BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Definisi Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, disfungsi insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2016; Purnamasari, 2009; Amod et al., 2012). 2.1.2 Klasifikasi DM dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori klinis, yaitu (ADA, 2016; PERKENI, 2011); 1. Diabetes melitus tipe 1, ditandai dengan adanya defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel β pankreas yang dapat disebabkan oleh autoimun maupun idiopatik. 2. Diabetes melitus tipe 2, ditandai dengan adanya defisiensi insulin relatif atau resistensi insulin. 3. Diabetes melitus pada kehamilan (gestasional), dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada usia kehamilan trimester kedua atau ketiga, yang belum dapat diketahui dengan pasti kaitannya terhadap diabetes. 4. Diabetes melitus akibat penyakit spesifik lain, seperti sindrom diabetes monogenik (misalnya diabetes neonatal, MODY (maturityonset diabetes of the young), penyakit pankreas (misalnya fibrosis kistik), diabetes akibat obat atau zat kimia (misalnya terapi HIV/AIDS, atau setelah transplantasi organ).
10
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis DM PERKENI (2011) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar (Tabel 2.1) berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus No
Kriteria Diagnosis
1
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Atau, Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah pembebanan: < 140 mg/dl Normal, 140 - < 200 mg/dl Toleransi Glukosa Terganggu, ≥ 200 mg/dl DM
2
3
American
Diabetes
Association
(ADA)
(2016)
dan
American
Association of Clinical Endocrinologists (AACE) (2015) memasukkan pemeriksaan HbA1C (hemoglobin glikosilat) sebagai salah satu kriteria diagnosis DM yaitu kadar HbA1C ≥ 6,5% (48 mmol/mol).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2 Anatomi dan Histologi Koklea Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan bergulung 2,5 sampai 3 kali putaran, panjangnya kurang lebih 35 mm dengan sumbu panjang dari arah anterior ke posterior. Pusat koklea disebut modiolus, dan terletak di depan vestibulum. Koklea bersama dengan organ vestibuler berada dalam tulang temporal, dan merupakan salah satu tulang paling keras dalam tubuh manusia. Koklea bersama organ vestibuler sering disebut dengan labirin (Moller, 2006; Pawlowsky, 2004; Weber & Khariwala, 2014). Koklea terdiri dari tiga ruang yaitu skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga. Dasar segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi dasar dari organ korti (Gambar 2.1) (Moller, 2006; Weber & Khariwala, 2014).
Gambar 2.1 Anatomi Koklea dan Organ Korti
Universitas Sumatera Utara
13
Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana didalamnya terdapat labirin membran. Termasuk di dalam labirin tulang adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus yaitu tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Stria vaskularis dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel penyokong, berbentuk spiral pada membran basilaris (Nagashima et al., 2005). Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel Deiters, sel-sel pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar serta sel-sel rambut dalam, sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel interdental dan membran tektorial (Gambar 2.1). Medial dari lamina spiralis pars osseus terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan dengan modiolus (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006). Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang berisi cairan perilimfe.
Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara skala vestibuli dan skala timpani (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006). Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang tinggi (Tabel 2.2.) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Koklea Komponen
Endolimfe
Skala Vestibuli
Skala Timpani
Na (mM)
1.3
141
148
K (mM)
157
6
4.2
Ca (mM)
0.023
0.6
1.3
HCO3 (mM)
31
21
21
Cl (mM)
132
121
119
Protein (mg/dl)
38
242
178
pH
7.4
7.3
7.3
Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya. Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Gambar 2.3) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Gambar 2.2 Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks.
Universitas Sumatera Utara
15
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran (Pawlowsky, 2004). Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari basis ke apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di apeks koklea lebih besar (Guyton & Hall, 2006). Organ Corti terdapat selsel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf aferen (ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Gambar 2.3. Model Membran Basilaris dengan Organ Corti Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Gambar 2.4) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004).
Universitas Sumatera Utara
16
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel rambut luar terdapat retikulum endoplasma di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface cistern dan subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves & Iro, 2006).
Gambar 2.4 Skema Potong Lintang Sel Rambut Luar (A) dan Sel Rambut Dalam (B) Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
17
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler stereosilia (Gambar 2.5) (Pawlowsky, 2004). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Gambar 2.5) (Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.5 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop Elektron Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin, filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006). Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006). Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky, 2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan
Universitas Sumatera Utara
18
sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2005; Gillespie, 2006). Membran tektoria adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen, protein dan glukosaminoglikan. Membran tektoria terletak di dekat permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektoria kontak langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003). 2.3 Fisiologi Pendengaran Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga
dalam
melalui
footplate
dari
stapes,
menimbulkan
suatu
gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009). Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral menuju kompleks olivarius superior. Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum medial dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Weber & Khariwala,2014; Gacek, 2009).
Universitas Sumatera Utara
19
2.4 Gangguan Pendengaran pada Diabetes Mellitus Hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran telah diteliti sejak berabad yang lalu. Dilaporkan bahwa gangguan pendengaran yang berkaitan dengan DM mencapai 93%. Gangguan pendengaran pada DM digambarkan memiliki karakteristik progresif, bilateral, sensorineural dengan onset bersifat gradual yang secara dominan mengenai frekuensi tinggi (Cullen & Cinnamond, 1993; Maia & de Campos, 2005; Aladag et al., 2009; Malucelli et.al, 2012). Gangguan pendengaran sensorineural pada penderita DM dikaitkan dengan mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi neuronal dan diabetik ensefalopati, meskipun temuan mengenai hal tersebut masih sering diperdebatkan dan inkonsisten. Gangguan pendengaran pada penderita DM dapat juga merupakan akibat dari kekacauan metabolisme glukosa serta peningkatan stres oksidatif (Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003; Aladag et al., 2009). Angiopati diabetik memiliki karakteristik berupa proliferasi endotelial, akumulasi glukoprotein pada lapisan intima pembuluh darah, dan penebalan membran basal kapiler serta pembuluh - pembuluh darah kecil. Selain itu juga dijumpai penebalan dan fibrosis dinding kapiler serta penyempitan lumen arteri auditorius interna (Maia & de Campos, 2005; Malucelli et.al., 2012). Penelitian mengenai hal ini sudah dilakukan, baik pada hewan coba maupun pada manusia. Penelitian oleh Fukushima et.al (2006) yang mempelajari tulang temporal manusia penderita DM menunjukkan adanya penebalan membran basilaris dan stria vaskularis, terutama pada dinding pembuluh darah stria vaskularis bagian basal selain itu juga didapati hilangnya sel rambut luar yang signifikan. Penelitian pada hewan coba baik menggunakan obat diabetogenik seperti alloxan dan streptozotocin, atau dengan pankreatektomi total atau subtotal menghasilkan hal yang relatif sama berupa penebalan dinding pembuluh darah modiolus (Costa, 1967), penebalan dinding pembuluh darah stria vaskularis (Smith et al., 1995), dan hilangnya sel rambut luar (Raynor et al., 1995; Triana et al., 1991).
Universitas Sumatera Utara
20
Telah dilaporkan bahwa gangguan metabolisme glukosa dan insulin mempengaruhi mikrosirkulasi. Diketahui bahwa agar telinga bagian dalam berfungsi dengan baik harus ada keseimbangan yang baik antara tingkat insulin dan glukosa. Pasien DM memiliki glukosa dalam darah, tetapi tidak bisa masuk sel-sel telinga bagian dalam karena kurangnya insulin sehingga menghasilkan gangguan fungsional. Hal ini mungkin merupakan faktor etiologi penting dalam kerusakan labirin. Mekanisme utama yang mendasari adalah gangguan transportasi nutrisi melalui dinding kapiler yang menebal, pengurangan aliran darah karena penyempitan pembuluh darah,
dan
degenerasi
sekunder
saraf
vestibulokoklear
yang
menyebabkan neuropati (Aladag et al., 2009). Angiopati terjadi terutama di stria vaskularis dan pada ligamentum spiralis. Studi pada tikus yang di DM-kan menunjukkan bahwa gangguan pendengaran disebabkan terutama oleh pengurangan jumlah sel ganglion spiral dan yang kedua oleh edema di stria vaskularis. Beberapa penulis, juga berpendapat bahwa
gangguan pendengaran terjadi karena
keterlibatan jalur pendengaran sentral dan bukan karena angiopati koklea. Adanya
atrofi
vestibulokoklear
neuron juga
ganglion didapatkan
spiralis pada
dan
demielinisasi
pasien
diabetes.
