5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Anatomi
2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) (Soetjipto, 2011). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan kartilago septum (Soetjipto, 2011). Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto, 2011). Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise (Soetjipto, 2011). Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil (Soetjipto, 2011).
Universitas Sumatera Utara
6
Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus nasolakrimalis (Soetjipto, 2011; Snell, 2006). Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011). Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid (Snell, 2006; Soetjipto, 2011). Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Universitas Sumatera Utara
7
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2011; Snell, 2006). Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara (Snell, 2006). Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto, 2011). 2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal A. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid. Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto, 2011). Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris. Karena sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus maksila adalah besar (Snell, 2006).
Universitas Sumatera Utara
8
Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris superior dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006). B. Sinus Frontal Sinus frontal terletak di dalam os frontalis, terdapat dua buah yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum tulang. Kedua sinus ini biasanya tidak simetris (menyimpang dari bidang median). Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian medial atap orbita (Snell, 2006). Masing-masing sinus frontal bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus supraorbitalis (Snell, 2006). C. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soetjipto, 2011). Setiap sinus bermuara ke dalam resesus sfenoetmoidalis di atas konka nasalis superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus etmoidalis posterior (Snell, 2006). D. Sinus Etmoid Sinus etmoid terdapat di dalam os etmoid, di antara konka media dan dinding medial orbita. Sinus etmoid terdiri dari sel-sel yang jumlahnya bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior
Universitas Sumatera Utara
9
biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell, 2006; Soetjipto, 2011). Di bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat bagian sempit yang disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Pada daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis maksila. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan posterior (Soetjipto, 2011; Snell, 2006). 2.2.
Fisiologi Sinus Paranasal
2.2.1. Sistem Mukosiliar Sistem transpor mukosiliar adalah sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa (Soetjipto, 2011). Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama adalah gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini bergabung di dekat infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, dan jatuh ke bawah dibantu gaya gravitasi dan proses menelan (Soetjipto, 2011). Rute kedua adalah gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian posterosuperior orifisium tuba Eustachius (Soetjipto, 2011).
Universitas Sumatera Utara
10
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba Eustachius. Sekret pada septum berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferor tuba Eustachius. Ini sebab mengapa pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Soetjipto, 2011). 2.2.2. Fungsi Sinus Paranasal Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto, 2011). 2.3.
Rinosinusitis Kronis
2.3.1. Definisi Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya merupakan sumbatan hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) selama 12 minggu atau lebih, serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau hilangnya daya penghidu (Fokkens, 2012). Selain gejala-gejala klinis tersebut, rinosinusitis kronis dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain: endoskopi, dimana dapat ditemukan polip dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema/obstruksi mukosa pada meatus medius; dan CT Scan, dapat ditemukan perubahan mukosa pada kompleks osteomeatal dan atau sinus paranasal (Fokkens, 2012). Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan sebagai sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan sinus
Universitas Sumatera Utara
11
etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang (Mangunkusumo, 2011). Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronis dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk dibanding pasien dengan penyakit kronis lainnya seperti penyakit paru obstruksi kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit rinosinusitis kronis terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronis yang lain, penyakit rinosinusitis kronis sebaiknya ditangani secara proaktif (Desrosiers, 2011). 2.3.2. Etiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostiomeatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan (Mangunkusumo, 2011). Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, etmoidalis anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transpor mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Rinosinusitis lebih sering terjadi pada beberapa sinus (multisinusitis) dibandingkan dengan satu sinus (single sinusitis), hal ini kemungkinan berkaitan erat dengan kompleks ostiomeatal (KOM), karena KOM merupakan satu kesatuan dari muara beberapa sinus, jika terjadi gangguan patensi KOM, maka mungkin akan terjadi gangguan beberapa sinus. KOM atau celah sempit di daerah etmoid anterior yang merupakan “serambi depan” bagi sinus maksila dan frontal memegang peran penting dalam terjadinya rinosinusitis kronis, bila terdapat gangguan di daerah KOM seperti peradangan atau edema, maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi rinosinusitis (Multazar, 2012).
Universitas Sumatera Utara
12
Pada
penderita
rinosinusitis
kronis
terbukti
bahwa
akumulasi
ketidakseimbangan metabolisme asam arakhidonat dapat memainkan peran penting dalam rinosinusitis kronis. Metabolisme asam arakhidonat dan prostaglandin berperan sebagai mediator inflamasi pada suatu penyakit (Multazar, 2012). Etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui, rinosinusitis kronis merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EPOS 2012, faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya rinosinusitis kronis adalah kerusakan sistem mukosiliar, alergi, asma, sensitif terhadap aspirin, pasien immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, Helicobacter pylori, refluks laringofaringeal, dan osteitis. 2.3.3. Patofisiologi Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusistis kronis cukup beragam. Dalam patofisiologi sinusitis kronis, beberapa faktor ikut berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang (Gambar. 2.1.) (Hilger, 2013). Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi (Hilger, 2013). Kegagalan mengobati rinosinusitis akut atau berulang secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan pengeluaran sekret sinus, sehingga menjadi predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat ditimbulkan oleh perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung, misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Namun, faktor predisposisi yang paling
Universitas Sumatera Utara
13
lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus (Hilger, 2013). Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang (Hilger, 2013). Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronis, sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus (Hilger, 2013).
