BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori variabel yang akan diteliti beserta dimensi, jenis dan faktor yang mempengaruhinya, landasan teori mengenai remaja, profil Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang, kerangka berpikir dan asumsi penelitian.
2.1
Agresi Agresi adalah perilaku sosial yang bertujuan untuk membahayakan orang lain,
baik fisik ataupun verbal (King, 2011). Definisi tersebut sejalan dengan definisi yang dituliskan Akert, dkk (2014), yaitu perilaku yang disengaja, yang bertujuan untuk membahayakan secara fisik atau menyakiti secara psikologis pada orang lain. Akert, dkk (2014) menekankan pada tujuan dari perilaku untuk membahayakan orang lain, walaupun suatu perilaku akhirnya tidak menyakiti orang lain, tapi jika sudah ada tujuan untuk menyakiti, perilaku tersebut dapat disebut agresif. Perilaku tersebut mencakup perilaku fisik maupun verbal. Buss (1961, dalam Geen & Donnerstein, 1998) mendefinisikan agresi dengan respon yang menghadirkan stimulus yang membahayakan organisme lain. Sehingga dapat disimpulkan definisi agresi adalah perilaku sosial yang disengaja dan bertujuan untuk membahayakan orang lain, baik secara fisik maupun verbal.
2.1.1 Jenis agresi Berikut 4 macam agresi menurut Buss dan Perry (1992): a) Physical Aggression (PA) Physical Aggression adalah kecenderungan untuk menyerang atau membahayakan orang lain secara fisik, untuk mengekspresikan kemarahan. Bentuk serangan fisik atau perilaku yang membahayakan tersebut seperti memukul, menendang , mendorong, mencubit, dan sebagainya. Perilaku yang termasuk physical aggression merupakan perilaku yang dapat diobservasi (overt).
7
8
b) Verbal Aggression (VA) Verbal Aggression merupakan kecenderungan individu untuk menyerang atau memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan kepada orang lain secara verbal, melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti ancaman, cacian, penolakan dan sebagainya. Perilaku atau bentuk serangan verbal dapat diobservasi (overt). c) Anger Anger mencakup beberapa bentuk yaitu perasaan marah, kesal, sebal dan bagaimana mengendalikan perasaan tersebut yang disebabkan karena dorongan psikologi dan memicu agresi. Anger juga mencakup irritability yang merupakan tempramental dengan kecenderung untuk cepat marah dan sulit mengendalikan amarah. d) Hostility Hostility terdiri dari 2 bagian, yaitu resentment dan suspicion. Resentment merupakan perasaan iri dan cemburu kepada orang lain. Suspicion merupakan ketidakpercayaan, kehawatiran dan proyeksi dari rasa permusuhan terhadap orang lain. Hostility merupakan bentuk agresi yang tidak dapat diobservasi (covert).
2.1.2 Faktor yang mempengaruhi agresi Faktor-faktor yang mempengaruhi agresi, secara garis besar, dapat dilihat dengan 3 sudut pandang, yaitu pengaruh biologis, psikologis dan sosial budaya (King, 2011). Secara biologis, agresi dapat dipengaruhi oleh: a) Pandangan evolusioner (evolutionary views), yaitu agresi merupakan respon yang ada sejak lahir akan stimulus tertentu. Melalui pandangan ini, perilaku agresif diperlukan untuk bertahan hidup. b) Genetik. Pengaruh gen pada agresi manusia sulit untuk digambarkan dibanding dengan agresi pada manusia, dan gen mempengaruhi pola agresi tertentu pada manusia. Sebuah penelitian dengan anak kembar, menunjukan bahwa agresi fisik lebih dipengaruhi oleh gen.
