BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1 Masalah Stunting Global dan Nasional Prevalensi stunting anak balita (0-5 tahun) menjadi masalah di berbagai negara, terutama di negara sedang berkembang (Tabel 1). Berdasarkan laporan Kemenkes (2008) dan Kemenkes (2010) diketahui bahwa prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan 1.2% dari tahun 2007 ke 2010. Tabel 1 Prevalensi anak balita stunting di berbagai negara/wilayah Negara/Wilayah Afrika Timur Asia Tengah bagian Selatan Amerika Tengah Amerika Utara Belanda Timur Leste Komboja Vietnam Filipina Malaysia Tailand Singapura Indonesia
Prevalensi Stunting (%) 48.0 44.0 24.0 13.0 0.8 49.4 44.6 36.5 32.1 15.6 13.4 2.2 35.6
Tahun 2000 2000 2000 2000 1980 2003 2000 2000 1998 1999 1995 2000 2010
Sumber WHO (2001) WHO (2001) WHO (2001) WHO (2001) WHOSIS* (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) WHOSIS (2006) Kemenkes (2010)
Keterangan: *[WHOSIS] = WHO Statistical Information System
Kemenkes (2008) melaporkan bahwa nilai z-skor TB/U anak balita Indonesia lebih rendah dibanding nilai z-skor BB/U maupun BB/TB (Gambar 1). Hal tersebut antara lain bermakna bahwa stunting anak balita merupakan salah satu prioritas utama dalam upaya memecahkan masalah gizi di Indonesia. Victoria et al. (2010) menyimpulkan bahwa waktu terjadinya gangguan pertumbuhan yaitu 0-24 bulan pertama setelah lahir.
Sumber: Kemenkes (2008)
Gambar 1 Status gizi anak balita Indonesia
9
2.2 Faktor Penyebab Stunting Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Penyebab masalah gizi pada anak dijelaskan pada Gambar 2. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang tidak memenuhi syarat gizi seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan.
Sumber: Shekar (2011), diadaptasi dari UNICEF (1990) dan Ruel (2008)
Gambar 2 Penyebab masalah gizi Stunting dapat disebabkan oleh sosial dan ekonomi yang miskin (WHO 2010); interaksi ibu dan anak semenjak kehamilan yang kurang baik (Alive and Thrive 2010); pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup, gangguan absorpsi, atau kombinasi ketiganya (WHO 2001); praktek pemberian makanan yang tidak tepat, dan penyakit/infeksi (Bhutta et al. 2008); serta gangguan hormon, genetik, dan metabolisme (Cowin & Raton 2001).
10
Lebih jauh Specker et al. (1986) menyimpulkan bahwa faktor ras, umur, musim, dan diet memberi efek signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa bayi. Infeksi berkontribusi melalui luka pada mukosa gastro-intestinal, menyebabkan malabsorpsi, terutama mikronutrien, dan peningkatan permeabilitas terhadap antigen dan bakteri. Waterlow (1994) menyimpulkan pula bahwa efek sistemik infeksi, dimediasi oleh sitokin, mengakibatkan kehilangan zat gizi yang berlebihan. Pertumbuhan terjadi apabila sel bertambah banyak atau bertambah besar ukurannya.
Pertumbuhan merupakan proses perubahan fisik meningkatnya
ukuran dan struktur tubuh (Satoto 1990). Pertumbuhan terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya jumlah sel), hiperplasia dan hipertrofi (bertambahnya jumlah dan kematangan sel), dan hipertrofi (bertambahnya ukuran dan kematangan sel) (Anwar 2002). Tubuh yang pendek (stunting) terjadi karena kegagalan mencapai potensi pertumbuhan linier tulang. Pertumbuhan tulang antara lain dipengaruhi oleh zat gizi. Makanan menyuplai zat gizi untuk pertumbuhan tulang. WHO (2010) melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal dan/atau kondisi gizi (Tabel 2). Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan (Academy for Educational Development of Africa 2004). Tabel 2 Median panjang badan menurut umur Umur (bulan) 6 7 8 9 10 11
Laki-laki 67.6 69.2 70.6 72.0 73.3 74.5
Panjang Badan (cm) Perempuan 65.7 67.3 68.7 70.1 71.5 72.8
Sumber: WHO (2010)
Eastwood (2003) menjelaskan bahwa tulang terdiri dari mineral (35%, terutama Ca and P), materi organik (20%, terutama kolagen), dan air (45%). Broto (2004) mengatakan bahwa kerangka manusia terdiri dari bahan organik (30%) dan mineral (70%).
