BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus (DM) 2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012). Diabetes
Mellitus
adalah
sindrom
klinis
yang
ditandai
dengan
hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika dibutuhkan (Animesh, 2006). World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2009).
2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus telah dikategorikan sebagai penyakit global oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Jumlah penderita DM ini meningkat di setiap negara. Berdasarkan data dari WHO (2006), diperkirakan terdapat 171 juta orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2000 dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030.
Sekitar 4,8 juta orang di dunia telah meninggal akibat DM. Setengah dari penderita DM ini tidak terdiagnosis. Sepuluh besar negara dengan prevalensi DM tertinggi di dunia pada tahun 2000 adalah India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan Bangladesh. Pada tahun 2030 India, Cina, dan Amerika diprediksikan tetap menduduki posisi tiga teratas negara dengan prevalensi DM tertinggi. Sementara, Indonesia diprediksikan akan tetap berada dalam sepuluh besar negara dengan prevalensi DM tertinggi pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, et al, 2004). Indonesia menduduki posisi keempat dunia setelah India, Cina, dan Amerika dalam prevalensi DM. Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang menderita DM adalah sebesar 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta jiwa. Data ini menunjukkan bahwa angka kejadian DM tidak hanya tinggi di negara maju tetapi juga di negara berkembang, seperti Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan dan adanya gejala adalah sebesar 1,1%. Sedangkan prevalensi berdasarkan hasil pengukuran kadar gula darah pada penduduk umur lebih dari lima belas tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7% (Depkes, 2008).
2.1.3. Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association (ADA,2013), klasifikasi diabetes meliputi empat kelas klinis : 1. Diabetes Mellitus tipe 1 Hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang absolut. 2. Diabetes Mellitus tipe 2 Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang terjadinya resistensi insulin.
3. Diabetes tipe spesifik lain Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ). 4. Gestational Diabetes Mellitus
Pada beberapa pasien tidak dapat dengan jelas diklasifikasikan sebagai diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perkembangan penyakit bervariasi jauh dari kedua jenis diabetes. Kadang-kadang, pasien yang dinyatakan memilki diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis. Demikian pula, pasien dengan tipe 1 diabetes mungkin memiliki onset terlambat dan memperlambat perkembangan penyakit walaupun memilki fitur penyakit autoimun. Kesulitan seperti itu pada diagnosis mungkin terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa. Diagnosis yang benar dapat menjadi lebih jelas dari waktu ke waktu. Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi (ADA, 2012) : 1. Diabetes Mellitus tipe 1 (Kehancuran sel β, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang absolut). a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik 2. Diabetes Mellitus tipe 2 (Resistensi insulin terutama dengan kekurangan insulin relatif yang didominasi gangguan sekresi insulin dengan resistensi insulin). 3. Tipe spesifik lainnya a. Gangguan genetik fungsi sel β 1. Kromosom 12, HNF-1α (MODY3) 2. Kromosaom 7, glukokinase (MODY2) 3. Kromosom 20, HNF-4α (MODY1) 4. Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4) 5. Kromosom 17, HNF-1β (MODY5) 6. Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)
7. DNA mitokondria 8. Lainnya b. Gangguan genetik dalam kerja/aksi insulin 1. Insulin resisten tipe A 2. Leprechaunism 3. Sindrom Rabson-Mendenhall 4. Diabetes Lipoatrophic 5. Lainnya c. Penyakit eksokrin pankreas 1. Pankreatitis 2. Trauma/Pankreatektomi 3. Neoplasia 4. Fibro kistik 5. Hemochromatosis 6. Pancreatopathy fibrocalculosus d. Endokrinopati 1. Akromegali 2. Sindroma Cushing 3. Glukagonoma 4. Pheochromasitoma 5. Hiperthiroidism 6. Somatostatinoma 7. Aldosteronoma 8. Lainnya e. Induksi obat atau bahan kimia 1. Vacor 2. Pentamidin 3. Asam Nikotinat 4. Glukokortikoid 5. Hormon tiroid 6. Diazoxide
7. Agonist β-adrenergik 8. Thiazides 9. Dilantin 10. G-interferon 11. Lainnya f. Infeksi 1. Rubella kongenital 2. Cytomegalovirus 3. Lainnya g. Bentuk jarang dari diabetes yang diperantarai imun 1. “Stiff-man” sindrom 2. Antibodi anti reseptor insulin 3. Lainnya h. Sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes 1. Sindroma Down 2. Sindroma Klinefelter 3. Sindroma Turner 4. Sindroma Wolfram’s 5. Friedreich ataksia 6. Huntington chorea 7. Sindroma Laurence-Moon-Biedl 8. Distrofi miotonik 9. Porfiria 10. Sindroma Prader-Willi 11. Lainnya 4. Gestational Diabetes Mellitus
2.1.4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus Faktor risiko DM tipe 2 antara lain adalah (Powers, 2010): •
Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara kandung dengan DM tipe 2)
•
Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m 2)
•
Aktivitas fisik
•
Ras/etnis
•
Gangguan Toleransi Glukosa
•
Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg
•
Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
•
Kadar kolesterol HDL≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L)
•
Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans
•
Riwayat kelainan darah
2.1.5. Patogenesis Diabetes Mellitus 1. Diabetes Mellitus Tipe 1 DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel β pankreas dan defisiensi insulin. DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah terhadap kerusakan sel β pankreas dan insulin defisiensi. Massa sel β kemudian menurun dan sekresi insulin menjadi semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal dipertahankan (Powers, 2010). DM tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun. Diabetes yang tipe ini hanya 5-10% dari penderita diabetes. Tanda dari penghancuran imun sel β termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b. DM tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang lain (terutama dewasa). Beberapa pasien, terutama anak-anak dan remaja, dapat hadir dengan ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Namun orang lain, terutama orang dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel β sisa yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, orang tersebut akhirnya menjadi
tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis. Pada tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-peptida di dalam plasma. DM tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun, bahkan dalam dekade 8 dan 9 kehidupan. Kehancuran autoimun sel β memiliki beberapa kecenderungan genetik dan juga terkait dengan faktor lingkungan yang masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas ketika mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak bertentangan dengan diagnosis. Pasien-pasien ini juga rentan terhadap gangguan autoimun lainnya seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo, celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa (ADA, 2012). Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal, disebut dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini memiliki insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti autoimun (ADA, 2012).
2. Diabetes Mellitus Tipe 2 DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak. Obesitas, khususnya visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul/pinggang), sangat umum di DM tipe 2. Pada tahap awal gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena selsel β pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih lanjut, penurunan
sekresi
insulin
dan
peningkatan
produksi
glukosa
hepatik
menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel β mungkin terjadi (Powers, 2010).
A. Gangguan metabolisme otot dan lemak Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak efektif pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), adalah fitur yang menonjol dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin adalah relatif, tingkat supernormal insulin yang beredar akan menormalkan glukosa plasma. Kurva insulin dosis-respon menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan sensitivitas berkurang, menunjukkan penurunan secara keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dibandingkan orang normal). Resistensi insulin menyebabkan kegagalan penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan output glukosa hepatik meningkat, kedua efek ini berkontribusi untuk hiperglikemia. Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan tingkat FPG, sedangkan hasil penggunaan glukosa perifer menurun menyebabkan postprandial hiperglikemia. Dalam otot rangka, ada yang lebih besar penurunan dalam penggunaan glukosa non-oxidatif (pembentukan glikogen) dibandingkan metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dijelaskan. Tingkat insulin reseptor dan aktivitas tirosin kinase di otot berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan sekunder untuk hiperinsulinemia. Kemudian, gangguan postreseptor pada regulasi insulin fosforilasi/defosforilasi dapat menjadi peran dominan dalam resistensi insulin. Misalnya, gangguan PI-3-kinase dapat mengurangi translokasi GLUT 4 ke membran plasma. Ketidaknormalan lainnya termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapt merusak fosforilasi oksidatif
mitokondria
dan
mengurangi
stimulasi
insulin
mitokondria
memproduksi ATP. Gangguan oksidasi lemak dan akumulasi lipid dalam miosit dapat menghasilkan oksigen reaktif seperti lipid peroksida (Powers, 2010). Obesitas menyertai DM tipe 2, dianggap bagian dari proses patogenik. Peningkatan massa adiposit mengarah ke peningkatan tingkat sirkulasi asam lemak bebas dan lemak lainnya. Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin dan menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan juga hati. Adiposit dan
adipokin juga memproduksi keadaan inflamasi dan mungkin menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif sering meningkat pada DM tipe 2 (Powers, 2010).
B. Gangguan Sekresi Insulin Sekresi insulin dan sensitivitas insulin adalah saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi insulin meningkat pada awalnya mengkompensasi resistensi insulin untuk menjaga toleransi glukosa normal. Awalnya, sekresi insulin mengalami defek ringan dan selektif melibatkan stimulasi glukosa untuk sekresi insulin. Menanggapi sekretagogues non-glukosa lain, seperti arginin masih dipertahankan. Akhirnya defek sekresi insulin berkembang menjadi keadaan sekresi insulin sangat tidak memadai. Alasan untuk penurunan kapasitas sekresi insulin di DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah defek genetik pada resistensi insulin menyebabkan kegagalan sel β.