9
c) Faktor neurologis. Faktor neurologis yang mempengaruhi agresi adalah sistem limbik, lobus frontal, kadar serotonin dan testoteron. Sistem limbik yang distimulasi oleh arus listrik dapat menyebabkan agresi. Agresi juga dapat timbul karena lobus frontal yang berfungsi untuk perencanaan dan self-control mengalami penurunan fungsi. Kadar serotonin yang rendah atau kadar testoteron yang tinggi juga dapat mempengaruhi agresi. Berdasarkan sudut pandang psikologis, agresi dapat dipengaruhi atau dibentuk oleh 3 hal, yaitu (King, 2011): a) Frustasi dan keadaan yang tidak menyenangkan. Frustasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat mencapai tujuannya, dan hal tersebut dapat mendorong agresi. Selain itu, keadaan yang tidak menyenangkan juga dapat memicu agresi, seperti rasa sakit secara fisik, hinaan, keramaian, dan kondisi fisik lingkungan, seperti cuaca. b) Faktor kognitif. Priming atau mengaktifkan informasi yang telah disimpan di otak untuk membantu mengingat informasi baru lebih baik dan cepat, merupakan contoh dari proses kognitif yang dapat mempengaruhi agresi. Salah satu contohnya adalah dengan sering melihat senjata, maka seseorang akan lebih cenderung berpikir bermusuhan dan mengarah kepada perilaku agresi. Kognitif juga akan menentukan apakah seseorang akan merespon dengan agresif jika dihadapkan dengan stimulus yang tidak menyenangkan. c) Observational learning. Seseorang bisa berperilaku agresif melalui pembelajaran. Dengan melihat seseorang berperilaku agresif dapat mempengaruhi orang lain yang melihatnya untuk berperilaku agresif juga. Terakhir, agresi dapat dilihat berdasarkan sudut pandang sosial budaya. Agresi dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang bervariasi dan kebudayaan mengenai hal yang dihormati. Selain itu, kekerasan yang sering ditampilkan media juga akan mempengaruhi agresi (King, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ennet, dkk (2012) faktor keluarga juga mempengaruhi agresi. Faktor keluarga yang dapat mempengaruhi agresivitas remaja adalah konflik keluarga (family conflict), ikatan orangtua dan anak (parent-child bonding) dan kontrol orangtua (parental control). Tingkat agresi yang tinggi ditemukan pada anak-anak yang tinggal di lingkungan yang cederung negatif dan terdapat konflik
10
keluarga. Dari penelitian tersebut juga ditemukan, bagi anak laki-laki konflik keluarga merupakan faktor yang lebih penting dari pada lingkungan yang negatif dalam menentukan agresivitas fisik. Malhotra dan Rana (2005) juga menemukan bahwa lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan agresi. Pada subjek remaja laki-laki berusia 15 sampai 18 tahun ditemukan bahwa kurangnya rasa kebersamaan, dukungan dan bantuan keluarga akan mengakibatkan tingginya agresi fisik, verbal dan agresi tidak langsung (indirect).
2.2
Attachment Bowlby mendefinisikan attachment sebagai ikatan emosional yang dialami oleh
anak ketika berinteraksi dengan figur tertentu (attachment figure), di mana anak menginginkan kedekatan dengan figur tersebut saat menghadapi situasi-situasi tertentu, seperti saat ketakutan atau kelelahan dan dari attachment figure tersebut anak akan mendapatkan perlindungan dan dukungan (dalam Mikulicer & Shaver, 2007). Pengalaman-pengalaman individu dengan attachment figur pada situasi-situasi tersebut secara kognitif akan diterima, diproses dan disimpan dalam bentuk representasi mental mengenai diri sendiri (self-representation) dan orang lain (mental representation of others) atau yang disebut dengan attachment working model. Attachment working model tersebut kemudian digunakan Bartholomew dan Horowitz untuk mengkonseptualisasikan pola attachment. Remaja merupakan masa transisi perkembangan dari anak-anak dan dewasa yang melibatkan banyak perupahan. Salah satu perubahan tersebut adalah meningkatnya interaksi dan konformitas remaja dengan teman (Santrock, 2012). Remaja yang sedang dalam masa transisi menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk meneliti mengenai attachment pada remaja, baik secara konsep maupun metodelogi (dalam Wilkinson dan Wilson, 2012). Adanya perubahan dalam peran orangtua dan teman pada remaja, membuat attachment figure utama pada anak menjadi kurang jelas. Masih dalam Wilkinson dan Wilson (2012) dijelaskan, dunia sosial remaja yang semakin luas memungkinkan remaja bertemu figur-figur lain yang dapat menjadi attachment figure dan walaupun figur orangtua tetap menjadi figur yang penting untuk attachment remaja, ketergantungan remaja pada teman sebagai sumber dukungan juga meningkat. Hal tersebut sejalan dengan yang dijelaskan dalam Brown dan Freeman (2001) bahwa
