseorang sebelum ta’aruf sampai pada proses ta’aruf itu sendiri (Jundy, 2002), antara lain: a. Individu yang sudah siap menikah saling tukar menukar CV (Curriculum Vitae) yang berisi; harapan, cita-cita pernikahan, tipe pasangan yang diinginkan, dll. b. Mencantumkan foto diri yang terbaru. c. Jika kedua pihak merasa cocok dengan CV yang dibaca, barulah proses ta’aruf dapat dilaksanakan. d. Pria datang ke tempat wanita atau ke tempat yang telah disepakati bersama dengan ditemani mediator, tidak sendirian. e. Pihak wanita juga hadir dengan ditemani mediator, sehingga kedua calon tidak bertemu berdua-duaan. f. Masing-masing pihak, dipersilakan untuk saling bertanya mengenai visi dan misi hidup dan pernikahannya. Saling membuka kekurangan dan kelebihan masing-masing. Contohnya mengenai riwayat sakit yang pernah diderita. g. Setelah itu, keduanya dipersilakan untuk sholat istikharoh (mohon petunjuk) sebelum menentukan pilihan. Jika keduanya setuju, maka proses ini akan belanjut ke pernikahan. Tetapi jika tidak, maka proses yang telah dilalui akan dijaga kerahasiaannya.
6. Jika ta’aruf gagal Jika ada kecocokan dari keduanya dapat dilanjutkan ke proses berikutnya yaitu Khitbah atau melamar, yaitu adanya pernyataan resmi dari pihak keluarga laki-laki terhadap keluarga wanita atau sebaliknya (Miftahuljannah, 2014). Akan tetapi, jika ternyata masing-masing atau salah satu pihak merasa tidak cocok setelah mengetahui kualitas pihak lainnya maka pihak yang bersangkutan dapat memutuskan akan maju atau tidak, menurut Abdullah (Donna, 2010).
14 2.3 Emerging Adult Menurut Arnett (2013), emerging adults adalah tahap perkembangan baru dalam kehidupan antara remaja dan dewasa muda sehingga diberikan label “Emerging adulthood” yang rentan usianya adalah 18-29 tahun. Perjalanan kehidupan emerging adults sebagian besar melalui tiga tahap yaitu, launching, exploring dan landing. Menurut Arnett dan Fishel (2013), pada usia 18-21 tahun memasuki tahap launching yang mana pada tahap ini emerging adults lebih menuju kemandirian seperti memilih perguruan tinggi, percintaan, ataupun tempat tinggal. Kemudian pada usia 22-25 tahun emerging adults memasuki tahap exploring salah satunya ialah aspek percintaan, dalam kehidupan percintaan emerging adults melalui proses seperti mencari cinta, mencintai, kehilangan cinta dan menemukan cinta yang baru namun pada tahap ini emerging adults sudah mencari sesuatu yang lebih intim dan abadi lebih mencari “belahan jiwa” seperti seseorang yang istimewa dan tepat bagi dirinya serta terlihat adanya kehidupan pernikahan yang membahagiakan, dan yang terakhir adalah memasuki tahap landing yaitu pada usia 26-29 tahun, pada tahap ini kebanyakkan emerging adults sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahan dan kebanyakkan emerging adults melakukan hal ini dikarenakan mereka memiliki kekhawatiran belum memiliki pasangan sebelum memasuki batas usia 30 tahun. 2.3.1 Karakteristik Emerging adults Menurut Arnett (Arnett & Fishel, 2013) telah mengidentifikasi lima karakteristik yang menggambarkan tahap perkembangan baru dalam kehidupan di antara remaja dan dewasa muda yaitu: 1. Identity Explorations. Pada masa ini ialah masa mengeksplorasi identitas seperti memutuskan apa yang mereka inginkan, pekerjaan, sekolah dan cinta. Para emerging adults memperjelas identitasnya, dimana individu belajar lebih banyak tentang diri mereka sendiri dan siapa yang mereka inginkan dalam hidup. 2. Instability. Pada masa ini ialah masa ketidakstabilan dimana ditandai dengan mengubah jurusan kuliah, pekerjaan, situasi hidup, dan percintaan dengan frekuensi yang tidak stabil.