saraf
Hal
ini
menunjukkan bahwa demielinisasi juga merupakan bentuk cedera awal pada saraf perifer penderita DM. Pengamatan melalui mikroskop menunjukkan demielinisasi nervus auditorius akibat degenerasi selubung myelin dengan perubahan minor pada akson dan fibrosis perineurium; atrofi parah pada ganglion spiral dengan hilangnya sel di koklea, dan pengurangan pada jumlah serabut saraf pada lamina spiralis. Temuan lainnya berupa pengurangan jumlah sel ganglion dalam nukleus dorsal dan ventral koklea, kehilangan sel ganglion pada nukleus olivarius superior, kolikulus inferior, dan korpus genikulatum medial. Tak ada perubahan langsung yang berkaitan dengan DM terlihat pada sentral pendengaran di lobus temporal (Malucelli et.al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
21
Fukushima et al. (2006) meneliti efek DM terhadap koklea manusia dan menyimpulkan
bahwa
pasien
DM
tipe
1
mungkin
mengalami
mikroangiopati koklea dan degenerasi dinding lateral koklea serta sel-sel rambut. Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga dalam. Baik kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi fungsi telinga dalam. Pasien dengan gangguan metabolisme glukosa mungkin memiliki gejala gangguan pendengaran, vestibular, atau campuran keduanya. Telinga dalam memperlihatkan aktivitas metabolik yang intens, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan energi. Oleh sebab itu perubahan kecil kadar gula mempengaruhi fungsi telinga dalam. Gangguan metabolisme telinga dalam, baik akibat pelepasan insulin oleh pankreas
atau
perubahan
reseptor
membran
sel,
cenderung
mengakibatkan pergeseran kalium dari endolimfe ke perilimfe dan sebaliknya pada natrium, dimana mekanisme tersebut memicu timbulnya vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran (Aladag et al., 2009, Maluceli et al., 2012). Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow & Metz, 2002). Faktor yang menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi tinggi yang terjadi pada penderita DM tipe-2 adalah sebagai berikut (Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003): 1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit dibandingkan di bagian apeks 2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan energi lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
22
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga memerlukan energi lebih banyak. 4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar. Meskipun sel sel rambut dapat menggunakan substrat selain glukosa (seperti glutamat, piruvat, atau fumarat) untuk mempertahankan potensial endolimfatik, namun glukosa merupakan substrat yang paling efektif. 2.5 Respon Stres Oksidatif Seluler Radikal bebas adalah partikel dari suatu molekul atau atom yang mengandung gugusan elektron yang tidak berpasangan dan bersifat sangat reaktif serta cenderung melepaskan atau menerima elektron dari jaringan sekitarnya (Sarma, Mallick & Ghosh, 2010). Di dalam tubuh organisme, pembentukan radikal bebas dapat berasal dari metabolisme molekul oksigen. Reaksi-reaksi metabolisme pada umumnya merupakan reaksi oksidasi reduksi. Oksidasi adalah reaksi yang melepaskan elektron, sedangkan reduksi adalah reaksi yang menerima elektron.
Gambar 2.6. Sumber Radikal Bebas Dalam metabolisme aerobik, radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh adalah derivat oksigen atau oksiradikal atau yang disebut juga dengan Reactive Oxygen Species (ROS).
Jenis jenis reactive
species dapat dilihat pada tabel 2.3 (Halliwell, 2001; Weidinger & Kozlov, 2015). Oksigen memiliki sifat yang unik, yakni lebih mudah bereaksi dengan melepaskan 1 elektron daripada 2 elektron. Oksigen dapat
Universitas Sumatera Utara
23
direduksi sempurna menjadi air dalam mitokondria melalui 4 tahap reaksi penambahan 1 elektron sebagai berikut (Granot & Kohen, 2004): O2 + eO2•- + e- + 2H+ -
H2O2 + e + H
+
2H• + e- + H+
O2•-
(radikal anion superoksida)
H2O2
(hidrogen peroksida)
H2O + OH•
(radikal hidroksil)
H2O
(air)
Tabel 2.3 Macam-macam Reactive Species Reactive Oxygen Species (ROS) Radikal
Nonradikal
Superoksida O2•-
Hidrogen peroksida H2O2
Hidroksil OH•
Asam hipoklorus HOCl
Peroksil RO2• contoh : peroksil lipid
Asam hipobromus HOBr
Alkoksil RO•
Ozon O3
Hidroperoksil HO2
Singlet oxygen 1∆g
Reactive Nitrogen Species (RNS) Radikal
Nonradikal
Nitrit Oksida (nitrogen monoksida) NO•
Asam nitrous HNO2
Nitrogen dioksida NO2•
Kation Nitrosil NO+ Anion Nitroksil NODinitrogen tetraoksida N2O4 Dinitrogen trioksida N2O3 Peroksinitrit ONOOAsam Peroksinitrous ONOOH Kation Nitronium (nitril) NO2+ Alkil peroksinitrit ROONO
Apabila oksigen hanya tereduksi sebagian, maka terbentuklah radikal bebas dari oksigen. Radikal-radikal bebas tersebut diantaranya adalah radikal anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH•), radikal peroksil (ROO•-), dan lain-lain (Schieber & Chandel, 2014; Evans & Halliwell, 1999).
Universitas Sumatera Utara
24
Ion-ion logam diketahui dapat mengkatalis reaksi pembentukan radikal bebas. Ion-ion logam tersebut misalnya Fe, Cu, Mn, Cr, Ni, V, Zn dan Al. Proses oksidasi yang dikatalisasi oleh ion-ion logam melalui 2 mekanisme yaitu reaksi ion-ion logam dengan hidroperoksida atau dengan molekul lipid (Reische, et al., 2008). ROS dimetabolisme melalui reaksi reduksi-oksidasi seluler dan dibentuk secara alamiah sebagai produk sampingan dalam proses metabolik aerobik normal serta dinetralisir oleh scavenger enzimatik berupa antioksidan endogen alamiah dalam tubuh, meliputi superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT) dan glutathione peroxidase (GPx), yang berguna sebagai mekanisme proteksi terhadap produksi ROS (Evans & Halliwell, 1999). Berbagai molekul ROS serta reaksi pembentukan dan detoksifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Molekul ROS, Reaksi Formasi dan Detoksifikasinya Dalam keadaan normal, ROS berada dalam keadaan seimbang dengan antioksidan endogen alamiah tubuh. Ketidakseimbangan antara kadar antioksidan dan ROS maupun ketidakmampuan antioksidan untuk menghambat produksi ROS berlebih akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang mampu merusak sel (Sies, 1997). Pada prinsipnya stres oksidatif dapat terjadi karena (Halliwell, 2001): 1.
Kurangnya
kadar
antioksidan,
misalnya
mutasi
genetik
yang
mempengaruhi sistem pertahanan enzim antioksidan (seperti CuZnSOD, MnSOD dan GSHPX) atau zat toksik yang dapat menyebabkan deplesi
Universitas Sumatera Utara
25
kadar antioksidan (misalnya beberapa xenobiotik yang dimetabolisme melalui konjugasi dengan GSH, sehingga dapat menyebabkan deplesi GSH meskipun xenobiotik yang bersangkutan tidak secara langsung mengasilkan reactive species). Rendahnya konsumsi antioksidan dan konstituen esensial lainnya juga dapat menyebabkan stres oksidatif. 2. Peningkatan produksiROS/RNS, misalnya pada keadaan terpapar zat toksik dosis tinggi yang besifat reaktif atau zat toksik yang dimetabolisme dengan hasil sampingan atau hasil akhir berupa spesies reaktif, atau akibat peningkatan aktivitas metabolik “alami” yang menghasilkan ROS/RNS (misalnya pada penyakit inflamasi seperti artritis rematoid dan kolitis ulserativa). ROS dihasilkan dalam keadaan metabolik normal dengan konsentrasi yang relatif rendah, yang berguna sebagai molekul sinyalisasi untuk fungsi seluler normal guna mengendalikan homeostasis sel dan jaringan, pembelahan, migrasi dan kontraksi sel serta produksi mediator-mediator (Evans & Halliwell, 1999; Le Prell, et al., 2007; Poirrier, et al., 2010; Uchida, et al., 2011; Rewerska, et al., 2013). Radikal bebas dianggap berkontribusi terhadap kejadian berbagai penyakit
termasuk
penyakit
Alzheimer
(Christen,
2000),
penyakit
Parkinson (Wood-Kaczmar, Gandhi & Wood, 2006), diabetes (Giugliano, Ceriello & Paolisso, 1996; Davi, Falco & Patrono, 2005), artritis reumatoid (Hitchon & El-Gabalawy, 2004), dan penyakit motor neuron neurogeneratif (Cookson & Shaw, 1999). Radikal bebas yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA diketahui dapat menyebabkan terjadinya kanker. Beberapa enzim antioksidan seperti SOD, CAT, GPx, GR, GST, dan lain-lain mampu melindungi DNA dari stres oksidatif. Terdapatnya polimorfisme pada enzim-enzim ini berhubungan dengan kerusakan DNA dan kemudian risiko individu terhadap kerentanan terjadinya kanker (Khan, et al., 2010). Mekanisme
pertahanan
lini
pertama
terhadap
ROS
adalah
menghilangkan ROS atau mengubahnya menjadi radikal bebas yang kurang toksik. Hal ini diperankan oleh enzim SOD yang mampu mengubah
Universitas Sumatera Utara
26
