BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.
Asupan Makanan
2.1.1. Pola Makan Pola asupan makanan adalah susunan, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang pada waktu tertentu yang dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani, 2004). Dalam Almatsier (2001), pola makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia dan ada kaitannya dengan kebiasaan makan. Di Indonesia didapat pola makan sebagai berikut: 1. Asupan beras (konsumsi karbohidrat berasal dari beras >90% total kalori karbohidrat): Sumatera kecuali Lampung; Jawa Barat, Kalimantan, dan NTB. 2. Asupan beras-jagung serta beras-jagung dan umbi-umbian (pola beras-jagung: konsumsi beras terbesar, jagung >10% dan tanaman lain <5%; pola berasjagung dan umbi-umbian: konsumsi beras terbesar, jagung >10% dan umbiumbian >5%): Jawa Tengah, Sulawesi Selaran, Sulawesi Utara, dan Timor Timur. 3. Asupan beras-umbi-umbian (konsumsi beras terbesar, umbi-umbian = 10%, lainnya < 5%): Irian Jaya. 4. Asupan beras-umbi-umbian-jagung (konsumsi beras terbesar, umbi-umbian =10% dan jagung = 5%): Lampung, Yogyakarta, dan Maluku. Dalam pola asupan pangan, salah satu hal yang menjadi kendala adalah ketidakseimbangan komposisi pangan. Hal ini dapat diperbaiki dengan penganekaragaman asupan pangan melalui konsumsi pangan dari berbagai kelompok makanan, baik bahan pangan pokok, lauk-pauk, sayuran maupun buah dalam jumlah yang cukup. Tujuannya untuk meningkatkan mutu gizi, konsumsi, mengurangi ketergantungan pada satu jenis atau kelompok pangan, dan untuk perbaikan kesehatan penduduk (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Kebiasaan Makan Menurut The Manual of Food Habbit pengertian dari kebiasaan makan adalah sebuah cara bagaimana seorang individu atau sekelompok orang dalam menanggapi tekanan dibidang sosial dan budaya dalam memilih, mengkonsumsi, dan memanfaatkan pasokan makanan. Kebiasaan makan yang baik adalah dengan mengkonsumsi aneka ragam jenis makanan. Apabila seseorang sadar akan hubungan gizi yang baik, maka ia tidak akan terlalu mengutamakan makanan yang disukai daripada makanan yang tidak disukai (Fleck dan Munves, 1998). Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan. Oleh karena itu, ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu sama lain (Baliwati, Khomsan, dan Dwiriani, 2004). Pemilihan makanan adalah sebagian dari kebiasaan makan (food habit) yang merupakan perilaku khas sekelompok orang. Kebiasaan itu dianggap sebagai identitas kelompok yang meliputi jenis makanan yang dipilih, waktu makan, jumlah hidangan, metode penyiapan makanan, orang yang ikut makan, ukuran porsi dan cara makan. Kebiasaan makan adalah hasil pengaruh lingkungan terhadap budaya dengan demikian biasanya lambat berubah (Barasi, 2007).
2.1.3.
Faktor-faktor Konsumsi Makan Dalam Baliwati (2007), menjelaskan berbagai macam pola makan
dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor ekonomi. Perubahan
pendapatan
mempengaruhi
konsumsi
pangan
keluarga.
Peningkatan pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan yang berkualitas dan kuantitas yang baik, sebaliknya jika pendapatan kurang akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan.
