DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
HALAMAN DAFTAR ISI
iii
RINGKASAN
1
BAB. 1
PENDAHULUAN
2
1.1.Latar Belakang
2
1.2.Permasalahan
3
1.3.Tujuan Khusus
3
1.4.Urgensi Penelitian
4
1.5.Hasil Yang di Targetkan
4
1.6.Kontribusi Mendasar Pada Bidang Ilmu
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.UPK dan BKAD dalam konteks P2SLBK
5
2.2.Pemberdayaan
6
2.3.Teori Perubahan Kelembagaan
7
2.4.Penelitian Pendahuluan
9
METODE PENELITIAN
11
3.1.Pendekatan Penelitian
11
3.2.Teknik Pengumpulan Data
11
3.3.Lokasi Penelitian
12
3.4.Fishbone Diagram
12
3.5.Tahapan Analisis
13
3.6.Kerangka Pikir Penelitian
14
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
15
4.1.Anggaran Biaya Penelitian
15
4.2.Jadwal Penelitian
15
BAB. 2
BAB. 3
BAB. 4
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
16
RINGKASAN Kelembagaan tidak bersifat statis, namun selalu beradaptasi terhadap perubahan sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu: Pertama, perubahan kepentingan antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam konteks ini perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan yang sengaja didesain untuk mempengaruhi atau mengatur kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur yang idealnya muncul dari masyarakat, oleh masyarakat dan hasilnya ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Indikator terpenting keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah perubahan struktur secara alamiah. Perubahan struktur ini bisa terjadi jika kemampuan pihak yang diberdayakan meningkat, kesejahteraan mengalami perbaikan secara memadai dan lestari, yang ditandai dengan meningkatnya akumulasi modal di tingkat lokal. Karena itu dalam setiap program pemberdayaan, lembaga (organisasi pelaksana) di tingkat lokal menjadi kunci dalam menentukan terjadinya kreativitas dan inovasi lokal untuk menggerakkan ekonomi lokal. Inti aliran ekonomi kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan satu kesatuan ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan hokum yang dirangkum dalam analisis ekonomi. Sterilisasi atas fenomena ekonomi dari konteks sosialnya inilah yang telah menjadi salah satu sumber penyebab utama krisis ekonomi di Indonesia. Dalam konteks ini, implementasi program pemberdayaan juga harus memberikan penekanan terhadap aspek kelembagaan dengan fokus pada proses pemberdayaan yang akan menentukan keberhasilan dalam kegiatan pemberdayaan. Kelembagaan yang dimaksudkan di sini adalah aturan main (rule of the game) yang berlaku dan diimplementasikan oleh organisasi pelaksana pemberdayaan, dalam hal ini UPK (Unit Pelaksana Kegiatan), ketika melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat baik berupa aturan formal maupun nonformal. Telah banyak skema pemberdayaan yang dilakukan pemerintah yang inti dasarnya adalah menuju kesejahteraan masyarakat, namun keberhasilannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Dengan penelitian ini diharapkan akan ditemukan perubahan kelembagaan yang terjadi dan faktor yang menjadi penyebab perubahan kelembagaan dari UPK pada saat masa pendampingan ke masa pemandirian, yang nantinya bisa dipakai sebagai rekomendasi desain kelembagaan bagi keberlangsungan program pemberdayaan masyarakat, sehingga upaya pemandirian masyarakat dapat lebih berhasil tidak hanya secara kuantitatif namun juga secara kualitatif yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hingga saat ini kemiskinan masih merupakan salah satu masalah prioritas untuk diselesaikan pemerintah melalui berbagai program pembangunan. Oleh karenanya pemerintah mengerahkan berbagai sumber daya yang dimiliki dalam upaya mengatasi kemiskinan melalui berbagai program pemberdayaan yang telah dilakukan. Dalam konteks ini, konsep pemberdayaan masyarakat atau pengembangan masyarakat lokal muncul sebagai reaksi terhadap pembangunan nasional yang memiliki bias-bias kekuasaan, yang menempatkan penguasa dengan kepentingannya pada posisi dominan. Implementasi program pemberdayaan di Indonesia adalah menggunakan pendekatan yang seragam dengan menanamkan sebuah cetak biru kelembagaan, sebuah proses yang disebut institutional monocropping, untuk