DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya sangat beranekaragam dan masing-masing jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Untuk hidup burung memerlukan syarat-syarat tertentu, antara lain kondisi habitat yang cocok dan aman dari segala macam gangguan (Wisnubudi, 2009). Menurut Jasin (1992) dalam Satriyono (2008), burung (aves) memiliki ciri khusus antara lain tubuhnya di tumbuhi bulu, memiliki dua pasang alat gerak, bagian anterior mengalami modifikasi sebagai sayap, sedangkan bagian posterior disesuaikan untuk hinggap dan berenang, cakar terbungkus oleh kulit yang menanduk dan bersisik, Seperti pada (Gambar 2.1). Bagian mulut terproyeksi sebagai paruh yang terbungkus oleh lapisan zat tanduk. Burung masa kini tidak memiliki gigi. Ekor mempunyai
fungsi
yang khusus dalam menjaga
keseimbangan dan mengatur kendali saat terbang.
b
a
c
Gambar. 1 (a) Burung flycatcher; (b) Burung kenari; (c) Burung ciblek
Rombang & Rudyanto (1999) dalam Rusmendro (2008), menyatakan bahwa burung adalah salah satu makhluk hidup yang mengagumkan dan memiliki nilai keindahan.
Universitas Sumatera Utara
5 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2.2 Keanekaragaman Burung Keanekaragaman jenis burung dapat mencerminkan tingginya keanekaragaman hayati, artinya burung dapat dijadikan sebagai indikator kualitas hutan. Berbagai jenis burung dapat kita jumpai di berbagai tipe habitat, diantaranya hutan (primer/sekunder), agroforestri, perkebunan (sawit/karet/kopi) dan tempat terbuka (pekarangan, sawah, lahan terlantar) (Ayat,2011). Keast (1985) dalam Yoza (2006), menyatakan bahwa tingginya keanekaragaman jenis burung di hutan tropis disebabkan oleh kondisi iklim tropis yang relatif stabil dan bersahabat yang memungkinkan terjadinya relung ekologi terbentuk, dan struktur vegetasi habitat yang beragam. Orians (1969) dalam Adang (2008), menyatakan bahwa keanekaragaman burung juga di pengaruhi oleh banyak faktor seperti kelimpahan epifit, kelimpahan buah-buahan, keterbukaan lantai hutan dan juga komposisi pohon, sehingga baik secara nyata maupun tidak nyata indikasi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan burung terkecuali burung yang telah beradaptasi dengan lingkungan manusia. Orians (1969) dalam Wisnubudi (2009), menyatakan bahwa faktor lain yang menentukan keanekaragaman jenis burung pada suatu habitat adalah kerapatan kanopi. Habitat yang mempunyai kanopi yang relatif terbuka akan digunakan oleh banyak jenis burung untuk melakukan aktivitasnya, dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup. Barlow et al., (2007), menjelaskan bahwa keanekaragaman burung sangat berkorelasi dengan luas bidang dasar hutan dan tingkat pembukaan kanopi. Pada daerah dengan luas bidang dasar yang besar dan kanopi yang rapat memiliki tingkat keanekaragaman spesies burung yang lebih tinggi. Helvoort (1981) dalam Dewi (2005), menyatakan bahwa keanekaragaman jenis burung akan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, hal ini tergantung pada kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya Irwan (1992), menyatakan bahwa keanekaragaman akan cenderung lebih rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik tidak terkendali oleh faktor biologi. Helvoort (1981) dalam Dewi (2005), menjelaskan bahwa distribusi vertikal dari dedaunan atau stratifikasi tajuk merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis burung.
Universitas Sumatera Utara
6 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
Pearman (2002), menyatakan bahwa struktur vegetasi mempengaruhi pemilihan habitat oleh burung. Handayani (1995) dalam Adang (2008), menyatakan bahwa tipe vegetasi daun lebar memiliki nilai keanekaragaman jenis yang tertinggi tetapi memiliki kelimpahan yang rendah, hal ini dipengaruhi oleh pemilihan vegetasi yang disukai burung adalah makanan yang dihasilkan oleh tumbuhan dan struktur vegetasi, yang meliputi tinggi tajuk, tipe percabangan dan kanopi. Holmes & Rombang (2001), menjelaskan bahwa suatu jenis burung dikategorikan sebagai karakteristik dari suatu bioma tertentu jika burung tersebut mempergunakan bioma yang dimaksud sebagai habitat utamanya. Peterson (1980) dalam Wisnubudi (2009), menyatakan bahwa penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Berdasarkan stratifikas profil hutan maka dapat diperoleh gambaran mengenai burung dalam memanfaatkan ruang secara vertikal, yang terbagi dalam kelompok burung penghuni bagian paling atas tajuk hutan, burung penghuni tajuk utama, burung penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah, burung penghuni semak dan lantai hutan, selain itu juga terdapat kelompok burung yang sering menghuni batang pohon. Penyebaran jenis-jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam.