2. Faktor sosio-budaya-religi.
Universitas Sumatera Utara
Kebudayaan seseorang memiliki peran yang berpengaruh dalam pemilihan makanan. Unsur-unsur sosio-budaya tertentu mampu menciptakan suatu kebiasaan makan yang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Kebiasaan dan susunan hidangan makan suatu keluarga merupakan suatu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut gaya hidup. Yang mana merupakan hasil interaksi faktor sosio-budaya dan lingkungan hidup. Didalam masyarakat juga banyak dijumpai pola pantangan, takhyul, larangan di tiap daerah yang berbeda. Dari sisi religi jika melanggar pantangan tersebut akan mendapat dosa. Menurut
Barasi
(2007),
faktor
fisiologis
dan
psikologis
yang
mempengaruhi konsumsi makanan adalah sebagai berikut: 1. Rasa lapar, merupakan perwujudan kebutuhan untuk makan yang sering ditentukan oleh kebiasaan. 2. Rasa kenyang, merupakan upaya menghentikan proses makan. Namun jika disediakan berbagai jenis makanan, seseorang mungkin masih bisa melanjutkan proses makan tersebut. 3. Nafsu makan, merupakan keinginan terhadap makanan tertentu berdasarkan pengalaman yang dianggap tidak berkaitan dengan kebutuhan gizi. 4. Pantangan, merupakan upaya menghindari makanan tertentu berdasarkan pengalaman masa lalu sehingga dapat membatasi pemilihan makanan. 5. Kesukaan, dapat dibentuk karena seringnya kontak dengan makanan tersebut dan juga berkaitan dalam kepekaan rasa. 6. Emosi, sering dikaitkan dengan emosi positif dalam kebiasaan makan sebagai perlakuan untuk menghibur diri dan emosi negatif untuk menolak makanan sebagai senjata. 7. Tipe kepribadian, berdasarkan kepekaan pemicu eksternal dan internal yang mempengaruhi asupan makanan yang mungkin berperan penting dalam menentukan keyakinan seseorang dalam mengontrol berat badannya.
2.2.1. Asupan Energi 2.2.1
Bahan Pangan Sumber Energi
Universitas Sumatera Utara
Tubuh memerlukan asupan makanan dalam pembentukan energi. Sumber energi terdiri dari zat gizi makro berupa karbohidrat, protein dan lemak (Almatsier, 2001). Adapun komponen yang mempengaruhi kebutuhan energi, antara lain ;
(1) Metabolisme keadaan istirahat (resting metabolic rate =
RMR); (2) Aktivitas; (3) Tambahan energi selama pencernaan makanan (thermic effect of food = TEF, dulu disebut specific dynamic action = SDA); (4) Fakultatif termogenesis (perubahan kebutuhan energi karena perubahan suhu, konsumsi makanan, stress) (Muhilal, Jalal, dan Hardinsyah, 1998). Energi untuk melaksanakan fungsi fisiologis seperti denyut jantung, gerak alat pernapasan, sistem urogenital, sistem endokrin, aktifitas listrik saraf tanpa melakukan kerja luar disebut energi basal metabolik. Sedangkan aktifitas merupakan energi
kerja luar tambahan selain dari energi basal metabolik. Pada
umumnya energi yang dihasilkan oleh tubuh lebih tinggi dari jumlah energi yang telah dikonsumsi dari hidangan, dari setiap zat gizi sumber energi akan menstimulasi metabolisme untuk menghasilkan energi. Stimulasi zat gizi untuk menambah produksi energi tubuh disebut TEF (Sediaoetama, 2006). Semua energi yang diperlukan tubuh harus disuplai melalui asupan makanan. Diantaranya karbohidrat, protein, dan lemak, yang mana saat dimetabolisme akan menghasilkan energi. Besar energi dari karbohidrat sebesar 3,75 kkal/g, protein sebesar 4 kkal/g, dan lemak sebesar 9 kkal/g (Barasi, 2007).
2.2.1.1.Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk beberapa sel, seperti sistem saraf dan sel darah merah. Didalam otot, juga membutuhkan suplai karbohidrat dalam melakukan aktifitas fisik rutin. Karbohidrat tersedia sebagai cadangan untuk semua sel dalam bentuk glukosa darah dan disimpan di dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen. (Barasi, 2007) Selanjutnya Almatsier (2001), membagi karbohidrat sederhana terdiri atas: 1. Monosakarida, terdiri atas 6-rantai atau cincin karbon. Terdiri atas, glukosa, fruktosa, galaktosa, manosa, dan pentose.
