BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Stres
2.1.1. Defenisi Stres Stres adalah suatu pengalaman emosional yang negatif disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif, dan perilaku untuk mengubah keadaan stres tersebut atau menyesuaikan diri terhadap efeknya (Taylor, 2009). Pinel (2009) dalam buku Biopsikologi menuliskan, “Ketika tubuh Anda terpapar bahaya ancaman, hasilnya adalah sekumpulan perubahan fisiologis yang secara umum disebut respons stress-atau stres saja.” Berdasarkan dua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon tubuh saat terpapar bahaya ancaman. Respon yang terjadi dapat berupa perubahan biokimia, fisiologi, kognitif, dan perilaku.
2.1.2. Stresor Stresor adalah pengalaman yang menginduksi stres. Stresor berasal dari lingkungan sekitar manusia. Stresor dapat berupa tuntutan psikologis seperti kehilangan pekerjaan, batas waktu suatu pekerjaan, kegeraman karena kemacetan lalu lintas, relasi yang tidak baik, dan sebagainya. Terdapat juga stresor fisik seperti paparan dingin, kebisingan, kelelahan karena olah raga, paparan virus, paparan terhadap udara berasap dan berkabut, dan lain-lain. (Taylor, 2009; Looker et al, 2005; Swarth, 2004)
2.1.3. Hal yang Memengaruhi Respon Stres Respon stres seseorang bergantung pada stresor dan individu itu sendiri (Pinel, 2009). Menurut Taylor (2009) seberapa lama setiap stresor berlangsung akan memengaruhi keseimbangan seseorang dalam menghadapi stresor. Paparan kronik suatu stresor dapat menyebabkan stres kronik yang akan menimbulkan gangguan pada tubuh individu: peningkatan level epinefrin, gangguan memori, peningkatan tekanan darah, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Fleshner & Laudenslager (2004) dalam Pinel (2009) paparan stresor secara singkat akan menghasilkan reaksi fisiologis berupa respon inflamasi pada tubuh. Mereka menemukan bahwa stresor singkat akan meningkatkan kadar sitokin dlam darah. Looker dan Gregson (2005) di dalam bukunya menuliskan bahwa pandangan seseorang terhadap lingkungannya akan menentukan seseorang tersebut akan menganggap suatu kejadian sebagai suatu stresor atau bukan. Respon stres yang terjadi juga bergantung pada pengalaman seseorang terhadap kejadian yang sama sebelumnya. Pinel
(2009) menuliskan bahwa stres juga
bergantung pada strategi yang diadopsi seorang individu untuk mengatasi stres.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan Psikologis Seseorang
Aspek kognitif dalam menghadapi stimulus
(1) sumber intelektual
(1) kontrol terhadap perasaan
(2) pengetahuan tentang
(2) kemampuan meramalkan suatu peristiwa
pengalaman di masa lalu
(3) kesiapan
(3) motivasi Stimulasi dari lingkungan
Penilaian kognitif bahwa terdapat ancaman dari lingkungan Reaksi Alarm Otonom Bangkitan
Strategi Pertahanan (1) menghindari (2) melawan (3) mengikuti (4) emosi yang mengiringi: takut, marah Jika tidak berhasil:
Jika berhasil:
Keadaan sangat lelah
adaptasi
Gambar 2.1. Respon Stres terhadap Faktor Lingkungan oleh Fisher, Bell, dan Baum (Rice, 1987)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Fisiologi Stres Ketika tubuh terpapar dengan suatu keadaan yang dianggap mengancam (stresor) oleh korteks serebri, maka akan terjadi suatu respon (stres) untuk menghadapinya. Respon stres berupa respon saraf dan hormon yang melakukan tindakan-tindakan pertahanan terhadap kondisi yang mengancam tersebut. Respon stres tersebut berkaitan erat dengan dua sistem pada tubuh yaitu sympatheticadrenomedullary (SAM) system dan hypothalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) axis yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada tubuh (Taylor, 2009; Sherwood, 2011). Respon yang paling awal adalah peningkatan aktivitas SAM atau respon fight or flight. Peningkatan aktivitas simpatis ini akan menstimulasi bagian medula kelenjar adrenal sehingga terjadi pelepasan katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin. Peningkatan aktivitas simpatis ini pada akhirnya dapat memicu peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan saliva, konstriksi pembuluh darah perifer, dan sebagainya (Taylor, 2009). Paparan suatu stresor tidak hanya meningkatkan SAM tetapi juga mengaktivasi HPA axis. Hipotalamus akan mengeluarkan corticotropin releasing factor (CRF). CRF akan menstimulasi kelenjar pituitari untuk mengeluarkan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Pengeluaran ACTH akan memicu korteks kelenjar adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid terutama kortisol. Kortisol berperan dalam konversi simpanan karbohidrat dan menurunkan inflamasi ketika ada perlukaan. Kortisol juga membantu tubuh untuk mempertahankan diri saat terjadi stres (Taylor, 2009). ACTH juga berperan untuk menahan stres dengan cara mempermudah proses belajar tubuh tentang suatu stresor dan membantu tubuh mempelajari perilaku yang sesuai. ACTH akan mempermudah tubuh menghadapi stresor yang sama pada masa yang akan datang (Sherwood, 2011).