Substansi organik terdiri dari sel-sel tulang (2%,
11
misalnya osteoblas, osteoklas & osteocyte) dan matriks tulang (98%, misalnya kolagen tipe 1 95% & protein non-kolagen 5% -osteocalcin, osteonictin, proteoglikan, protein proteolipid, morfoegenic dan fosfoprotein). Sebagian besar mineral adalah kristal hidroksiapatit (95%) dan sisanya adalah mineral lain (5%: Mg, Na, K, F, Cl, Sr & Pb). Specker (2004) menyimpulkan bahwa pertambahan tulang tidak dipengaruhi oleh waktu pengenalan makanan sapihan, meskipun konsentrasi hormon serum paratiroid (PTH) lebih tinggi pada bayi yang menerima makanan padat lebih awal. Schmidt et al. (2002) menyimpulkan bahwa pada populasi pedesaan di Jawa Barat, asupan makanan pendamping ASI secara positif berasosiasi dengan peningkatan panjang badan bayi. Pada masa bayi, pembentukan tulang lebih penting daripada resorpsi tulang. Dua jenis sel utama yang bertanggung jawab untuk pembaharuan tulang adalah osteoblas yang terlibat dalam pembentukan tulang dan osteoklas yang terlibat dalam resorpsi tulang. Kurangnya
vitamin
D
mengakibatkan
osteomalacia
(gangguan
mineralisasi) dan kelebihan vitamin D menyebabkan tulang keropos. Banyak faktor penting lainnya yang terlibat dalam remodelling tulang seperti estrogen, kalsitonin, glukokortikoid, progesteron, dan androgen, gen dan aktifitas fisik (Medes 2005). Guyton dan Hall (1997) mengatakan bahwa pembentukan tulang dimulai dengan ekskresi molekul monomer kolagen dan substrat dasar (cairan ekstraselular dan proteoglikan) oleh osteoblas. Molekul kolagen dengan cepat berpolimerisasi untuk membentuk serat kolagen dan osteoid (bahan seperti tulang rawan) yang merupakan jaringan terkahir yang dibentuk. Ketika osteoid dibentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid (selanjutnya disebut osteocyte). Beberapa hari setelah osteocyte terbentuk, garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat kolagen. Endapan awalnya terbentuk pada interval sepanjang masing-masing serat kolagen. Hal ini membentuk sarang kecil yang dengan cepat berkembang biak dan tumbuh dalam beberapa hari, dan beberapa minggu kemudian membentuk hasil akhir yaitu kristal hidroksiapatit (terdiri dari Ca & P).
12
Guyton dan Hall (1997) mengatakan bahwa osteoblas terus menerus melakukan proses deposisi dan juga diserap secara terus-menerus oleh osteoklas (remodelling). Osteoblas ditemukan pada permukaan luar dan di bagian dalam rongga tulang. Sekitar 4% dari permukaan tulang orang dewasa terus-menerus melakukan osteoblastik. Osteoklas terus-menerus menyerap kurang dari 1% dari permukaan tulang orang dewasa.
Osteoklas menjadi menonjol seperti villus
membentuk batas kusut berdekatan dengan tulang.
Villus melepaskan enzim
proteolitik dan beberapa jenis asam (asam sitrat dan asam laktat).
Enzim
melarutkan matriks organik tulang, sedangkan tulang melarutkan garam. Sel-sel osteoclastic juga menangkap partikel dari kristal matriks dan tulang melalui fagositosis. Pada akhirnya, sel osteoclastic juga melarutkan benda-benda ini dan melepaskannya ke dalam darah.
Broto (2004) mengatakan bahwa proses
remodeling terjadi selama 12 minggu pada usia muda dan 16-20 minggu pada usia pertengahan atau lanjutan. Tingkat remodelling adalah 2-10% massa tulang per tahun. Dalam keadaan normal, laju deposisi dan resorpsi tulang tidak berbeda dari satu sama lain, sehingga massa tulang tetap konstan. Umumnya, massa osteoklas dalam jumlah kecil namun masih padat. Osteoklas akan menyerap tulang sekitar 3 minggu untuk membentuk terowongan berdiameter 0.2 mm sampai 1 mm dengan panjang beberapa milimeter. Setelah 3 minggu, osteoklas akan menghilang dan kemudian terowongan dipenuhi dengan osteoblast dan pembentukan tulang baru mulai. Bone deposisi berlangsung selama beberapa bulan dan setiap tulang baru ditempatkan pada lapisan berikutnya pada lingkaran konsentris (lamella) di permukaan dalam rongga sampai rongga terisi semua (Guyton & Hall 1997). Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa ada hubungan indeks massa tubuh dengan kepadatan tulang (r=0.203; ρ=0.046). Groff dan Gropper (2000) menunjukkan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin berisiko mengalami keropos tulang. Adapun faktor genetik menentukan sekitar 60% perkembangan massa tulang, selebihnya (40%) ditentukan faktor lingkungan (Anderson 2004). Hoppe, Mølgaard, and Michaelsen (2006) menyimpulkan bahwa susu memberikan efek menstimulasi pertumbuhan pada keadaan intake zat gizi yang
13
adekuat. Intake susu menstimulasi sirkulasi insulin-like growth factor (IGF)-I. Penambahan susu sapi pada diet anak-anak stunting dapat meningkatkan pertumbuhan linier dan mengurangi morbiditas. Pada anak-anak dengan gizi baik, konsekuensi jangka panjang dari meningkatkan konsumsi susu sapi, dapat meningkatkan tingkat IGF-I dalam sirkulasi atau meningkatkan kecepatan pertumbuhan linier. Bone mineral density (BMD) yang juga disebut bone mass dipengaruhi oleh massa tubuh dan pertumbuhan linier (Nielsen 2000).
Fatmah (2008)
menyimpulkan bahwa semakin tinggi badan maka semakin tinggi pula nilai densitas mineral tulangnya. Lebih jauh Fatmah (2008) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tinggi badan dengan lemak tubuh.
Rack et al. (2011)
menyimpulkan bahwa nilai quantitative ultrasound (QUS) bayi pada minggu pertama setelah lahir berkorelasi dengan usia kehamilan dan berat lahir (r=0.5 dan r=0.6). Perbandingan kualitas tulang pada usia 40 minggu setelah lahir, nilai QUS bayi prematur (bayi lahir pada minggu ke 24–28 minggu kehamilan) lebih rendah dari bayi cukup bulan (P<0.001). Ada korelasi QUS dengan alkalin pospat serum (P<0.001), suplementasi kalsium, pospat dan vitamin D (masing-masing P<0.001). Tidak ada korelasi antara QUS dengan konsentrasi kalsium dan pospat serum dan urin. Eastwood (2003) menjelaskan bahwa densitas mineral tergantung pada beban yang diterimanya, makin berat beban yang diterima, makin tinggi densitas mineral tulang. Guyton dan Hall (1997) menerangkan bahwa hubungan beban (stress) yang diterima tulang dengan densitas mineral tulang diduga karena adanya efek piezo-elektrik. Penekanan pada tulang akibat beban yang diterimanya menimbulkan potensial listrik negatif pada daerah yang tertekan dan potensial listrik positif pada bagian tulang lainnya. Apabila sejumlah kecil aliran listrik menjalar sepanjang tulang akan menyebabkan osteoblastik beraktifitas pada ujung negatif dari aliran listrik tersebut, sehingga terjadi peningkatan pengendapan tulang pada bagian yang tertekan yang mengakibatkan tulang menjadi padat. Suryono (2007) menyimpulkan bahwa pada kelompok pemberian susu segar, kepadatan tulang kaki setelah intervensi dipengaruhi oleh lamanya aktifitas
14
olahraga (p<0.01).
