4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Konsumsi Makanan Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan karena makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Fungsi pokok makanan adalah untuk memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari, mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh yang lain, serta berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit (Notoatmodjo, 2003). Agar makanan dapat berfungsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka makanan yang kita konsumsi sehari-hari tidak hanya sekedar makanan, tetapi juga mengandung zat-zat gizi tertentu sehingga memenuhi fungsi tersebut (Notoatmodjo, 2003). Mengkonsumsi makanan beranekaragam sangat bermanfaat bagi kesehatan karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan. Berbagai gangguan gizi dan masalah psikososial dapat dicegah dengan menyediakan makanan dengan gizi seimbang. Adapun maksud dengan gizi seimbang adalah makanan yang dikonsumsi individu dalam satu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya (Sibagariang, 2010).
2.1.1 Pengertian Pola Konsumsi Makanan Pola konsumsi makanan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu (Khomsan, 2010). Pola konsumsi makanan yang baik berpengaruh positif pada diri seseorang seperti menjaga kesehatan dan mencegah atau membantu menyembuhkan penyakit. Di masyarakat, pola konsumsi makanan disebut juga dengan kebiasaan makan.
Universitas Sumatera Utara
5
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Pemilihan makanan individu sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: 1. Jenis Kelamin Menurut Brown (2005), pria lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada wanita. Hal ini dikarenakan pria lebih banyak melakukan aktivitas fisik daripada wanita. Oleh karena itu, kebutuhan kalori pria akan lebih banyak daripada wanita, sehingga pria mengkonsumsi lebih banyak makanan. Selain itu, banyak wanita yang memperhatikan citra tubuhnya sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makan sesuai kebutuhannya agar memiliki porsi tubuh yang sempurna. 2. Pengetahuan Pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan mempengaruhi komposisi dan konsumsi pangan seseorang (Khomsan, 2000). Informasi terkait gizi dan nutrisi dapat disebarkan melalui: a. Poster yang dipajang di tempat-tempat umum (seperti sekolah, PUSKESMAS, rumah sakit), dimana orang mempunyai kesempatan untuk membacanya. b. Leaflet dengan pesan kesehatan yang sederhana dan spesifik. c. Artikel di koran. d. Iklan di televisi dan radio. e. Program sekolah untuk murid dan orangtua. 3. Teman Sebaya Teman sebaya dapat mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi suatu makanan. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status (Khomsan, 2003). Pada periode remaja, pengaruh teman sebaya lebih terlihat dalam hal pemilihan makanan (Brown, 2005). 4. Budaya Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya.
Universitas Sumatera Utara
6
Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, kari untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain makanan-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 5. Agama/Kepercayaan Agama/kepercayaan
juga
mempengaruhi
jenis
makanan
yang
dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodok melarang mengkonsumsi jenis daging tertentu, agama Roma Katolik melarang mengkonsumsi daging setiap hari, dan beberapa aliran agama melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 6. Status Sosial Ekonomi Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menengah ke bawah tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 7. Personal Preference Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah tidak suka makan kari, begitu pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makan kerang, begitu pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-
Universitas Sumatera Utara
7
anak yang suka dimarahi oleh bibinya akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 8. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang menyenangkan karena berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu hipotalamus (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 9. Kesehatan Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada makan (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
2.1.3 Penilaian Konsumsi Makanan Asupan makan merupakan faktor utama yang berperan terhadap status gizi seseorang. Untuk menilai status gizi dapat dilakukan melalui penilaian konsumsi makanan. Penilaian konsumsi makanan dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makan dan menghitung jumlah makanan yang dimakan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk mendapatkan informasi tentang kebiasaan makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi, dapat dilakukan pengukuran melalui beberapa metode, antara lain: 1. Metode ingatan 24 Jam (24-hours food recall) Metode ini digunakan untuk estimasi jumlah makanan yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelumnya. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi makanan berdasarkan ukuran rumah tangga (URT) yang kemudian dikonversi ke ukuran metrik (gram) (Khomsan, 2010).
Universitas Sumatera Utara
8
Metode ingatan 24 jam, jika dilakukan satu hari tidak dapat menggambarkan informasi rata-rata konsumsi. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan minimal 2x24 dengan selang waktu 2 hari selama sepuluh hari. 2. Metode food records Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama seminggu. Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (URT) atau menimbang langsung berat makanan yang dikonsumsi (dalam ukuran gram) (Khomsan, 2010). 3. Metode penimbangan makanan (food weighing) Metode penimbangan pangan adalah metode yang paling akurat dalam memperkirakan asupan kebiasaan dan/atau asupan zat gizi individu. Pada metode ini, responden diminta untuk menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu. Lebih jelasnya, responden diminta untuk menimbang semua makanan yang akan dikonsumsi dan makanan yang sisa. Kuantitas asupan makanan adalah selisih antara kuantitas yang akan dikonsumsi dengan kuantitas pangan yang sisa (Siagian, 2010). 4. Metode dietary history Metode ini dikenal juga sebagai metode riwayat pangan. Tujuan dari metode ini adalah untuk menemukan pola inti pangan sehari-hari pada jangka waktu lama serta untuk melihat kaitan antara inti pangan dan kejadian penyakit tertentu (Khomsan, 2010). 5. Metode frekuensi makanan (food frequency) Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh informasi pola konsumsi makanan sesorang. Untuk itu, diperlukan kuesioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis makanan dan frekuensi konsumsi makanan (Khomsan, 2010).