radikal anion superoksida (O2•-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dengan proses dismutasi. Dismutasi merupakan istilah yang mengacu kepada tipe reaksi khusus dimana 2 reaksi yang sama namun berlawanan terjadi pada 2 molekul yang terpisah. Enzim SOD mampu mengambil 2 molekul radikal anion superoksida (O 2•-) lalu melepaskan elektron ekstra pada salah 1 molekul dan menempatkannya pada molekul lainnya, sehingga jumlah elektron yang dimiliki oleh salah 1 molekul menjadi berkurang lalu membentuk molekul oksigen normal, sedangkan molekul lainnya memiliki elektron ekstra. Molekul yang memiliki elektron ekstra kemudian secara cepat mengambil 2 ion hidrogen untuk membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya, hidrogen peroksida (H 2O2) akan diubah menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2) oleh CAT. Enzim GPx akan turut membantu CAT dalam mengkonversi hidrogen peroksida (H2O2) dan glutathione tereduksi (GSH) menjadi molekul air (H2O) serta glutathione teroksidasi (GSSG). Proses konversi yang dilakukan oleh CAT dan GPx ini dianggap sebagai mekanisme pertahanan lini kedua. Guna menyelesaikan siklus reaksinya, glutathione reductase (GR) kemudian akan mereduksi glutathione teroksidasi (GSSG) dengan bantuan NADPH dan ion hidrogen menjadi glutathione tereduksi (GSH) dan NADP+ (Gambar 2.7) (Evans & Halliwell, 1999; Goodsell, 2007). 2.5.1 Hidrogen Peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida atau dihidrogen dioksida adalah produk sampingan berbahaya dari banyak proses metabolisme normal. Senyawa tersebut memiliki rumus kimia H2O2 dengan massa molekul 34.0147 gram/mol dan merupakan peroksida paling sederhana (senyawa dengan ikatan tunggal oksigen-oksigen) (Gambar 2.8). Bentuk murninya berupa cairan tidak berwarna serta memiliki viskositas yang sedikit lebih tinggi daripada air. Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan oksidator kuat dan digunakan sebagai agen pemutih dan desinfektan. Bahkan, konsentrat hidrogen peroksida (H2O2) atau disebut juga dengan high-test peroxide digunakan sebagai bahan pembakar dalam peroketan. Organisme aerob secara alami menghasilkan sejumlah hidrogen peroksida (H2O2), khususnya pada
Universitas Sumatera Utara
27
proses respiratory burst (oxidative burst) sebagai bagian dari respon imun. Respiratory burst (oxidative burst) merupakan proses pelepasan ROS secara cepat dari beberapa jenis sel imun seperti neutrofil dan monosit saat mengadakan kontak dengan bakteri ataupun jamur. Mekanisme tersebut memegang peranan berarti di dalam sistem imun dan merupakan reaksi yang penting terjadi pada fagosit guna mendegradasi partikelpartikel berbahaya dan mikroorganisme (Abrahams, Collin & Lipscomb, 1951; Giorgio, et al., 2007). Hidrogen peroksida (H2O2) memiliki kandungan oksidator dan reduktor, bergantung pada pH. Dalam suasana asam, hidrogen peroksida (H2O2) merupakan salah satu oksidator paling kuat, bahkan lebih kuat dari chlorine, chlorine dioxide, dan kalium permanganat. Selain itu, melalui proses katalisis, hidrogen peroksida (H2O2) dapat mengalami konversi menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Pada larutan asam, ion logam Fe2+ akan mengalami oksidasi menjadi Fe3+ akibat peran hidrogen peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan sulfite (SO32-) akan teroksidasi menjadi sulfate (SO42-). Dalam suasana basa, hidrogen peroksida (H2O2) berperan sebagai reduktor yang mereduksi beberapa ion anorganik. Saat berperan sebagai agen reduktor, gas oksigen (O2) juga akan dihasilkan. Pada larutan basa, natrium hipoklorit (NaOCl) akan mengalami reduksi menjadi natrium klorida (NaCl) akibat peran hidrogen peroksida (H2O2) sebagai agen oksidator dan kalium permanganat akan tereduksi menjadi mangan dioksida (MnO2) (Abrahams, Collin & Lipscomb, 1951; Giorgio, et al., 2007).
Gambar 2.8 Konfigurasi Kimia Hidrogen Peroksida (H2O2)
Universitas Sumatera Utara
28
Untuk mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan, hidrogen peroksida (H2O2) harus cepat diubah menjadi zat yang kurang berbahaya lainnya. CAT berperan dengan cepat untuk mengkatalisis dekomposisi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) dan oksigen (O2) yang tidak reaktif dengan bantuan enzim GPx yang turut mengkatalisis penguraian hidrogen peroksida (H2O2) menjadi molekul air (H2O) (Gaetani, et al., 1996). Mitokondria diketahui memiliki kandungan enzim CAT yang rendah, sehingga bila terdapat hidrogen peroksida (H2O2) dalam konsentrasi yang tinggi secara in vivo, maka CAT tidak cukup berperan menghancurkan senyawa tersebut, kecuali bila hidrogen peroksida (H2O2) tersebut melakukan difusi ke dalam peroksisom. Senyawa hidrogen peroksida (H2O2) merupakan salah satu senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan pada proses metabolisme di dalam sel. Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan sumber toksik berbagai macam penyakit karena dapat bereaksi menimbulkan kerusakan jaringan. Selain itu, hidrogen peroksida (H2O2) dianggap sebagai metabolit kunci karena stabilitasnya relatif tinggi, cepat menyebar dan terlibat dalam sirkulasi sel. Hidrogen peroksida (H2O2) memiliki kemampuan untuk berdifusi ke dalam dan menembus membran sel sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada sel yang terletak jauh dari tempat dibentuknya hidrogen peroksida (H2O2) (Halliwell & Gutteridge, 1984). Hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan sel sebagai agen antimikroba poten terhadap sel-sel yang terinfeksi suatu patogen. Namun, beberapa jenis mikroorganisme patogen yang memiliki kandungan CAT, seperti
Mycobacterium
tuberculosis,
Legionella
pneumophila,
dan
Campylobacter jejuni, mampu menonaktifkan senyawa hidrogen peroksida (H2O2), sehingga memungkinkan patogen tersebut untuk bertahan hidup tanpa cedera dalam tubuh host (penjamu) (Srinivasa Rao, Yamada & Leung, 2003).
Universitas Sumatera Utara
29
Sel darah putih diketahui mampu memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) untuk membunuh bakteri. Selain itu, hidrogen peroksida (H2O2) dapat menjadi first responder terhadap tanda terjadinya suatu trauma. Hal ini penting untuk diketahui karena para ilmuwan masih kurang mengetahui bagaimana mekanisme jaringan untuk mendeteksi kerusakan yang terjadi dan sinyal apa yang dikeluarkan akibat kerusakan tersebut. Para peneliti menemukan peningkatan kadar hidrogen peroksida (H2O2) di dalam sel ikan (zebrafish) setelah terjadi kerusakan jaringan, dimana hidrogen peroksida (H2O2) dianggap memberikan sinyal terhadap sel darah putih untuk
berkumpul ke daerah kerusakan dan
menginisiasi proses
penyembuhan. Saat gen yang memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) dirusak, ternyata sel darah putih tidak berakumulasi pada daerah kerusakan. Meskipun penelitian ini dilakukan pada ikan (zebrafish), namun karena ikan secara genetik memiliki kemiripan dengan manusia, proses yang serupa dispekulasikan terjadi pada manusia.
Penelitian ini
dihubungkan dengan penderita asma yang memiliki kadar hidrogen peroksida (H2O2) yang tinggi pada paru-paru dibandingkan individu yang sehat, dimana hal ini dapat menjelaskan kenapa penderita asma memiliki kadar sel darah putih
yang meningkat pada paru-paru
mereka
(Niethammer, et al., 2009). Pada manusia, hidrogen peroksida (H2O2) diproduksi secara utama pada paru-paru, usus dan kelenjar tiroid. Oleh karena itu, Mitchison, et al. berasumsi bahwa hidrogen peroksida (H2O2) memegang peranan di dalam penyakit-penyakit yang terjadi pada daerah tersebut, seperti asma, COPD dan beberapa penyakit inflamasi usus. Epitel paru-paru dan usus akan memproduksi hidrogen peroksida (H2O2) dengan konsentrasi yang tinggi karena terinflamasi secara kronik, yang ditandai dengan kadar sel darah putih yang tidak normal (Niethammer, et al., 2009). Hidrogen peroksida (H2O2) mampu merusak sel melalui oksidasi langsung terhadap protein, lipid dan DNA ataupun berperan sebagai molekul sinyal yang memicu jalur-jalur intraseluler penyebab kematian sel. Pada suatu studi yang dilakukan terhadap jaringan otak hewan coba tikus
Universitas Sumatera Utara
30