Universitas Sumatera Utara
2. Disakarida ada empat jenis disakarida yaitu sukrosa, maltose, laktosa dan trehalosa. 3. Oligosakarida terdiri atas: rafinosa, stakinosa, dan verbaskosa terdapat di dalam biji-bijan dan kacang-kacangan. Sedangkan karbohidrat kompleks terdiri atas: 1. Polisakarida yang penting, pati simpanan karbohidrat dalam tumbuhtumbuhan merupakan karbohidrat utama yang dimakan manusia. 2. Serat, terdiri dari dua golongan yaitu tidak dapat larut dan dapat larut dalam air. Di Indonesia 70-80% seluruh energi untuk keperluan tubuh berasal dari karbohidrat. Semakin rendah tingkat ekonominya semakin tinggilah persentase energi yang didapat dari karbohidrat, karena sumber karbohidrat harganya cukup murah (Sediaoetama, 2006). Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk karbohidrat adalah 130 g perhari, tujuan yang paling penting untuk mendapatkan energi yang didapat dari total masukan karbohidrat sampai 60%. Juga direkomendasikan konsumsi serat sebesar 25 sampai 38 g/hari untuk pria dan wanita (Wardlaw dan Disilvestro, 2004). Adapun penyakit gangguan metabolisme yang berhubungan dengan kualitas serta kuantitas karbohidrat. Penyakit ketidakseimbangan konsumsi energi yaitu Kurang Kalori dan Protein (Sediaoetama, 2006). Dalam sebuah eksperimen sel dan jaringan menunjukkan bahwa pada konsumsi kalori yang berlebihan untuk karbohidrat berakibat pada resistensi insulin yang memicu terjadinya diabetes mellitus tipe dua, penumpukan jaringan lemak yang berakibat obesitas, dan gangguan sistem jantung dan pembuluh darah (Manuel-y-Keenooy, dan Gallardo, 2012). Dan sindroma kelainan absorbsi pada defisiensi enzim laktase dapat menyebabkan diare kronis (Levin, 2013).
2.2.1.2.Protein Struktur pembangunan dasar dari semua sel hidup, serta enzim dan pembawa pesaan kimiawi yang menjaga keutuhan fungsi tubuh merupakan sebagian dari fungsi protein. Molekul protein tersusun atas satu rantai asam
Universitas Sumatera Utara
tunggal yang dihubungkan oleh ikatan peptida, rantai ini berlipat hingga membentuk ikatan antara asam amino yang berdampingan melalui ikatan hidrogen antara atom oksigen dan nitrogen. Ketersediaan protein nabati sekitar 50 g/orang/hari sumber hewani antara 5-50g/orang/hari berbeda-beda di sebagian daerah, ketersediannya yang paling tinggi terdapat di negara Barat (Barasi, 2007). Adapun beberapa fungsi protein untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, pembentukan ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi (Almatsier, 2001). AKG untuk protein adalah 0,8 g/kg pada orang yang sehat (Wardlaw dan Disilvestro, 2009). Namun seseorang dalam masa pemulihan dari penyakit yang parah dan atlet yang sedang berlatih kebutuhan proteinnya menjadi lebih tinggi. Adapun asupan protein yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit ginjal atau demineralisasi tulang. Dan jika asupan energi tidak cukup, menyebabkan protein digunakan sebagai sumber energi, yang akan mengganggu pemeliharaan jaringan dan pertumbuhan yang mana pada anak akan timbul gejala tubuh pendek, kehilangan massa otot, buruknya penyembuhan luka dan meningkatnya resiko infeksi (Barasi, 2007).