11
hubungan dengan teman atau hubungan asmara lebih tidak stabil dibandingkan dengan hubungan orangtua dan hubungan dengan teman atau hubungan asmara tersebut akan cepat berakhir jika terjadi konflik atau menurunnya komunikasi. Ketidakstabilan hubungan tersebut dikarena kualitas hubungan di mana individu tidak merasa aman. Attachment memiliki 2 komponen yaitu behavioral component dan affectivecognitive component (Aken, Buist, Dekovic, & Meeus, 2004). Pada bayi, komponen yang sering diukur adalah behavioral component melalui observasi. Behavioral component merefleksikan penggunaan attachment figure sebagai sumber dukungan dan kedekatan. Sementara affective-cognitive component merefleksikan harapan akan kedekatan emosional (afeksi) yang merupakan bagian dari internal working model of attachment. Internal working model of attachment adalah representasi mental mengenai diri individu, attachment figure dan hubungan antara mereka. Seiring dengan perkembangan dari masa kanak-kanak ke remaja, affective-cognitive component di attachment remaja akan stabil sementara behavioral component terus berkembang seiring dengan pendewasaan yang dialami remaja. Sehinnga attachment di remaja lebih sering diukur mengenai affective-cognitive component dengan menggunakan self-report (Aken, Buist, Dekovic, & Meeus, 2004). Konsep attachment dari Bartholomew dan Horowitz, yang didasarkan pada konsep attachment dari Bowlby, juga mengusung konsep working model. Oleh karena itu, jika mengacu pada penjelasan di atas maka konsep attachment dari Bartholomew dan Horowitz cukup tepat jika digunakan untuk mengukur attachment pada remaja. Selain itu, The Relationship Questionnaire yang dibuat oleh Bartholomew dan Horowitz (1991), yang awalnya dibuat untuk orang dewasa, lebih mengukur attachment secara umum (Wilkinson, 2011), sehingga dapat disesuaikan untuk remaja yang memasuki masa transisi dan belum jelas attachment figure yang paling penting untuk mereka.
2.2.1 Dimensi attachment Berdasarkan Attachment working model dari Bowlby, Bartholomew dan Horowitz (1991) mengkonptualisasikan 2 dimensi attachment, yaitu: a) Model of self: persepsi seseorang bahwa dirinya layak dicintai dan mendapat dukungan atau tidak (Bartholomew & Horowitz, 1991). Bisa juga didefinisikan dengan sejauh mana seseorang menganggap dirinya berharga
12
(Rholes & Simpsin, 1998) atau singkatnya adalah harga diri (Medya, 2003). Dimensi ini akan dibagi lagi menjadi positif dan negatif. Seseorang yang memiliki model of self yang positif akan menganggap dirinya berharga atau layak dicintai dan mendapat dukungan. Sedangkan seseorang yang memiliki model of self yang negatif akan merasa cemas dan terkadang merasa tidak mencintai dirinya sendiri atau dirinya tidak berharga. b) Model of other: persepsi seseorang bahwa orang lain dapat dipercaya dan diandalkan atau tidak dapat diandalkan dan akan menolak dirinya (Bartholomew & Horowitz, 1991). Selain itu, model of other dapat juga didefinisikan dengan tingkat keyakinan seseorang bahwa orang lain dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan diandalkan (Medya, 2003). Sama halnya dengan model of self, model of other juga dibagi menjadi positif dan negatif. Seseorang dengan model of other yang positif akan menganggap bahwa orang lain dapat dipercaya dan diandalkan, juga cenderung mencari kedekatan dalam suatu hubungan. Sementara orang dengan model of other yang negatif akan menganngap orang lain tidak dapat diandalkan dan akan menolak dirinya, juga akan menghindari kedekatan dalam suatu hubungan.