15 3. Self-focused. Pada masa ini dimana emerging adults lebih memfokuskan diri sendiri, dalam arti bahwa emerging adults tumbuh dengan berfokus pada kehidupan diri mereka sendiri, terutama tentang cara untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan percintaan. Emerging adults berfokus pada dirinya untuk membuat jalan mereka ke dalam dunia orang dewasa yang kompetitif dan merupakan bagian dari pembelajaran bagi emerging adults untuk berdiri sendiri sebagai orang yang mandiri. 4. Feeling In-Between. Pada masa ini emerging adults tidak merasa seperti anak-anak atau remaja lagi, tapi kebanyakan dari mereka tidak merasa sepenuhnya dewasa. Sebaliknya, mereka merasa berada di-antara, dan mereka memiliki perasaan yang membingungkan tentang tujuan mereka. 5. Sense of Possibilities. Pada masa ini, emerging adults percaya akan memiliki kesempatan yang baik dalam hidupnya dan percaya akan menemukan jodoh seumur hidupnya. Dalam survei CUPEA nasional, 90% emerging adults sepakat menyatakan “Saya yakin bahwa pada akhirnya akan mendapatkan apa yang saya inginkan dari kehidupan”. Selain itu, emerging adults tidak memperdulikan bagaimana kehidupan cinta mereka yang suram namun mereka percaya bahwa pada akhirnya nanti akan menemukan “belahan Jiwa” mereka. Selain itu, mereka juga tidak peduli seberapa suram pekerjaan mereka untuk saat ini dan mereka percaya bahwa suatu hari nanti akan mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan. Sehingga, emerging adults cenderung optimis tentang masa depan mereka dan biasanya memiliki ekspektasi dan harapan yang begitu baik. 2.4. Kerangka Berfikir Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan yang dibangun dapat berhasil. Sebagian besar individu dewasa menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh,2000). Arnett (2013) menyatakan bahwa emerging adult adalah individu dengan umur 18 sampai dengan 29 tahun, pada tahap ini kebanyakan emerging adult sudah membuat keputusan penting yang akan membentuk struktur kehidupan individu dewasa salah satunya ialah aspek percintaan seperti menginginkan kehidupan pernikahan. Untuk mencapai suatu pernikahan, terdapat proses dimana seseorang bertemu dengan individu lain yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan sesuai atau tidaknya untuk dijadikan sebagai pasangan hidup yang disebut berpacaran (Benokraitis, 1996). Dalam agama
16 Islam, pernikahan sendiri mempunyai aturan-aturan yang sudah diatur sebelum menjalani pernikahan yaitu, ta’aruf (perkenalan), khitbah (melamar) dan walimah (pernikahan). Sebelum proses lamaran ada tahapan pertama yang harus dijalani oleh calon pasangan yaitu ta’aruf atau perkenalan, dalam ta’aruf, jika kedua calon pasangan sudah sepakat untuk melakukan tahap yang lebih lanjut, persiapan pernikahan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak baik kesiapan mental (faktor internal) maupun materi (faktor eksternal). Dalam proses ta’aruf, calon pasangan akan dikenalkan oleh mediator sebagai fasilitator hubungan dan juga berpengaruh sangat vital dalam proses ta’aruf ini. Selama proses ta’aruf, kedua calon pasangan tidak diperbolehkan untuk saling berkomunikasi secara langsung, hal ini meminimkan komunikasi dan secara tidak langsung menghambat proses mengenal pasangan yang berkaitan dengan kehidupan pernikahan nanti, seperti aspek keuangan, aspek anak dan pengasuhan, aspek perubahan pasangan dan pola hidup, aspek pembagian peran suami istri, aspek minat dan pemanfaatan waktu luang, karena aspekaspek tersebut merupakan hal personal yang menyangkut kepada kedua calon pasangan suami dan istri dan juga hal yang tidak mudah untuk dikomunikasikan melalui mediator. Dengan mininmya komunikasi yang bisa mempengaruhi banyak aspek dalam kesiapan menikah, kedua calon pasangan tetap bisa menerima satu sama lain karena alasan agama, yaitu menuruti perintahNya dan menjauhi laranganNya. Selain itu juga, aspek latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar penting dipahami calon pasangan suami istri untuk mengenal secara lebih personal dan penyesuaian nilai-nila serta kebiasaan pada masing-masing calon pasangan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat gambaran kesiapan menikah pada emerging adult (18-29 tahun) yang menjalani ta’aruf .
17
GAMBAR 2.1 Kerangka berfikir
gambaran kesiapan menikah pada emerging adult yang menjalani
ta’aruf .
Kesiapan Menikah •
Komunikasi
•
Keuangan
•
Anak dan Pengasuhan
•
Pembagian peran Suami – Istri
•
Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar
•
Agama
•
Minat dan Pemanfaatan Waktu Luang
•
Perubahan Pola Hidup dan Pasangan
Emerging Adult yang Menjalani Ta’aruf