2.2.1.3. Lemak Jenis lemak yang paling utama dalam nutrisi adalah triasilgliserol yang mencakup 95% dari lemak dalam diet, fosfolipid yang bersifat amfipatik yang dapat bekerja pada lingkungan air dan lemak berfungsi sebagai emulgator, sterol salah satu contohnya kolesterol yang memiliki fungsi pembentukan hormon, pembentukan sel dan garam empedu. Komponen utama dari diet lemak adalah asam lemak. Didalam Sizer dan Whitney (2006), asam lemak terdiri dari: 1. Asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) Terdapat pada lemak susu sumber SFA rantai pendek dan sedang, mentega kaya akan SFA, minyak kelapa sawit dengan 16 ikatan karbon, dan minyak kelapa mengandung 14 ikatan karbon. Anjuran pola makan sehat mendorong
Universitas Sumatera Utara
pengurangan SFA yang berhubungan dengan kadar kolesterol dan penyakit kardiovaskular. 2.
Asam lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid, MUFA) MUFA mengandung satu ikatan rangkap contohnya asam oleat yang diperoleh dari minyak zaitun dan dalam ikan berlemak mungkin dalam jumlah yang sedikit.
3. Asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) PUFA tergolong dalam kelompok n-3 dan n-6. Tubuh tidak dapat mensintesis senyawa induk PUFA n-3 dan n-4 maka disebut asam lemak esensial yang harus diperoleh dari makanan. PUFA juga digunakan dalam pembentukan eikosanoid. 4. Asam lemak trans (trans fatty acid, TFA) TFA terkait dengan efek berbahaya pada peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL. Daging dan susu dari hewan mamalia, serta lemak terhidrogenasi adalah sumber potensial TFA. Lemak dalam jumlah tertentu, biasanya sekitar 30% dari energi total, diperlukan untuk menjalankan fungsinya dalam tubuh dengan baik. Lemak disimpan sebagai cadangan energi dalam sel adiposit yang terdapat di jaringan adiposa. Penyimpanan dan pelepasan lemak dikendalikan oleh hormon terutama insulin dan noradrenalin. Lemak secara kontinu mengalir masuk dan keluar dari sel adiposit. Menurut teori, lemak dapat disintesis dari karbohidrat untuk disimpan, pada asupan karbohidrat yang sangat tinggi. Penggunaan lemak berlangsung dibawah pengaruh noradrenalin, yang menyebabkan pelepasan dan oksidasi asam lemak untuk menghasilkan energi. Oksidasi lemak ini berlangsung hampir setiap waktu dalam tubuh manusia sebagai bahan bakar bagi aktivitas metabolisme dan fisik (Barasi, 2007). Tidak ada AKG untuk masukan total lemak. Tubuh membutuhkan 5% total energi yang masuk dari minyak nabati untuk tercukupinya asam lemak esensial. Disarankan konsumsi lemak tidak melebihi 35% dan membatasi asupan asam lemak jenuh, kolesterol dan asam lemak trans (Wardlaw dan Disilvestro, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Tingkat Kecukupan Asupan Energi dan Lemak Ada nilai minimal kebutuhan sehari agar seseorang dapat mempertahankan keadaan normal tubuhnya. Pada keadaan tertentu kebutuhan minimal sehari ini dapat tak tercukupi, maka dari itu agar tubuh tetap mempertahankan fungsi normalnya pada keaadaan meningkatnya kebutuhan, dianjurkan setiap hari makanan yang dikonsumsi sesuai anjuran kecukupan sehari atau AKG. Nilai AKG ini berlaku bagi rata-rata masyarakat, nilai AKG dari asupan energi dan lemak dapat dilihat pada proposal penelitian ini pada (Lampiran 4). Pada lampiran tersebut AKG dikelompokkan berdasarkan golongan umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan (Sediaoetama, 2006). Menurut Supariasa, Bakri, dan Fajar (2002) klasifikasi tingkat konsumsi asupan energi dan lemak berdasarkan AKG dibagi menjadi empat, sebagai berikut: 1. Baik