Terbentuk amiloid polipeptida pada pulau
langerhans, sehingga berdampak negatif terhadap fungsi pulau langerhans. Tingginya kadar asam lemak bebas dan lemak makanan juga dapat memperburuk fungsi sel β (Powers, 2010). C. Peningkatan Produksi Glukosa Hepar Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar merefleksikan kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi hiperglikemia dan penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa awal diabetes, meskipun sepertinya setelah onset gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan adiposa dan obesitas, asam lemak bebas dari adiposit meningkat, yang menyebabkan peningkatan sintesis lemak (VLDL dan trigliserida) dalam penyimpanan hepatosit lemak. Steatosis dalam hati dapat menyebabkan penyakit lemak hati non alkohol dan tes fungsi hati yang abnormal. Hal ini juga bertanggung jawab untuk dislipidemia yang ditemukan dalam DM tipe 2 (Powers, 2010).
Jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin barperan melalui efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2009).
2.1.6. Biosintesis, Sekresi, dan Kerja Insulin A. Biosintesis Insulin Insulin diproduksi di sel β pankreas da berfungsi dalam proses masuknya glukosa dari darah ke dalam sel. Hal ini awalnya disintesis sebagai rantai tunggal 86-prekursor asam amino polipeptida, preproinsulin. Kemudian pemrosesan proteolitik menghilangkan amino-terminal sinyal peptida, sehingga menimbulkan proinsulin. Proinsulin adalah struktural yang berhubungan dengan faktor pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang mengikat lemah dengan reseptor insulin. Pembelahan dari sebuah fragmen 31-residu internal dari proinsulin menghasilkan peptida C dan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan oleh disulfida bonds. Molekul insulin yang matang dan peptida C disimpan bersama-sama dalam sel β. Karena peptida C dibersihkan lebih lambat dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan memungkinkan diskriminasi endogen dan eksogen sumber insulin dalam evaluasi hipoglikemi (Powers, 2010).
B. Sekresi Insulin Glukosa adalah kunci pengatur sekresi insulin oleh sel β pankreas, meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastrointestinal, dan neurotransmiter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dL) meransang sintesis insulin, terutama dengan meningkatkan translasi
protein dan pengolahan. Glukosa menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke dalam sel β oleh GLUT 2 (Gambar 2.1). Glukosa difosforilasi oleh glikokinase adalah langkah untuk membatasi sekresi insulin. Metabolisme lebih lanjut glukosa 6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat aktivitas dari kanal K+ . Kanal sensitif ATP terdiri dari dua protein yang terpisah. Penghambatan kanal K+ ini menginduksi depolarisasi membran sel β., yang membuka saluran kanal kalsium (menyebabkan masuknya kalsium) dan meransang sekresi insulin (Powers, 2010). Pankreas manusia menyekresikan 40-50 unit insulin per hari yang mewakili sekitar 15-20% hormon yang disimpan di dalam kelenjar. Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel β pada pulau Langerhans. Faktor yang mempengaruhi sekresi insulin antara lain peningkatan kadar glukosa darah, hormon, dan preparat farmakologik (Granner, 2003).
Gambar 2.1. Sekresi Insulin
C. Kerja Insulin Setelah insulin disekresi ke dalam sistem vena portal, 50% didegradasi oleh hati. Insulin tanpa diekstraksi memasuki sirkulasi sistemik dimana insulin mengikat reseptor di lokasi target. Insulin mengikat reseptor yang meransang aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke reseptor autofosforilasi dan merekrut sinyal molekul intraseluler, seperti Insulin Reseptor Substrates (IRSs)
(Gambar 2.2). IRS dan protein lainnya menginisiasi kaskade kompleks fosforilasi dan reaksi defosforilasi, sehingga menghasilkan metabolisme luas dan efek mitogenik dari insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari phosphatidylinositol-3-kinase (PI-3-kinase) meransang translokasi transporter glukosa (misalnya, GLUT 4) ke permukaan sel, suatu peristiwa yang sangat penting untuk ambilan glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin lainnya menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan pengaturan berbagai gen dalam sel respon insulin. Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi glukosa di hati dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatanya. Insulin adalah regulator yang paling penting dari keseimbangan metabolik ini, tetapi input saraf, sinyal metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon) mengakibatkan integrasi kontrol dari pasokan glukosa dan pemanfaatannya. Dalam keadaan puasa, level insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa hepatik dengan mengaktifkan glukoneogenesis dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan glukosa dalam jaringan sensitif terhadap insulin (otot rangka dan lemak), sehingga menyebabkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam amino dan asam lemak bebas (lipolisis). Glukagon disekresikan oleh sel α pankreas ketika glukosa darah atau kadar insulin rendah, meransang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh hati dan medulla ginjal. Setelah makan, beban glukosa memunculkan kenaikan insulin dan glukagon rendah, menyebabkan kebalikan dari proses ini. Insulin, hormon anabolik, meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis protein (Powers, 2010). Insulin umumnya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme protein, yaitu meransang sintesis protein dan memperlambat penguraian protein. Insulin menstimulasi ambilan asam amino netral oleh otot, yaitu suatu efek yang tidak berkaitan dengan ambilan glukosa atau dengan penyatuan selanjutnya asam amino ke dalam protein. Efek insulin terhadap sintesis protein yang umum di dalam otot rangka serta jantung dan hati diperkirakan terjadi pada tingkat translasi mRNA (Granner, 2003).
