BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Laut Bagian laut terdiri dari dua bagian yaitu bagian dasar dan bagian yang berair atau pelagik (dari kata Yunani pelages = laut). Secara vertikal laut dibagi dalam beberapa lapisan kedalamn, berurutan dari lapisan paling atas ialah: epipelagik (200 m), mesopelagik (200-1000 m), batipelagik (1000-4000 m), abisopelagik (4000-6000 m) dan hadalpelagik dibawah 6000 m. bagian dasar laut (bentik) dinamakna sesuai dengan lapisan atasnya yaitu batial, abisal dan hadal (Rahardjo et al, 2011). Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu kawasan konservasi laut daerah merupakan gabungan antara prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektifitas pengelolaan ditingkat lokal. Berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Daerah Perlindungan Laut, zona perlindungan yang terdapat di Daerah Perlindungan Laut terdiri dari 3 (tiga) zona sebagai berikut: (a) Zona inti Merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti yaitu zona larang ambil permanen. Zona inti penekanan pengelolaannya dikonsentrasikan pada upaya perlindungan. Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan hanya mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. (b) Zona penyangga Zona ini berada di luar kawasan konsevasi yang berfungsi untuk menyangga keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat didalamnya terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan keberadaan potensinya. Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan pengembangan budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk pengembangan pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya.
(c) Zona pemanfaatan tradisional Zona ini berada di luar zona penyangga yang dialokasikan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional oleh masyarakat setempat dalam upaya mendukung pembangunan sosial dan ekonominya. Disamping pemanfaatan secara tradisional, zona ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata secara lestari COREMAP (2008). Pembagian daerah ekosistem laut dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Daerah Litoral/Daerah pasang surut adalah daerah yang langsung berbatasan dengan darat. Radiasi matahari, variasi temperatur dan salinitas mempunyai pengaruh yang lebih berarti untuk daerah ini dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Biota yang hidup di daerah ini antara lain: ganggang yang hidup sebagai bentos, teripang, bintang laut, udang kepiting, cacing laut. Daerah Neritik merupakan daerah laut dangkal, daerah ini masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 meter. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton, dan bentos. Daerah Batial atau Daerah Remang-remang dimana kedalamannya antara 200-2000 meter, sudah tidak ada produsen. Hewannya berupa nekton, dan Daerah Abisal adalah daerah laut yang kedalamannya lebih dari 2000 meter daerah ini gelap sepanjang masa, tidak terdapat produsen (Nybakken, 1988). Wilayah pesisir dan lautan merupakan kawasan yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam yang sangat berguna bagi kepentingan manusia. Secara mikro sumberdaya kawasan ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara makro, merupakan potensi yang sangat diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional disegala bidang (Utomo, 2010). Penetapan daerah distribusi ikan laut tidak semudah dengan ikan air tawar. Salah satunya ialah tidak adanya pembatas fisik yang tegas terhadap gerakan perpindahan ikan dari suatu tempat ke tempat lain. Faktor pembatas penyebaran ikan adalah temperatur. Faktor lain yang mempengaruhi distribusi ikan ialah bentuk garis pantai dan kemiringan dasar laut, variasi salinitas dan arus laut. Pengelompokan yang dipandang cukup memadai ialah dengan memisahkan distribusi ikan dalam dua bidang, yakni paparan bebua dan laut lepas. Paparan
benua membentang dari permukaan laut sampai dasar laut pada kedalaman dari 200 m, sedangkan laut lepas mencakup seluruh zona laut di luar paparan benua (Rahardjo et al, 2011).
2.2 Ekosistem Terumbu Karang Organisme penyusun terumbu karang (Scleractinia) hidup bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae yang dalam proses biologisnya alga mendapat karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis dan zat hara dari hewan-hewan terumbu karang (Haruddin et al, 2011). Menurut bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1992) yaitu: (a) Terumbu karang pantai (fringing reefs) Terumbu karang ini berkembang di pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh keatas dan kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan dan banyaknya endapan yang datang dari darat. (b) Terumbu karang penghalang (barrier reefs) Terumbu karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 meter). Terumbu karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup. Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan
biasanya
berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. (c) Terumbu karang cincin (atoll) Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba (Lagon). Menurut Sukarno et al. (1983) kedalaman rata-rata goba didalam atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga bertumpu pada dasar laut yang dalamnya diluar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang hidup.
Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dam berupa bentuk batuan kapur yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Terumbu karang (coral reff) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuaan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni Sorokin (1993) dalam Purwanto (2011). Karang memiliki dua cara dalam reproduksi, yaitu dengan cara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual karang menghasilkan larva planula yang berenang bebas dalam kolom perairan untuk sementara waktu, kemudian melekat pada substrat dan akan mengalami perubahan struktur dan histologi. Ketika polip menjadi dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada karang dapat terjadi melalui intratentaculer budding maupun extratentaculer budding. intratentaculer budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik, extratentaculer budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama (Maharbhakti, 2009). Ekosistem terumbu karang adalah bagian dari ekosistem pesisir dan lautan secara keseluruhan. Karena itu, terumbu karang merupakan salah satu pendukung ekosistem pesisir dan lautan. Demikian sebaliknya, ekosistem pesisir dan lautan terhadap terumbu karang, negatif maupun positif. Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat hidup, mencari makan, pemijahan, pengasuhan, dan pembesaran berbagai biota laut, baik biota terumbu karang maupun biota laut lainnya (Kordi, 2010). Suatu pulau biasanya dikelilingi oleh karang tepi (fringing reef), paparan terumbunya landai yang terdiri dari zona-zona terumbu seperti rataan terumbu (reef flat), puncak terumbu (reef crest), dan tubir (reef slope) (Septyadi, 2013).
Ekosistem terumbu karang yang tesebar hampir di seluruh perairan Indonesia dengan segala kehidupan yang terdapat didalamnya merupakan kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung seperti pemanfaatan ikan dan biota lainnya, parwisata bahari dan lain-lain, maupun manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, tempat mencari makan, pembesaran, pemijahan bagi biota asosiasinya dan keanekaragamaan hayati lainnya (Kudus, 2005). Ekosistem terumbu karang dikenal memiliki produktivitas tinggi, kondisi ini menyebabkan ekosistem ini banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan, moluska, bintang laut, teripang dan udang. Umumnya biota-biota karang khususnya ikan karang, hidup berasosiasi dengan terumbu karang (Syakur, 2000). Pemasok pangan yang sangat potensial bagi manusia ialah keberadaan terumbu karang. Karena berbagai jenis biota laut seperti ikan, algae, crustaceae dam molusca dapat ditemukan di ekosistem ini. Kehadiran berbagai jenis biota ini mengundang
kegiatan
eksploitasi
sumberdaya
secara
besar.
Aktivitas
penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan beracun dan bahan peledak penggunaan alat tangkap yang tidak selektif serta pencemaran yang terjadi di laut maupun di darat merupakan masalah utama terjadinya degradasi terumbu karang (Titaheluw, 2011). Faktanya keadaan saat ini kawasan terumbu karang tersebut telah mengalami degradasi. Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan terumbu karang seperti halnya kegiatan pengeboman, peracunan karang merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang di suatu ekosistem perairan, serta banyaknya wisatawan yang menjadikan area terumbu alami sebagai kawasan wisata yang terkadang secara tidak sengaja merusak terumbu akibat tersentuh maupun terinjak (Pardede, 2012). Berbagai kegiatan manusia yang berakibat pada kerusakan ekosistem terumbu karang, baik langsung maupun tidak langsung yaitu: Penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan dengan penggunaan (bahan peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan eksploitasi berlebihan), pencemaran (minyak
bumi, limbah industri, dan rumah tangga), pengembangan daerah wisata dan sedimentasi (Haruddin et al, 2011).