: > 100% AKG
2. Sedang
: 80-99% AKG
3. Kurang
: 70-80% AKG
4. Defisit
:<70% AKG
Secara umum pola konsumsi pangan remaja dan dewasa yang baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65% : 10- 20% : 20-30%. Komposisi ini tentunya dapat bervariasi, tergantung umur, ukuran tubuh, keadaan fisiologis dan mutu protein makanan yang dikonsumsi. Adapun kisaran distribusi energi gizi makro dari pola konsumsi penduduk Indonesia adalah 9-14% energi protein, 24-36% energi lemak, dan 5463% energi karbohidrat (Hardinsyah, Riyadi, dan Napitupulu, 2004). Anjuran proporsi energi dari lemak, 35% pada anak usia 1-3 tahun, 30% pada usia 4-18 tahun, dan 25% pada orang dewasa. Kontribusi energi dari protein sebaiknya sebesar 15% pada anak usia 1-3 tahun, 15% pada anak usia 4-18 tahun, dan 15% pada dewasa. Dan anjuran proporsi energi dari karbohidrat pada usia 1-3 tahun sebesar 50%, pada usia 4-18 tahun sebesar 55%, dan pada dewasa sebesar 60% (Hardinsyah, Riyadi, dan Napitupulu, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Kelebihan Konsumsi Energi dan Lemak Di dalam Barasi (2007), berat badan berlebih dan obesitas dapat didefenisikan sebagai akumulasi lemak tubuh secara berlebihan. Kenaikan berat badan terjadi jika asupan energi melebihi keluaran energi selama jangka waktu tertentu. Hal ini mencerminkan keseimbangan energi positif, sehingga energi yang di suplai kedalam tubuh tidak digunakan tubuh dan disimpan dalam jaringan adiposa. Adapun faktor eksternal terhadap asupan energi dan terhadap keluaran energi mempengaruhi terjadinya kejadian kelebihan konsumsi energi. Pengaruh eksternal terhadap asupan energi (Barasi, 2007): 1. Ketersediaan pangan. Baik jumlah maupun sifat makanan yang tersedia bagi penduduk di berbagai belahan dunia sudah banyak berubah, perubahan meliputi: lebih banyak pilihan, makanan dapat dibeli dimana saja, metode pengawetan, banyak produk makanan yang dapat segera dimakan. 2. Kuantitas dan kualitas makanan. Peningkatan konsumsi makanan siap saji dan makanan cepat saji, yang berdensitas energi lebih tinggi daripada diet tradisional menyebabkan konsumsi energi yang berlebih, ukuran porsi yang lebih besar telah menjadi hal biasa, jumlah makanan yang dikonsumsi diluar rumah telah meningkat sehingga berpengaruh terhadap kecenderungan obesitas. 3. Aspek psikologis. Asupan makanan setiap individu dapat dipengaruhi oleh, kondisi mood, mental, kepribadian, dan persepsi tubuh yang dipengaruhi budaya, sikap terhadap makanan dalam konteks sosial, faktor teman, iklan, dan media. Selanjutnya berdasarkan pengaruh eksternal terhadap keluaran energi (Barasi, 2007): 1. Meningkatnya mekanisasi. Kemajuan
teknologi
menyebabkan
berkurangnya
kebutuhan
untuk
menggunakan tenaga otot manusia dalam melaksanakan tugas manual yang memerlukan banyak energi.