2.2.2 Pola attachment Mary Ainsworth (1979) mengklasifikasikan pola attachment pada bayi menjadi 4, yaitu securely attached babies, insecure avoidant babies, insecure resistant babies dan insecure disorganized babies (Santrock, 2011). Attachment antara pengasuh dan bayi di tahap awal perkembangan akan mempengaruhi emosi, sosial, kognitif (King, 2011) dan perilaku sosial (Santrock, 2011) di masa perkembangan selanjutnya. Secure attachment pada bayi akan menjadi dasar bagi perkembangan psikososial yang baik untuk masa perkembangan selanjutnya, seperti remaja memiliki hubungan yang positif dengan teman, dan memiliki kemampuan untuk meregulasi emosinya, sementara insecure attachment pada bayi akan membentuk individu yang sulit untuk menjalin hubungan di masa perkembangan selanjutnya (Santrock, 2012). Bartholomew dan Horowitz (1991) mengembangkan kuesioner untuk melihat attachment pada orang dewasa, yang dikenal dengan The Relationship Questionnaire (RQ). Dengan beberapa perubahan, kuesioner tersebut juga dapat digunakan dengan
13
subjek remaja (Wilkinson & Wilson, 2012). Bartholomew dan Horowitz (1991) mengkategorikan individu berdasarkan pola attachment menjadi 4 pola, berdasarkan 2 dimensi yang telah dijabarkan sebelumnya, yaitu: a) Secure attachment: secure attachment memiliki dimensi model of self dan model of other yang positif. Individu dengan attachment ini merasa dirinya berharga dan merasa nyaman saat menjalin hubungan yang mendalam atau intim dengan orang lain. b) Preoccupied attachment: preoccupied attachment dikarakteristikan dengan dimensi model of self yang negatif, sementara dimensi model of other yang positif. Individu dengan attachment ini akan mencari penerimaan atau pengakuan dari orang lain dan akan merasa aman jika orang lain memberikan respon yang tepat atau sesuai dengan yang mereka inginkan. c) Fearful attachment: fearful attachment memiliki dimensi model of self dan model of other yang negatif. Individu dengan fearful attachment akan selalu mencari penerimaan dan pengakuan orang lain, tetapi karena mereka memiliki keyakinan atau harapan kepada oang lain yang negatif mereka juga akan menghindari hubungan yang mendalam atau intim dengan orang lain untuk mencegah rasa sakit karena kehilangan atau penolakan. d) Dismissing attachment: dismissing attachment dikarakteristikan dengan dimensi model of self yang positif dan model of other yang negatif. Individu dengan dismissing attachment akan menghindari hubungan yang mendalam atau intim dengan orang lain, tetapi merasa dirinya berharga dan menyangkal nilai atau perlunya hubungan yang mendalam atau intim.
14
Gambar 2.1 Diagram Jenis Attachment
Sumber: Bartholomew dan Horowitz (1991)
2.3
Remaja
2.3.1 Definisi remaja Remaja merupakan transisi perkembangan dari masa kanak-kanak dan dewasa yang melibatkan perubahan besar pada fisik, kognitif, dan psikososial (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Masa remaja dimulai pada usia 10 sampai 12 tahun dan berakhir pada usia 18 sampai 21 tahun (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Adolescence dapat dibagi lagi menjadi 2 tahap, yaitu early adolescence dan late adolescence (Santrock, 2012). Early adolescence merupakan tahap perkembangan saat memasuki masa sekolah menengah pertama dan remaja mulai mengalami pubertas. Late adolescene, yang merupakan tahap kedua dari masa perkembangan adolescene, di mana remaja mulai tertarik atau memasuki dunia kerja, mulai berkencan dan pencarian identitas diri lebih terlihat pada tahap ini dibandingkan pada tahap early adolescence.
15
2.3.2 Karakteristik fisik Saat memasuki tahap perkembangan remaja, terjadi beberapa perubahan pada fisik atau biologis. Perubahan fisik tersebut seperti pertumbuhan fisik yang cepat, perubahan hormon, perubahan pada otak dan kematangan seksual yang ditandai dengan pubertas. Salah satu yang menjadi ciri remaja adalah perilaku-perilaku beresiko yang sering kali dilakukan remaja. Remaja selalu mencari sensasi-sensasi baru dan melakukan hal-hal yang beresiko. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan melihat perkembangan pada otak. Saat remaja perkembangan amigdala yang mengatur emosi lebih cepat dibandingkan korteks prefrontal yang mengatur penalaran, pembuatan keputusan dan self-control, sehingga mungkin menyulitkan remaja untuk menghentikan petualangan-petualangan mereka melakukan perilaku yang beresiko (Santrock, 2012).
2.3.3 Karakteristik kognitif Pada perkembangan kognitif, dapat dijelaskan dengan teori dari Piaget. Menurut teori dari Piaget usia 11 sampai 15 tahun mulai memasuki tahap formal operational. Tahap formal operational dikarakteristikan dengan kemampuan berpikir abstrak, idealis, dan logis. Selain itu terjadi juga perkembangan sosial kognisi pada remaja. Sosial kognisi adalah bagaimana seseorang memandang atau mengkonseptualisasikan dunia sosial mereka, seperti pandangan mereka tentang hubungan yang dijalin dengan orang lain, kelompok-kelompok yang diikuti dan persepsi mengenai diri mereka sendiri dan orang lain. Sosial kognisi pada remaja disebut dengan adolescent egosentrism (egosentrisme remaja) yaitu kesadaran akan diri sendiri pada remaja yang tinggi, yang terlihat dari kepercayaan remaja bahwa orang lain tertarik akan diri mereka seperti mereka tertarik dengan diri mereka sendiri dan orang lain juga tertarik akan keunikan dan kekebalan yang mereka miliki. Egosentrisme remaja dapat dibagi menjadi 2, yaitu imaginary audience dan personal fable. Imaginary audience adalah egosentrisme remaja di mana mereka merasa selalu diperhatikan dan merasa seperti berada di atas panggung. Personal fable adalah egosentrisme remaja di mana remaja merasa memiliki keunikan dan kekebalan atau tidak terkalahkan. Merasa bahwa dirinya unik membuat remaja menganggap tidak akan ada yang memahami dirinya (Santrock, 2012).