2.3 Ikan Karang Keanekaragam ikan karang merupakan bagian yang sangat penting dalam ekosistem terumbu karang, tidak hanya bagi ikan itu sendiri yang menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai habitat vitalnya, yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground), namun juga penting dalam menjaga keseimbangan antara berbagai komponen penyusun ekosistem terumbu karang. Secara ekonomis, ikan karang sangat penting bagi nelayan dan dunia pariwisata. Bagi masyarakat nelayan, ikan karang menjadi sumber pendapatan atau sebagai bahan makanan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, di pasar-pasar tradisional sekitar wilayah pesisir selalu banyak ditemui ikan karang untuk diperjual belikan. Mereka biasanya ditangkap menggunakan pancing, spear gun atau dengan jaring. Untuk dunia pariwisata, kepentingan ikan karang tidak diragukan lagi sebagai objek yang diburu oleh para turis akibat warna dan bentuknya yang beranekaragam. Ikan karang tersebut akan menjadikan ekosistem terumbu karang menjadi hidup dan sengat indah (Utomo et al, 2013). Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4 000 spesies (Allen et al. 1998). Perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar 3 000 jenis yang termasuk dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter, 2001). Kebanyakan famili ikan yang berada di laut tropis sebagian besar hidup dan hanya dapat ditemukan di daerah terumbu karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Labridae merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan famili Acanthuridae, Holocentridae, Balistidae, Ostraciodontidae, Pomacentridae, Serranidae, Blennidae dan
Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan termasuk kedalam jenis ikan pemakan benthos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang adalah ikan genus Sphyrena dan famili Carangidae. Ikan-ikan karang tersebut rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat membantu kita dalam mengidentifikasi species ikan tersebut. Selain itu, warna dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk melindungi diri dari predator yang selalu mencari kesempatan untuk memakannya (Utomo, 2010) Menurut Helfman et al. (1997) dalam Rahardjo et al. (2011), empat divisi ekologik utama ikan dapat dikenal, yakni: (a) Ikan epipelagik mendiami dari permukaan sampai kedalaman 200 m, membentuk 1,3% total, atau lebih kurang 325 spesies. (b) Ikan pelagik dalam mencakup sekitar 1250 spesies atau sekitar 5% dari total. Ikan dapat dipilah menjadi ikan mesopelagik yang mendiami kedalaman 200 m sampai ke 1000 m dan ikan batipelagik yang mendiami lapisan air di bawah 1000 m. (c) Ikan bentik dalam meliputi sekitar 1500 spesies atau 6,4% total. Pada kedalaman yang sangat dalam tersebut, ikan dihadapkan pada keadaan yang selalu gelap gulita dengan tekanan hidristatik yang amat besar. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila ikan yang hidup di dasar laut mempunyai bentuk yang aneh-aneh atau tidak lazim seperti halnya ikan yang biasa terlihat sehari-hari. (d) Ikan landas kontinen atau litoral yang menghuni kolom di atas 200 m, merupakan kelompok terbesar yang terdiri atas 45% total atau sekitar 11.200 spesies. Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Achanthuridae. Sisanya diklasifikasikan sebagai omnivora dan termasuk wakil-wakil dari seluruh famili ikan yang sebenarnya terdapat di terumbu karang (Pomachentridae, Chaetodontidae,
Pomochantridae,
Monocanthuridae,
Tetraodontidae). Hanya ada beberapa ikan
Ostractiontidae
dan
yang merupakan pemakan
zooplankton, dan mereka pada umumnya kecil, yaitu ikan-ikan yang membentik
kumpulan (schooling) dari famili Clupeidae dan Atherinidae (Nybakken, 1988). Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Adanya sedimen dalam air akan mengurangi penetrasi cahaya masuk kedalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis pada ekosistem perairan (Utomo, 2010). Banyak spesies ikan di daerah terumbu karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Ikan-ikan di terumbu karang ditangkap untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Beberapa jenis ikan yang merupakan ikan yang harganya sangat mahal, seperti kerapu, kakap merah, dan napoleon, bahkan telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi kerusakan terumbu karang, karena penangkapan yang destruktif dengan menggunakan bahan kimia beracun (Kordi, 2010). Menurut Nybakken (1988), Ikan merupakan organisme yang jumlah biomassanya terbesar dan juga merupakan organisme besar yang mencolok dapat ditemui di dalam ekosistem terumbu karang. Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya. Bahwa dengan perbedaan habitat (reef flat dan reef slope) maka komposisi jenis karang hidup juga berbeda dan diikuti dengan ikan karang penyususnnya. Ikan karang merupakan salah satu sumber daya laut yang penting sebagai sumber protein hewani atau ikan konsumsi dan ikan hias laut. Jenis dan kelimpahan ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi dengan organisme bentik sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan makanan, maka keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi (Tarigan et al. 2009). Faktor kedalaman berperan penting dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya mereka memiliki kisaran kedalaman yang sempit, tergantung dari ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Di daerah-daerah yang kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok (Purwanti, 2004).
