BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Menurut Dennis et al. (2006), ciri-ciri morfologis ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah bentuknya agak bulat memanjang dan mempunyai ukuran badan lebih tinggi, sirip dada berwarna kemerahan dan sirip lainnya mempunyai tepi kecoklatan. Sedangkan menurut Tarwiyah (2001), Ikan kerapu bentuk tubuhnya agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillarry lebar di luar mata, gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan poterior. Habitat benih ikan kerapu macan adalah pantai yang banyak ditumbuhi alga jenis reticulata dan Gracillaria sp., setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur. Ikan kerapu termasuk jenis karnivora dan cara makannya "mencaplok" satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar. Pakan yang paling disukai jenis crustaceae (rebon, dogol dan krosok), selain itu jenis ikan-ikan (tembang, teri dan belanak).
Budidaya ikan kerapu macan pada umumnya dilakukan pada keramba jaring apung (KJA) yang berada di perairan di lepas pantai. Ikan kerapu macan menyenangi air laut berkadar garam 33 - 35 ppt. Untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu macan temperatur yang diperlukan berkisar antara 25 - 32 oC, salinitas berkisar antara 20 - 32 ppt, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 4 - 8 ppm dan pH berkisar antara 7,5 - 8,3 (Anonim, 2001), sedangkan menurut Akbar & Anwar (1997) pertumbuhan ikan kerapu yang baik memerlukan temperatur berkisar 27 - 29 oC, salinitas 30 - 33 ppt, pH antara 8,0 - 8,2 dan DO lebih besar dari 5 ppm. Ikan kerapu macan bisa juga hidup di perairan muara sungai dengan kisaran kadar garam 15 - 30 ppt, temperatur air 24 - 31 oC, dan kadar DO antara 4,9 - 9,3 mg/l.
Universitas Sumatera Utara
Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Sunaryat & Minjoyo, 2004). Jenis ikan kerapu banyak dibudidaya karena selain mempunyai potensi sebagai ikan hias, juga banyak dikonsumsi karena rasanya nikmat. Ikan ini juga merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, karena sangat disukai di dalam maupun di luar negeri seperti Negara-negara Asean, Hongkong, Cina, dan Jepang. Oleh karena itu, ikan kerapu macan menjadi sumber devisa dan merupakan komoditi ekspor unggulan ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Amerika (Subyakto & Cahyaningsih, 2003). Ikan kerapu macan sebagai komoditi ekspor menyumbang devisa negara sebesar US $580 juta pada tahun 2003 (Anonim, 2004a; Anonim, 2004b).
Dalam pemeliharaan ikan kerapu macan masih terdapat kendala, di antaranya adalah tingkat kematian yang masih relatif tinggi akibat penyakit infeksi VNN. Virus ini umumnya menginfeksi stadia larva sampai remaja dan menyerang sistem organ saraf mata dan otak yang ditandai dengan gejala yang cukup spesifik karena ikan menampakkan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnya ikan berdiam di dasar (Yuasa et al., 2001).
2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN)
Viral Nervous Necrosis (VNN) istilah alternatif: virus encephalopathy dan retinopathy (VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama dalam produksi perikanan laut di dunia. Virus penyebab VNN ini merupakan anggota family Nodaviridae berdasarkan susunan asam nukleat dan struktur protein. Family Nodaviridae terdiri dari dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan (Yukio, 2007).
Betanodaviruses adalah agen penyebab serangan VNN pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genom yang terdiri atas dua ikatan tunggal. Nodaviruses adalah virus icosahedral yang
Universitas Sumatera Utara
tidak dibungkus dengan suatu genom terdiri dari 2 RNAs 13 ikatan tunggal. Piscine nodaviruses (betanodaviruses) telah menunjukkan infeksi pada lebih dari 30 jenis ikan laut terutama pada masa larva dan juvennil, infeksi betanodaviruses pada dasarnya menyerang atau menginfeksi ikan pada awal masa perkembangan larva dan benih yang mengakibatkan mortalitas yang tinggi (Yukio, 2007).
Piscine nodaviruses dapat digolongkan ke dalam 4 genotipe berdasar pada urutan nukleotida protein mantel gen: Striped Jack Nervous Necrosis Virus (SJNNV), Redspotted Grouper Nervous Necrosis Virus (RGNNV), Tiger Puffer Nervous Necrosis Virus (TPNNV), and Barfin Flounder Nervous Necrosis Virus (BFNNV). Infeksi piscine nodavirus telah dihubungkan dengan angka kematian tinggi pada jenis ikan grouper yang dibudidaya di Taiwan, Singapore, Thailand, China, dan Indonesia. Infeksi piscine nodavirus merupakan ancaman potensial yang menyebabkan kerusakan pada banyak jenis ikan akuakultur di daerah tersebut. Suatu kebutuhan mendesak untuk menentukan cakupan ikan yang menjadi inang dari virus ini (Chi, 2006).