Universitas Sumatera Utara
9
2.2 Pola Konsumsi Makanan Siswa Pola konsumsi makanan siswa merupakan salah satu faktor penting yang turut menentukan potensi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Anak sekolah terutama pada masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Jumlah atau porsi makanan sesuai dengan anjuran makanan bagi remaja menurut Sediaoetama (2009) disajikan pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1 Jumlah Porsi Makanan yang Dianjurkan pada Usia 15-18 Tahun Makan pagi
Makan siang
Makan malam
06.00-07.00 WIB
13.00-14.00 WIB
20.00 WIB
Nasi 1 porsi 100 gr beras
Nasi 2 porsi 200 gr beras
Nasi 1 porsi 100 gr beras
Telur 1 butir 50 gr
Daging 1 porsi 50 gr
Daging 1 porsi 50 gr
Susu sapi 200 gr
Tempe 1 porsi 50 gr
Tahu 1 porsi 100 gr
Sayur 1 porsi 100 gr
Sayur 1 porsi 100 gr
Buah 1 porsi 75 gr
Buah 1 porsi 100 gr Susu skim 1 porsi 20 gr
Sumber: Sediaoetama, 2009.
Pola konsumsi makanan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut.
2.3 Angka Kebutuhan Gizi Standar kecukupan gizi diperlukan sebagai pedoman yang dibutuhkan oleh individu secara rata-rata dalam sehari untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kebutuhan gizi setiap individu berbeda-beda tergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya. Penilaian standar kecukupan gizi berpedoman pada Angka Kebutuhan Gizi (Yuniastuti, 2008). Angka Kebutuhan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi
Universitas Sumatera Utara
10
dari makanan untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika dan keadaan fisiologis, seperti hamil atau menyusui (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Patokan berat badan didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian penduduk yang sehat (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Adapun AKG rata-rata yang dianjurkan untuk remaja kelompok 15 – 18 tahun adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari) Jenis Kelamin
Umur (tahun)
Berat Badan (kg)
Energi
Laki – laki
13 – 15
46
2400 kkal
16 – 18
55
2600 kkal
13 – 15
48
2350 kkal
16 – 18
50
2200 kkal
Perempuan
Sumber: Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007.
2.4 Status Gizi 2.4.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2001). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan keluar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2005).
Universitas Sumatera Utara
11
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007). Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1979, telah diungkapkan bagan dari Call dan Levinson (1974) sebagai bahan untuk mengadakan analisis secara seksama masalah gizi di Indonesia. Konsep tersebut terlihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Call dan Levinson, 2012.
Universitas Sumatera Utara
12
Dari Gambar 2.1 terlihat bahwa status gizi seseorang/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Kedua faktor tersebut adalah penyebab langsung, sedangkan penyebab tidak langsung adalah kandungan zat gizi dalam bahan makanan, daya beli masyarakat, kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, serta lingkungan fisik dan sosial (Supariasa, 2012). Selain faktor-faktor di atas, Laura Jane Harper juga melukiskan faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi sebagai berikut:
Gambar 2.2 Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Harper, 2012.
2.4.3 Penilaian Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk penilaian status gizi pada remaja. BB/U dianggap tidak informatif bila tidak ada informasi tentang TB/U. Pendekatan konvensional terhadap kombinasi penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh
Universitas Sumatera Utara
13
dianggap memberikan hasil yang bias. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena tidak memerlukan informasi tentang umur kronologis. Namun, hubungan BB/TB berubah secara dramatis menurut umur dan status kematangan seksual remaja. Oleh karena itu, IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja. Indeks Massa Tubuh diukur dengan menggunakan rumus:
IMT =
Berat Badan (kg) (Tinggi Badan)2 (m2 )
Kemudian, status gizinya ditentukan melalui perhitungan statistik dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka rata-rata atau median dan standar deviasi (SD) dari suatu acuan standar WHO. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai Z-Skor adalah (Supariasa, 2012):
Z − Skor =
Nilai Individu Subjek − Nilai Median Baku Rujukan Nilai Simpangan Baku Rujukan
Universitas Sumatera Utara