16
2.3.4 Karakteristik sosioemosional Remaja juga mengalami perubahan secara sosioemosional. Menurut teori perkembangan sosioemosional Erikson, usia 10-20 tahun masuk dalam tahap perkembangan identity vs. identity confusion (King, 2011). Pada tahap perkembangan ini, remaja menghadapi tantangan untuk menemukan siapa dirinya (jati diri/ identitas diri) dan menentukan hidup yang ia jalani kedepannya. Remaja akan dihadapkan pada peran-peran baru, seperti dalam persahabatan, mulai bekerja, dan dalam hubungan percintaan. Untuk menemukan jati dirinya, remaja perlu mengeksplorasi identitas mereka. Jika remaja gagal untuk mengeksplorasi dan menemukan jati dirinya, mereka akan mengalami identity confusion. Dalam mencari dan menemukan jati diri/ identitas diri, Marcia (dalam Santrock, 2011) membagi tahapan pencarian identitas tersebut menjadi 4 status identitas (identity statuses). Pembagian status tersebut didasari oleh 2 hal, yaitu krisis (crisis) dan komitmen (commitment). Krisis (crisis) adalah periode perkembangan identitas saat remaja dihadapkan pada pilihan-pilihan yang penting dalam hidupnya. Komitmen (commitment) adalah bagian dari perkembangan identitas di mana remaja menunjukan ketertarikan personalnya untuk melibatkan diri sepenuhnya pada apa yang mereka akan lakukan. Empat status identitas yang dikemukakan Marsia yaitu: a) Identity diffusion Tahapan perkembangan identitas, saat remaja belum mengalami krisis identitas karena mereka belum mengeksplorasi menemukan pilihan-pilihan yang penting dalam hidupnya, juga belum membuat komitmen. b) Identity foreclosure Pada tahap perkembangan identitas ini, remaja sudah membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis identitas. Komitmen yang dimiliki remaja biasanya terbentuk karena campur tangan orangtua, sehingga remaja tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi identitas-identitas yang lain. Sering kali terjadi pada remaja dengan pola asuh orangtua yang autotarian. c) Identity moratorium Tahap perkembangan saat remaja mengalami krisis identitas, tetapi mereka belum membuat komitmen yang jelas mengenai identitas mereka.
17
d) Identity achievement Tahap perkembangan identitas remaja, saat remaja sudah mampu menyelesaikan krisis identitas yang dialaminya dan juga sudah memiliki komitmen.
2.3.5 Remaja dan orangtua Pada masa perkembangan remaja terjadi banyak perubahan, termasuk perubahan pada hubungan remaja dengan orangtua. Hubungan atau kedekatan remaja dengan orangtua akan mempengaruhi kualitas hubungan remaja di tahap perkembangan selanjutnya. Remaja menghadapi tantangan dalam hubungan dengan orangtua karena adanya ketegangan antara menjadi mandiri dan tetap ingin bergantung dengan orangtua. Tantangan terjadi juga pada orangtua dalam menghadapi remaja, karena adanya ketegangan antara keinginan untuk membiarkan anaknya menjadi mandiri dan keinginan untuk menjaga anak mereka dari perilaku-perilaku menyimpang (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Ketegangan tersebut dapat memicu konflik dalam keluarga (family conflict). Faktor lain yang penting dalam hubungan atau kedekatan remaja dan orangtua adalah pola asuh dan pengawasan orang tua. Dalam proses pencarian jati diri dan menjadi lebih mandiri, diperlukan batasan antara kontrol diri sendiri dan orangtua. Proses tersebut dapat memicu konflik dalam keluarga (family conflict). Jika orangtua terlalu memberi kebebasan kepada remaja atau terlalu mengontrol, remaja akan cenderung terlibat dalam lingkungan pertemanan yang negatif dan memiliki masalah berperilaku atau perilaku beresiko. Oleh karena itu diperlukan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol orangtua pada remaja. Kesempatan yang orangtua berikan kepada remaja dalam membuat keputusan akan meningkatkan self-esteem dan dukungan untuk menjadi mandiri yang orangtua berikan kepada remaja memiliki hubungan dengan kemampuan remaja untuk meregulasi emosiemosi negatif (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Peningkatan konflik antara remaja dan orangtua dapat juga disebabkan karena pendewasaan pada remaja yang terlalu cepat dan pendewasaan yang juga terjadi pada orangtua, perubahan kognitif pada remaja yang membuat remaja mulai lebih berpikir logis dan idealisme yang meningkat, perubahan sosial yang membuat remaja fokus untuk menjadi lebih mandiri dan mencari jati diri