Universitas Sumatera Utara
2. Aktivitas hiburan. Tersebar luasnya komputer dan sarana hiburan elektronik dirumah, mengurangi hiburan di luar rumah. Pada sebagian orang aktivitas fisik telah menjadi hal yang harus dijadwalkan bukan lagi bagian dari kehidupan, meningkatnya kepadatan lalu lintas membuat aktivitas diluar rumah kurang menyenangkan. Berlebihannya konsumsi energi dan lemak dalam jangka waktu tertentu akan memicu terjadinya obesitas. Dengan pengukuran Body Mass Index (BMI) yang lebih dari 30 dapat dikategorikan sebagai penderita obesitas. Status obesitas juga dapat diukur dengan komposisi lemak tubuh. Lemak tubuh berkisar 2% sampai 70% dari berat tubuh. Pada pria yang lemak tubuhnya lebih dari 25% dan pada wanita lebih dari 35% bisa dikatakan obesitas. Kadar lemak yang diharapkan pada pria itu berkisar antar 8%-25% dan pada wanita 20%-35% karena pada wanita lemak diperlukan dalam mempertahankan sistem reproduksi (Wardlaw dan Disilvestro, 2004). Pada tingkat obesitas kapasitas kerja menurun, daya tahan tubuh juga menurun diikuti meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas. Dikarenakan pada orang obesitas, tempat penyimpanan zat gizinya sudah penuh tak dapat menampung simpanan zat gizi lagi, jadi zat gizi yang masih tersisa akan tertimbun di sekitar organ vital yang akan menghambat fungsi organ-organ penting tersebut. Orang yang menderita obesitas akan merasa cepat lelah, lebih mudah melakukan kesalahan dan kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan. Lama hidup orang yang obesitas juga lebih pendek dibandingkan orang yang memiliki berat badan ideal (Sediaoetama, 2006). Berdasarkan panduan kesehatan Australia (2012), menjelaskan bahwa kejadian obesitas dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif dan metabolik seperti, penyakit jantung dan pembuluh darah, beberapa jenis kanker, hipertensi, diabetes tipe 2, kelainan tulang dan sendi, pernapasan, pencernaan, reproduksi, dan kejiwaan. Dan di dalam panduan klinis Scottish Intercollegiate (2012), untuk penanganan obesitas diperlukan manajemen makan sehat, dan aktifitas fisik sehat.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasaranya melibatkan tiga pendekatan yaitu, jangan menambah berat badan, mulai kurangi berat badan dan pertahankan berat badan ideal. Pengurangan konsumsi lemak, perbanyak konsumsi sayur dan buah, banyak minum air putih, dan diikuti peningkatan aktifitas fisik, dan keberhasilan manajemen ini juga didukung dengan adanya peran keluarga. Penanggulangan obesitas dengan menyeimbangkan asupan makanan yang masuk dengan meningkatkan kegiatan aktifitas fisik dan menghindari stress. Penyeimbang asupan energi ini dilakukan dengan membatasi konsumsi karbohidrat dan lemak serta menghindari konsumsi alkohol (Almatsier, 2001). Apabila asupan lemak berlebih, cenderung akan meningkatkan kadar kolesterol yang dapat memicu penyakit jantung koroner, dan pada penelitian terhadap hewan dan bukti klinis ditemukan pada kelainan metabolisme lemak berkaitan pada kejadian penyakit sindroma metabolik dan kanker (Hu, Zang, dan Song, 2013).