yang diberikan hidrogen peroksida (H2O2), ditemukan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) mampu menyebabkan membran plasma dari astrosit primer menjadi lebih seperti gel (gel-like), sedangkan membran artifisial dari vesikel yang mengandung ekstrak lipid dari jaringan otak tikus menjadi lebih seperti kristal cair (liquid crystalline-like). Selain dampak yang ditimbulkan terhadap kandungan membran, hidrogen peroksida (H2O2) mampu memicu terjadinya polimerisasi aktin, menginduksi pembentukan cytoneme dan tunneling nanotube (TNT)-like connection dari sel ke sel pada astrosit serta meningkatkan kolokalisasi miosin Va dengan F-actin. Actin dan miosin diketahui sebagai protein motor yang berperan di dalam berbagai proses seluler seperti motilitas sel, transportasi seluler, komunikasi seluler, pengendalian siklus sel, struktur seluler dan sinyalisasi sel. Konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang tinggi mampu menganggu segala proses ini akibat proses remodeling terhadap actin dan miosin yang disebabkan oleh hidrogen peroksida (H2O2) (Zhu, et al., 2005). Selanjutnya, hidrogen peroksida (H2O2) juga memicu terjadinya fosforilasi p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang mampu merubah morfologi astrosit dengan cara mengubah fase membran astrosit, vesikel lipid dan organisasi sitoskeleton. Hal ini mengindikasikan peran hidrogen peroksida (H2O2) di dalam memicu stres oksidatif yang dapat menyebabkan sejumlah penyakit neurodegeneratif. Hidrogen peroksida (H2O2) juga telah dilaporkan mampu menginduksi pembentukan kompleks adhesi fokal dan reorganisasi aktin pada sel endotel. Selain itu, hidrogen peroksida (H2O2) juga menyebabkan aktivasi p38 MAPK yang diikuti dengan aktivasi MAPK-activated protein kinase-2/3 dan fosforilasi heat shock protein (HSP) (Zhu, et al., 2005). Mitokondria merupakan organela kompleks yang terdapat sebagai formasi jalinan tubular di dalam sel. Mitokondria memiliki 2 jalur berbeda untuk mempertahankan keseimbangan dinamis dari formasi jalinan filamen mitokondria dengan cara melakukan fusi dan fisi. Disregulasi dari jalur-jalur tersebut dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seluler. Proses
Universitas Sumatera Utara
31
fusi mitokondria dimediasi oleh protein mitofusin-1 dan mitofusin-2 dan bertanggung jawab di dalam pemanjangan serta penarikan mitokondria yang berdekatan untuk membentuk formasi jalinan. Sebaliknya, proses fisi mitokondria melibatkan pembelahan mitokondria dan dimediasi oleh protein fission-1 dan dynamin-related protein (Drp-1) (Bolisetty & Jaimes, 2013). Dalam kondisi normal, formasi jalinan tubular mitokondria dibangun melalui peningkatan proses fusi. Namun, dalam keadaan stres oksidatif, proses fisi mitokondria akan lebih berperan sehingga formasi jalinan filamen mitokondria akan hancur menjadi fragmen-fragmen. Hidrogen peroksida (H2O2) ditemukan mampu menginduksi terjadinya proses fisi mitokondria pada berbagai sel termasuk fibroblas (Bolisetty & Jaimes, 2013). Fragmentasi yang terjadi berhubungan dengan dosis (konsentrasi), waktu dan bersifat reversibel. Artinya, konsentrasi yang tinggi dari hidrogen peroksida (H2O2) serta lamanya senyawa tersebut berada di dalam mitokondria akan mampu menyebabkan terjadinya fragmentasi terhadap mitokondria akibat peningkatan proses fisi (Bolisetty & Jaimes, 2013). Peran stres oksidatif terhadap disfungsi endotel pada mikrosirkulasi telinga bagian dalam telah diselidiki. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi ROS yang tinggi (terutama hidrogen peroksida, H2O2) dapat menginduksi apoptosis atau kematian mendadak dari sel endotel telinga bagian dalam. Pada model percobaan in vitro terhadap stres oksidatif, ditemukan bahwa pada konsentrasi yang rendah, hidrogen peroksida (H2O2) dapat meningkatkan ekspresi molekul ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule1) dan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas I. Respon-respon ini berlangsung meskipun tanpa ada bukti terjadinya cedera seluler yang ireversibel. Sebaliknya, konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang lebih tinggi mampu menyebabkan sel endotel mengalami apoptosis, dan pada konsentrasi paling tinggi, menyebabkan kematian mendadak pada kultur sel endotel (Ciorba, et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
32
Kerusakan sel yang diinduksi oleh senyawa hidrogen peroksida (H2O2) pada telinga bagian dalam telah ditemukan melalui penelitian yang dilakukan terhadap epitel neurosensorik dari koklea marmut. Setelah 2 jam pemberian 0.2 mM hidrogen peroksida (H2O2), sekitar 85% sel rambut luar mengalami kerusakan. Sebaliknya, sel rambut dalam mengalami kematian setelah 2 jam pemberian hidrogen peroksida (H2O2). Sel Deiter dan sel Hensen tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kerusakan akibat hidrogen peroksida (H2O2) (Dehne, et al., 2000). Oleh karena hidrogen peroksida (H2O2) merupakan senyawa yang reaktif, terdapatnya ion-ion logam transisi bebas dapat mengkonversi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif melalui reaksi Fenton ataupun reaksi Haber-Weiss (Winterbourn, 1995; Kehrer, 2000; Koppenol, 2001; Barbusinski, 2009). Pada tahun 1894, Henry John Horstman Fenton menemukan bahwa beberapa ion logam transisi memiliki kekuatan katalitik kuat untuk menghasilkan radikal hidroksil (OH•). Sejak saat itu, proses katalisis hidrogen peroksida (H2O2) oleh ion logam transisi disebut sebagai reaksi Fenton (Winterbourn, 1995; Barbusinski, 2009), seperti yang dapat dilihat pada reaksi kimia di bawah ini: Mn+ + H2O2 M(n+1)+ + OH• + OHKeterangan: M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2)
Kemudian pada tahun 1934, Fritz Haber dan muridnya Joseph Joshua Weiss, mengajukan konsep bahwa radikal hidroksil (OH•) juga dapat dihasilkan dari interaksi antara radikal anion superoksida (O2•-) dan hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini disebut dengan reaksi Haber-Weiss dan adanya ion logam transisi bebas berperan sebagai katalisis terjadinya reaksi ini (disebut juga iron-catalyzed Haber-Weiss reaction atau HaberWeiss net reaction) (Kehrer, 2000), seperti yang dapat dilihat pada reaksi kimia di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
33
Mn+ atau M(n+1)+
O2•- + H2O2 O2 + OH• + OHKeterangan: M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2) Selain itu, keberadaan radikal anion superoksida (O2•-) juga mampu mendorong semakin berlangsungnya reaksi Fenton melalui konversi ulang ion logam oleh radikal anion superoksida (O2•-) terhadap ion logam produk reaksi Fenton. Akibatnya, ion logam tersebut secara terus-menerus akan mengadakan reaksi Fenton dengan hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini disebut
juga
superoxide
driven
Fenton
reaction
(Kehrer,
2000;
Barbusinski, 2009). Contoh dari reaksi Fenton, reaksi Haber-Weiss dan superoxide driven Fenton reaction akibat keberadaan ion logam Fe2+ dapat dilihat pada Gambar 2.9 di bawah ini (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009):
Gambar 2.9
Reaksi Fenton, Superoxide Driven Fenton Reaction dan Reaksi Haber-Weiss
Keterangan: Pada reaksi Fenton, ion Fe2+ akan bereaksi dengan hidrogen peroksida
Universitas Sumatera Utara
34
(H2O2) menghasilkan ion Fe3+, radikal hidroksil (OH•) dan anion hidroksida (OH-). Pada reaksi Haber-Weiss, radikal anion superoksida (O2•-) akan bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang dikatalisis oleh ion Fe2+ maupun Fe3+ menghasilkan oksigen (O2), radikal hidroksil (OH•) dan anion hidroksida (OH-). Pada superoxide driven Fenton reaction, ion Fe3+ yang dihasilkan sebagai produk reaksi Fenton akan bereaksi dengan radikal anion superoksida (O2•-) sehingga menghasilkan kembali ion Fe2+ dan oksigen (O2). Ion Fe2+ yang dihasilkan akan mampu bereaksi kembali dengan hidrogen peroksida (H2O2) dan kembali mencetuskan reaksi Fenton secara terus-menerus. Reaksi Haber-Weiss bersifat inklusif terhadap reaksi Fenton. Mengenai apakah yang terjadi adalah reaksi Fenton atau reaksi Haber-Weiss, semuanya bergantung pada stoikiometri reaktannya (hubungan kuantitatif antara zat-zat yang terkait dalam suatu reaksi kimia). Jika kadar hidrogen peroksida tinggi dan kadar ion logam transisi bebas rendah, maka reaksi Haber-Weiss yang akan terjadi. Sebaliknya, jika kadar hidrogen peroksida rendah dan kadar ion logam transisi bebas tinggi, maka reaksi Fenton yang akan terjadi (Kehrer, 2000; Barbusinski, 2009). ROS diketahui sebagai salah satu sumber kerusakan DNA karena kemampuan mereka secara langsung memodifikasi DNA atau secara tidak langsung menghasilkan lesi yang berbeda, yang keduanya dapat mempengaruhi viabilitas sel. Proses kerusakan oksidatif dari DNA yang terjadi dikelompokkan menjadi 5 kelas: oxidized bases dan abasic sites, DNA–DNA intrastrand adduct, single-strand break (SSB), double-strand break (DSB) serta DNA–protein crosslinks (Filomeni, Zio & Cecconi, 2015). Pada penelitian yang dipublikasikan oleh Ward, et al. (1985), ditemukan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) mampu mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA intraseluler tipe single-strand break (SSB) dan double-strand break
(DSB)
pada mamalia.
Mekanisme penyebab
terjadinya kerusakan DNA oleh hidrogen peroksida (H2O2) tersebut berhubungan dengan produksi radikal hidroksil (OH•) dan reaksi lanjutannya
terhadap
DNA.
