4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anatomi Apendiks Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ
sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di perbatasan ileum dan usus besar. Bagian apendiks lainnya bebas. Apendiks ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang dinamakan mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf (Snell, 2006).
Gambar 2.1 Posisi dari usus besar. (1) sekum. (2) apendiks vermiformis. (3) ascending colon. (4) transverse colon. (5) descending colon. (6) sigmoid colon. (7) rektum. (8) anal canal. Sumber: Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ
Universitas Sumatera Utara
5
Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini: 1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan, 2. Melengkung di belakang sekum, 3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan 4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum. Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan (Snell, 2006). Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20% menggantung ke bawah di bawah tulang panggul (Ellis, 2006).
Gambar 2.2 Variasi dalam posisi apendiks vermiformis Sumber: Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ
Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangren (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
Universitas Sumatera Utara
6
2.2
Histologi Apendiks Apendiks terletak di bagian awal usus besar dan yang merupakan
evaginasi dari sekum. Apendiks ditandai dengan lumen yang relatif kecil dan irregular, kelenjar tubuler yang lebih pendek dan kurang padat, dan tidak memiliki taeniae coli. Apendiks tidak memiliki fungsi pencernaan, tetapi merupakan komponen penting sebagai MALT(Mucosa-Associated Lymphoid Tissue), dengan sejumlah besar folikel limfoid pada dindingnya (Mescher, 2010) .
Gambar 2.3 Histologi Apendiks dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin (1) Mesenteriolum. (2) Mucosa with crypts. (3) Lymph follicles with germinal centers. (4) Tela submucosa. (5) Tunica muscularis. Sumber: Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy
2.3
Fungsi Apendiks Apendiks merupakan suatu jaringan limfoid. Jaringan limfoid adalah
jaringan yang memproduksi, menyimpan atau memproses limfosit (Sherwood, 2009). Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2ml per hari, yang dikeluarkan ke dalam lumen dan mengalir ke sekum. Imunoglobulin yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
7
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
2.4
Apendisitis
2.4.1
Definisi
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab nyeri akut abdomen yang paling sering (Wibisono dan Jeo, 2013).
2.4.2
Etiologi dan Patogenesis
Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada apendisitis akut. Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan penyebab paling umum obstruksi apendiks. Penyebab yang paling jarang adalah pembesaran dari jaringan limfoid, penggumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor, sayur-sayuran dan bijibijian dari buah, dan parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi meningkat seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tanpa adanya ruptur apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur apendiks (Berger, 2010). Obstruksi pada bagian apendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung segmen usus (close-loop obstruction), dan sekreksi pada mukosa apendiks yang normalnya terus menerus menyebabkan distensi pada apendiks. Kapasitas lumen dari apendiks normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi kapasitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks. Distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium. Distensi yang terjadi tiba-tiba juga menstimulasi terjadinya peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada apendiks didahului oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan berkembangnya bakteri dalam apendiks semakin meningkatkan distensi. Distensi pada tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat.
Universitas Sumatera Utara
8
Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada apendiks dan kemudian ke arah peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke kuadran kanan bawah. Mukosa saluran cerna termasuk apendiks rentan terhadap gagguan pada aliran darah. Oleh sebab itu integritas mukosa apendiks menjadi terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah yang tidak adekuat, progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan munculnya perforasi. Perforasi biasanya muncul di sisi luar obstruksi daripada ujung karena efek tekanan intraluminal pada dinding yang paling tipis (Berger, 2010).
2.4.3
Patofisiologi dan Gejala Klinis
Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Sistem pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang dikenal dengan istilah apendicial mass. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007). Gejala dari apendisitis dapat berupa: 1. Nyeri kolik periumbilikus Nyeri abdomen merupakan keluhan utama apendisitis akut. Nyeri pada awalnya terpusat pada epigastrium atau periumbilikus, nyeri bersifat berat menetap dan biasanya disertai dengan kram intermiten.Distensi dari apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium.