Menurut Allen et al (1998), keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persen tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila persentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak dari pada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak 4.000 spesies. Berdasarkan distribusi hariannya, ikan-ikan karang umumnya terbagi dua kelompok besar yaitu ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Ikan diurnal (siang hari) merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang, yang termasuk kelompok ikan diurnal adalah ikan dari famili Pomacentridae, Labridae, Achanturidae, Lutjanidae, Chaetodontidae, Serranidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae dan Gobidae. Mereka makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat diatasnya (Syakur, 2000). Pada malam hari ikan-ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh ikan-ikan nokturnal (ikan malam). Pada malam hari mereka keluar dan mencari makan, baru pada siang hari ikan-ikan ini masuk ke gua-gua atau celah-celah karang. Ikan yang termasuk ke dalam ikan-ikan nokturnal adalah ikan dari famili Holocentridae, Apogonidae, Haemolidae, muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae (Purwanti, 2004). Beberapa kelompok ikan benar-benar menggunakan terumbu sebagai tempat hidupnya, seperti famili Scaridae, Pomacentridae, dan Labridae, yang sejak juvenile telah berada di ekosistem terumbu karang. Kelompok ikan dapat dibagi dua yaitu kelompok ikan yang kadang-kadang berada di daerah terumbu (contohnya famili Scrombidae, Myctophidae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan hiu) dan kelompok ikan yang menggantungkan seluruh hidupnya pada terumbu karang (contohnya famili Pomacentridae dan Chaetodontidae) (Madduppa, 2006). Menurut Ardim (1993) dalam Utomo (2010), kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (a) kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti ikan famili Sarranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae.
(b) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae. (c) Kelompok ikan umum (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae, dan Apogonidae. Ikan indikator adalah jenis-jenis ikan yang hidup berasosiasi paling kuat dengan karang atau sangat tergantung dengan keberadaan karang di suatu perairan karang. Jenis ikan yang termasuk jenis ikan indikator antara lain dari famili Chaetodontidae. Dalam perhitungannya, jenis ikan ini sangat mudah diamati satu per satu di dalam areal pengamatan, karena sifat dari hidupnya sendiri-sendiri, ada yang berpasangan atau hanya dalam kelompok kecil dan sangat jarang jenis ikan ini dalam kelompok besar (Utojo, 2007). Berdasarkan makanannya, ikan karang diklasifikasikan dalam 6 tipe, yakni: kelompok ikan pemakan segala (omnivores), kelompok ikan pemakan ditritus (detritivores), kelompok ikan pemakan tumbuhan (herbivores), kelompok ikan pemakan moluska (moluscivores), kelompok ikan pemakan zooplankton (zooplangtivores), dan kelompok ikan-ikan karnivora (carnivores) (Wulandari, 2002).