Gambar 2.2. Kerja Insulin
2.1.7. Gejala Klinis Diabetes Mellitus Manifestasi utama penyakit DM adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; (2) berkurangnya penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan; dan (3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalori memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Kadar glukosa plasma jarang melampaui 120 mg/dL pada manusia normal, kadar yang jauh lebih tinggi selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai (pada manusia pada umumnya >80 mg/dL), taraf maksimal reabsorpsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glukosuria). Volume urine meningkat akibat terjadinya diuresis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria) : kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia). Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar); kehilangan ini, jika ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa, akan
mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat meskipun terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang normal atau meningkat (Granner, 2003).
2.1.8. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
Tabel 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Bukan
Belum
DM
pasti DM
DM
Kadar Glukosa Darah
Plasma vena
<110
110-199
≥200
Sewaktu (mg/dL)
Darah kapiler
<90
90-199
≥200
Kadar Glukosa Darah
Plasma vena
<110
110-125
≥126
Puasa (mg/dL)
Darah kapiler
<90
90-109
≥110
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita (Purnamasari, 2009). Menurut American Diabetes Association, kriteria diagnostik untuk DM sebagai berikut :
•
Gejala diabetes disertai kadar glukosa darah ad random ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL), atau
•
Kadar glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (126 mg/dL), atau
•
Kadar glukosa darah dua jam pascaprandial ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral (Powers, 2010)
2.1.9. Komplikasi Diabetes Mellitus Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. 1.
Komplikasi Akut Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS) adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
2.
Komplikasi Kronik Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi
mikrovaskular
(retinopati,
neuropati,
dan
nefropati)
dan
makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010).
2.2 Anemia 2.2.1. Definisi Anemia Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai penyakit macam penyakit dasar (Bakta, 2009). Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) : a) Laki-laki dewasa • kadar hemoglobin darah <130 g / L (<13 g / dL) b) Wanita dewasa • kadar hemoglobin darah <120 g / L (<12 g / dL) Menurunnya kadar hemoglobin biasanya disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit tetapi kedua parameter ini mungkin normal pada beberapa pasien yang memiliki kadar hemoglobin subnormal (dan berdasarkan definisi menderita anemia). Perubahan volume plasma sirkulasi total dan massa hemoglobin sirkulasi total menentukan konsentrasi hemoglobin. Berkurangnya volume plasma (seperti pada dehidrasi) dapat menutupi kondisi anemia, atau bahkan menyebabkan (pseudo) polisitemia. Sebaliknya, peningkatan volume plasma (seperti pada splenomegali atau kehamilan) dapat menyebabkan terjadinya anemia bahkan dengan jumlah eritrosit sirkulasi total dan massa hemoglobin yang normal (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).
2.2.2. Derajat Anemia Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO : 1. Ringan sekali Hb 10,00 g / dL -13,00 g / dL 2. Ringan Hb 8,00 g / dL -9,90 g / dL 3. Sedang Hb 6,00 g / dL -7,90 g / dL 4. Berat Hb < 6,00 g / dL
2.2.3. Etiologi dan Klasifikasi Anemia Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang 2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) 3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) (Bakta, 2009).