Universitas Sumatera Utara
STRESOR
OTAK HPA axis
SAM/ SISTEM SARAF SIMPATIS
KORTEKS ADRENAL
MEDULA ADRENAL
GLUKOKORTIKOID
NOREPINEFRIN DAN EPINEFRIN
Gambar 2.2. Skema Fisiologi Stres (Pinel, 2009)
2.1.5. Efek Simpatis Guyton (2006) menuliskan bahwa sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom yang mengatur kebanyakan fungsi viseral tubuh. Serabut sistem saraf simpatis dimulai dari medulla spinalis diantara segmen T-1 dan L-2. Serabut ini berjalan sampai ke jaringan dan organ yang dirangsang oleh saraf simpatis. Sifat saraf simpatis yang menonjol yaitu kecepatan dan intensitasnya yang dapat mengubah fungsi viseral dalam waktu singkat. Contohnya, dapat meningkatkan denyut jantung sebesar dua kali lipat dalam waktu tiga sampai dengan lima detik. Sistem saraf simpatis juga memiliki sifat khusus pada serabutserabut saraf yang berada dalam medula adrenal. Serabut-serabut saraf ini langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin ke dalam sirkulasi darah (Guyton, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Sistem saraf simpatis umumnya teraktivasi pada keadaan-keadaan yang mengancam atau stres berat, misalnya adanya ancaman lingkungan terhadap fisik (Sherwood, 2011). Rangsangan simpatis dapat timbul bila hipotalamus diaktivasi oleh rasa cemas, takut, atau merasakan nyeri yang berat. Dengan kata lain rangsangan simpatis dapat timbul jika terjadi respon stres. Baik stres fisik maupun stres mental dapat meningkatkan rangsangan simpatis (Guyton, 2006).
STRES SYMPHATHETIC NERVOUS SYSTEM ( SAM )
MEDULA ADRENAL
PENGELUARAN KATEKOLAMIN EPINEFRIN NOREPINEFRIN
PITUITARY GLAND
KORTEX ADRENAL
PENGELUARAN KORTIKOSTREROID DAN
-Peningkatan denyut jantung dan dilatasi kapiler jantung; -Peningkatan tekanan darah karena vasokonstriksi -Frekuensi pernapasan meningkat -Pencernaan melambat -Pupil dilatasi
-Peningkatan mobilisasi protein dan lemak -Peningkatan akses ke simpanan energi -Penghambatan pembentukan antibodi dan inflamasi -pengaturan retensi sodium
Gambar 2.3. Aktivitas Kelenjar Adrenal sebagai Respon Terhadap Stres (Taylor, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Perangsangan serabut simpatis pada berbagai organ tubuh akan menimbulkan suatu efek. Efek yang diperoleh organ tubuh tersebut ditimbulkan secara langsung oleh perangsangan ujung serabut saraf simpatis dan secara tidak langsung oleh perangsangan hormon-hormon medula adrenal: epinefrin dan norepinefrin. Salah satu organ yang dapat dikenai efek perangsangan serabut simpatis dan hormon medula adrenal adalah jantung. Perangsangan simpatis pada umumnya akan meningkatkan kerja jantung. Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan serabut simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa, yang diperlukan saat bekerja berat. Perangsangan epinefrin akan meningkatkan curah jantung (Guyton, 2006).
2.2.