2.3 Habitat Burung Menurut IUCN (2004), habitat burung meliputi hutan tropis, padang rumput, pesisir pantai, lautan, perumahan, bahkan di wilayah perkotaan. Habitat bagi burung harus mencakup semua sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya seperti makanan, air, bertengger dan bersarang, pertumbuhan, reproduksi (Rosenberg et al., 2003). Hernowo (1985) dalam Adang (2008), menyatakan bahwa faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersedian makanan, tempat untuk beristirahat, bermain, kawin, bersarang, bertengger dan berlindung. Welty & Baptista (1988) dalam Satriyono (2008), menjelaskan bahwa penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung habitat yang
Universitas Sumatera Utara
7 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
menyediakan makanan. Perubahan aktivitas makan pada struktur vertikal di bagian tanaman sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut. Habitat lain bagi burung adalah tempat terbuka seperti pekarangan/lahan terlantar yang masih ditumbuhi berbagai macam pohon buah-buahan seperti Beringin (Ficus sp.), Salam (Syzygium polyanthum) dan jenis pohon lainnya. Meskipun kanopinya lebih terbuka dibandingkan dengan hutan, perkebunan monokultur dan agroforest dapat menjadi habitat bagi berbagai jenis burung. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah komposisi jenis yang ditemukan pada masing-masing tipe penggunaan lahan karena komposisi ini berkaitan erat dalam keseimbangan ekosistem (Ayat,2011). Kondisi habitat dengan tumbuhan yang beragam akan menyediakan sumberdaya berupa tempat pakan yang berlimpah terutama bagi jenis burung pemakan buah, biji dan bunga (Wong 1986). Hernowo (1985) dalam Sihotang (2013), menyatakan bahwa faktor yang menentukan keberadaan burung pada suatu habitat adalah ketersediaan pohon sebagai tempat mendapatkan makanan, bertengger, bersarang, serta berkembang biak. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa kemampuan areal yang menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe ekosistem dan bentuk habitat. Oleh sebab itu burung akan hidup pada habitat yang mendukung dan aman dari gangguan.
2.4 Peranan burung Mackinnon (1990), menyatakan bahwa secara tidak langsung populasi burung memegang peranan utama dalam mempertahankan keseimbangan ekologis di dalam hutan, burung memiliki peranan sebagai penyebar biji, pemangsa serangga, membantu penyerbukan dan mempercepat pelapukan kayu-kayu busuk. Burung secara ekologis memiliki peranan dalam melakukan budidaya tanaman pangan, penyebaran biji dan penyerbuk alami bagi tumbuhan guna membantu petani, burung juga dapat dijadikan sebagai indikator biologis yang berkaitan dengan lingkungan serta dapat dijadikan sebagai tolak ukur kelestarian dalam pemanfaatan sumberdaya alam (kinnaird, 1997). Burung memberikan banyak manfaat dalam kehidupan manusia, baik sebagai sumber protein, peliharaan, pembasmi hama pertanian, perlombaan
Universitas Sumatera Utara
8 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
(IUCN, 2004). Burung juga merupakan indikator yang
memiliki peran yang
sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati, dengan adanya burung dilingkungan yang mana menjelaskan bahwa lingkungan itu masih bagus Rombang & Rudyanto (1999) dalam Rusmendro (2008). Arumasari (1989) dalam Rusmendro (2009), menyatakan bahwa burung sebagai salah satu komponen ekosistem mempunyai hubungan timbal balik dan saling tergantung dengan lingkungannya. Atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan. Selanjutnya Hernowo (1989), menjelaskan bahwa burung mempunyai peranan penting dalam membantu regenerasi hutan secara alami seperti burung penyebar biji, penyerbuk bunga dan pengontrol serangga hama. IUCN (2012), menyatakan bahwa burung berfungsi sebagai indikator yang sangat baik dari kesehatan dan perubahan lingkungan. Mereka menempati berbagai relung, menggunakan berbagai jenis makanan dan sebagai sumber daya fisik, dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan burung Anonimous (1985) dalam Ngamel (1998), menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi habitat yang mana hal tersebut dibedakan kedalam dua faktor utama, sebagai berikut: 1). Faktor pendukung a. Pakan satwa ketersediaan jumlah dan mutu pakan sepanjang tahun merupakan jaminan bagi kondisi habitat yang baik. b. Air tersedianya air yang cukup bagi satwa sepanjang musim membuat kondisi habitat menjadi baik, sehingga satwa menjadi betah tinggal di dalamnya dan kemungkinan bermigrasi keluar suaka untuk mencari air menjadi lebih kecil
Universitas Sumatera Utara
9 DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
c. Tempat berlindung Tempat berlindung amat diperluka bagi satwa agar mereka merasa aman tentram tingal di dalamnya. Biasanya ini merupakan hutan alam asli yang masih utuh dan merupakan zonasi inti atau zonsai rimba. 2). Faktor perusak a. Over populasi Tingkat populasi yang melampaui daya dukung habitat dapat mengakibatkan kerusakan habitat satwa itu sendiri. Gejala yang nampak atas terjadinya over populasi adalah perpindahan satwa yang keluar habitat aslinya untuk mencari habitat lain lebih baik. b. aktivitas manusia penebangan liar, pembakaran hutan dan perladangan berpindah serta kebutuhan manusia akan garapan, pemukiman dan sebagainya merupakan faktor perusak yang dominan terhadap habitat satwa di alam bebas. c. Aktivitas alam Bencana alama yang tidak dapat dikuasai oleh manusia juga merpakan faktor perusak habitat seperti kebakaran hutan secara alami dan sebagainya. Ancaman yang paling utama pada keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah memelihara habitat. Telah diketahui
bahwa
kerusakan habitat merupakan hal yang paling besar dampaknya dan menyebabkan kelompok vertebrata terancam punah, dan hal ini juga berlaku bagi kelompokkelompok lain seperti invertebrata, tumbuhan, dan jamur (Primack et al., 1998). Secara umum, spesies yang terancam punah memiliki jumlah dan ukuran populasi yang kecil serta habitat-habitat yang terisolasi dan terfragmentasi. Saat ini hampir seluruh hutan dataran rendah mengalami kerusakan yang luas, puluhan jenis burung yang dulunya hanya berstatus ”resiko rendah”, dan tiba-tiba tidak lagi memiliki tempat untuk menyelamatkan diri, dan langsung masuk kedalam status terancam kepunahan (Sukmantoro et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara