BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Edible Film
Pengembangan edibel film pada makanan selain dapat memberikan kualitas produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan pengemas yang ramah lingkungan. Edibel film memberikan alternative bahan pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan
yang
dapat
diperbaharui
dan
harganya
murah
(Bourtoom,
2007).
Pengaplikasian edibel film pada produk makanan bukan merupakan konsep yang baru dan telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edibel film dalam memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai produk makanan (Hui, 2006).
Komponen penyusun kemasan edibel terdiri atas 2 bagian. Komponen utama yang terdiri dari hidrokoloid, lipid dan komposit. Komponen tambahan terdiri dari plastisizer, zat anti mikroba, antioksidan, flavor dan pigmen. Kemasan edibel ada 2 jenis yaitu
1.
Kemasan edibel film yang berasal dari bahan alami (usus ayam, usus sapi, dll). Kemasan edibel dapat digunakan pada produk pangan seperti produk daging, kacang dan olahannya, buah-buahan dan sayuran, produk confectionary serta pada produk heterogen.
2.
Kemasan edibel film yang diformulasi dan dibuat yaitu edibel film, edible coating dan mikroenkapskulasi (Efriza, 2009).
- Edibel film adalah lapisan tipis dan kontiniu terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai barrier terhadap
transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipid, cahaya dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan dan bahan tambahan, serta untuk mempermudah penanganan makanan. Edibel film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi maupun hasil-hasil pertanian
- Edible coating adalah lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan, yang diaplikasikan pada makanan dengan cara pencelupan, pembuatan, penyemprotan dan penetesan agar terbentuk barrier yang selektif terhadap transmisi gas, uap air dan bahan terlarut serta memberi perlindungan mekanis. Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, kemasan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta, 1997)
- Mikroenkapsulasi merupakan teknik untuk melindungi “flavor” dengan gelatin atau gum arab yang dapat dianggap sebagai salah satu teknik pengemasan dengan bahan pengemas edible (Efriza, 2009).
Komponen utama penyusun edibel film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid banyak diperoleh dari protein utuh, selulosa dan turunannya, alginat, pectin dan pati. Dari kelompok lipida yang sering digunakan adalah lilin, gliserol dan asam lemak. Komposit adalah bahan yang didasarkan pada campuran hidrokoloid dan lipida. (Harris, 2001).
Perhatian terhadap edibel film dan edible coating sebagai biopolymer semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dimana film ini mampu melindungi bahan makanan tanpa menimbulkan suatu pengaruh negatif terhadap lingkungan. Dalam pembuatan edibel film, diperlukan disperse atau pelarutan makromolekul kedalam suatu pelarut (seperti air, alkohol, atau asam organik) untuk mendapatkan suatu larutan pembentuk film yang dapat diaplikasikan secara langsung ke produk. Penguapan pelarut akan membentuk suatu lapisan pada permukaan produk. Proses pembentukan biofilm dari pati tapioka adalah berdasarkan pembentukan gelatin pati pada temperature tinggi. Setelah membentuk gelatin, rantai amilosa
cenderung untuk tertutup bersama rantai di tengah ikatan hidrogen. Pada proses pengeringan, terjadi penghilang molekul air yang terikat, menjadikan gelatin membentuk film yang stabil. Ketika granul mulai mengembang akibat pemanasan terjadi suatu peningkatan yang besar dalam viskositas larutan (Careda, 2000).
2.2. Metode Pembuatan Edible Film
Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada campuran air dan plastisizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan dilakukan pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa waktu dan dituangkan pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan (Hui, 2006).
Untuk memproduksi edible film dengan daya kerja yang baik, suatu plastisizer seperti gliserin sering digunakan. Penambahan gliserin yang didispersikan membuat film lebih mudah dicetak, karena gliserin digunakan sebagai plastisizer. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dimana permukaan specimen pati dengan gliserin sebagai pemlastis menunjukkan permukaan yang lebih halus dan sedikit gumpalan. Hal ini disebabkan gliserin selain sebagai pemlastis juga membantu kelarutan pati (lebih homogenitas) dimana ini dapat disebabkan karena terbentuknya ikatan hidrogen antara gugus OH pati dengan gugus OH dari gliserin yang selanjutnya interaksi hidrogen ini dapat meningkatkan sifat mekanik (Yusmarlela, 2009).
2.3. Tepung
Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung pemakaiannya. Tepung bisa berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari jagung atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan.
2.3.1.Tepung Tapioka
Tepung tapioka biasa juga disebut dengan tepung kanji. Dibuat dari saripati ketela pohon (singkong). Biasanya dipakai untuk membuat panganan tradisional seperti kue, selain itu juga sering digunakan untuk pengental makanan. Warnanya bening, kental dan bersifat agak lengket bila dipanaskan.
Tapioka mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki jenis tepung lainnya. Tepung ini
tidak mengandung gluten, sehingga aman bagi yang alergi. Karena
mengandung linamarin, tapioka dapat menangkal pertumbuhan sel kanker. Tapioka
sering diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin yang sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.
Tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pengikat dalam industri pangan, industri farmasi, dan lain sebagainya. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna putih alami pada industri pangan dan industri tekstil.
(http://www.scribd.com/doc/Tepung Tapioka.Diakses tanggal 26 Agustus 2010)
2.3.2.Kandungan Gizi Tepung Tapioka
Dilihat dari nilai gizinya, tapioka merupakan sumber karbohidrat dan energi
yang
dan lemak.
sangat
baik.
Tapioka
mengandung
sangat
sedikit
protein
Tabel 2.1 : Komposisi zat gizi tepung tapioka (per 100 gram) Zat gizi
Kadar
Energi (kkal)
358
Protein (g)
0,19
Lemak total (g)
0,02
Karbohidrat (g)
88,69
Serat pangan (g)
0,9
Kalsium (mg)
20
Besi (mg)
1,58
Magnesium (mg)
1
Fosfor (mg)
7
Kalium (mg)
11
Natrium (mg)
1
Seng (mg)
0,12
Tembaga (mg)
0,02
Mangan (mg)
0,11
Selenium (mg)
0,8
Asam folat (µg)
4
Sumber: http://www.nutritionanalyser.com
2.4. Dedak
Dedak adalah limbah dari proses pengolahan gabah (padi) menjadi beras. Selain mengandung serat kasar, dedak juga mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi dan merupakan sumber vitamin dan mineral. Adapun kandungan nutrisi dari dedak dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 2.2 Kandungan nutrisi dedak Nutrisi
kuantitas
Nutrisi kuantitas
Bahankering(%)
91,0
Proteinkasar(%)
13,5
Lemakkasar(%)
Vitamin Vitamin A (IU/gr)
0,6 Vitamin E (mg/kg)
Seratkasar(%)
13,0 Thiamine (mg/kg)
Calsium(%)
0,1
Ribovlavin (mg/kg)
Totalphosfor(%)
1,7 As.Phantotenat(mg/kg)
Energi P.E (kal/kg)
1320,0
Biotin (mg/kg)
Energi metabolis(kal/kg)
1890,0
As.Folik (mg/kg)
Asam amino
(%)
60,8 22,8 3,0 22,0 4200,0 td
Cholin (mg/kg)
1390,0
Niacin (mg/kg)
303,0
Methionine
0,17
Cystine
0,10
Lysine
0,50
Tryptophane
0,10 Sulfur (%)
Threonine
0,40 Mangan (ppm)
Isoleusine
0,39
Histidine
0,25 Copper (ppm)
Valine
0,60 Seng (ppm)
Leucine
1,20
Arginine
0,45
Phenylalanine
0,41
Glysine
1,00
td= tidak tercatat
td
Mineral Magnesium (%)
Besi (ppm)
Selenium (ppm)
0,95 0,18 137,9 190 13 29,9 td
(Allen,1984)
2.5. Karbohidrat
Karbohidrat banyak sekali terkandung dalam bahan pangan, terutama pada bahan pangan yang pokok, juga pada biji-bijian dan buah-buahan, kebutuhan energi yang diperlukan bagi berbagai kegiatan tubuh (internal maupun eksternal) umumnya
dapat terlayani sekitar 50% kalau bahan pangan tersebut dikonsumsi secara layak (Kartasapoetra, 1991).
Karbohidrat (macam-macam gula atau sakarida) adalah turunan dari alkohol yang memiliki banyak alifatis yang mempunyai gugus aldehida atau keton dan merupakan hasil oksida dari alkohol (Kusnawidjaja, 1993). Karbohidrat dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama, monosakarida ; kelompok kedua, oligosakarida ; dan kelompok ketiga, polisakarida (Girindra, 1979).
Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Bila karbohidrat makanan tidak mencukupi, maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun (Almatsier, 2001).
2.5.1.Analisa Karbohidrat
Ada beberapa cara analisis yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbohidrat dalambahan makanan. Yang paling mudah adalah dengan cara perhitungan kasar disebut Carbohydrat by Difference. Yang dimaksud dengan proximate analysis adalah suatu analisis dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis tetapi melalui perhitungan sebagai berikut %karbohidrat = 100%-% (Protein + lemak + abu + air).
Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah penentuan kadar protein secara kasar, dan hasilnya ini biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno, 1992).
2.6. Protein
Setelah air, protein mengandung zat gizi yang paling banyak dalam tubuh. Protein juga memegang peranan dalam mengatur keseimbangan air dalam tubuh dan menjaga kenetralan cairan tubuh (Suharjo dan Clara, 1992).
Protein dapat terdenaturasi dengan adanya pemanasan (di atas 60-700C). Perubahan pH yang drastis, logam berat, radiasi. Perubahan yang nampak setelah protein terdenaturasi yaitu terbentuknya endapan atau terjadinya koagulan sehingga molekul protein tidak berfungsi lagi ( Salomon, S, 1987).
2.6.1.Analisa Protein
Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N), yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein). Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
2.6.1.1.Tahap Destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4 )2 SO4 . Untuk memepercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator Selenium. Dengan penambahan bahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat. Suhu destruksi berkisar antara 370-4100C. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna.
2.6.1.2.Tahap Destilasi
Pada tahap destilasi ammonium sulfat diperoleh menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai adalah asam borat 3% dalam jumlah yang berlebihan. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR dan PP. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis.
2.6.1.3.Tahap Titrasi
Banyak asam borat yang beraksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N. %N =
mlHCl ( sampel − blanko xN .HClx14,008 x100% beratsampel ( g ) x1000
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalihkan suatu faktor. %Protein = %N x faktor konversi (Sudarmadji, et al,1989). Reaksi penentuan kadar protein metode Kjeldahl; Tahap destruksi Se (C,H,O,N)n + H2SO4(p)
(NH4)2SO4 + CO2(g) + H2O
Tahap Destilasi dipanaskan (NH4)2SO4 + 2NaOH
Na2SO4 + 2NH4OH dipanaskan
NH4OH
NH3(g) + H2O dipanaskan
NH3(g)
NH3(l) Tashiro
2 NH3 + 3H3BO3
(NH4)2B4O7 + 5H2O larutan hijau muda
Tahap Titrasi (NH4)2B4O7 + 2HCl
2NH4Cl + H2B4O7 + 5H2O larutan merah jambu ( Suhardjo, et al. 1992).
2.7. Lemak
Sebagaimana halnya dengan karbohidrat dan protein, fungsi lemak yang sangat penting adalah menyediakan energi untuk membantu memenuhi kebutuhan tubuh. Dari semua pangan yang dimakan penduduk, lemak menyediakan energi dalam bentuk yang paling pekat. Menurutnya bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak
dua kali lebih banyak dari pada karbohidrat dan protein (Suhardjo,et al,1986). 1 gram lemak menghasilkan 9 kalori.
Lapisan lemak di bawah kulit mengisolasi tubuh dan mencegah kehilangan panas tubuh secara cepat, dengan demikian lemak berfungsi juga mengatur suhu tubuh. Lapisan lemak yang menyelubungi organ-organ tubuh, seperti jantung, hati, dan ginjal membantu menahan organ-organ tersebut tetap ditempatnya dan melindunginya terhadap benturan (Suhardjo,et al,1992).
2.7.1.Analisa Lemak
Ekstraksi secara terputus-putus dijalankan dengan alat soklet. pelarut yang digunakan sebanyak 1 1/2 – 2 kali isi tabung ekstraksi. pada hasil ekstraksi yaitu kirakira 4-6 jam, ekstrak dituang ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya, kemudian pelarut diuapkan di dalam oven sampai diperoleh berat konstan pada suhu 1000C. Selisih berat sebelum dengan sesudah ekstraksi merupakan berat lemak yang ada dalam bahan tersebut (Sudarmadji, et al, 1989).
2.8. Abu
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu pada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Apabila ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya sangat sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan.
2.8.1.Analisa Abu
Penentuan kadar abu adalah dengan cara mengoksidasi semua zat organik pada suatu yang tinggi, yaitu sekitar 500 – 6000C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2 – 8 jam. Pengabuan dianggap selesai apabila
diperoleh sisa pengabuan yang pada umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan (Sudarmadji, et al,1989).
2.9. Air
Meskipun sering diabaikan, air merupakan salah satu unsur penting dalam bahan makanan. Air sendiri meskipun bukan sumber nutrien seperti bahan makanan lain, namun sangat esensial dalam kelangsungan proses biokimiawi organisme hidup (Sudarmadji, et al, 1989).
2.9.1.Analisa Air Salah satu cara untuk menghitung kadar air dalam bahan makanan dapat ditentukan dengan metode pengeringan (Thermogravimetri). Prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan makanan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini relatif mudah dan murah (Sudarmadji, et al,1989).
2.10. Uji Organoleptik
Pengukuran nilai organoleptik dari kulit risol dilakukan dengan metode kesukaan memakai angka hedonik dan numerik. Dalam penentuana nilai organoleptik ditentukan dengan skala yang terdapat pada tabel berikut, Skala hedonik
Skala Numerik
Sangat suka
4
Suka
3
Biasa
2
Tidak suka
1
(Harris, 2001).