Bonjour (2000) menjelaskan bahwa peningkatan densitas
mineral tulang dapat dihasilkan oleh aktivitas fisik yang intensif. Aktivitas fisik dapat mengurangi kehilangan massa tulang bahkan menambah massa tulang dengan cara meningkatkan pembentukan tulang lebih besar daripada resorpsi tulang (Henrich 2003). Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa ada hubungan aktivitas fisik sehari-hari dengan kepadatan tulang (r=0.757; p=0.000). Groff dan Groppe (2000) membuktikan pula bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan mineral tulang belakang. Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. 2.3 Densitas Asupan Gizi dan Pola Konsumsi Pangan Drewnoski (2005) menyimpulkan bahwa densitas asupan zat gizi berbeda dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Densitas asupan zat gizi adalah cara untuk mengekspresikan kecukupan zat gizi dari diet yang diberikan; sedangkan DRIs merupakan perkiraan kuantitatif dari asupan zat gizi yang dapat digunakan untuk perencanaan dan penilaian diet dari orang-orang.
Persentase niai-nilai
harian sering dihitung atas dasar batas atas dari DRIs (Trumbo et al. 2001; Trumbo et al. 2002). Densitas zat gizi didefinisikan sebagai rasio komposisi zat gizi dari suatu pangan terhadap kebutuhan zat gizi manusia. Hansen et al. (1987) menyimpulkan bahwa perbandingan resmi komposisi zat gizi pangan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada suatu standar berdasarkan per kalori -biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal. Departemen Kesehatan RI (2001) menjelaskan bahwa ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai bayi berusia 24 bulan. Winarno (1990) menyampaikan bahwa seorang ibu pada hari pertama sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 mL ASI sehari dari jumlah ini akan terus bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 mL pada waktu bayi mencapai usia minggu kedua. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayinya selama 4-6 bulan pertama. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut
15
ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi pada bayi.
Setelah 6 bulan volume
pengeluaran air susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. Neilson (1995) menyimpulkan bahwa konsumsi ASI bayi usia 3 bulan rata-rata 750 mL/hari. Produksi ASI dalam keadaan normal, volume susu terbanyak yang dapat diperoleh oleh bayi adalah pada 5 menit pertama. Penyedotan/penghisapan oleh bayi biasanya berlangsung selama 15-25 menit (Winarno 1990). Nasution (2003) menyimpulkan bahwa volume ASI dipengaruhi oleh frekuensi bayi menyusu, lama bayi menyusu, dan kekuatan bayi mengisap ASI. Volume ASI paling tinggi adalah pada bulan ke-4 usia menyusu, dan menurun pada bulan ke-5 dan ke-6. WHO (1998) melaporkan bahwa asupan energi yang berasal dari ASI pada bayi usia 6-8 bulan sebanyak 217 kkal di negara berkembang. Kandungan energi ASI per 100 g sebesar 66 kkal (Tabel 4), dengan demikian konsumsi ASI adalah 328,8 g/hari. Simondon et al. (1996) menyimpulkan bahwa di Brazzaville, bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula pada usia 4-5 bulan mengkonsumsi ASI rata-rata 460 ± 191 g/hari. Bhadam dan Sweet (2010) menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, bayi akan menjadi stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI dalam jumlah dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan. Tabel 3 Kandungan zat gizi per 100 g ASI Zat Gizi Energi, kkal Protein, g Vitamin B1, mg Vitamin C, mg Zat besi (Fe), mg Kalsium, mg Fosfor, mg
Kandungan Air Susu Ibu (per 100 g) Hardinsyah dan Briawan (1994) WHO (1998) 65 66 1.1 1.02 70 0.02 2.7 3.9 9 0.03 35.5 27.2 12.2 13.6
WHO (2005) melaporkan bahwa jika jumlah pangan hewani lain cukup dikonsumsi secara rutin, jumlah susu yang dibutuhkan anak usia 6-11 bulan adalah ~200-400 mL/hari, jika tidak, jumlah susu yang dibutuhkan adalah ~300500 mL/hari. Susu yang dapat diterima meliputi susu hewan full-cream (sapi,
16
kambing, kerbau, domba, unta), susu ultra high temperature (UHT), susu yang diuapkan kemudian dilarutkan, dan susu fermentasi atau yogurt. Densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik (IOM 1977). Rasio Ca dan P untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 (Khomsan 2002).