berbagai kondisi lokal yang berbeda. Semua program pemberdayaan selalu dilengkapi dengan institusi baru yang dipersiapkan untuk melaksanakan program (Soetomo, 2011). Tanpa menafikan sisi-sisi keberhasilan program pemberdayaan, namun fakta di lapangan menunjukkan kecenderungan bahwa program pemberdayaan semakin tidak jelas arah tujuannya dan berubah menjadi barang rebutan atau arena perburuan rente pihak-pihak tertentu. Meskipun terhadap program pemberdayaan kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan, tetapi baru sebatas untuk penyusunan program berikutnya. Sementara analisis terhadap sistemnya belum dilakukan. Inilah yang mengakibatkan informasi tentang sehat dan tidak sehat, gagal dan berhasilnya program pemberdayaan menjadi tidak akurat. Seperti
program-program
pemberdayaan
yang
dilaksanakan
oleh
pemerintah, Program Pengembangan Sumberdaya Lokal Berbasis Kawasan (P2SLBK) dilakukan oleh organisasi pelaksana pemberdayaan yang disebut Unit Pelaksana Kegiatan (UPK). Dalam operasionalnya, UPK dipandu oleh Kebijakan Umum Pemerintah dalam Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO). P2SLBK memberikan bantuan dana langsung kepada masyarakat (BLM) untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang direncanakan, diputuskan, dilaksanakan dan dilestarikan sendiri oleh masyarakat. Dalam menjalankan kegiatan selama
masa pendampingan program, UPK mendapatkan bantuan teknis dari fasilitator berupa pendampingan. Meskipun pihak pemkrarsa program menyatakan keberhasilan terhadap program, tetapi ada beberapa permasalahan serius yang merupakan indikasi kecenderungan ke arah kegagalan, antara lain: (1) adanya kekhawatiran atau kemungkinan tentang akan terhentinya perkembangan investasi yang telah ditanamkan. Kekhawatiran ini muncul karena kesadaran atas dua hal, yaitu: Pertama, seluruh proses dan kelembagaan yang diperkenalkan P2SLBK bersifat transplantatif dan cenderung ad hoc. Kedua, proses-proses dan kelembagaan yang transplantatif dan ad hoc tersebut dikawal oleh fasilitator (pendamping), bukubuku manual serta dibiayai oleh proyek; (2) dikhawatirkan, proses pembangunan partisipatif dan kelembagaannya yang telah berjalan selama ini tidak mampu bertahan lama jika seluruh instrumen pengawal dan pembiayaannya dihentikan karena
P2SLBK-sebagai
proyek
berakhir
maka
keberlanjutan
program
pemberdayaan dari P2SLBK belum dipertanyakan, dan (3) keberlanjutan program pemberdayaan tersebut sangat tergantung pada kinerja UPK sebagai organisasi ad hoc yang melaksanakan kegiatan pemberdayaan. Dikhawatirkan, kinerja UPK yang telah berjalan sesuai mekanisme dan prosedur selama pendampingan tidak mampu bertahan lama atau mengalami perubahan tata kelola setelah pendampingan tata kelola UPK sebagai-proyek berakhir belum bisa diketahui.
1.2. Permasalahan Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kelembagaan UPK dalam masa pendampingan? 2. Apakah terjadi perubahan kelembagaan pada masa pemandirian dan faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut? 3. Bagaimana desain kelembagaan organisasi UPK yang sesuai bagi program pemberdayaan?
1.3. Tujuan Khusus Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan kelembagaan UPK pada saat pendampingan program pemberdayaan. 2. Menganalisis proses perubahan kelembagaan dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kelembagaan organisasi UPK setelah memasuki masa pemandirian 3. Mendesain kelembagaan organisasi UPK yang sesuai bagi program pemberdayaan. 1.4. Urgensi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengertian yang mendalam mengenai perubahan kelembagaan beserta faktor-faktor yang menyebabkannya. Sehingga hasilnya dapat bermanfaat dalam: 1. Menjelaskan fenomena perubahan kelembagaan sebagai akibat dari kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2. Menyumbang khasanah pengetahuan mengenai perubahan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. 3. Memberi kontribusi dalam bentuk rekomendasi kebijakan untuk keberlangsungan program-program pemberdayaan masyarakat. 1.5. Hasil Yang Ditargetkan Tersusunnya rekomendasi desain kelembagaan bagi keberlangsungan program program pemberdayaan masyarakat.