2.4 Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) Ikan hias dari suku Chaetodontidae di Sulawesi Utara dikenal dengan ikan Kupukupu, karena memiliki warna yang indah dan bentuk yang pipih menyerupai kupu-kupu. Di Irian Jaya dan Maluku dikenal dengan nama ikan daun-daun, karena bentuk tubuhnya pipih dan lebar menyerupai daun. Sedangkan nelayan di Jawa menyebutnya dengan nama ikan kepe-kepe. Daya tarik ikan dari suku Chaetodontidae diperlihatkan oleh gerakannya yang tenang dan anggun, serta tata warna yang cerah cemerlang. Secara keseluruhan ikan mirip kupu-kupu, oleh karena itu dalam dunia usaha ikan ini dikenal pula dengan nama “Butterflyfishes”, “Bannerfishes”, atau “Coralfishes” (Makatipu, 2001).
Reese (1991) merupakan peneliti pertama yang melakukan percobaan untuk mengidentifikasi spesies indikator dengan memakai ikan butterflyfishes (chaetodontidae) jenis pemakan karang untuk penilaian kondisi terumbu karang. Ikan chaetodontidae memungkinkan untuk dijadikan sebagai bioindikator karena hubungannya yang erat dengan karang yang mereka makan dan fungsi morfologi dari organ-organ tubuh ikan ini yang memungkinkan memakan jaringan karang tanpa merusak susunan dasar koral (Crosby & Reese 1996) dalam (Utomo, 2010). Berikut Klasifikasi dari ikan kepe-kepe Chaetodon: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Chaetodontidae Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang
mudah dikenali diperairan terumbu karang. Kebanyakan ikan kepe-kepe ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Madduppa, 2006).
Gambar 1: Jenis Ikan Kepe-kepe (Chaetodon collare) Ikan Chaetodontidae dapat dijadikan sebagai bioindikator bagi karang berdasarkan kriteria yaitu: (a) salah satu dari jenis ikan karang yang keberadaannya sangat banyak di terumbu karang dan terdapat di beberapa bagian dunia; (b) mudah untuk dikenali dan diamati karena aktifitasnya yang bersifat diurnal; (c) secara taksonomi sangat mudah dipelajari dan diidentifikasi oleh
orang yang tidak berpengalaman; (d) memiliki wilayah sebaran yang luas dan dapat mencapai usia yang panjang sehingga individu yang sama dapat diteliti berulang-ulang (Utomo, 2010). Menurut Allen (1979), ikan kepe-kepe membagi menjadi 10 genus, yaitu: Amphichaetodon, Chaetodon, Chelmon, Chelmonops, Coradion, Forcipiger, Hemitaurichthys, Heniochus, Johnrandallia, parachaetodon. Ikan Chaetodontidae merupakan ikan yang memiliki penyebaran luas, ditemukan hidup berasosiasi dan menetap di terumbu karang. Kelimpahan ikan Chaetodontidae dapat mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan, selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ikan Chaetodontidae mempunyai kolerasi yang positif dengan persen tutupan karang hidup di beberapa perairan Indonesia. Interaksi antar ikan Chaetodontidae sebagai penghuni perairan karang dengan terumbu karang dan faktor pendukung lainnya. Dalam analisa ikan Chaetodontidae sebagai indikator kondisi terumbu karang dibahas juga tentang keanekaragaman, keseragaman, dominansi jenis, analisa isi perut dan kehadiran serta kesukaan ikan terhadap karang tertentu (Utomo, 2010).
2.5 Morfologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe-kepe kedalam famili Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu. Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu alasan pemberian nama pada kelompok ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan beberapa kemungkinan fungsi dari warna-warna dramatis dan bentuk pewarnaan yang umumnya di dominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritorial tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari
tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji 1993) dalam (Madduppa, 2006). Kekhasan ikan karang pada umumnya di tunjukkan oleh corak dan jenis warna yang beraneka ragam. Sehingga sangat membantu dalam pengenalan maupun identifikasi kelompok ikan dari famili Chaetodontidae. Pada prinsipnya, ikan karang dikatogorikan sebagai ikan perairan dangkal. Sebagaimana bisa kita lihat dari anatomi kelompok ikan karang ini terdiri dari 9 komponen utama, yakni: 1) dorsal fin (sirip punggung), 2) pectoral fin (sirip dada), 3) ventral fin (sirip bawah), 4) anal fin (sirip bawah belakang), 5) caudal fin (sirip ekor), 6) operculum (gill cover/ penutup ingsang), 6) lateral line (garis sisi), 7) gasblader (hydrostatic organ), dan 9) gill (insang). Sirip punggung dapat terbagi atas dua bagian, yakni: sirip keras (hard spins) dan sirip lunak (soft spins). Selain corak warna, salah satu penciri yang khas adalah bentuk sirip ekor (Irawati, 2006).