Attwood (2003)
menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya kepadatan tulang.
Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat
meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat (r=0.873) antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang (p=0.000).
Kalsium
dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia.
Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan
puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Shroff & Pai 2000). Sumber kalsium yang bukan berasal dari susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan laut (Suryono 2007). WHO (2001) melaporkan bahwa sulit menginterpretasikan hubungan energi dan pertumbuhan anak. Namun demikian, Anton, Castro dan Paramastri (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan energi dan protein dengan pertumbuhan anak. Waterlow dan Schürch (1994) menyimpulkan bahwa pada anak usia dua tahun asupan kalsium signifikan lebih rendah pada anak stunting. Angeles et al. (1993) menyimpulkan bahwa suplementasi zat besi (Fe) terlihat mengurangi diare pada anak. Broto menjelaskan bahwa 70% kerangka manusia terdiri dari fosfor. Robins (1994) menyimpulkan bahwa copper merupakan enzim dalam proses pembentukan kolagen. WHO (2001) melaporkan bahwa suplemen seng (Zn) pada anak-anak diduga mengurangi durasi dan keparahan diare, disentri dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). The National Academy of Sciences (2002) menyimpulkan bahwa mangan merupkan zat gizi esensial dalam pembentukan tulang; magnesium berperan metabilisme matrik tulang dan
17
metabolisme mineral tulang; potasium merupakan enzim penting dalam metabolisme karbohidrat; dan vitamin B7 penting untuk proliferasi sel. Ehrlich (2010) menjelasksan bahwa vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium dalam memelihara tulang.
Vitamin C sebagai kofaktor penting untuk enzim yang
memproduksi kolagen (Martini 2006). Hardinsyah (2001) menjelaskan bahwa mutu gizi pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penggunaan makanan oleh tubuh, sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan baik individu maupun masyarakat. Mutu gizi pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan. Meningkatkan mutu asupan pangan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pangan yang bergizi, perubahan sikap, serta perubahan perilaku sehari-hari dalam menentukan, memilih, dan mengonsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992). 2.4 Alternatif Program/Intervensi Mengatasi Stunting Strategi untuk mencegah stunting meliputi promosi pemberian air susu ibu (ASI), pemberian suplemen vitamin A, seng, zat besi, yodium pada ibu dan/atau anak, pemberian bantuan pangan, pendidikan gizi, bantuan tunai langsung, dan pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak dapat membunuh cacing parasit dalam tubuh ibu dan anak sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu dan anak dapat dimanfaatkan tubuh tanpa berbagi dengan cacing parasit tersebut. Bhutta et al. (2008) menyimpulkan bahwa promosi pemberian ASI dapat meningkatkan sedikit pertumbuhan linier. Lebih jauh disimpulkannya bahwa pemberian suplemen vitamin A (pada periode neonatal dan akhir masa bayi), seng (untuk pencegahan), zat besi (pada anakanak), dan gram beriodium (pada ibu-ibu dan anak-anak) pada anak 36 bulan dapat menurunkan prevalensi stunting dari 54 menjadi 36%. Pada
populasi
yang
rawan
pangan,
pemberian
suplemen
multivitaminmineral pada makanan (dengan atau tanpa penyuluhan) anak 4 bulan selama 3 bulan dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.41 (p<0.05: 0.05-0.76 cm). Pada populasi yang tidak rawan pangan, penyuluhan makanan
18
