17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Perdarahan Saluran Cerna Atas
2.1.1. Definisi Perdarahan saluran cerna bahagian atas (didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bahagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) (yang disebabkan oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol). Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas yang jarang. (Dubey, S., 2008) 2.1.2. Gambaran Umum Perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena. Hematokezia (darah segar keluar per anum) biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal). (Djojoningrat, D., 2006) Upper gastrointestinal tract bleeding (“UGI bleeding”) atau lebih dikenal perdarahan saluran cerna bahagian atas memiliki prevalensi sekitar 75 % hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir.
Universitas Sumatera Utara
18
Tidak berubahnya angka kematian ini kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi comorbid. Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus. Penyebab lainnya seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % - 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus). Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 % hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan akut. (Alexander, J.A., 2008) 2.1.3. Etiologi Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bahagian atas pada buku The Merck Manual of Patient Symptoms (Porter, R.S., et al., 2008): 1.
Duodenal ulcer (20 – 30 %)
2.
Gastric atau duodenal erosions (20 – 30 %)
3.
Varices (15 – 20 %)
4.
Gastric ulcer (10 – 20 %)
5.
Mallory – Weiss tear (5 – 10 %)
6.
Erosive esophagitis (5 – 10 %)
7.
Angioma (5 – 10 %)
8.
Arteriovenous malformation (< 5 %)
9.
Gastrointestinal stromal tumors Dalam buku Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology ada
beberapa etiologi yang dapat menimbulkan perdarahan saluran cerna bahagian atas beserta tabel hasil penelitian dari Center for Ulcer Research and Education (CURE) (Jutabha, R., et al. 2003):
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 2.1. Etiologi UGIB dari Data Center for Ulcer Research and Education (CURE) Diagnosis Number of Patients (%)(n=948)
2.1.3.1.
Peptic ulcers
524 (55)
Gastroesophageal varices
131 (14)
Angiomas
54 (6)
Mallory-Weiss tear
45 (5)
Tumors
42 (4)
Erosions
41 (4)
Dieulafoy’s lesion
6 (1)
Other
105 (11)
Penyakit-Penyakit Ulcerativa atau Erosive
2.1.3.1.1. Penyakit Peptic Ulcer Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada sekitar 4,5 juta orang pada tahun 2011. Kira-kira 10 % dari populasi di Amerika Serikat memiliki PUD. Dari sebahagian besar yang terinfeksi H pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar 10% dari orang muda memiliki infeksi H pylori; proporsi orang-orang yang terinfeksi meningkat secara konstan dengan bertambahnya usia. (Anand, B.S., 2011) Secara keseluruhan, insidensi dari duodenal ulcers telah menurun pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple gastric ulcer mengalami penurunan, insidensi daripada complicated gastric ulcer dan opname tetap stabil, sebagian dikarenakan penggunaan aspirin pada populasi usia tua. Jumlah pasien opname karena PUD berkisar 30 pasien per 100,000 kasus. (Anand, B.S., 2011) Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah kemunculan ulcer mengalami penurunan pada pria usia muda, khususnya untuk duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua. (Anand, B.S., 2011)
Universitas Sumatera Utara
20
2.1.3.1.2.Stress Ulcer Dari buku “Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology” dikatakan bahwa hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya stress ulcer, tetapi banyak dikaitkan dengan hipersekresi daripada asam pada beberapa pasien, mucosal ischemia, dan alterasi pada mucus gastric. (Jutabha, R., et al. 2003) 2.1.3.1.3.Medication-Induced Ulcer Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan daripada penyakit peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas akut. Paling sering, aspirin dan NSAIDs dapat menyebabkan erosi gastroduodenal atau ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia. (Jutabha, R., et al. 2003) 2.1.3.2.
Mallory-Weiss Tear Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di bagian
gastroesophageal junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan oleh Mallory-Weiss Tear dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sekitar 1000 pasien di University of California Los Angeles datang ke ICU dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear adalah diagnosis keempat yang menyebabkan perdarahan saluran cerna bahagian atas, terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus. (Jutabha, R., et al. 2003) 2.1.3.3.
Gastroesophageal Varices Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang
berkembang sebagai hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Beberapa penyebab dari hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal. Hepatitis B dan C serta penyakit
Universitas Sumatera Utara
21
alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering menimbulkan penyakit hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat. (Jutabha, R., et al. 2003) 2.1.3.4.
Pengaruh Obat NSAIDs Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster.