1.6. Kontribusi Mendasar Pada Bidang Ilmu Menyumbang khasanah pengetahuan dalam ilmu ekonomi khususnya ekonomi kelembagaan mengenai perubahan kelembagaan pada pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. UPK dan BKAD dalam Konteks Program Pengembangan Sumberdaya Lokal berbasis Kawasan (P2SLBK) Salah satu program sebagai upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang dikembangkan
oleh
Pemerintah
Propinsi Jawa Timur
adalah Program Pengembangan Sumberdaya Lokal Berbasis Kawasan (P2SLBK). Program Pengembangan Sumberdaya Lokal Berbasis Kawasan yang dilaksanakan diharapkan memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas SDM, peningkatan Usaha Ekonomi Produktif dalam bentuk simpan pinjam, serta pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) untuk mendukung pengembangan usaha ekonomi spesifik kawasan. Untuk mewujudkan manfaat tersebut dibentuk lembaga baru yaitu Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di masing-masing desa dan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) sebagai koordinator kegiatan antar desa dan sebagai perwujudan aspek kawasan diantara desa-desa yang menjadi lokasi program. Dengan demikian, peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan penguatan lembaga ekonomi masyarakat diharapkan terjadi dalam wadah Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Untuk mewujudkan hal tersebut, UPK dan BKAD melalui proses pendampingan selama 2 (dua) tahun untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana aturan main yang terdapat dalam manual program, baik Pedoman Umum maupun Petunjuk Teknis Operasional. Terlepas dari aspek kuantitatif yang dicapai oleh Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) dalam melaksanakan kegiatan selama masa pendampingan, menarik untuk dikaji aspek kualitatif dan kuantitatif yang terjadi setelah lembaga tersebut memasuki masa pemandirian ketika semua kawalan, baik pendampingan maupun dana sudah berakhir. Masihkah aturan main yang coba diperkenalkan pada masa pendampingan tetap dilaksanakan dan dilanjutkan pada masa pemandirian ataukah terjadi penyesuaian dengan nilai-nilai lokal dan kepentingan pemangku kepentingan yang menyebabkan transformasi kelembagaan?
2.2. Pemberdayaan Pelaksanaan pemberdayaan pada masyarakat lokal termanifestasikan dalam bentuk berbagai tindakan kolektif dalam rangka melakukan perubahan kondisi kehidupannya. Tindakan kolektif tersebut merupakan cerminan kapasitas masyarakat dalam melakukan pengelolaan pembangunan secara mandiri, sejak identifikasi kebutuhan dan masalah, perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi pembangunan. Oleh sebab itu, pada tingkat masyarakat lokal instrumen terpenting dalam proses pemberdayaan adalah kehadiran institusi pemberdaya. Senada dengan yang dikemukakan Ismail (2003) dan Yustika (2009) tentang institusi lokal, Soetomo (2011) juga menyatakan bahwa media yang paling tepat untuk memfasilitasi masyarakat khususnya masyarakat lokal dalam melakukan pengelolaan pembangunan secara mandiri adalah institusi lokal yang asli. Artinya, institusi lokal yang tumbuh dan berkembang melalui dinamika internal yang bersifat alamiah dalam masyarakat yang bersangkutan. Persyaratan agar program pemberdayaan berbasis komunitas benar-benar digerakkan oleh komunitas sebagaimana dikemukakan oleh Uphoff, Esman dan Krishna (1998), adalah bahwa jika kegiatan tersebut dilakukan oleh pemerintah atau pihak eksternal saja maka hasilnya tidak akan menggembirakan dibandingkan jika terdapat spontanitas dari komunitas lokal untuk terlibat dalam kegiatan tersebut atau jika komunitas lokal bersedia memikul tanggung jawab kegiatan tersebut. Sayangnya, dalam setiap program pemberdayaan yang terjadi di Indonesia hampir pasti diawali dengan kuantifikasi ekonomi oleh kepentingan berbagai pihak. Akibatnya, program pemberdayaan menjadi tidak efektif dan terintegrasi. Keberhasilan pun dijabarkan dalam kuantifikasi yang kaku, diprediksi dalam jangka pendek (1-2 tahun) dan keberhasilannya dihitung ketika program sedang berjalan. Padahal secara historis, program rekayasa (proyek), hanya eksis dan memberi harapan ketika masih diujicobakan dan ketika masih dikelola pemerintah, tetapi menyepi, tidak banyak berfungsi dan ambruk ketika dimassalkan, ketika diserahkan kepada pemerintah daerah, ketika pengelolaan
diotonomikan, ketika kucuran dana terhenti, dan ketika peta politik bergeser dan estafet kepemimpinan berganti. Hal ini didasari fakta bahwa kehadiran lembaga baru ke dalam sistem dan struktur sosial pedesaan tidak selalu berdampak positif, bahkan konflik. Artinya, kehadiran lembaga baru otomatis akan meramaikan dan meningkatkan tensi persaingan antar institusi yang selama ini telah ada. Bahkan, sedikit banyak akan mengguncang tatanan sosial yang sudah lama terbangun Soetomo (2011).