Denyut Jantung Menurut Ganong (2008) denyut jantung berasal dari sistem penghantar
jantung yang tersebar di seluruh bagian miokardium. Sistem penghantar ini terdiri atas nodus sinoatrium (nodus SA), lintasan antar nodus di atrium, nodus atrioventrikel (nodus AV), berkas his beserta cabangnya, dan sistem purkinje. Nodus SA adalah yang paling cepat melepaskan impuls sehingga nodus SA disebut alat pacu jantung (pacemaker). Impuls yang berasal dari nodus SA akan melewati lintasan antar nodus di atrium, nodus AV, berkas his, sistem purkinje, kemudian ke otot ventrikel. Kecepatan nodus SA melepaskan impuls menentukan frekuensi denyut jantung. Tetapi, pada keadaan abnormal, miokardium mampu mengeluarkan impuls secara spontan. Kecepatan pelepasan impuls dari nodus SA dan jaringan nodus lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Perangsangan serabut vagus kolinergik atau saraf parasimpatis yang berjalan ke jaringan nodus dapat menurunkan kecepatan pelepasan impuls bahkan rangsang yang kuat dapat menghilangkan impuls spontan untuk beberapa saat. Norepinefrin yang disekresikan ketika perangsangan saraf simpatis akan bekerja pada jantung dan akan meningkatkan pelepasan impuls spontan dengan cara menambah kecepatan fase depolarisasi impuls.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan suhu tubuh juga dapat meningkatkan pelepasan frekuensi impuls. Obat-obatan seperti digitalis akan menimbulkan efek seperti perangsangan vagus (Ganong, 2008). Frekuensi denyut jantung manusia dapat meningkat ataupun menurun. Pada keadaan istirahat, pengaruh saraf parasimpatis lebih mendominasi sehingga jantung berdenyut sekitar 60—80 denyut per menit. Jika pengaruh saraf dan hormonal tidak ada, maka denyut jantung adalah sekitar 100 denyut per menit (DeBeasi, 2005). Peningkatan denyut jantung (takikardi) dapat terjadi ketika olah raga, demam, emosi, dan sebagainya. Denyut jantung pada manusia dewasa muda dapat meningkat hingga 180—200 kali per menit jika terdapat perangsangan simpatis yang kuat. Perlambatan denyut jantung (bradikardi ) dapat terjadi selama tidur (Ganong, 2008).
2.3.
Denyut Nadi Menurut Willms, Scheinerman, dan Algranati (2005) nadi merupakan
refleks perifer kerja jantung dan penjalaran gelombang dari proksimal (pangkal aorta) ke distal. Gelombang nadi menjalar lebih cepat daripada aliran darah. Kecepatan penjalaran nadi dapat menurun atau meningkat sesuai dengan keadaan tubuh. Kecepatan denyut nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar antara 50 denyut per menit sampai dengan 100 denyut per menit. Frekuensi denyut nadi dapat meningkat atau menurun sesuai dengan kerja jantung. Nadi dirasakan sebagai suatu ekspansi tekanan ke atas dan ke luar pada beberapa titik bagian tubuh. Nadi dapat dirasakan pada arteri temporalis superfisialis anterior terhadap telinga, arteri komunis pada leher bagian lateral atas, arteri brakialis di bawah tendon biseps, arteri radialis pada pergelangan tangan, arteri femoralis pada ligamentum inguinalis, arteri tibialis posterior pada satu jari lebarnya di belakang
maleolus. Nadi radialis adalah yang umum
diperiksa, tetapi kadang-kadang arteri karotis memberikan lebih banyak informasi (Willms et al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Perabaan nadi radialis dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Nadi radialis dirasakan pada aspek radial tulang, 2—4 cm proksimal dari lipatan pergelangan tangan pada keadaan ekstensi tapi tidak hiperekstensi. Pasien diminta untuk melepaskan jam tangan, perhiasan, dan menggulung lengan baju. Pemeriksa membengkokkan bantalan anterior jari telunjuk, tengah, dan jari manis dengan tekanan sedang pada radius tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Denyutan nadi dirasakan sebagai tekanan ke atas (Willms et al, 2005). Setelah berhasil meraba denyut nadi radialis, maka dilakukan beberapa penilaian: intensitas atau frekuensi, keteraturan, dan karakter denyut nadi. Jika nadi mutlak teratur, maka frekuensinya dihitung selama lima belas detik kemudian dikalikan empat. Pada dewasa muda denyut nadi umumnya mutlak teratur. Jika nadi tidak teratur misalnya bertambah cepat, maka frekuensinya dihitung selama tiga puluh detik dikalikan dua. Frekuensi nadi juga dapat dihitung selama enam puluh detik. Karakter nadi dinilai dari kekuatan tekanan nadi yang dirasakan pemeriksa, kuat atau lemah (Willms et al, 2005).
2.4.
Penelitian tentang Stres dan CPT
2.4.1. Indikator Pengukuran Stres Penelitian terhadap stres dapat dilakukan dalam laboratorium. Subjek penelitian diberikan suatu paparan stresor dalam waktu singkat kemudian dinilai respon stres yang terjadi. Respon yang dinilai dapat berupa respon fisiologis, neuroendokrin, dan psikologis dengan cara-cara tertentu (Taylor, 2009). Berbagai indikator dapat digunakan untuk mengukur stres. Indikator psikologis dapat berupa laporan subjek, perubahan hidup, distres emosional, perubahan perilaku. Indikator terhadap aktivitas fisiologi dapat berupa frrekuensi denyut jantung, tekanan darah, marker biokimia seperti peningkatan katekolamin dan kortisol. Pengukuran terhadap indikator ini akan menunjukkan keadaan stres terhadap suatu ancaman tertentu (Taylor, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Cold Pressor Test (CPT) CPT merupakan suatu bentuk uji laboratorium. CPT sering digunakan dalam penelitian-penelitian tentang kardiovaskular dan stres. CPT berfungsi untuk memberikan paparan dingin dalam waktu singkat kepada subjek penelitian. Paparan dingin pada CPT adalah hasil penggabungan air dengan es batu sehingga diperoleh air dingin bersuhu sekitar 0°—4° C (Saab et al, 1993; Duncko et al, 2009). CPT dapat diberikan pada tiga bagian di tubuh seperti tangan, dahi, dan kaki. CPT pada tangan dilakukan dengan cara merendam tangan ke dalam air dingin. CPT pada dahi dilakukan dengan cara menempelkan kantongan plastik berisi air dingin pada dahi. CPT pada kaki dilakukan dengan cara merendam kaki ke dalam air dingin (Saab et al, 1993). CPT dapat diberikan dalam durasi waktu tertentu. CPT dapat diberikan selama satu menit (Duncko et al, 2009). CPT dapat diberikan selama seratus detik (Saab et al, 1993). Ada juga beberapa peneliti yang memberikan paparan CPT dalam dua menit (Boutouyrie et al, 1994; Qi et al, 2002; Middlekauff et al, 2004). Paparan dingin oleh CPT juga dapat diberikan selama tiga atau empat menit (Schwabe et al, 2008; Masoli, 2010).
2.4.3. Penelitian Stres dengan CPT Banyak penelitian yang berhubungan dengan stres telah dilakukan. Penelitian ini menggunakan CPT sebagai stresor dan menilai efek stres terhadap tubuh. Penelitian dilakukan pada beberapa subjek dengan karakter yang berbeda. Beberapa penilaian dilakukan termasuk menilai frekuensi denyut jantung setelah paparan stresor. Ada hasil penelitian yang menunjukkan peningkatan signifikan denyut jantung akibat paparan CPT, tetapi ada juga yang tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Universitas Sumatera Utara
Saab, Llabre, Hurwitz, Schneiderman, Wohlgemuth, Durel, et al (1993) melakukan penilaian terhadap respon vaskular dan miokard setelah paparan CPT. Subjek penelitian ini adalah 42 orang laki-laki berusia 18—22 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Penilaian dilakukan dengan menggunakan ECG. Hasil penelitian didapatkan peningkatan signifikan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Middlekauff, Shah (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh akupuntur terhadap aktivitas sistem saraf otonom yang disebabkan oleh CPT dan handgrip. Subjek penelitian ini adalah 38 orang yang tidak disebutkan jenis kelaminnya. Subjek berusia 33 ± 13 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Hasil penelitian didapatkan peningkatan signifikan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Mourot, Bouhaddi, Regnard (2007) melakukan penelitian tentang efek CPT terhadap kontrol otonom jantung pada orang normal. Subjek penelitian ini adalah 39 orang laki-laki. Subjek berusia 23,6 ± 3,2 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Penilaian dilakukan dengan menggunakan ECG. Hasil penelitian didapatkan peningkatan signifikan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT pada 20 orang subjek. Pada 19 subjek lainnya awalnya terdapat peningkatan denyut jantung kemudian frekuensinya menurun. Duncho, Johnson, Merikangas, Grillon (2009) melakukan penelitian tentang efek paparan akut CPT terhadap ingatan. Subjek penelitian ini adalah 12 pria sehat dan 12 wanita yang sehat. Subjek berusia sekitar 28 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Penilaian dilakukan dengan menggunakan ECG. Hasil penelitian didapatkan peningkatan signifikan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT.
Universitas Sumatera Utara
Qi, Levine, Pawelczyk, Ertl, Diedrich, Cox, et al (2002) meneliti tentang respon kardiovaskular dan sistem simpatis terhadap paparan CPT pada astronot. Subjek penelitian adalah 4 orang astronot pria berusia 41—42 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Penilaian dilakukan dengan menggunakan ECG. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya peningkatan signifikan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Schwabe, Haddad, Schachinger (2008) meneliti tentang aktivasi HPA axis setelah diberi paparan CPT. Subjek peneliatian adalah 70 pria sehat berusia 19— 35 tahun. Di dalam penelitian ini dilakukan penilaian terhadap perubahan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT. Penilaian dilakukan dengan menggunakan ECG. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya peningkatan frekuensi denyut jantung akibat paparan CPT.
Universitas Sumatera Utara