Hidrogen
peroksida
(H2O2)
mampu
Universitas Sumatera Utara
35
mengadakan reaksi Fenton dengan ion logam yang berikatan terhadap sisi spesifik pada DNA sehingga membentuk radikal hidroksil (OH•) yang akan segera merusak DNA (Ward, et al., 1987). Mekanisme terjadinya kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB) oleh hidrogen peroksida (H2O2) melalui reaksi Fenton didahului dengan kerusakan DNA tipe single-strand break (SSB) seperti yang terlihat pada reaksi kimia di bawah ini (Ward, et al., 1987):
M+ + H2O2
M2+ + OH•
DNA + OH• SSB Keterangan: M dapat berupa ion logam dengan angka valensi bervariasi yang berikatan terhadap lokasi spesifik pada DNA. Reaksi di atas akan diikuti dengan proses reduksi metabolik yang menghasilkan ion logam teroksidasi pada DNA seperti terlihat pada reaksi di bawah ini: M2+ M+
Selanjutnya molekul hidrogen peroksida (H2O2) berikutnya akan mengadakan reaksi terhadap lokasi spesifik yang sama pada DNA seperti sebelumnya dan kemudian menghasilkan radikal hidroksil (OH•) kembali seperti terlihat pada reaksi di bawah ini: M+ + H2O2
M2+ + OH•
Reaksi radikal hidroksil (OH•) kedua terhadap untaian DNA intak akan menyebabkan terjadinya double-strand break (DSB) seperti terlihat pada reaksi di bawah ini: DNA SSB + OH• DNA DSB
Universitas Sumatera Utara
36
Kerusakan DNA tipe double-strand break (DSB) hanya ditemukan pada konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) yang sangat tinggi (1 M selama 10 menit). Pada konsentrasi yang sangat tinggi, hidrogen peroksida (H2O2) mampu menciptakan lingkungan berkondisi garam anisotonik yang mempengaruhi efektivitas reaksi Fenton dengan cara menguraikan ion logam dengan valensi bervariasi dari DNA dan/atau dengan mengubah struktur kromatin (Ward, et al., 1987). Hoffmann dan Meneghini (1979) juga menemukan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) berperan di dalam mekanisme kematian sel yang melibatkan DNA sebagai target dan oleh sebab itu, hidrogen peroksida (H2O2)
turut
berkontribusi
terhadap
terjadinya
mutagenesis,
karsinogenesis dan penuaan. Mereka juga mengungkapkan bahwa hidrogen peroksida (H2O2) menyebabkan kerusakan DNA tipe singlestrand break (SSB) dalam fibroblas manusia dengan bantuan mediator berupa ion-ion logam intraseluler, yang akan bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2), sehingga memicu terjadinya reaksi Fenton dan menghasilkan radikal hidroksil (OH•) yang sangat reaktif. Hasil penelitian juga mendapati bahwa hidrogen peroksida (H2O2) senyawa yang bertanggung jawab terhadap cedera mematikan pada fibroblas manusia yang diproduksi oleh sel fagosit pada lokasi inflamasi (Filho, Hoffmann & Meneghini, 1984).
2.5.2. Malondialdehyde (MDA) sebagai produk utama peroksidasi lipid akibat stress oksidatif Peroksidasi lipid dapat digambarkan secara umum sebagai suatu proses dimana oksidan seperti radikal bebas menyerang lipid yang mengandung ikatan ganda karbon, khususnya polyunsaturated fatty acid (PUFA) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014). Dua senyawa radikal paling umum memberikan pengaruh yang banyak terhadap lipid terutama radikal hidroksil (OH•) dan hidroperoksil (HO2•). Senyawa radikal hidroksil (OH•) berukuran kecil, sangat mobile, larut air dan secara kimia sangat reaktif. Senyawa berusia pendek ini dapat
Universitas Sumatera Utara
37
diproduksi dari oksigen (O2) pada metabolisme sel dan saat berada dalam berbagai kondisi stres. Tiap 1 sel pada tubuh manusia memproduksi sekitar 50 radikal hidroksil (OH•) setiap detik. Artinya, dalam 1 hari penuh, tiap sel dapat menghasilkan 4 juta radikal hidroksil (OH•), yang dapat dinetralkan ataupun malah menyerang biomolekul. Radikal hidroksil (OH•) mampu menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel karena secara tidak spesifik menyerang biomolekul yang terletak kurang dari beberapa nanometer dari lokasi pembentukan senyawa tersebut dan diketahui terlibat
dalam
kelainan
seluler
seperti
neurodegenerasi,
penyakit
kardiovaskuler dan kanker. Di dalam sistem biologis, radikal hidroksil (OH•) dibentuk melalui siklus redoks melalui reaksi Fenton dan reaksi Haber-Weiss (Gambar 2.20) (Ayala, Munoz & Arguelles, 2014). Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi berantai yang diinisiasi oleh proses abstraksi atom hidrogen pada struktur PUFA penyusun membran plasma sehingga mengakibatkan kerusakan oksidatif. Konfigurasi struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) yang dipisahkan oleh gugus metilen (-CH2-) yang terdapat pada PUFA merupakan target sensitif radikal bebas karena atom hidrogen yang terkandung pada gugus metilen tersebut dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga radikal bebas dapat berikatan dengan struktur kimia rantai ganda karbon (C=C) pada PUFA yang kemudian bereaksi dengan oksigen dan akan memicu reaksi berantai yang menghasilkan produk radikal asam lemak yang tidak stabil. Peroksidasi lipid merupakan salah satu penanda paling unggul dalam menilai kadar ROS yang menyebabkan kerusakan jaringan sistemik. Peroksidasi lipid ini mampu mengakibatkan hilangnya fluiditas membran hingga membran tersebut ruptur dan kemudian terjadi pelepasan sel (De Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz & Arguelles, 2014).
Universitas Sumatera Utara
38
Proses peroksidasi lipid terdiri dari 3 fase, yakni (Halliwell & Gutteridge, 1984; De Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007; Ayala, Munoz & Arguelles, 2014): 1. Inisiasi Pada fase ini, radikal bebas (R•) akan mengabstraksi atom hidrogen pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari molekul PUFA (LH) dan membentuk radikal bebas L• (alkyl radical) yang secara cepat mengadakan reaksi dengan oksigen (O2) sehingga terbentuk radikal peroksil (LOO•) yang berpotensi mengabstraksi atom hidrogen dari gugus molekul PUFA yang berada di sebelahnya. 2. Propagasi Radikal peroksil (LOO•) akan kembali mengabstraksi atom hidrogen pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari molekul PUFA (LH) terdekat, kemudian membentuk radikal bebas L• (alkyl radical) lain yang secara cepat akan bereaksi lagi dengan oksigen (O2) lalu membentuk radikal L1OO• baru, L2OO•, LnOO• dan seterusnya sehingga memicu reaksi peroksidasi lipid di sepanjang membran sel. Selain itu, proses abstraksi yang dilakukan oleh radikal peroksil (LOO•) terhadap atom hidrogen pada ikatan karbon-hidrogen pada gugus metilen bis-allylic carbon dari molekul PUFA (LH) yang lainnya akan membentuk hidroperoksida lipid (LOOH) yang merupakan produk primer peroksidasi yang bersifat sitotoksik. Melalui pemanasan atau reaksi yang melibatkan ion logam transisi seperti Fe2+, hidroperoksida lipid (LOOH) akan dipecah menjadi produk peroksidasi lipid sekunder, yakni radikal lipid alkoksil (LO•) dan radikal hidroksil (OH•). Radikalradikal ini juga dapat menginisiasi reaksi peroksidasi lipid selanjutnya. Proses ini akan terus berlangsung beberapa kali sampai berhenti jika telah mencapai fase terminasi. 3. Terminasi Radikal karbon L• (alkyl radical) yang terbentuk pada reaksi inisiasi cenderung menjadi stabil melalui reaksi dengan radikal karbon L• (alkyl radical) lain maupun radikal-radikal yang terbentuk seperti radikal
Universitas Sumatera Utara
39
peroksil (LOO•) dan lainnya pada tahap propagasi. Bila radikal bereaksi dengan radikal lain seperti radikal karbon L• (alkyl radical), radikal peroksil (LOO•) ataupun molekul dengan elektron tidak berpasangan, maka rantai propagasi akan berhenti. Namun, bila radikal bereaksi dengan senyawa non-radikal, reaksi tersebut akan selalu menghasilkan radikal-radikal yang lain. Inilah sebabnya proses ini disebut sebagai mekanisme reaksi berantai. Reaksi radikal akan berhenti saat 2 senyawa radikal bereaksi dan memproduksi senyawa non-radikal. Hal ini hanya terjadi jika konsentrasi senyawa radikal cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya proses kolisi (tabrakan) terhadap 2 radikal. Ilustrasi 3 fase peroksidasi lipid tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:
Gambar 2.10 Peroksidasi Lipid Suatu Reaksi Rantai Pembentuk Beberapa Radikal Peroksida Lipid Produk akhir dari dekomposisi hidroperoksida lipid (LOOH) yang dikatalisis oleh kompleks logam transisi bebas akan dapat melangsungkan reaksi beta-cleavage sehingga membentuk senyawa aldehid reaktif yang bersifat sitotoksik dan genotoksik seperti MDA dan senyawa alkena dan karbonil seperti HNE, serta gas hidrokarbon seperti etana, dan lain sebagainya (Gambar 2.11) (De Zwart, et al., 1999; Setiawan & Suhartono, 2007).