2.2 Teori Perubahan Kelembagaan Ostrom (1985) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan ramburambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju pada meningkatnya perbedaan prinsipprinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan (Manig, 1991). Lebih lanjut menurut Manig (1991) tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses terus menerus
yang
bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Salah satu dari empat tingkatan perubahan kelembagaan menurut Wiliamson (2000), berdasarkan atas cepat atau lambatnya perubahan tersebut, yaitu level tata kelola (governance). Perubahan kelembagaan yang terjadi pada level governance (tata kelola), yaitu, serangkaian peraturan (rule of the game) dalam sebuah komunitas yang membentuk struktur tata kelola (governance structure), lengkap dengan tata cara penegakan, pemberian sanksi, dan perubahan dari rule of the game tersebut. Wiliamson (2000), menganggap hal ini merupakan isu sentral ekonomi kelembagaan yang ia asumsikan bahwa penegakan
governance tidak bebas biaya (costless). Demikian juga, lahirnya sebuah struktur tata kelola yang baik yang menjamin kepastian interaksi dan transaksi antar aktor/pihak-pihak terkait (yaitu adanya resolusi konflik, kepastian sistem kontrak, dan lain-lain) membutuhkan biaya. Governance akan selalu berubah menuju governance yang lebih efisien, yaitu governance yang dapat meminimumkan biaya transaksi. Perubahan kelembagaan pada level governance berlangsung relatif cepat, yaitu antara 1 sampai 10 tahun. Sementara untuk mengoperasionalkan perubahan kelembagaan Ostrom (1990) mengemukakan kerangka analisis perubahan kelembagaan dibagi dalam tiga level, yaitu: (1) Operasional rule yang berada pada operasional choice level. Aturan main yang berlaku dalam keseharian. Aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi, Operasional rule merupakan instrumen pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumber daya alam. Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan, semuanya diatur dalam operasional rule. Operasional rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumber daya, budaya, keadaan ekonomi dan lain-lain; (2) Collective choice rule yang berada pada level collective choice. Menyangkut aturan mengenai bagaimana operasional rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada opersional rule; (3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional choice. Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama.
2.3. Penelitian Pendahuluan Tanpa menafikan sisi-sisi keberhasilan program pemberdayaan, namun fakta di lapangan menunjukkan kecenderungan, semakin lama program pemberdayaan semakin tidak jelas arah tujuannya dan berubah menjadi barang rebutan atau arena perburuan rente pihak-pihak tertentu. Meskipun selama ini terhadap program pemberdayaan yang digulirkan pemerintah maupun lainnya, tindak lanjut terhadap hasil monev memang dilakukan, tetapi baru sebatas untuk penyusunan program berikutnya. Sementara analisis terhadap sistemnya belum dilakukan. Inilah yang mengakibatkan informasi tentang sehat dan tidak sehat, serta gagal dan berhasilnya program pemberdayaan menjadi tidak akurat. Hal ini dikemukakan Prasetyantoko et al (2012) yang mengemukakan bahwa konteks desentralisasi dalam rangka penanggulangan kemiskinan juga belum sepenuhnya sesuai dengan harapan. Penelitian yang dilakukan di enam daerah (Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Jembrana, dan Kota Makassar) terkait penanggulangan kemiskinan memberi catatan bahwa penanggulangan kemiskinan di enam daerah yang diteliti lebih banyak digerakkan oleh negara dengan alokasi-distribusi dana. Pemerintah daerah memanfaatkan dana tersebut untuk melayani warga, membantu keuangan kelompok miskin, serta memobilisasi masyarakat dengan jargon pemberdayaan. Pemerintah daerah selama ini tampaknya mengabaikan kekuatan emansipasi lokal berbasis masyarakat desa yang banyak digerakkan oleh inisiatif, kepemimpinan, dan gerakan lokal, serta mampu menyemai potensi lokal menjadi sumber kemakmuran kolektif. Sutoro Eko dan Borni Kurniawan dalam Prasetyantoko et al (2012) berdasarkan studinya di lima kabupaten/kota (Serdang Bedagai, Gunungkidul, Lombok Barat, Gowa, dan Ambon), menunjukkan bahwa kehadiran Bantuan Langsung Tunai bagi Masyarakat (BLM) telah berhasil menjadi stimulan yang menggerakkan swadaya masyarakat, belajar mengelola dana secara transparan dan bertanggung jawab. BLM telah membuahkan berbagai output yang signifikan berupa infrastruktur pedesaan hingga pundi-pundi dana dalam UPK. Namun kenyataan yang terjadi BLM selalu berhadapan pula dengan elite lokal bukan
dalam pengertian korupsi, melainkan manipulasi dalam soal pembentukan kelompok dan distribusi dana. BLM tidak memanfaatkan institusi lokal yang ada, tetapi membentuk kelompok-kelompok baru. Kelompok ad hoc ini perlu dibentuk sebagai penyalur dana sekaligus pembelajaran untuk mencapai tujuan bersama. Namun
pembentukannya
masuk
dalam
kategori
pendekatan
intervensi.