2.2.4. Kekurangan Konsumsi Energi dan Lemak Defisit asupan energi secara alami biasanya diiringi ketidakcukupan asupan nutrien mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun asupan yang tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Gejala subjektif yang tampak pada penderita ialah perasaan lapar (Sediaoetama, 2006). Menurut Barasi (2007), dampak defisit yang paling jelas ialah penurunan berat badan, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi. Menurut Barasi (2007), faktor penyebab penurunan asupan energi: 1. Kurangnya ketersediaan pangan yang bersifat akut seperti bencana kelaparan atau bersifat kronik seperti suplai makanan selalu tidak memadai karena masalah suplai makanan atau terkait kekurangan modal. 2. Ketidakmampuan untuk makan karena sakit, atau setelah mengalami cedera atau trauma. 3. Pembatasan makan yang dilakukan secara sengaja baik untuk jangka pendek (misalnya menurunkan berat badan) atau jangka panjang (terkait gangguan makan) atau sebagai pernyataan politik (aksi mogok makan).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Barasi (2007), berdasarkan penyebab peningkatan pengeluaran energi mungkin meliputi 1. Kerja fisik yang berat. 2. Peningkatan kebutuhan untuk pertumbuhan. 3. Demam/infeksi/respons pascatrauma. Kejadian kekurangan konsumsi energi yang kronis dapat menyebabkan malnutrisi. Malnutrisi sebagai salah satu dampak dari kemiskinan akan berakibat gangguan fungsi kognitif seperti kemampuan individu dalam menjalani kehidupan yang produktif (Onis, Brown, Blossner, dan Borghi, 2012). Telah lama diketahui bahwa malnutrisi dikaitkan dengan kematian pada anak-anak. Peningkatan resiko kematian berbanding terbalik dengan berat-untukusia, ada peningkatan resiko pada gizi kurang ringan sampai sedang bukan pada gizi kurang yang berat. Karena populasi gizi kurang ringan sampai sedang lebih besar dibanding populasi gizi kurang berat. Beberapa penyebab kematian karena malnutrisi diakibatkan diare, infeksi pernapasan akut, malaria, campak dan penyakit menular lainnya. Diperkirakan malnutrisi terkait pada sistem kekebalan tubuh yang mengakibatkan meningkatkan prognosis buruk pada perkembangan penyakit tersebut (Blossner dan Onis, 2005). Penyakit yang berhubungan dengan lemak, terkait lemak merupakan pelarut vitamin bila terjadi defisiensi lemak vitamin larut lemak akan terjadi penghambatan absorpsi dari vitamin-vitamin tersebut yang akan menimbulkan dampak klinis (Sediaoetama, 2006).
2.3.
Status Gizi
2.3.2. Pengertian Status Gizi Keadaaan akibat keseimbangan antara asupan, penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut. Bila tubuh memperoleh asupan gizi yang optimal status gizi yang baik akan tercapai untuk pertumbuhan fisik, proses pemulihan perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan yang baik (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Status gizi adalah dampak keadaan tubuh dalam mengkonsumsi makanan dan zat-zat gizi, yang dapat dibedakan menjadi kurang gizi, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2001). Status gizi adalah konsep multidimensi yang meliputi pola makan, antropometri, tes biokimia, dan indikator klinis pada kesehatan gizi. (Amarantos, Martinez, dan Dwyer 2001).
2.3.3. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dengan cara antropometri banyak digunakan dalam berbagai penelitian atau survei, baik survei secara luas dalam skala nasional maupun survei untuk wilayah tertentu (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002). Di dalam Arisman (2010), antropometri berasal dari kata anthropos yang artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan energi. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain:
1. Berat Badan. Pengukuran atropometri yang paling banyak digunakan. Agar berat dapat dijadikan ukuran yang valid proporsi lain seperti tinggi, ukuran rangka, proporsi lemak, otot, tulang, serta komponen “berat patologis” harus dipertimbangkan. Alat penimbang yang dipilih haruslah kuat, tidak mahal, mudah dijinjing, dan akurat hingga 100 gr. Timbangan juga harus dikalibrasi setiap pemakaian. Jika keadaan memungkinkan subjek yang ditimbang bertelanjang atau berpakaian seminimal mungkin (Arisman, 2010). 2. Tinggi Badan. Merupakan indikator umum ukuran tubuh, tapi belum dapat menjadi indikator status gizi kecuali digabungkan dengan indikator lain. Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel pada dinding dan pandangan
Universitas Sumatera Utara
diarahkan kedepan. Bagian alat pengukur tinggi yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh vertex kepala (Arisman, 2010). 3. Lingkar Lengan. Pertambahan otot dan lemak di lengan berlangsung cepat selama tahun pertama kehidupan. Seandainya anak itu mengalami malnutrisi, otot akan mengecil lemak menipis dan ukuran lingkar lengan pun susut. Pengukuran lingkar lengan berguna dalam penentuan malnutrisi balita. Lingkar lengan diukur dengan pita plastik berwarna, atau gelang yang berdiameter 4 cm (Arisman, 2010). 4. Tebal Lemak di Bawah Kulit. Pengukuran persentase lemak yang cukup mudah dilakukan, dan terbukti akurat karena 85% lemak tubuh tersimpan dalam trisep, subskapula, suprailiaka, biseps, perut, paha dan dada. Cara pengukuran kulit dicubit dengan dua jari, kemudian kaliper menjepit lipatan kulit. Lakukan beberapa kali sebelum membaca skala, pengukuran setidaknya dilakukan dua kali (Arisman, 2010).