Universitas Sumatera Utara
40
Gambar 2.11 Beberapa Produk Akhir Peroksidasi Lipid
Produk-produk akhir tersebut terlibat pada sebagian besar patofisiologi terkait stres oksidatif pada sel maupun jaringan. Meskipun sebagai produk akhir, secara kimiawi senyawa-senyawa tersebut tetap aktif dan mempunyai reaktivitas yang tinggi terhadap berbagai biomolekul, termasuk protein, fosfolipid dan DNA (Setiawan & Suhartono, 2007). Senyawa aldehid bersifat relatif stabil sehingga mampu berdifusi ke dalam atau ke luar sel untuk menyerang target yang berada jauh dari tempat asal pembentukannya. Oleh sebab itu, senyawa aldehid dan metabolit-metabolitnya menjadi indikator parameter yang baik terhadap proses peroksidasi lipid, sehingga MDA digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lipid dan menggambarkan derajat stres oksidatif (De Zwart, et al., 1999). Produk akhir peroksidasi lipid seperti MDA dan HAE merupakan indikator stres oksidatif yang telah terbukti ditemukan dalam sel-sel rambut, sel-sel penyokong, neuron ganglion spiralis dan stria vaskularis setelah pajanan bising. MDA merupakan senyawa dialdehid 3 karbon yang sangat reaktif. MDA mampu bergabung dengan beberapa gugus fungsional molekul seperti protein, lipoproten dan DNA. Senyawa MDA bereaksi dengan DNA untuk membentuk adduct atau addition product (senyawa yang dibentuk akibat pengikatan secara kovalen senyawa yang elektrofil
pada
komponen
biologis
yang
nukleofil)
terhadap
Universitas Sumatera Utara
41
deoxyguanosine dan deoxyadenosine pada DNA. Pembentukan adduct atau addition product terbanyak terhadap DNA manusia adalah suatu pyrimidopurinone yang disebut M1G. Protein yang mengalami modifikasi akibat MDA menunjukkan adanya perubahan prilaku psikokimia dan antigenisitas. MDA merupakan senyawa yang toksik dan terbukti berhubungan dengan proses mutagenesis penuaan, karsinogenesis, nefropati diabetik, penyakit Alzheimer, dan lain-lain (Poirrier, et al., 2010). Konsentrasi MDA diketahui meningkat secara bermakna dalam suatu penelitian terhadap jaringan paru tikus yang mengalami inflamasi paru kronik setelah pemberian silikon dioksida akibat proses stres oksidatif intraseluler yang terjadi (Barsan, et al., 2013). Pada suatu penelitian terhadap otak tikus yang mengalami kerusakan akibat proses hipoksia iskemik, MDA ditemukan dalam kadar yang tinggi dan berperan di dalam terjadinya perubahan struktur dan morfologi sel neuron pada korteks otak tikus (Zheng, et al., 2009). Pengukuran kinetika peroksidasi lipid yang dinilai berdasarkan dapat dilakukan dengan beberapa metode, salah satunya TBA (Thiobarbituric Acid) reactivity test, yang dapat dilakukan baik secara in vivo maupun in vitro. Uji ini didasarkan pada reaksi kondensasi antara 1 molekul MDA dengan 2 molekul TBA pada kondisi asam. Hasilnya adalah pigmentasi berwarna merah yang dapat diukur pada panjang gelombang 532 nm. Jumlah
kadar
MDA
yang
terdeteksi
menggambarkan
banyaknya
peroksidasi lipid yang terjadi. Senyawa HNE dikenal sebagai second messenger radikal bebas dan juga merupakan marker bioaktif utama peroksidasi lipid sehubungan dengan sejumlah aktivitas biologisnya yang menyerupai aktivitas radikal bebas (De Zwart, et al., 1999).
Universitas Sumatera Utara
42
2.6 Pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) pada Diabetes Mellitus Keadaan hiperglikemia yang berkepanjangan sampai saat ini diakui sebagai faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya berbagai komplikasi DM. Hiperglikemia menginduksi sejumlah besar perubahan
dalam
menyebabkan
jaringan
pembuluh
darah,
yang
aterosklerosis.
Beberapa
mekanisme
berpotensi
utama
yang
mencakup sebagian besar perubahan patologis yang diamati dalam pembuluh darah penderita DM (Gambar 2.12) yaitu (1) glikosilasi nonenzimatik protein dan lipid, (2) aktivasi protein kinase C (PKC), (3) peningkatan fluks melalui jalur heksosamin (4) peningkatan stres oksidatif, dan (5) peradangan (Aronson, 2008; Vincent et.al, 2004).
Gambar 2.12
Aktivasi Signaling Berbagai Mekanisme Dalam Sel Akibat Hiperglikemia
Stres oksidatif secara luas dianggap sebagai mekanisme yang mendasari terjadinya aterosklerosis. Kerusakan oksidatif terhadap protein dinding arteri dapat terjadi bahkan pada paparan hiperglikemia jangka pendek. Di antara gejala sisa hiperglikemia, stres oksidatif diperkirakan merupakan mekanisme potensial yang dapat mempercepat terjadinya
Universitas Sumatera Utara
43
aterosklerosis. Terdapat hubungan yang erat antara stres oksidatif yang diinduksi hiperglikemia dengan mekanisme kerusakan vaskuler akibat hiperglikemia melalui jalur yang lain seperti pembentukan AGEs, aktivasi PKC, dan peningkatan fluks melalui jalur heksosamin (Gambar 2.13) (Aronson, 2008; Vincent et.al, 2004).
Gambar
2.13
Hubungan Antioksidan,
antara Stres
Pembentukan Oksidatif
dan
Oksidan,
Aktivitas
Kerusakan
yang
Disebabkannya pada DM (Aronson, 2008). Hiperglikemia dapat meningkatkan stres oksidatif melalui beberapa jalur. Mekanisme utamanya adalah produksi berlebihan anion superoksida (O2-) melalui rantai transpor elektron mitokondria. Pembentukan fisiologis spesies O2 (terutama superoksida radikal) terjadi selama shuttling transfer elektron oleh sitokrom dalam rantai transpor elektron. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan produksi donor elektron (NADH dan FADH2) oleh siklus trikarboksilat. Hal ini mengakibatkan tingginya potensial membran mitokondria melalui pompa proton melintasi membran dalam mitokondria. Akibatnya, gradien tegangan yang melintasi membran mitokondria meningkat sampai ambang batas kritis tercapai, dan transpor elektron diblokir. Hal ini meningkatkan waktu paruh koenzim Q (ubiquinone) radikal bebas intermediet, yang mereduksi O 2 menjadi
Universitas Sumatera Utara
44
superoksida, dan secara nyata meningkatkan produksi superoksida (Aronson, 2008). Beberapa zat produk advanced glycosylation (AGEs / advanced glycosylation end products) seperti N(6) – Carboxymethyllysine (CML) dan pentosidin terbentuk dalam reaksi protein dengan glukosa hanya dalam kondisi oksidatif. Dengan demikian, beberapa AGEs yang dihasilkan oleh gabungan proses glikasi dan oksidasi disebut produk glikooksidasi. Setiap struktur
AGE
memiliki
mekanisme
pembentukannya
sendiri
dan
ketergantungannya sendiri terhadap stres oksidatif. Namun, karena produk glikooksidasi pada protein bersifat ireversibel, disimpulkan bahwa zat tersebut dapat menjadi biomarker akumulasi stres oksidatif pada jaringan.
Memang
terdapat
korelasi
kuat
antara
tingkat
produk
glikooksidasi dalam kolagen kulit dengan tingkat keparahan komplikasi diabetes yang mengenai retina, ginjal, dan pembuluh darah penyakit (Aronson, 2008). Mekanisme potensial lain yang berkontribusi terhadap stres oksidatif melibatkan transisi metal-catalyzed autoksidasi glukosa bebas. Melalui mekanisme ini, glukosa sendiri memulai reaksi autooksidasi dan produksi radikal bebas yang menghasilkan anion superoksida (O2-) dan hydrogen peroksida (H2O2). Reaksi ini sering dikatalisis oleh logam transisi, tetapi bahkan dengan katalis, reaksi berlangsung sangat lambat. Kemudian interaksi antara epitop AGE dan reseptor AGE di permukaan sel meregulasi gen respon terhadap stres oksidatif dan melepaskan radikal oksigen.
Dengan
demikian,
hiperglikemia
secara
bersamaan
meningkatkan baik pembentukan AGEs dan stres oksidatif maupun interaksi antara glikasi, dan oksidasi kimiawi dapat saling meningkatkan masing-masing proses tersebut. Selain itu, stres oksidatif yang dihasilkan akibat hiperglikemia dapat menyebabkan aktivasi DAGPKC dalam jaringan pembuluh darah (Aronson, 2008). Hal yang juga penting adalah bahwa semua mekanisme disfungsi seluler akibat hiperglikemia tampaknya berhubungan dan semakin meningkat dengan adanya stres oksidatif. Nishikawa et al. telah
Universitas Sumatera Utara
45
menunjukkan bahwa over produksi superoksida mitokondria akibat hiperglikemia dapat meningkatkan pembentukan AGEP, aktivasi PKC, dan aktivitas jalur hexosamine. Penghambatan produksi superoksida melalui overekspresi
mangan
superoksida
menjadi
kelebihan peningkatan
superoksida
dismutase H2O2)
atau
akibat
pembentukan
(yang
dengan
uncoupling
cepat
mengubah
protein-1
mencegah
hiperglikemia.