Kelompok-kelompok ad hoc tersebut adalah institusi yang prematur.
Model
pendekatan kelompok-kelompok instan yang bertugas menyalurkan dana bantuan tampaknya dibentuk bukan berdasarkan emansipasi lokal, tetapi semata-mata lebih karena kepentingan untuk memperoleh dana BLM. Kelompok-kelompok tersebut akan tetap lestari sepanjang program dan uang masih ada. Bila program sudah selesai dan uang tidak ada, kelompok-kelompok itu akan mati dengan sendirinya seperti kelompok-kelompok yang pernah dibentuk pada masa lalu. Program yang telah selesai selalu menitipkan kelompok itu kepada dan menjadi beban desa. Kepala desa biasanya bertindak sebagai orang tua asuh kelompokkelompok ad hoc bentukan pemerintah. Bila mampu, kelompok itu akan dipelihara. Bila tidak mampu, kelompok itu akan dibiarkan mati. Penelitian yang memfokuskan pada organisasi pelaksana pemberdayaan dikemukan oleh Aryo (2012). Salah satu dari empat pertanyaan dalam penelitian tersebut adalah transformasi seperti apakah yang akan dialami lembaga BMT Kube Sejahtera di tingkat akar rumput? Hasil penelitian tersebut menunjukkan, sejak pendirian lembaga BMT Kube Sejahtera pada tahun 2004, beberapa transformasi terjadi dalam praktik organisasi. Transformasi tersebut mengarah pada tiga jenis lembaga yang diarahkan oleh motif manajernya. Pertama, BMT yang digerakkan oleh motif sosial, yang mana dekat dengan pendekatan kesejahteraan, menjumpai masalah dalam hal keberlanjutan institusional. Lembaga tersebut susah payah mencapai tingkat laba minimum untuk menjadi swasembada dan menyediakan yang berkelanjutan bagi anggotanya. Kedua, BMT yang digerakkan dengan motif seimbang merupakan model BMT ideal yang mengimplementasikan agenda penanganan kemiskinan di satu sisi dan mencapai swasembada di sisi lain. Ketiga, BMT dengan motif ekonomi atau keuntungan
sangat baik dalam mencapai keberlanjutan finansial, tetapi nyaris meninggalkan tujuan utamanya: penanganan kemiskinan. Jelas terlihat bahwa tujuan para pembuat kebijakan dalam menjalankan program BMT Kube Sejahtera sebagai lembaga penanggulangan kemiskinan sulit untuk diimplementasikan di tingkat akar rumput karena penggerak utama dalam transformasi BMT Kube Sejahtera adalah motif manajer, bukan “cetak biru” (pedoman) lembaga BMT Kube Sejahtera dari Depsos dan PINBUK. Ada satu BMT yang mengikuti “cetak biru” dari Depsos dan PINBUK dengan mempertahankan kreditnya untuk membantu dan meringankan orang-orang yang membutuhkan. BMT Kube Sejahtera lainnya bergerak ke pasar (tempat bagi keberlanjutan finansial) dengan melaksanakan motif yang seimbang atau motif ekonomi saja.
BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan dalam permasalahan penelitian maka akan digunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Berdasarkan hal tersebut maka kasus yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perubahan kelembagaan pada UPK sebagai organisasi pelaksana pemberdayaan. Nazir (1988) menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, program maupun masyarakat. Dalam studi kasus, metode yang digunakan bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukkan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data (Blaxter et al. 2006)
3.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber yaitu: (1) dokumen; (2) rekaman arsip; (3) wawancara; (4) observasi langsung; (5) observasi terhadap pemeran (aktor), dan (6) perangkat fisik.
Sumber bukti-sumber bukti tersebut diperlakukan ke dalam dua kategori data yaitu; data utama dan data penunjang. Data utama diperoleh dari pencatatan langsung di lapangan, wawancara pada beberapa aktor dan pengamatan kejadiankejadian khusus yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data penunjang diperoleh dari dokumen atau arsip tertulis, laporan hasil penelitian serta publikasi lainnya.
3.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lokasi program P2SLBK di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang di mana program P2SLBK di 3 (tiga) desa di Kecamatan Wajak telah memasuki fase pemandirian.