Universitas Sumatera Utara
9
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke kanan bawah daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. 3. Demam (Pyrexia) Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Bila suhu lebih tinggi kemungkinan sudah terjadinya perforasi. 4. Mual, muntah, dan anoreksia Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia. Apendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan biasanya terjadi satu atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan sehingga pada saat diagnosis harus ditanyakan ada tidaknya keluhan anoreksia. Walaupun 75% pasien menunjukkan gejala muntah namun hal itu tidak berlangsung lama, kebanyakan hanya satu atau dua kali saja. Gejala muntah ini disebabkan stimulasi dari neuron maupun gerakan dari usus. Pada 95% pasien dengan apendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri abdomen kemudian dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih dominan dari gejala nyeri abdomen maka apendisitis harus dipertanyakan (Berger, 2010).
2.4.4
Penegakan Diagnosa
2.4.4.1 Anamnesis Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual dan muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal yang kemudian nyeri perut kuadran kanan bawah yang makin progresif. Urutan munculnya gejala memiliki peranan penting dalam diagnosis banding apendisitis (Wibisono dan Jeo, 2013).
2.4.4.2 Pemeriksaan Fisik Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring. Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus akan berkurang dan
Universitas Sumatera Utara
10
nyeri tekan daerah apendiks pada titik sepertiga bawah garis antara umbilicus dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada palpasi akan didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan dijumpai, batuk juga akan meningkatkan rasa nyeri pada apendisitis.
Gambar 2.4 McBurney’s point Sumber: Bailey & Love’s Short Pratice of Surgery Tanda khas yang dapat ditemukan pada apendisitis akut adalah:
Pointing sign
Nyeri pada kuadran kanan bawah pada Mc’Burney point.
Rovsing sign
Nyeri pada fosa iliaka kanan pada saat palpasi dalam di region fosa iliaka kiri. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam diagnosis klinis apendisitis.
Psoas sign
Disebut juga cope sign (Dorland, 2007). Penderita akan memfleksikan pinggul atau nyeri pada hiperekstensi pinggul akibat kontak antara prosesus yang meradang dengan otot psoas.
Universitas Sumatera Utara
11
Obturator sign Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Apendiks yang mengalami inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium ketika dilakukan manuver ini (O’Connel, 2008). Pada apendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan meningkat hingga melebihi 39oC (Maa, 2007).
2.4.4.3 Pemeriksaan tambahan Pemeriksaan Laboratorium Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan meningkat dengan neutrofil lebih dari 75%. Kadar leukosit normal pada apendisitis ditemukan pada 10% kasus. Kadar leukosit yang tinggi, lebih dari 20.000/ml didapatkan apabila terjadinya gangren atau apendisitis perforasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding pyelonephritis atau nephrolithiasis (Wibisono dan Jeo, 2013). Pemeriksaan Radiografi
Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7mm, penebalan dindng, struktur lumen yang tidak dapat dikompresi, atau adanya apendikolit.
CT-scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang lebih tua dan ketika pasien diduga terdapat abses sekitar apendiks. Diagnosis CT-scan pada apendisitis didasarkan pada penemuan sebagai berikut: 1. dilatasi apendiks hingga > 6mm, 2. apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses, 3. abses
pericecal
atau
massa
inflamasi
dengan
pembentukan
apendicolith (Brant & Helms, 2007).
Universitas Sumatera Utara
12
2.4.5
Diagnosis Banding
Menurut Sjamsuhidajat & de Jong (2007) beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosa banding, yaitu:
Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leede trombositopenia dan peningkatan hematokrit
Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau gastroenteritis, ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut sebelah kanan.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagin, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu.
Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan
Universitas Sumatera Utara
13
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas.
Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis ini.
Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulus Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel apendiks.
2.4.6
Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut Wibisono dan Jeo (2013), ada halhal yang perlu diperhatikan:
1. Pre operatif Observasi ketat,tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.
Universitas Sumatera Utara
14
2. Operatif
Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis tengah.
Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi lebih kecil.
3. Pasca operatif Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermi atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.
2.4.7
Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks , sekum, dan lekuk usus halus.
Massa apendikular
Massa Apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
Universitas Sumatera Utara
15
apendektomi dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja. Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minngu kemudian. Jika pada saat dilakukan drainase bedah, apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
Apendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidensi perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi distensi(tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimun di regio iliaka kanan, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga
Universitas Sumatera Utara
16
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya abses. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaecrob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan pencucian ronga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
2.4.8
Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi (Wibisono dan Jeo, 2013).
Universitas Sumatera Utara