pendamping ASI dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.25 cm (p<0.05: 0.01-0.49). Bantuan langsung tunai dapat meningkatkan tinggi badan anak 0-12 bulan sebanyak 0.44 cm. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak-anak dapat meningkatkan tinggi badan 0.14 cm (0.04-0.23 cm) (Bhutta et al. (2008). UNICEF, WFP and WHO (2010) melaporkan bahwa: 1. Pencegahan stunting harus fokus pada "window of opportunity" dari minus 9 sampai 24 bulan dan juga pada konteks siklus kehidupan dengan mempertimbangkan aspek-aspek masalah antar generasi. 2. Suatu wilayah yang mendesak tetapi terabaikan dari intervensi yaitu pencegahan stunting selama 6-24 bulan sejak penurunan persen terbesar panjang badan menurut umur (PB/U) pada kelompok umur ini, dan tingginya prevalensi stunting yang terjadi pada kuintil pendapatan atas pada negaranegara berkembang menunjukkan bahwa ini utamanya merupakan masalah perilaku. Komunitas dengan ketidaktahanan pangan akan membutuhkan intervensi-intervensi tambahan yang telah terbukti dari praktek-praktek meningkatkan pemberian makanan pendamping air susu ibi (MPASI) atau pencegahan stunting seperti produksi makanan rumahan khususnya untuk pangan yang kaya zat besi, suplementasi dengan MPASI yang difortifikasi dan program-program perlindungan sosial seperti bantuan tunai langsung. 3. Intervensi perubahan perilaku dapat berkontribusi besar untuk mencegah stunting dengan meningkatkan praktek pemberian MPASI. 4. Karena anemia pada ibu hamil pada trimester pertama merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap berat lahir rendah dan anemia pada bayi 0-5 bulan, dan mempertimbangkan bahwa ibu hamil di negara-negara berkembang paling sering memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan setelah trimester pertama, pencegahan anemia (dan gizi salah pada ibu) sebaiknya dimulai sebelum hamil (semakin awal maka semakin baik) untuk memutus siklus gizi salah antar generasi. 5. Negara-negara diketahui membutuhkan panduan untuk memperkuat kebijakan dan program serta menyertakan bukti intervensi baru yang telah teruji, hemat biaya, dan tingkat peningkatan. Negara-negara juga menggarisbawahi
19
pentingnya kapasitas membangun, kepemimpinan dan koordinasi yang lebih baik di antara usaha yang sedang dilakukan. 6. Dukungan terhadap makanan bayi dan anak serta intervensi gizi pada ibu membutuhkan suatu pendekatan rangkaian kepedulian antar sektor yang bertujuan untuk meningkatkan status wanita, higiene dan sanitasi, terutama sekali mencuci tangan yang terkait dengan pemberian makan pada bayi, disertai dengan pesan yang jelas dalam kurikulum pendidikan remaja, pelatihan personel medis dan paramedis, memperkuat aturan-aturan keamanan pangan dan pengurangan kemiskinan. 7. Pendekatan dan metode monitoring dan evaluasi perlu mempertimbangkan luasnya program yang sedang dikembangkan dan dimplementasikan. Perbaikan pengetahuan tentang bagaimana mengurangi stunting akan berhasil hanya dengan penyelenggaraan dan evaluasi yang baik serta dokumentasi proses-proses yang dapat menjelaskan hasil tersebut. Bappenas (2012) menjelaskan bahwa Gerakan 1 000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1 000 HPK) merupakan upaya untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita, termasuk stunting. Maksud 1 000 hari yaitu dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun (hamil 9 bulan = 270 hari; 2 tahun = 730 hari). Tujuan Gerakan 1 000 HPK yaitu meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan. UN (2010) melaporkan bahwa kegiatan intervensi lintas sektor yang terkait dengan faktor penyebab tidak langsung masalah gizi, ternyata sensitif pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada 1 000 HPK. Dokumen Scaling Up Nutrition (SUN) Inggris menyebutkan bahwa intervensi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh sektor kesehatan hanya 30% efektif mengatasi masalah gizi 1000 HPK.