Gambar 2.1. Siklus yang berulang, mengakibatkan terjadinya proses berkelanjutan yang mengarah pada rinosinusitis kronis. Sumber: Hilger, Peter A. 2013. Penyakit Sinus Paranasalis. In : Boies Buku Ajar Penyakit THT.
2.3.4. Diagnosis Diagnosis
rinosinusitis
kronis
menurut
EPOS
2012
ditegakkan
berdasarkan penilaian subjektif, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subjektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu yaitu: (1) obstruksi hidung atau kongesti, (2) sekret hidung (anterior/posterior nasal drip), umumnya mukopurulen, (3) nyeri wajah/tekanan, nyeri kepala dan (4) penurunan/hilangnya daya penghidu.
Universitas Sumatera Utara
14
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronis tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-Scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium (Fokkens, 2012). A. Anamnesis Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria di atas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronis yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomi rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EPOS 2012, keluhan subjektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah: 1) Obstruksi nasal Keluhan obstruksi hidung biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh pada daerah hidung dan sekitarnya. 2) Sekret / discharge nasal Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip (sekret hidung). 3) Nyeri / tekanan fasial Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif. 4) Abnormalitas daya penghidu Fluktuasi daya penghidu berhubungan dengan rinosinusitis kronis yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius.
Universitas Sumatera Utara
15
B. Pemeriksaan Fisik Inspeksi
yang
diperhatikan
adanya
pembengkakan
pada
muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto, 2011). Rinoskopi anterior adalah memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan. Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronis seperti edema konka, hiperemi, sekret mukopurulen (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi,2011; Shah,2008). C. Pemeriksaan Penunjang Transiluminasi merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Namun transiluminasi bukan merupakan pengganti radiografi dalam evaluasi penyakit sinus (Selvianti, 2008; Siegel, 2013). Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens 2012). Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto, CT-Scan, MRI dan USG. CT-Scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Hal ini diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan (Fokkens, 2012).
Universitas Sumatera Utara
16
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain (Fokkens, 2012) : 1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi 2. Tes alergi 3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar silia, mikroskop elektron dan nitrit oksida 4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri 5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein) 2.3.5. Penatalaksanaan Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi kompleks ostiomeatal (KOM), hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto, 2011). Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung (Selvianti, 2008). A. Terapi Medikamentosa 1. Antibiotik
Antibiotika merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronis. Jenis antibiotik yang digunakan adalah antibiotik spektrum luas antara lain amoksisilin + asam klavulanat, klindamisin, dan moksifloksasin (Selvianti, 2011). Terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya diberikan untuk pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid nasal dan saline irrigation (Fokkens, 2012).
Universitas Sumatera Utara
17
2. Kortikosteroid Nasal Keuntungan kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers, 2011; Fokkens, 2012). 3. Terapi Tambahan Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis alfa adrenergik; saline irrigation; anti histamin; mukolitik; antagonis leukotrien; anti mikotik; imunomodulator; dan aspirin desentisisasi (Desrosiers, 2011).
B. Penatalaksanaan Operatif Rinosinusitis kronis adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus paranasal dan terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali dilakukan. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena pembedahan ini dimaksudkan untuk memperbaiki fisiologis dari ventilasi dan drainase sinus. Indikasi untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung yang komplit dikarenakan polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses orbital, (3) komplikasi intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal (Hamilos, 2011). Terapi pembedahan ini sebaiknya disertai dengan terapi medikamentosa untuk mengontrol inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal atau gejala-gejala yang mungkin kembali (Hamilos, 2011). Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus maksila dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini dapat dilakukan biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan terbentuk ke kavum nasal (Shah, 2008).
Universitas Sumatera Utara
18
2.3.6. Komplikasi A. Komplikasi Orbita Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi tersering pada daerah orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita (Hilger, 2013). Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan perkontinuitatum. Variasi yang dapat timbul dari kelainan ini adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo, 2011). B. Komplikasi Intrakranial Kelainan dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo, 2011). Meningitis akut disebabkan infeksi dari sinus paranasalis yang menyebar sepanjang vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis (Hilger, 2013). Abses dura adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium; seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga mungkin pasien hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain (Hilger, 2013). Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arakhnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri (Hilger, 2013) C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau
Universitas Sumatera Utara
19
fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup (Mangunkusumo, 2011; Hilger, 2013). D. Komplikasi Paru Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan (Mangunkusumo, 2011). E. Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur di sekitarnya. Dengan demikian, kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf di sekitarnya (Hilger, 2013).
Universitas Sumatera Utara