3.4. Fishbone Diagram
Sumber Dana
Pemegang Kepentingan Pasar
TRANSFORMASI KELEMBAGAAN ORGANISASI PELAKSANA PEMBERDAYAAN
Kelembagaan Eksternal Pembuatan Aturan
Fishbone Diagram Pemberdayaan
Eksogen
Transformasi
Kelembagaan
Organisasi
Pelaksana
3.5. Tahapan Analisis Pelaksanaan penelitian ini meliputi tahapan analisis sebagai berikut: No
Tahapan Analisis
1
Analisis Kelembagaan sebagai Aturan Main UPK
2
3
4
Proses
Mengidentifikasi aturan formal yang dibuat oleh pemerintah maupun aturan formal yang disepakati oleh forum musyawarah desa, dengan cara melakukan wawancara dengan pengelola UPK, dan mempelajari aturan yang ada Analisis Tata Mengidentifikasi atribut Kelola UPK yang mempengaruhi perubahan tata kelola UPK yakni: sumberdana, pemegang kepentingan, tatanan dan pengambilan keputusan, kelembagaan dan organisasi eksternal, serta eksogen
Analisis Perubahan Kelembagaan UPK
Capaian -Teridentifikasi aturan main tentang : pemberdayaan yang dilakukan UPK; kegiatan peningkatan SDM (baik pengurus maupun penerima manfaat); pengembangan Usaha Ekonomi Produktif; pengelolaan administrasi keuangan; serta pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas terhadap pelaksanaan kegiatan UPK Teridentifikasi: pengaruh atribut sumber dana terhadap kegiatan pemberdayaan; variabel sosial ekonomi yang melekat pada pemegang kepentingan; tatanan kelembagaan dan aturan yang dibuat/dirumuskan; organisasi eksternal yang berpengaruh terhadap kehidupan organisasi UPK; berbagai faktor eksogen yang berpengaruh terhadap kegiatan yang dilakukan UPK Teridentifikasi: latar belakang perubahan kelembagaan; faktorfaktor serta aktor yang terlibat dalam perubahan kelembagaan; pandangan aktor yang terlibat dan bagaimana hubungan mereka satu sama lain; serta faktor dan kecenderungan yang mendasari
Melakukan analisis dengan melakukan penahapan perubahan, Menyusun urutan kejadian yakni menyusun daftar waktu dan menggambarkan kejadian secara kronologis, melakukan pemetaan perubahan serta melakukan analisis terhadap aktor perubahan kelembagaan Penyusunan cetak biru / desain kelembagaan untuk keberlangsungan programprogram pemberdayaan masyarakat.
3.6. Kerangka Pikir Penelitian
Mengembangkan Potensi Peelaporan
Pengawasan
Umum
Administrasi
Administrasi Keuangan
Pengembangan Sumber Daya Alam
Pengembangan Ekonomi
Pengembangan SDM
Pengambilan Keputusan
Pemegang Kepentingan
Pembuatan Aturan
Kelembagaan Eksternal
Meningkatkan Partisipasi
Kesejahteraan Masyarakat
Eksogen
Perubahan Kelembagaan
Meningkatkan Kapasitas
Peelaporan
Pengawasan
Umum
Administrasi
Administrasi Keuangan
Pengembangan Sumber Daya Alam
Pasar
Pengembangan Ekonomi
Pengembangan SDM
MASA PENDAMPINGAN
Pengambilan Keputusan
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Sumber Dana
MASA PEMANDIRIAN
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1. Anggaran Biaya Ringkasan Anggaran Biaya Penelitian Fundamental
No 1. 2. 3. 4.
Jenis Pengeluaran Gaji dan Upah Bahan Habis Pakai dan peralatan Perjalanan Lain-lain: TOTAL ANGGARAN
Biaya Yang Di Usulkan Rp 15.120.000,Rp 20.185.000,Rp 13.700.000,Rp 5.580.000,Rp 54.585.000,-
Terbilang: Lima Puluh Empat Juta Lima Ratus Delapan Puluh Lima Ribu Rupiah
4.2. Jadwal Penelitian Kegiatan Penyusunan Draff Proposal Penyusunan Proposal dan Supervisi proposal Pengurusan Surat Penelitian Pengambilan Data Penelitian Analisis Data Penelitian Supervisi Hasil Penelitian Diskusi Hasil Penelitian Penyusunan Laporan Penelitian Pengirimaan Laporan Penelitian ke Dikti dan Pengiriman Naskah ke Jurnal Ilmiah
1
2
3
4
5
Bulan 6 7 8
9
10
11
12
DAFTAR PUSTAKA Acharya, Amitav 2004. How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism. International Organization. Vol. 58, No. 2, pp. 239-275. Aryo, Bagus. 2012. Tenggelam dalam Neoliberalisme? Penetrasi Ideologi Pasar Dalam Penanganan Kemiskinan. Penerbit Kepik. Depok. Azis, Iwan Jaya Azis dan Wihardja, Maria Monica. 2010. Theory of Endogenous Institutions and Evidence from an In-depth Field Study in Indonesia. Economics and Finance in Indonesia Vol. 58 (3). Page 309 – 334 2010 LPEM. Chavance, Bernard. 2008. Formal and Informal Institutional Change: The Experience of Postsocialist Transformation. The European Journal of Comparative Economics Vol. 5. No. 1, pp. 57-71. Evans, Peter. 2004. Development as Institutional Change: The Pitfalls of Monocropping and the Potential of Deliberation. Studies in Comparative Development. Winter 2004. Vol. 38, No. 4, pp. 30-52 Laverack, G. 2001. An Identification and Interpretation of The Organizational Aspects of Community Empowerment. Community Development Journal. 36 (2): 40-52. Manig, Winfried. 1991. Rural Social and Economic Structure and Social Development. Dalam Winfried Manig. (ed). Stability and Change in Rural Institutions in North Pakistan. Socio-Economic Studies on Rural Development. Vol. 85. Mansuri, Ghazala and Vijayendra Rao. 2003. Community Based (and Driven) Development: A Critical Review. Development Research Group The World Bank, November. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Ostrom, Elinor. 1998. Institutional Rational Choice: An Assessment of the Institutional Analysis and Development Framework. Dalam Paul Sabatier (ed). 2007. Theories of the Policy Process. Boulder, CO: Westview Press. Prasetyantoko, A. et al. 2012. Pembangunan Iklusif: Prospek dan Tantangan Indonesia. LP3ES. Jakarta.