5. Indeks Massa Tubuh (IMT). Berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa, dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam ukuran meter). Rumus ini hanya cocok diterapkan pada mereka yang berusia antara 19-70 tahun, berstruktur tulang belakang normal, bukan atlet, bukan ibu hamil (Arisman, 2010). Menurut SK Menkes Nomor: 1995/Menkes/SK/XII/2010, metode pengukuran status gizi yang paling tepat untuk siswa SD adalah dengan menggunakan indeks IMT/U mengacu pada standar World Health Organization (WHO) dikarenakan sesuai untuk negara-negara yang sedang berkembang. Berikut kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks IMT/U:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks Sangat Kurus
<-3 SD
Indeks Massa Tubuh
Kurus
-3 SD sampai dengan <-2SD
menurut Umur (IMT/U)
Normal
-2 SD sampai dengan 1 SD
Anak umur (5-18 tahun)
Gemuk
>1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas
>2 SD
2.3.3. Penilaian Asupan Energi dan Lemak Secara umum penilaian asupan makanan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi. Berdasarkan jenis data yang diperoleh dalam pengukuran asupan makanan menghasilkan data asupan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002). Metode asupan kualitatif untuk mengetahui frekuensi makan, asupan menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh bahan makanan tersebut, metode pengukuran secara kualitatif antara lain metode frekuensi makanan, metode dietary history, metode telepon dan metode pendaftaran makanan (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002). Metode kuantitatif yang terdiri atas ingatan (recall) dan catatan (record). Metode ini untuk mengukur kuantitas pangan yang dikonsumsi individu dalam kurun waktu satu
hari. Dengan meningkatkan jumlah hari pengukuran pada
metode ini kita dapat mengetahui asupan kebiasaan individu dapat diperoleh (Siagian, 2010). Metode yang lazim digunakan untuk menilai konsumsi pangan individu: 1. Metode Ingatan 24 Jam (food recall). Prinsip metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Responden diminta menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24jam) data yang diperoleh kurang representatif, oleh karena itu penelitian dilakukan berulang-ulang dan
Universitas Sumatera Utara
harinya tidak berturut-turut minimal 2 kali recall 24 jam (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002). 2. Metode Pencatatan Makanan. Deskripsi lengkap jenis dan jumlah pangan dan minuman yang dikonsumsi, setiap kali makan, pada periode tertentu yang ditetapkan biasanya 3-7 hari. Responden diminta untuk mencatat semua pangan yang dikonsumsi pada periode waktu tertentu (Siagian, 2010). 3. Metode Penimbangan Makanan. Metode ini merupakan metode yang paling akurat dalam memperkirakan asupan kebiasaan atau asupan zat gizi individu. Responden diminta untuk menimbang semua pangan yang dikonsumsi pada periode waktu tertentu. Lalu diperhitungkan kuantitas asupan makanan selisih antara kuantitas yang dikonsumsi dengan kuantitas pangan yang sisa (Siagian, 2010). 4. Metode Riwayat Makan. Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola asupan berdasarkan pengamatan dalam waktu yag cukup lama. Komponen yang dinilai ingatan 24 jam dari asupan aktual, kebiasaan asupan, dan mencatatan konsumsi pangan selama tiga hari (Siagian, 2010). 5. Metode Frekuensi Makan. Metode ini untuk memperoleh data tentang gambaran pola asupan sejumlah bahan makanan selama periode tertentu. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002).
Universitas Sumatera Utara