18
mereka, dan perubahan fisik, kognitif dan sosial yang juga terjadi pada orangtua (Santrock, 2012). Pola asuh merupakan faktor yang juga penting dalam hubungan remaja dan orangtua. Pola asuh yang tepat tidak hanya mengontrol perilaku remaja, tapi juga mengontrol secara psikologis seperti perasaan, kepercayaan dan harga diri remaja. Sering kali orangtua mengontrol secara psikologis dengan cara manipulatif seperti penarikan kasih sayang (withdrawal of love). Penarikan kasih sayang (withdrawal of love) akan memberikan dampak yang negatif bagi perkembangan psikososial dan kesehatan mental remaja, seperti meningkatkan rasa benci atau dendam (resentment) dan mengurangi kemampuan untuk meregulasi emosi-emosi negatif (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Pengawasan orangtua dan keterbukaan remaja akan mencegah remaja memiliki masalah dalam berperilaku. Remaja cenderung mau terbuka mengenai dirinya jika orangtua bersikap hangat, kebudayaan keluarga yang responsif sehingga mendorong remaja mau membuka diri dan orangtua memberi tahu dengan jelas apa yang diharapkan tetapi tidak mengontrol remaja (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Perkembangan pada remaja yang menjadikan mereka lebih mandiri tetap memerlukan kedekatan (attachment) dengan orangtua agar tetap sehat secara psikologis. Hasil dari penelitian-penelitian mengenai attachment menunjukan secure attachment pada masa remaja dengan orantua akan mejadikan remaja memiliki hubungan yang ekslusif dan nyaman dengan hubungan yang mendalam atau intim serta memiliki kemampuan untuk meregulasi emosi. Pandangan baru mengenai hubungan remaja dan orangtua menekankan bahwa orangtua merupakan figur yang penting dalam attachment, sebagai sumber dan sistem yang memberi dukungan pada remaja yang mulai mengeksplorasi dunia sosial yang semakin luas dan kompleks (Santrock, 2012).
2.3.6 Remaja dan saudara Selain orangtua, saudara juga dapat menjadi sumber dukungan emosional bagi remaja, teman berbincang maupun sebagai saingan. Menurut Judy Dunn (dalam Santrock, 2012) terdapat 3 karakteristik penting dalam hubungan dengan saudara, yaitu:
19
a) Kualitas emosi dalam hubungan. Dalam hubungan saudara, biasanya akan saling mengekspresikan emosi-emosi, baik positif maupun negatif, kepada satu sama lain. b) Keakraban dan keintiman hubungan. Saudara biasanya saling memahami satu sama lain, dan kedekatan tersebut dapat menjadikan saudara sebagai pendukung atau pengganggu dan menjatuhkan satu sama lain. c) Kebervariasian dalam hubungan saudara. Figur saudara dapat dipandang berbeda oleh tiap orang. Ada yang melihat dengan positif, yaitu figur saudara sebagai sosok yang hangat dan penuh kasih sayang, namun ada juga yang memandang dengan negatif, seperti figur saudara yang menjengkelkan dan kejam. Pada kondisi tertentu, saudara bisa menjadi figur kuat yang mempengaruhi sosialisasi remaja jika dibandingkan dengan orangtua atau teman. Usia antara saudara yang tidak terpaut jauh bisa menjadi salah satu faktor yang membuat mereka memahami permasalahan satu sama lain dan berkomunikasi lebih efektif dibandingkan dengan berkomunikasi kepada orangtua. Hal-hal yang dihadapi remaja, seperti masalah pertemanan, menghadapai permasalahan dengan guru dan membicarakan hal-hal yang tabu, akan lebih dipengaruhi oleh saudara dibandingkan oleh orangtua (Santrock, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Tucker, McHale, dan Crouter, menemukan bahwa remaja melihat saudaranya sebagai sumber dukungan untuk sosial dan aktivitas sekolah (dalam Santrock, 2012). Di sisi lain, saudara juga bisa menjadi pengaruh yang negatif. Konflik dengan saudara yang disertai dengan pola asuh orantua yang tidak efektif menjadikan remaja memiliki perilaku antisosial, hubungan dengan teman yang buruk dan depresi. Selain itu, pengaruh negatif juga dapat terjadi karena modelling. Contohnya, jika saudara memiliki perilaku kenakalan, maka dapat mempengaruhi saudara lainnya memiliki perilaku yang sama (Santrock, 2012).
2.3.7 Remaja dan teman sebaya Sumber dukungan emosional bagi remaja yang sedang menghadapi masa transisi yang kompleks dapat juga berasal dari teman. Dalam hubungan pertemanan, remaja mendapatkan afeksi atau kasih sayang, simpati, pengertian, dan bimbingan moral.
20
Selain itu, pertemanan juga menjadi tempat untuk melakukan percobaan dan mendapatkan autonomi dan kemandirian dari orangtua (Feldman, Martorell, & Papalia, 2012). Pada masa perkembangan remaja, interaksi dengan teman akan semakin meningkat dan konformitas juga semakin tinggi dalam pertemanan (Santrock, 2012). Teman sepermainan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif kepada remaja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Allen, Porter, McFarlend, Marsh dan McElhaney (dalam Santrock, 2012), remaja pada usia 13 atau 14 tahun, remaja cenderung memiliki antisocial behavior, seperti mencoba narkotika atau menyelinap masuk ke bioskop tanpa membayar, dan membuktikan kepada teman kemandiriannya dari orang tua. Hubungan pertemanan juga mempengaruhi perilaku pengambilan resiko. Remaja cenderung memiliki perilaku pengambilan resiko yang tinggi jika sedang bersama teman dibandingkan jika sedang sendiri. Attachment remaja dan teman yang sangat kuat akan mempengaruhi remaja memiliki perilaku bermasalah, seperti melanggar peraturan di rumah, tidak mengerjakan pekerjaan sekolah. Sisi positif dari pertemanan, remaja mempelajari prinsip-prinsip keadilan dengan argumentasi dengan teman, belajar mencermati perspektif dan minat teman sehingga mereka dapat menyatu dengan lingkungan pertemanan mereka. Secure attachment pada remaja dengan temannya juga mempengaruhi penyesuaian diri remaja (Carlo, Laible, & Raffaelli, 2000). Dari penelitian yang dilakukan oleh Laible, Carlo dan Raffaelli, remaja yang memiliki secure attachment dengan temannya akan memiliki penyesuaian diri yang lebih baik, seperti rendahnya depresi dan agresivitas dan memiliki simpati yang baik.
2.4
Profil Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria kelas IIA Tangerang sudah berdiri
sejak pemerintahan Hindia Belanda dan dibangun pada tahun 1925. Awalnya Lapas Anak Pria kelas IIA Tangerang ini digunakan untuk mengasingkan anak keturunan Belanda yang berbuat nakal. Pada tahun 1945, bangunan ini beralih fungsi menjadi Markas Resimen IV Tangerang, kemudian pada tahun 1957 sampai 1961 berubah lagi menjadi Pendidikan Negara yang dikelola oleh Jawatan Kepenjaraan. Pada tahun 1964, dari Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Negara diserahkan kepada Direktorat Jendral Pemasyarakatan dan akhirnya namanya menjadi Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria kelas IIA Tangerang. Sejak awal bangunan Lapas Anak Pria kelas IIA Tangerang
21
didirakan di atas tanah seluah 12.150m2 dengan kapasitas 220 anak. Visi dari Lapas Anak Pria kelas IIA Tangerang adalah menjadi institusi terpercaya dalam memberikan pelayanan, pembinaan dan pendidikan anak didik pemasyarakatan. Sementara misinya adalah: a) Mewujudkan sistem perlakuan kreatif yang menumbuhkan rasa aman, nyaman, ramah dan layak anak. b) Melaksanakan perawatan, pelayanan, pendidikan, pembinaan dan pembimbingan untuk kepentingan terbaik bagi anak. c) Membentuk jiwa sportivitas dan cinta ilmu pengetahuan bagi anak. d) Menumbuhkembangkan ketaqwaan, kesantunan, kecerdasan, rasa percaya diri dan keceriaan anak. e) Memberikan perlindungan pelayanan, dan pemenuhan hak anak Dalam mencapai visi dan misinya, Lapas Anak Pria kelas IIA Tangerang memiliki motto yaitu melayani, melindungi, membina, membimbing dan mendidik dengan hati. Kegiatan yang dilakukan di Lapas Anak Pria kelas IIA Tangerang antara lain, pendidikan (SD, SMP, SMK, PKBM Istimewa (paket A, B dan C)), latihan kerja (pramuka, pelatihan komputer, penjahitan, perkebunan, dll), olahraga (sepak bola, tenis meja, futsal, dll), kesenian (band, marawis dan angklung), kerohanian (majalis ta’lim dan kebaktian), rekreasi (perpustakaan dan senam pagi bersama) dan kegiatan sosial (kunjungan kerja dan kunjungan sosial). Sampai dengan 24 Juni 2014, jumlah anak didik di Lapas Anak Pria Tangerang adalah 247 orang.