Penggunaan obat ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid illness. (Anand, B.S., 2011B.S. Anand, 2011) Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan arthritis dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis rendah beresiko menderita dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan NSAIDs harus dikurangi. (Anand, B.S., 2011) Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Laporan menunjukkan terjadinya ulserasi pada penggunaan ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis. (Anand, B.S., 2011) Penggunaan kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan tukak gaster. (Anand, B.S., 2011) Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat terjadi dengan penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor. (Anand, B.S., 2011) 2.1.4. Faktor Resiko
Universitas Sumatera Utara
22
The
American
Society
for
Gastrointestinal
Endoscopy
(ASGE)
mengelompokkan pasien dengan perdarahan saluran cerna bahagian atas berdasarkan usia dan kaitan antara kelompok usia dengan resiko kematian. ASGE menemukan angka mortalitas untuk 3.3% pada pasien usia 21-31 tahun, untuk 10.1% pada pasien berusia 41-50 tahun, dan untuk 14.4% untuk pasien berusia 7180 tahun . (Caestecker, J.d., 2011) Menurut
organisasi
tersebut,
ada
beberapa
faktor
resiko
yang
menyebabkan kematian, perdarahan berulang, kebutuhan akan endoskopi hemostasis ataupun operasi, yaitu: usia lebih dari 60 tahun, comorbidity berat, perdarahan aktif (contoh, hematemesis, darah merah per nasogastric tube, darah segar per rectum), hipotensi, dan coagulopathy berat Pasien dengan hemorrhagic shock memiliki angka kematian yang mencapai 30 %. (Caestecker, J.d., 2011) 2.1.5. Gejala Klinis Gejala klinis perdarahan saluran cerna: Ada 3 gejala khas, yaitu: 1. Hematemesis Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”. (Porter, R.S., et al., 2008) 2. Hematochezia Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna bahagian bawah, tetapi dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang sudah berat. (Porter, R.S., et al., 2008) 3. Melena Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam lambung; biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya. (Porter, R.S., et al., 2008) Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea. (Laine, L., 2008)
Universitas Sumatera Utara
23
Studi meta-analysis mendokumentasikan insidensi dari gejala klinis UGIB akut sebagai berikut: Hematemesis - 40-50%, Melena - 70-80%, Hematochezia 15-20%, Hematochezia disertai melena - 90-98%, Syncope - 14.4%, Presyncope 43.2%, Dyspepsia - 18%, Nyeri epigastric - 41%, Heartburn - 21%, Diffuse nyeri abdominal - 10%, Dysphagia - 5%, Berat badan turun - 12%, dan Jaundice - 5.2% (Caestecker, J.d., 2011) 2.1.6. Diagnosis Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik. (Dubey S., 2008) Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah: 1.
Menentukan tempat perdarahan.
2.
Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti. (Soeprapto, P., et al., 2010) Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana
perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah. (Savides, T.J., et al., 2010) Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber perdarahan. (Savides, T.J., et al., 2010) 2.1.7. Tata Laksana
Universitas Sumatera Utara
24
Mempertahankan saluran nafas paten dan restorasi volume intravascular adalah tujuan tata laksana awal. Infus kristaloid awal, sampai 30 mL/ kg, dapat diikuti transfusi darah O-negatif atau yang crossmatched jika diperlukan. Pasien dengan
perdarahan
aktif
memerlukan
konsultasi
emergensi
untuk
esofagogastroduodenoskopi (EGD). Pasien tanpa perdarahan aktif dapat dipantau, diobservasi, dan mungkin dijadwalkan untuk EGD. Intervensi selama EGD meliputi injeksi epinefrin submukosa, skleroterapi, dan ligase pita. Jika tindakan ini gagal menghentikan perdarahan, angiografi dengan embolisasi atau pembedahan mungkin diperlukan. Untuk pasien yang diduga mengalami perdarahan varises, tata laksana medis dapat diberikan sambil menunggu tindakan definitif. Oktreotid dapat digunakan untuk menurunkan tekanan vena porta, dan pipa Sengstaken-Blakmore dapat dipasang sebagai tindakan sementara untuk bertahan. (Dubey S., 2008) 2.2.
Endoskopi
2.2.1. Definisi Endoskopi Endoskopi adalah suatu alat untuk melihat ke bagian dalam tubuh dengan menggunakan suatu selang fiberoptik yang disesuaikan dengan sistem kerja lapangan pandang manusia sehingga memungkinkan kita untuk melakukan pemeriksaan pada organ-organ bagian dalam tubuh manusia. (Wong, L.M., et al., 2008) 2.2.2. Prinsip Dasar Endoskopi Prinsip Kerja Endoskopi Fleksibel meliputi: 1.
Control Head.
2.
Flexible Shaft yang dilengkapi dengan manoeverable tip.
3.
Head sendiri yang dihubungkan dengan sumber cahaya via umbilical cord dan melalui saluran yang lain akan mengalirkan udara/ air, suction dan sebagainya saluran suction juga bisa dipakai untuk memasukkan alat diagnostik seperti forsep biopsy dan alat- alat perlengkapan terapetik yang lain. (Putra, D.S., 2009)
Universitas Sumatera Utara
25
a.
Indikasi Indikasi endoskopi, yaitu: perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA),
dyspepsia, disfagia, odinofagia, nyeri epigastrium kronis, kecurigaan obsruksi outlet, survey endoskopi, curiga keganasan, dan nyeri dada tidak khas (Putra, D.S., 2009) b.
Kontra Indikasi Absolut Kontra indikasi endoskopi, yaitu: tidak kooperatif, psikopat, alergi obat
premedikasi, syok, infark miokard akut, respiratori distress, dan perdarahan masif (Putra, D.S., 2009) c.
Kontra Indikasi Relatif Kontra indikasi relatif, yaitu: kelainan kolumna vertebralis, gagal jantung,
sesak nafas, gangguan kesadaran, infeksi akut, aneurisma aorta torakalis, tumor mediastinum, stenosis esofagus, gastritis korosif akut, dan gastritis flegmonosis (Putra, D.S., 2009) 2.2.3. Gambaran Endoskopi a. Peptic Ulcer
Universitas Sumatera Utara
26
Gambar 2.1. Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan NSAIDs dan test H.Pylori negatif (Vakil, N., 2010)
Gambar 2.2. Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori positif tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs (Vakil, N., 2010) b. Mallory-Weiss Tear
Gambar 2.3. Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear (Savides, T.J., et al., 2010) c. Gastroesophageal varices
Gambar 2.4. Gambaran endoskopi dari esophageal varices (Shah, V.H., et al., 2010)
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.5. Gambaran endoskopi dari gastric varices dan esophageal variceal ligation-related ulcers (Shah, V.H., et al., 2010)
Universitas Sumatera Utara