Soetomo.2011. Pemberdayaan Masyarakat: Mungkinkah Muncul Antitesisnya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Yin, Robert, K. 2012. Studi Kasus Desain dan Metode. Penerjemah: M. Djauzi Mudzakir. Rajawali Pres. Jakarta. Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing. Malang Yustika, Ahmad Erani dan Iwan Triyuwono (editor).2003. Emansipasi Nilai Lokal Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi Pembangunan. Bayumedia Publishing. Malang.
Lampiran 1. Justifikasi Anggaran Penelitian 1. Honor Honor
Honor/Jam (Rp)
Ketua
50.000,-
Anggota 1
40.000,-
Waktu (jam/minggu) 6 (2 jam x 3hr) 6 (2 jam x 3hr)
Minggu 28 (7bl x 4mg) 28 (7bl x 4 mg) SUB TOTAL
Honor per Tahun (Rp) 8.400.000,6.720.000,15.120.000,-
2. Peralatan Penunjang Material Tape Recorder Camera Digital Cassete Recorder Baterai Alkalin Modem
Justifikasi Pemakaian Pengumpulan Data Dokumentasi Dokumentasi Pengumpulan Data Penelusuran Jurnal SUB TOTAL
Kuantitas
Harga Satuan (Rp)
Harga Peralatan Penunjang (Rp)
2
500.000,-
1.000.000,-
1 30
4.000.000,25.000,-
4.000.000,750.000,-
60
25.000,-
1.500.000,-
2
180.000,-
360.000,7.610.000,-
3. Bahan Habis Pakai Material
Kertas HVS A4
Kertas Glossy
Kertas Folio Bergaris Map Plastik Ballpoint Cartridge Printer Hitam Cartridge Printer Warna Tinta Refill Hitam
Justifikasi Pemakaian Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian Pencatatan di Lapangan Arsip Pencatatan di Lapangan Pendukung Cetak Proposal dan Laporan Pendukung Cetak Foto Mengisi
Kuantitas
Harga Satuan (Rp)
Harga Peralatan Penunjang (Rp)
15 Rim
36.000,-
540.000,-
10 Rim
25.000,-
250.000,-
5 Rim
40.000,-
200.000,-
3 Lusin
30.000,-
90.000,-
2 pak
20.000,-
40.000,-
5 buah
250.000,-
1.250.000,-
3 buah
285.000,-
855.000,-
5 buah
35.000,-
175.000,-
Tinta Refill Warna Binder Flashdisk 4 Gb Cetak Foto Pulsa Pulsa
Cartridge Mengisi Cartridge Arsip Menyimpan data Dokumen Mengisi modem Komunikasi
5 buah
55.000,-
275.000,-
2 lusin
360.000,-
720.000,-
4 buah
70.000,-
280.000,-
200buah
3.500,-
700.000,-
2 x 12 bln
200.000,-
4.800.000,-
24 100.000,(2orgx12bl SUB TOTAL
2.400.000,12.575.000,-
4. Perjalanan Kuantitas
Harga Satuan (Rp)
Biaya per Tahun (Rp)
Pengurusan ijin penelitian
2
150.000
200.000,-
Transport Lokal tim peneliti (2 orang)
Koordinasi Awal
2
100.000
200.000,-
Transport lokal tim peneliti (2 orang x 3 hari)
Penyusunan instrument penelitian
6
100.000
600.000,-
Transport lokal tim peneliti (2 orang x 3 hari)
Penelusuran Data Sekunder
6
100.000
600.000,-
Pengumpulan Data
6
300.000,-
1.800.000,-
Pengumpulan Data
6
150.000,-
900.000,-
Pengumpulan Data
36
150.000,-
5.400.000,-
20
100.000
2.000.000,-
20
100.000
2.000.000,-
Justifikasi Perjalanan
Perjalanan ke Kesbanglinmas Kab Malang (2 orang)
Material
Perjalanan Malang – Surabaya (Kantor Bapemas Propinsi Jawa Timur) (2 orang x 3 hari) Perjalanan Malang – Kepanjen (Kantor PMD Kabupaten Malang) (2 orang x 3 hari) Perjalanan Malang – Kecamatan Wajak (2 orang x 3 hari x 6 minggu) Transport lokal tim peneliti ( 2 orang x 10 hari) Transport lokal tim peneliti (2 orang x 10 hari)