Mengingat kompleksnya masalah gizi
khususnya masalah beban ganda, yaitu kombinasi masalah anak kurus, pendek, gemuk dan penyakit tidak menular (PTM), yang terjadi pada waktu yang relatif bersamaan di masyarakat yang miskin, penuntasan yang 70% memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan lain di luar kesehatan.
20
Stunting dapat berdampak menimbulkan overweight dan penyakit. WHO (2010) menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa. Bappenas (2012) menjelaskan penyebab tidak tuntasnya masalah gizi antara lain disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kebijakan program gizi selama ini masih bersifat umun belum mengacu pada kelompok 1 000 HPK sebagai sasaran utama.
Kedua, kegiatan intervensi gizi masih
sektoral, khususnya kesehatan. Ketiga, cakupan pelayanan yang masih rendah untuk imunisasi lengkap, suplementasi tablet besi-folat pada ibu hamil, pemanfaatan KMS dan SKDN, promosi ASI eksklusif, cakupan garam beryodium dan sebagainya.
Keempat, tindakan hukum terhadap pelanggar WHO Code
tentang Breast Feeding belum dilaksanakan karena Peraturan Pemerintah tentang ASI baru diumumkan awal tahun 2012. Kelima, lemahnya penguasaan substansi masalah gizi oleh para pejabat tertentu, petugas gizi dan kesehatan baik yang di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan lapangan khususnya tentang perkembangan terakhir dan prospeknya dimasa depan, masalah anak stunting, beban ganda, dan kaitan gizi dengan penyakit tidak menular. Intervensi yang telah dilakukan selama ini meliputi intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Contoh intervensi spesifik yaitu imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI. Adapun conth intervensi sensitif yaitu penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, kesetaraan gender, keluarga berencana, jaminan kesehatan masyarakat, jaminan persalinan universal, dan perlindungan terhadap kurang yodium. Bappenas (2012) melaporkan bahwa suatu penelitian US-AID (2010) di daerah miskin di Jakarta menunjukkan hanya 9.5% mendapat MP-ASI yang benar.
Thaha (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia pada tahun 2006
dikembangkan MP-ASI lokal tetapi tidak efektif karena kandungan zat gizi mikro yang rendah. Bappenas (2012) menjelaskan bahwa penelitian menemukan bahwa MP-ASI lokal umumnya kurang padat-energi, rendah lemak, kurang zat gizi
21
mikro, rendah protein dan mengandung zat-zat yang menghambat absorpsi zat gizi di usus. Agar MP ASI lokal efektif mencukupi kebutuhan zat gizi mikro anak, diperkenalkan MP-ASI lokal dengan fortifikasi rumahan (home fortification) dengan menambahkan bubuk zat gizi mikro yang dikenal dengan "Taburia". Di Indonesia, kegiatan pilot fortifikasi zat gizi mikro pada tingkat rumah tangga telah dilaksanakan di 24 kabupaten/kota melalui Proyek NICE dengan label kegiatan Taburia. Fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro pada kelompok 1 000 HPK yaitu zat yodium, zat besi, seng, asam folat, dan vitamin A. Ada 12 kegiatan yang akan dilakukan untuk menurunkan prevalensi masalah gizi anak ibu hamil dan anak baduta, termasuk stunting (Lampiran 1).