Tabel 2.2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiologi Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit •
Anemia defisiensi besi
•
Anemia defisiensi asam folat
•
Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan pengguanaan (utilisasi) besi •
Anemia akibat penyakit kronik
•
Anemia sideroblastik
3. Kerusakan Sumsum tulang •
Anemia aplasti
•
Anemia mieloplastik
•
Anemia pada keganasan hematologi
•
Anemia diseritropoietik
•
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik B. Anemia akibat hemoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia pasca perdarahan kronik C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemoliti intracorpuskular •
Gangguan membran eritrosit (membranopati)
•
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
•
Gangguan
hemoglobin
(hemoglobinopati):
thalassemia,
hemoglobinopati struktural (Hb S, Hb E, dll) 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular •
Anemia hemolitik autoimun
•
Anemia hemolitik mikroangiopatik
•
Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks (Bakta, 2009)
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan: 1. Anemia hipokromik mikrositer ( MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg) •
Anemia defisiensi besi
•
Thalassemia major
•
Anemia akibat penyakit kronik
•
Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl) •
Anemia pasca perdarahan akut
•
Anemia aplastik
•
Anemia hemolitik didapat
•
Anemia akibat penyakit kronik
•
Anemia pada gagal ginjal kronik
•
Anemia pada sindrom mielodisplastik
•
Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer (MCV > 95 fl) •
Bentuk megaloplastik (defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12)
•
Bentuk
non-megaloblastik
(pada
penyakit
hati
kronik,
hipotiroidime, sindrom mielodisplastik) (Bakta, 2009).
2.2.4. Gambaran Klinis Anemia Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular (dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardia) dan pada kurva disosiasi O 2 hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia yang cukup berat, mungkin tidak terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan mungkin mengalami kelemahan berat. Ada atau tidaknya gambaran klinis dapat dipertimbangkan menurut empat kriteria utama :
1. Kecepatan awitan Anemia yang memburuk dengan cepat menimbulkan lebih banyak gejala dibandingkan anemia awitan lambat, karena lebih sedikit waktu untuk adaptasi dalam sistem kardiovaskular dan kurva disosiasi O 2 hemoglobin. 2. Keparahan Anemia ringan sering kali tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejala biasanya muncul jika hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Bahkan anemia berat (hemoglobin serendah 6,0 g/dL) dapat menimbulkan gejala yang sangat sedikit jika awitansangat lambat pada subyek muda yang sehat. 3. Usia Orang tua menoleransi anemia dengan kurang baik dibandingkan orang muda karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika terjadi gangguan kompensasi kardiovaskular normal (peningkatan curah jantung akibat peningkatan volume sekuncup dan takikardia). 4. Kurva disosiasi hemoglobin O 2 Anemia umumnya disertai peningkatan 2,3-DPG dalam eritrosit dan pergeseran kurva disosiasi O 2 ke kanan sehingga O 2 lebih mudah dilepaskan ke
jarinagn. Adaptasi ini sangat jelas pada beberapa macam anemia yang mengenai metabolisme eritrosit secara langsung, misalnya pada anemia akibat defisiensi piruvat kinase (yang menyebabkan peningkatan konsentrasi 2,3-DPG dalam eritrosit), atau yang disertai dengan hemoglobin berafinitas rendah, misal HbS (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).
2.2.5. Gejala dan Tanda Anemia Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek, khususnya pada saat berolahraga, kelemahan, letargi, palpitasi, dan sakit kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejal gagal jantung, angina pektoris, klaudikasio intermiten, atau kebingungan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat khususnya yang awitannya cepat. Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran gagal jantung kongestif mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan anemia hemolitik lain, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang berat. Gejala-gejala anemia yang disertai infeksi berlebihan atau memar spontan menunjukkan adanya kemungkinan netropenia atau trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).
2.3. Anemia pada Diabetes Mellitus Keadaan anemia sering ditemukan pada pasien DM. Anemia merupakan komplikasi umum
dan lebih sering terjadi pada orang dengan diabetes
dibandingkan orang tanpa diabetes. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rani, Raman, Rachepalli, et al. (2010), prevalensi anemia pada penderita DM tipe 2 adalah sebesar 12,3%. Untuk pasien DM yang berusia 40-49 tahun, prevalensi anemia lebih tinggi pada wanita (26,4%) dibandingkan dengan pria (10,3%). Hampir 1 dari 4 (23%) pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2 mengalami anemia. Anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta pelepasan eritropoietin dari ginjal, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan juga adanya faktor iatrogenik, seperti penggunaan
Angiotensin Converting
Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadiya anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtrarion Rate (GFR) dan keadaan ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan di sistem kardiovaskular (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011). Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hb (Hemoglobin) yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam uji klinis terkontrol, pengobatan
anemia
dengan
Erythropoietin
Stimulating
Agents
(ESA)
menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup, tetapi belum menunjukkan hasil yang lebih baik (Mehdi dan Toto, 2009).