Secara
bersamaan,
intraseluler,
aktivasi
PKC,
AGE
dan
peningkatan pembentukan hexosamin dapat dicegah. Dengan demikian, beberapa mekanisme berkaitan hiperglikemia yang tampaknya tidak saling berhubungan, yang berkontribusi terhadap komplikasi vaskular diabetes, mungkin timbul dari satu proses yaitu kelebihan produksi molekul radikal bebas superoksida (Aronson, 2008). Ada juga bukti yang mendukung pentingnya spesies reaktif oksigen dalam mendorong dan mempertahankan disfungsi sel endotelial pada diabetes. Overproduksi superoksida pada sel endotel mengurangi bioaktivitas NO karena superoksida bereaksi cepat dengan NO, menghasilkan radikal oksidatif peroksinitrit. Stres oksidatif terkait diabetes juga menginduksi kerusakan DNA rantai tunggal, menyebabkan aktivasi enzim poli nuklear (ADP-ribosa) polimerase (PARP). Hasil dari proses ini adalah menipisnya sumber energi endotel, termasuk NADPH. Inhibitor PARP dapat mempertahankan responsivitas pembuluh darah yang normal, meskipun pada kondisi hiperglikemia parah (Aronson, 2008). Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan produk produk reduksi parsial dari O2, yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari berbagai proses biologis. Sebagai contoh, reduksi satu elektron O2 yang terjadi sebagai akibat dari kebocoran elektron dari mitokondria atau oksigenasi molekul organik dengan enzim sitokrom P450 pada awalnya menghasilkan anion superoksida (O2-•), yang kemudian secara spontan atau enzimatik (melalui superoxide dismutase) dikonversi ke H2O2. Hidrogen peroksida kemudian direduksi lebih lanjut menjadi radikal hidroksil (OH•) melalui reaksi Fenton dengan adanya ion Cu2+ atau Fe2+. Hidrogen peroksida, merupakan anion superoksida dan radikal hidroksil yang secara umum
Universitas Sumatera Utara
46
dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (ROS). Secara umum, ROS beracun bagi sel-sel karena kecenderungannya untuk menyebabkan kerusakan makromolekul. Meskipun H2O2 adalah oksidan ringan dan paling kurang reaktif dibandingkan ROS yang lainnya, semua sel aerob dilengkapi dengan berbagai enzim untuk mengeliminasi H2O2 karena H2O2 sangat mudah dikonversi menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif radikal melalui reaksi Fenton (D'Autreaux dan Toledano, 2007;. Giorgio et al, 2007; Rhee, 2006). 2.7 Curcuminoid Curcuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara lain: Curcuma longa syn. Curcuma domestica Val. (kunyit) dan Curcuma xanthorrhiza (temulawak). Kunyit pertama kali diklasifikasikan secara taksonomi oleh seorang ilmuwan asal Swedia bernama Carl Linnaeus pada tahun 1753 sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Spesies
: Curcuma longa Linnaeus
(Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001).
2.7.1 Sifat kimia dan fisik curcuminoid Kandungan utama dari curcuminoid adalah curcumin yang memberikan warna kuning. Nama kimia untuk curcumin adalah diferuloylmethane atau (1,7-bis[4-hydroxy-3-methoxyphenyl]-1,6-heptadiene-3,5-dione)
dengan
rumus molekul C21H20O6 dan Nilai pKa-nya adalah 8.54. Curcumin mengandung 60-70% karbohidrat, 8.6% protein, 5-10% lemak, 2-7% serat, 3-5% curcuminoid (50-70% curcumin) dan lebih dari 5% minyak esensial
Universitas Sumatera Utara
47
dan resin, sisanya mengandung mineral seperti magnesium, besi, mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal, seng, kobalt, aluminium dan bismuth. Kandungan curcumin di dalam kunyit berkisar 3-4% (Eigner & Schulz, 1999; Joe, Vijaykumar & Lokesh, 2004). Komposisi curcuminoid sekitar 70% curcumin (curcumin I), 17% demethoxycurcumin (curcumin II), 3% bis-demethoxycurcumin (curcumin III) dan sisanya (10%) disebut dengan cyclocurcumin (curcumin IV) yang memiliki sedikit atau tanpa aktivitas biologis. Curcumin tidak dapat larut dalam air dan eter, tetapi larut dalam etil asetat, etanol, metanol, aseton, asam asetat glasial, dimetilsulfoksida dan benzene. Beberapa peneliti telah membuktikan sensitivitas
curcumin
terhadap
cahaya,
dan
sebagai
hasilnya
menyarankan bahwa sampel biologis yang mengandung curcumin harus dilindungi dari cahaya. Masalah stabilitas lainnya terjadi ketika curcumin ditempatkan dalam sistem penyangga fosfat dengan pH 7.2. Dalam kondisi ini, sebagian besar curcumin (>90%) berdegradasi dalam waktu 30 menit dari penempatan (Araujo & Leon, 2001; Joe, Vijaykumar & Lokesh, 2004; Chattopadhyay, et al., 2004; Sharma, Gescher & Steward, 2005; Aggarwal & Shishodia, 2006; Trujillo, et al., 2013; Yadav, et al., 2013; Prasad, et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
48
Model struktur curcuminoid dari kunyit dapat dilihat pada Gambar 2.14 di bawah ini:
Gambar 2.14. Struktur Molekul Komponen Curcuminoid 2.7.2 Target molekuler curcuminoid Berbagai studi telah berhasil memperlihatkan peranan curcumin dalam memodulasi sejumlah target molekuler, meliputi faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, sitokin, enzim, dan gen pengatur apoptosis (Gambar 2.15). Meskipun belum diketahui reseptor asli untuk curcumin, sejumlah molekul tempat melekatnya curcumin telah teridentifikasi, diantaranya serum albumin, 5-LOX, xanthine oxidase, thioredoxin reductase, zat besi, COX-2, IKK, p-glycoprotein, GST, PKA, PKC, cPK, PhK, autophosphorylation-activated protein kinase, pp60c-src tyrosine kinase, Ca2+-dependent protein kinase (CDPK), Ca2+-ATPase retikulum sarkoplasma, reseptor aryl hydrocarbon, sitokrom p450 rat river, Topo II isomerase, reseptor inositol 1,4,5-triphosphate, dan glutathione (Aggarwal & Shishodia, 2006; Karunagaran, Joseph & Kumar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
49
Gambar 2.15. Target Molekuler Curcumin
2.7.3 Target penyakit curcumin Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 g curcumin perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum curcumin
untuk
pengobatan
suatu
penyakit
belum
jelas.
Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al., 2006). Bioavailabilitas yang rendah ini berkaitan dengan rendahnya absorbsi, metabolisme dan eliminasi yang cepat. Data yang lengkap mengenai farmakokinetik curcumin pada manusia belum ada. Percobaan klinis fase 1 terhadap curcumin dilakukan pada 25 pasien dengan lesi premaligna. Dosis inisial adalah 500mg/hari dan jika tidak terdapat tanda-tanda toksisitas, dosis dinaikkan menjadi 1000, 2000, 4000, 8000 dan 12000 mg/hari. Tidak terdapat tanda-tanda toksisitas sampai dengan dosis 8000. Konsentrasi serum curcumin biasanya mencapai puncak setelah 1 sampai 2 jam setelah konsumsi oral dan menurun secara gradual setelah 12 jam.
Curcumin mengalami
metabolisme di hati, melalui proses glukuronidasi dan sulfas. Eliminasi sistemik curcumin sebanyak 75% diekskresikan melalui feses.
Universitas Sumatera Utara
50
Pada sebuah penelitian preklinis menunjukkan curcumin dosis tunggal 1.380-3.500 mg/kgBB (3.7-9.5 mmol/kgBB) tidak menimbulkan efek samping pada tikus kecuali feses yang berwarna. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi, dinyatakan bahwa dosis tunggal curcumin di atas 5.000 mg/kgBB (13.6 mmol/kgBB) tidak mempunyai efek secara klinis ataupun efek terhadap berat relatif organ pada tikus jantan maupun betina (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Penelitian pada tikus selama 90 hari, dimana tikus diberikan curcumin dengan dosis 1.140, 1.515, 1.995, 2.630 dan 3.500 mg/kgBB/hari (3.1-9.5 mmol/kgBB/hari) memiliki efek klinis feses berwarna dan bulu kekuningan. Pada tikus jantan, dijumpai penurunan jumlah retikulosit pada semua grup kecuali pada grup 1.515 mg/kgBB/hari dan dijumpai peningkatan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada 2 grup (grup dosis 1.995 dan 2.630 mg/kgBB/hari) tidak signifikan secara biologis (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya dengan dosis 0.1-2.0% (0.1-2.7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia serum, atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga 1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping
pada
histopatologi
pertumbuhan,
(Chemoprevention
perilaku, Branch
parameter and
biokimia
Agent
dan
Development
Committee, 1996). Laporan ulkus lambung pada tikus yang diberi curcumin sebagai anti inflamasi (ED50/Effective Dose = 50 mg/kgBB/hari selama 6 hari), curcumin food grade mampu melindungi lambung dari ulkus melalui penurunan
asam
lambung
atau
peningkatan
sekresi
musin
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Universitas Sumatera Utara
51
Penelitian pada tikus yang diberi curcumin 600 dan 1.600 mg/kgBB pada usia kehamilan 6-15 hari tidak menimbulkan efek terhadap implantasi, resorpsi dan tidak menimbulkan kematian pada embrio, tidak menimbulkan abnormalitas tulang dan organ dalam. Penelitian jangka panjang pada lebih dari tiga generasi tikus, tidak ada menunjukkan efek teratogenik atau gangguan pada reproduksi (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Berbagai
penelitian
yang
memeriksa
efek
curcumin
sebagai