22
2.5
Kerangka berpikir
Tindak kriminal
Remaja
Attachment Agresi
Model of Self
Model of other
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Jumlah remaja yang melakukan tindak kriminal di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya (Markas Besar Kepolisian RI, dalam Statistik Kriminal 2007-2009). Remaja, yang menjadi fokus pada penelitian ini, sedang memasuki masa transisi dari masa kanak-kanak dan dewasa dan mengalami perubahan yang besar (Feldman, Olds, & Papalia, 2007). Menurut Laible, Carlo dan Raffaaelli (2000), faktor yang mempengaruhi remaja untuk dapat menjalani masa transisi dengan baik adalah kualitas hubungan dengan figur penting atau dapat dikatakan dengan attachment. Masa transisi pada remaja, membuat perubahan pada peran orangtua dan teman sehingga attachment figure yang dianggap penting oleh remaja menjadi kurang jelas (Wilkinson & Wilson, 2012). Wilkinson dan Wilson (2012) menjelaskan, dunia sosial remaja yang semakin luas memungkinkan remaja bertemu figur-figur lain yang dapat menjadi attachment figure dan walaupun figur orangtua tetap menjadi figur yang penting untuk attachment remaja, ketergantungan remaja pada teman sebagai sumber dukungan juga meningkat. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Brown dan Freeman (2001) yang mengatakan bahwa hubungan dengan teman atau hubungan asmara lebih
23
tidak stabil dibandingkan dengan hubungan orangtua dan hubungan dengan teman atau hubungan asmara tersebut akan cepat berakhir jika terjadi konflik atau menurunnya komunikasi. Ketidakstabilan hubungan tersebut dikarena kualitas hubungan di mana individu tidak merasa aman. Berdasarkan konsep attachment dari Bartholomew dan Horowitz (1991), attachment memiliki 2 dimensi, yaitu model of self dan model of other, yang akan membentuk 4 pola attachment. Adanya dimensi yang negatif pada attachment akan mengarahkan individu melakukan perilaku agresi. Menurut Deblinger,dkk (2002), insecure attachment akan membuat seseorang merasa dirinya akan ditolak dalam suatu hubungan dekat atau jika dihubungan dengan dimensi attachment dari Bartholomew dan Horowitz merasa dirinya akan ditolak menunjukan model of self dan model of other yang negatif. Model of self yang negatif artinya seseorang merasa dirinya tidak berharga dan model of other yang negatif artinya seseorang merasa bahwa dirinya akan ditolak oleh orang lain. Masih menurut Deblinger,dkk (2002), anggapan yang defensif tersebut akan menjadikan seseorang untuk bereaksi dengan pemikiran, perasaan dan perilaku marah, seperti melakukan agresi fisik. Sementara secure attachment, yang dibentuk dari dimensi model of self dan model of other yang positif, akan memiliki hubungan yang negatif dengan agresi. Agresi pada remaja akan membuat mereka melakukan kenakalan yang mengarah pada perkelahian dan kekerasan (Santrock, 2012), dan dapat memicu perilaku kriminal jika kenakalan tersebut sudah melebihi batas. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fite, Loeber, Pardini, Raine dan Stouthamer-Loeber (2009) menunjukan adanya hubungan antara agresi pada masa remaja dengan penggunaan zat-zat terlarang dan perilaku kejahatan atau kriminal.
2.6
Asumsi penelitian Penulis berasumsi adanya hubungan yang negatif antara pola secure attachment
denga agresi. Sementara adanya hubungan yang positif antara pola insecure attachment, yaitu dismissing attachment, preoccupied attachment dan fearful attachment, dan agresi.
24