Pengolahan dan analisis Data Penyusunan laporan
SUB TOTAL
13.700.000-
5. Lain-lain Kegiatan
Kuantitas
Harga Satuan (Rp)
Biaya per Tahun (Rp)
2
20.000
40.000,-
2
20.000
40.000,-
6
20.000
120.000,-
6
20.000
120.000,-
Pengumpulan Data
6
20.000
120.000,-
Pengumpulan Data
6
20.000
120.000,-
Pengumpulan Data
36
20.000
720.000,-
20
20.000
400.000,-
20
20.000
400.000,-
1
2.000.000
2.000.000,-
10
50.000
500.000,-
1
500.000
500.000,-
1
500.000
500.000,-
Justifikasi
a. Konsumsi Konsumsi ( 2 orang) Konsumsi tim peneliti (2 orang) Konsumsi tim peneliti (2 orang x 3 hari) Konsumsi tim peneliti (2 orang x 3 hari) Konsumsi tim peneliti Perjalanan Malang – Surabaya(Kantor Bapemas Propinsi Jawa Timur) (2 orang x 3 hari) Konsumsi tim peneliti Perjalanan Malang – Kepanjen (Kantor PMD Kabupaten Malang) (2 orang x 3 hari) Konsumsi tim peneliti Perjalanan Malang – Kecamatan Wajak (2 orang x 3 hari x 6 minggu) Konsumsi tim peneliti ( 2 orang x 10 hari) Konsumsi tim peneliti (2 orang x 10 hari)
Pengurusan ijin penelitian Koordinasi Awal Penyusunan instrument penelitian Penelusuran Data Sekunder
Pengolahan dan analisis Data Penyusunan laporan Jurnal Ilmu b. Biaya pengiriman naskah ke Sosial Univ jurnal terakreditasi Negeri Malang Buku Referensi c. Pengadaan buku Referensi pendukung penelitian d. Biaya pemeliharaan Service computer computer e. Biaya pemeliharaan kamera
Service kamera
SUB TOTAL TOTAL ANGGARAN YANG DIBUTUHKAN
Terbilang: Lima Puluh Empat Juta Lima Ratus Delapan Puluh Lima Ribu Rupiah
5.580.000,54.585.000,-
Lampiran 2. Dukungan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam penelitian ini telah disediakan oleh lembaga antara lain: 1. Ruang diskusi menempati ruangan dosen atau di ruang rapat LPPM yang sangat representative untuk melakukan diskusi , dimana ruangan dilengkapi dengan AC dan LCD. 2. Komputer/Labtop, tersedia computer dan Labtop dengan spec yang memadai yakni Pentium 4. 3. Printer. 4. Kendaraan yang siap untuk disewa jika diperlukan. 5. Komitmen Lembaga untuk mendukung proses administrasi
Lampiran 3. Susunan Organisasi dan Pembagian Tugas Tim Peneliti Posisi dalam tim Ketua Peneliti
Tugas 1. Menyusun proposal penelitian 2. Merancang instrumen penelitian 3. Melakukan provinsi
koordinasi jawa
dengan
timur,
tim
tim
bapemas
pemberdayaam
masyarakat desa kabupaten malang, tim kecamatan wajak, serta masyarakat informan 4. Pengumpulan data sekunder dan data primer 5. Melakukan analisis data penelitian 6. Menyusun laporan penelitian Anggota Peneliti
1. Membantu mengurus perijinan penelitian 2. Membantu menyusun proposal penelitian 3. Membantu merancang instrument penelitian 4. Membantu mengumpulkan data sekunder dan data primer 5. Membantu menganalisis data penelitian 6. Membantu menyusun laporan penelitian 7. Membantu Administrasi