2.6 Faktor Pembatas Fisik Kimia 2.6.1 Suhu Pertumbuhan biota karang sangat dipengaruhi oleh suhu perairan sekitarnya, biasanya biota karang dapat tumbuh pada suhu 180C – 360C dan pertumbuhan optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 260C – 280C (Nybakken, 1988). Suhu merupakan salah satu sifat fisik yang dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan badan ikan. Penyebaran suhu dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan dan angin sedangkan yang mempengaruhi tinggi rendahnya suhu adalah musim, cuaca, waktu pengukuran, kedalam air dan lain sebagainya. Semua jenis ikan mempunya toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu apalagi yang drastis. Kisaran suhu yang baik untuk ikan adalah antara 250C – 320C. Kisaran suhu ini umumnya di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Laju metabolisme ikan dan hewan air lainnya secara langsung meningkat dengan naiknya suhu. Peningkatan metabolisme jyga berarti meningkatnya kebutuhan akan oksigen (Anwar et al, 1984) dalam (Pandiangan, 2009).
2.6.2 Penetrasi Cahaya Cahaya memegang peranan penting sebagai sumber energy bagi kelangsungan proses fotosintesis. Bila terjadi proses fotosintesis oleh alga menyebabkan pertambahannya produksi kalsium karbonat dengan menghilanhkan karbon dioksida. Kondisi ini yang menyebabkan distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk (Wulandari, 2002). Cahaya merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan ikan dan berperan secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindari diri dari predator dan dalam perjalanan menuju suatu tempat. Hanya beberapa spesies ikan yang beradaptasi untuk hidup di tempat yang gelap. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan. Selain penting dalam membantu penglihatan, cahaya juga penting dalam metabolisme ikan dan pematangan gonad. Ikan yang mendiami daerah air yang dalam pada siang hari akan bergerak menuju ke daerah yang lebih dangkal untuk mencari makanan dengan cara rangsangan cahaya (Utomo, 2010).
2.6.3 Kecepatan Arus Arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, disamping dapat membersihkan karang dari endapan. Pertumbukan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan yang tenang (Utomo, 2010).
2.6.4 Gelombang Tidak adanya gelombang memungkinkan ada terjadinya pengendapan yang akan menutupi dan menyumbat struktur pemberian makanan karang dan menghalangi masuknya cahaya matahari ke perairan di terumbu karang, selain itu juga suplai makanan (plankton) dan air segar yang kaya oksigen jadi berkurang (Nybakken, 1992).
2.6.5 Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan terumbu karang, salinitas normal air laut adalah 32 – 35 ‰. Di luar kisaran ini karang hermatipik tidak dapat tumbuh. Karang yang hidup di tempat-tempat dalam jarang atau tidak pernah mengalami perubahan salinitas yang cukup besar, sedangkan karang di tempat-tempat dangkal sering kali dipengaruhi oleh masukan air tawar dari pantai maupun hujan sehingga terjadi penurunan salinitas perairan (Nybakken, 1992).
2.6.6 pH Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium (Barus, 2004). Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan nilai toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehudupan organisme air pada umumnya dapat antara 7. Sementara reproduksi atau perkembang biakan ikan biasanya akan naik pada pH 6,5 walaupun itu tergantung juga pada jenis ikannya (Baur, 2004) dalam (Pandiangan, 2009).
2.6.7 DO (Oksigen Terlarut) Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan amunisi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotok dan aktifitas lainnya. Jika persediaan oksigen diperairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di air, karna akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/L oksigen sudah cukup mendukung kehidupan
organisme
(Pandiangan, 2009).
perairan
secara
normal
(Wardana,
2001)
dalam