Pada fase pertumbuhan ikan kerapu bisa terkena infeksi oleh VNN dengan perubahan prenasal. VNN menembus epitelium nasal lewat saraf penciuman dan olfactory bubble, dan menyerang ears of smell. Lewat intramuscular (I.M.), VNN melewati sistem saraf peripheral dalam jaringan muscular tepi, diangkut melalui akson ke jaringan spina (sirip punggung) pada tulang belakang. VNN dapat menyerang Central Nervous System (CNS) lewat sirkulasi darah sebagai titik awal injeksinya (Dennis et al., 2006). Pada fase perkembangan larva, infeksi awal VNN biasanya pada tulang belakang, spina, kerusakan pada gelembung renang, kemudian kerusakkan pada otak, dan retina (Nguyen et al., 1996).
Secara alami, larva ikan muda yang terserang virus dapat dideteksi dalam epitelia sel kulit dan epitelium yang berhubungan dengan usus (intestinal), yang secara bersamaan dengan sel saraf CNS sebagai tahap awal infeksi atau peradangan oleh VNN. Neurotropisme dari indikasi serangan virus VNN itu mungkin memperoleh akses ke CNS lewat saraf peripheral, misalnya lewat hubungan saraf otomatis pada
Universitas Sumatera Utara
organ pencernaan, juga lewat sensor dan berhubungan dengan saraf motorik pada epitelium dari kulit (Dennis et al., 2006).
Gejala klinis khas VNN pada beberapa jenis ikan antara lain: perilaku ikan terserang berenang tak menentu dan ikan mengapung dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang. Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thie´ry et al., 2006).
Serangan VNN lebih ganas pada ikan yang masih muda terutama pada masa awal perkembangannya. Larva dan benih ikan kerapu sangat sensitif dimana kekebalan tubuh pada fase ini relatif masih lemah, sehingga kedaan ini mengakibatkan serangan VNN menjadi lebih akut (Nguyen et al., 1996).
2.3 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor yang terpenting dalam kegiatan budidaya. Dalam kajian ilmiah maupun biologi setiap organisme akuatik memiliki kisaran minimum dan maksimum untuk mempertahankan kehidupan. Pengelolaan kualitas air adalah salah satu usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh organisme tersebut. Adapun pengelolaan kualitas air tersebut dibagi ke dalam tiga aspek yaitu biologi, kimia dan fisika. Dari beberapa parameter fisika, kimia maupun biologi, parameter yang menjadi prioritas pada media air laut diantaranya adalah: salinitas, pH, temperatur, BOD, nitrit, amoniak, dan DO (Anonim, 2004c).
Secara visual air yang memiliki kualitas baik dapat ditandai dengan kejernihan, karena pada umumnya mempunyai kandungan partikel-partikel terlarutnya rendah. Pada air yang kecerahannya tinggi, beberapa parameter kualitas air lain yang terkait erat hubungannya dengan bahan organik seperti pH, nitrit, dan amoniak cenderung rendah atau layak untuk kegiatan budidaya (Anonim, 2004a).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu faktor kualitas air laut yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan kerapu macan yang dibudidaya selain temperatur, kekeruhan (siltasi), kadar oksigen terlarut (DO) dan senyawa organik adalah kadar garam (salinitas) dan derajat keasaman (pH). Kisaran salinitas pada budidaya ikan dalam tambak optimal pada 12 20 ppt sehingga dibutuhkan untuk mengatur keseimbangan cairan tubuh dan air tambak (proses osmoregulasi). Pengukuran salinitas dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan refraktometer yang telah dikalibrasikan untuk digunakan pada temperatur kamar (Anonim, 2004c).
Menurut Nontji (1993), di samudera salinitas berkisar antara 34 – 35 ppt. Variasi salinitas di permukaan air sangat mirip dengan keseimbangan evaporasi dan presipitasi (Meadows & Campbell, 1988). Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada pada range yang sempit. Densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan tekanan serta penurunan temperatur. Satu bagian per 1000 garam kenaikan densitasnya sekitar 0,8 bagian per 1000 (Meadows & Campbell, 1988).