antioksidan menggunakan dosis curcumin yang beragam. Khan & Mahboob (2014) yang meneliti peranan antioksidan curcumin pada tikus yang diinduksi dislipidemia menggunakan curcumin 200 mg/kgbb tikus dan mendapatkan hasil yang signifikan. Pada tikus yang diberikan curcumin menunjukkan adanya peningkatan kadar dan aktivitas CAT, SOD dan GSH, serta penurunan kadar MDA pada berbagai jaringan yang diambil dari hepar, jantung dan aorta. Wongeakin et al (2014) yang meneliti peranan curcumin terhadap disfungsi endotelial akibat ROS pada tikus yang diinduksi DM menggunakan dosis curcumin sebesar 300 mg/kgbb, dan mendapatkan hasil yang signifikan dalam hal penurunan produksi ROS pada tikus yang mendapatkan curcumin dibandingkan dengan tikus kontrol. Dosis curcumin sebagai anti kanker yaitu sampai 10 g/hari (Aggarwal, Kumar & Bharti, 2003). Dosis curcumin sebagai terapi kanker kolorektal yaitu 2.2 g/hari (ekstrak curcuma). Kanker kolorektal stadium akhir diberikan dosis antara 0.45 dan 3.6 g/hari selama empat bulan (Jurenka, 2009; Burgos-Moron, et al., 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi sebanyak 400-600 mg tiga kali sehari (Alter, 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi pada tikus 100, 250, 500 dan 1000 mg/kgBB. Daya anti radang minyak atsiri kunyit (senyawa mirip curcumin) 1.2 ml/kgBB secara oral (Salasia, et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
52
Ekstrak etanol kunyit dengan berbagai dosis memperlihatkan efek anti inflamasi pada tikus yang diinduksi dengan karagen dimana pada dosis tinggi (1000 mg/kgBB) dapat menekan edema sebesar 78.37%. Pada penelitian tersebut menunjukkan semakin tingginya dosis ekstrak etanol kunyit, jumlah zat aktif yang terkandung di dalamnya semakin tinggi sehingga kemampuannya di dalam menginhibisi edema semakin besar (Rustam, Atmasari & Yanwirasti, 2007). Konsentrasi perasan air kunyit 30% paling efektif dalam memperbaiki kerusakan sel hati pada mencit (Kardena & Winaya, 2011). Penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dan curcumin pada sedian piringan diffusion assay dengan dosis curcumin 500 µg setiap piringan menghasilkan peningkatan aktivitas dari antibiotik Cefixime, Cefotaxime, Vancomycin dan Tetrasiklin (Moghaddam, et al., 2009). Curcumin dapat melalui membran sel karena sifat lipofilisitasnya. Namun curcumin memiliki kelarutan dalam air yang sangat rendah, yaitu hanya 0.6 µg/ml, dimetabolisme dengan cepat di hati dan dinding usus, serta rentan terhadap degradasi pada kondisi basa. Karakteristik ini menjadi
penyebab
rendahnya
bioavailibilitas
curcumin,
sehingga
konsentrasinya dalam darah menjadi kurang optimal untuk mencapai efek terapeutik yang diharapkan (Naksuriya, et al., 2014). Nilai paruh waktu (T½) curcumin pada pemberian intravena (10 mg/kgBB) pada tikus dilaporkan sekitar 28.1 ± 5.6 jam dan pada pemberian oral (500 mg/kgBB) yaitu sekitar 44.5 ± 7.5 jam (Anand, et al., 2007). Curcumin
maupun
metabolitnya
yaitu
tetrahidrokurkumin
telah
dibuktikan dapat menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan kadar insulin plasma dan memodulasi kadar enzim hepatik pada tikus yang diinduksi diabetes dengan streptozotocin. Hal tersebut terjadi melalui modulasi stress oksidatif serta reduksi lipid dan peroksidasi lipid. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa penggunaan curcumin oral menurunkan kadar glukosa darah dan glikoprotein plasma pada tikus yang menderita diabetes. Kadar insulin plasma dan asam sialat dalam jaringan mengalami peningkatan, sedangkan kadar heksosa, heksosamin dan
Universitas Sumatera Utara
53
fukosa dalam jaringan mendekati normal pada tikus yang mendapat curcumin. Penelitian juga dilakukan untuk melihat apakah stimulasi langsung oleh curcumin terhadap sel beta pankreas dapat berkontribusi terhadap aktivitas hipoglikemik. Berbagai penyakit yang diketahui menjadi target kerja curcumin dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Target Penyakit Curcumin 2.8. Penggunaan Streptozotocin untuk Membuat Hewan Coba Model Diabetes Melitus Streptozotocin (STZ) atau streptozosin dengan nama kimia 2-Deoxy-2 [[(methylnitrosoamino) - carbonyl] amino] – D – glucopyranose (Gambar 2.17) berasal dari Streptomyces achromogenes, merupakan antibiotik spektrum luas yang juga memiliki sifat antineoplastik. STZ bersifat toksik dan menyebabkan proses autoimun terhadap sel β pankreas, sehingga banyak dimanfaatkan untuk membuat hewan coba model diabetes melitus. Secara klinis STZ digunakan pada pengobatan karsinoma pankreas (Deeds et al., 2011; Abeeleh et al., 2009; Akbarzadeh et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
54
Gambar 2.17 Struktur Kimia Streptozotocin Mekanisme kerja STZ pada sel β pankreas telah dipelajari selama bertahun-tahun. Secara umum dianggap bahwa STZ diangkut melalui transporter glukosa GLUT2 pada membran sel, dan menyebabkan alkilasi DNA dan kematian sel β pankreas (Deeds et al., 2011). Penggunaan STZ sangat bervariasi dan memberikan hasil yang berbeda-beda, baik dalam hal mortalitas maupun keparahan DM yang dihasilkan. Selain itu, sensitivitas STZ juga sangat bervariasi pada tiaptiap hewan coba yang digunakan. Berbagai metode dan dosis STZ telah dicoba dan disebutkan dalam literatur, tergantung kepada tingkat keparahan diabetes yang diinginkan sesuai protokol eksperimen tertentu. Penggunaan dosis dapat dibagi menjadi 3, yaitu dosis rendah dengan pemberian berulang, dosis sedang sekali pemberian, dan dosis tingggi sekali pemberian. Induksi dengan injeksi tunggal baik secara intravena maupun intraperitoneal dianggap sebagai teknik yang paling banyak digunakan (Deeds et al., 2011). Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 40-60 mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi secara signifikan oleh pemberian streptozotosin pada
Universitas Sumatera Utara
55
neonatal tersebut sehingga tidak membawa dampak pada perubahan glukagon dan somatostatin. Patofisiologis tersebut identik pada DM tipe II (Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006). STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas
selanjutnya
mengakibatkan
pengurangan
secarea
drastis
nukleotida sel β pankreas (Szkudelski, 2001). Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel β pankreas (Szkudelski, 2001). Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poli ADP-ribosilasi yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+ seluler, selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi penghambatan sekresi dan sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang kemungkinan dapat menginduksi nekrosis, tidak mempunyai peran yang signifikan pada nekrosis yang diinduksi STZ (Szkudelski, 2001).
Universitas Sumatera Utara
56
2.9 Kerangka Konsep Injeksi Streptozotocin
Hiperglikemia
Curcuminoid
2-
Glikolisis >>>
Fe
Peroksidasi lipid
3-
Fe
SOD 2O2-
OH-
H2O2 O2
MDA
CAT Curcuminoid
Curcuminoid
2H2O + O2
Keterangan :
Dalam
keadaan
= Variabel yang diperiksa
hiperglikemik
terjadi
stress
oksidatif
akibat
autooksidasi dan glikolisis. ROS utama yang dihasilkan secara intraseluler adalah superoxide anion (O2•-) yang akan dikonversi menjadi hydrogen peroxide (H2O2) oleh proses dismutasi spontan ataupun reaksi yang dikatalisis oleh antioksidan endogen primer utama yang disebut enzim superoxide dismutase (SOD). H2O2 kemudian akan ditransformasi oleh antioksidan endogen primer lainnya seperti enzim catalase (CAT) menjadi molekul air dan oksigen. Enzim CAT berfungsi untuk mencegah akumulasi H2O2 berlebih sehingga produksi hydroxil radical (OH•) yang dapat memicu terjadinya peroksidasi lipid mampu dihambat sehubungan dengan tidak terdapatnya sistem pertahanan enzim yang mampu menghidrolisis OH• yang terbentuk. OH• dapat menyebabkan terjadinya oksidasi lipid,
Universitas Sumatera Utara
57
protein dan DNA dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan terhadap struktur sel dengan hasil sampingan berupa malondialdehid (MAL) (Kwiecien, et al., 2002; Liu, et al., 2002; Devasagayam, et al., 2003; Turrens, 2003; Weydert & Cullen, 2010). Pada keadaan stress oksidatif, produksi O2•- yang terbentuk akan berlebihan, begitu juga dengan produksi H2O2, sehingga enzim tidak dapat menetralkan semua H2O2 yang terbentuk. Akibatnya, H2O2 secara spontan akan direduksi oleh ion-ion logam transisi bebas seperti Fe2+ dan Cu2+ menghasilkan OH• melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Curcuminoid mampu mencegah reduksi spontan H2O2 dengan berkompetisi terhadap ion-ion logam transisi bebas sehingga reaksi Fenton dan Haber-Weiss yang dapat menghasilkan OH• dapat dicegah, akibatnya proses peroksidasi lipid dapat dicegah. Curcuminoid juga mampu berkompetisi dengan ion-ion logam transisi bebas yang dapat bereaksi dengan radikal asam lemak agar tidak menyebabkan terputusnya rantai asam lemah pada PUFA menjadi senyawa aldehid sehingga mencegah produksi MDA.
2.10 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: Curcuminoid dapat menurunkan konsentrasi H2O2 plasma dan ekspresi MDA fibroblas koklea pada Rattus norvegicus model diabetes mellitus yang mendapatkan curcuminoid dibandingkan dengan kontrol.
Universitas Sumatera Utara