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram air laut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) terdiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Ikan kerapu macan dapat hidup di perairan berkarang dengan kisaran salinitas 30 - 35 ppt. Kisaran salinitas akan naik turun tergantung pada musim. Dari hasil di lapangan kisaran salinitas 35 36 ppt menunjukan bahwa salinitas masih cukup terkendali (Anonim, 1999).
Stickney, 1979 dalam Suratmi & Aryani, 2007, menyatakan salah satu penyesuaian ikan terhadap lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kondisi salinitas yang berbeda maka ikan akan melakukan proses adaptasi yaitu melalui pengaturan osmotik cairan tubuhnya yang disebut dengan istilah osmoregulasi. Pengaturan osmotik cairan bertujuan untuk menyamakan konsentrasi garam internal dengan konsentrasi garam di lingkungan sekelilingnya. Mekanisme pengaturan osmotik pada tubuh ikan yaitu dengan cara mengeluarkan kelebihan air tanpa kehilangan garam atau mengeluarkan air dan garam dan mengganti garam yang hilang dengan mengambil ion dari lingkungan secara aktif (Nybakken, 1992). Melalui proses ini maka ikan dapat beradaptasi dan mampu berkembang dalam lingkungan salinitas yang baru. Kemampuan adaptasi terhadap salinitas yang baru akan berbeda-beda tergantung jenis ikan dan tingkat perbedaan salinitas. Ada kelompok ikan yang mampu beradaptasi dalam kisaran salinitas yang luas yang disebut eurihalin dan juga ikan yang hanya mampu beradaptasi dalam kisaran salinitas yang sempit disebut stenohalin. Ikan yang hidup pada salinitas yang sedikit perbedaannya dengan salinitas asal, maka proses adaptasi yang dilakukan tidak terlalu berat dan semakin jauh perbedaan salinitas maka semakin berat proses osmoregulasinya. Maka semakin berat proses osmoregulasi yang dilakukan maka semakin besar pula energi yang dikeluarkan, maka semakin berat pula untuk melakukan proses metabolisme yang lain. Sebagai akibatnya proses pertumbuhan, proses reproduksi dan lainnya dari kehidupan ikan tersebut terganggu (Sutomo, 2005).
Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmotik antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas (Fujaya, 2004).
Sifat osmotik dari air berasal dari seluruh ion yang terlarut tersebut. Semakin besar jumlah ion yang terkonsentrasi di dalam air, maka tingkat salinitas dan
Universitas Sumatera Utara
kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin membesar. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan (Anggoro, 1992). Menurut (Kinne, 1990 dalam Anggoro, 1992) kematian tersebut disebabkan gejala osmolaritas internal, yaitu terganggunya keseimbangan osmolaritas antara media hidup, dengan cairan tubuh (Internal dan eksternal), serta berkaitan dengan perubahan daya absorpsi terhadap oksigen. Semakin tinggi salinitas media makin rendah kapasitas maksimum kelarutan oksigen dalam air (Smith, 1982).
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) menerbitkan baku mutu air laut untuk biota laut (Tabel 1.). Tercantum didalamnya persyaratan kualitas air yaitu: Tabel 1. Baku Mutu Air Laut No.
Parameter
Satuan
1.
FISIKA Kecerahana
m
2. 3. 4.
Kebauan Kekeruhana Padatan tersuspensi totalb
NTU mg/l
5. 6.
Sampah Suhuc
o C
7.
Lapisan minyak 5
-
1. 2.
KIMIA pHd Salinitase
‰
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Sianida (CN-)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Baku mutu coral: >5 mangrove: lamun: >3 alami3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami3(c) coral: 28-30(c) mangrove: 28-32(c) lamun: 28-30(c) nihil 1(5) 7 - 8,5(d) alami3(e) coral: 33-34(e) mangrove: s/d 34(e) lamun: 33-34(e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5
Universitas Sumatera Utara
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Sulfida (H2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisidaf TBT (tributil tin)7
mg/l mg/l mg/l µg/l mg/l MBAS mg/l µg/l µg/l
0,01 0,003 0,002 0,01 1 1 0,01 0,01
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Logam terlarut: Raksa (Hg) Kromium heksavalen (Cr(VI)) Arsen (As) Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
0,001 0,005 0,012 0,008 0,008 0,05 0,05
1. 2. 3.
BIOLOGI Coliform (total)g Patogen Plankton
MPN/100 ml sel/100 ml sel/100 ml
1.
RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui
Bq/l
1000(g) nihil1 tidak bloom6
4
Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual) 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Universitas Sumatera Utara