BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Blustru (Luffa aegyptica Roxb.)
Tumbuhan Luffa aegyptica Roxb. disebut dengan blustru (Gambar 2.1) merupakan tumbuhan khas Tropis dan sering digunakan sebagai makanan terutama buahnya. Sedangkan bijinya tidak dimanfaatkan atau dibuang begitu saja. Panjang batangnya dapat mencapai 2-10 m, memanjat dengan sulur-sulur (alat pembelit) yang keluar dari ketiak daun. Menurut Corner dan Watanabe (1969), susunan taksonomi blustru adalah sebagai berikut; Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Species
: Spermatophyta : Angiospermae : Dicotiledonae : Cucurbitales : Cucurbitaceae : Luffa : L. aegyptica Roxb.
Gambar 2.1 Buah L. aegyptica Roxb. (Foto di lapangan)
Daun dan batang mengandung saponin dan tanin. Luffa berkhasiat sebagai pencahar ringan dan saponin triterpen mempunyai aktivitas spermatisidal (membunuh sperma) sehingga dapat dikembangkan sebagai obat kontrasepsi (program keluarga berencana). Ekstrak seluruh bagian tanaman Luffa aegyptica Roxb., berpengaruh terhadap penekanan jumlah anak mencit yang dilahirkan (Fransworth et al, 1975). Pemberian ekstrak biji blustru sebanyak 270 mg/25 g BB mencit dapat menghambat laju kebuntingan mencit dengan aktitivitas positif tercermin dari rendahnya angka kebuntingan dan dapat menurunkan tapak implantasi, jumlah fetus yang dikandung dan jumlah korpus luteum (Dian et al, 1998).
2.2. Testosteron Undekanoat
Testosteron Undekanoat (17-hydoxy-4-androsten-3-0ne17-undecanoate) (Gambar 2) terdiri dari bahan yang mudah dicerna, suatu alifatik, ester asam lemak testosteron yang sebagiannya diabsorpsi lewat usus yang mengandung sistem limfatikus setelah pemberian secara oral. Pemberian TU secara oral telah digunakan pada terapi penggantian androgen dan hal lain yang berhubungan dengan perlakuan klinik selama lebih dari 2 dekade. TU secara oral juga telah diuji sebagai kontrasepsi tunggal atau dikombinasikan dengan progestin (Kamische et al, 2002 dalam Ilyas, 2008).
Beberapa hal yang menyebabkan TU secara oral diberikan sebagai kontrasepsi pria kurang baik adalah; frekuensi pemberian, ukuran testosteron serum, kurangnya penekanan gonadotropin dan spermatogenesis. Seperti pada penelitian terdahulu yang menunjukan bahwa pemberian TU tunggal secara oral atau dikombinasikan dengan CPA (Cyproterone Asetat) masih kurang efektif dalam penekanan spermatogenik (Meriggiola et al, 2003). Ketersediaan injeksi sediaan long-acting TU dalam minyak biji teh yang diberikan dengan dosis 1000 mg memberi peluang akan pengembangan injeksi regimen 8 minggu kontrasepsi pria di Cina (Gu et al, 2004).
O O
C-(CH2) 9-CH3
O Gambar 2.2 Rumus bangun Testosteron Undekanoat (TU).
2.3 Fisiologi Reproduksi Mencit Jantan
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis, semua struktur ini berpasangan. Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya mencapai 20 kaki (4 m sampai 6 m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis. Bagian ini menerima sperma dari duktus eferen (Rugh, 1968).
Spermatozoa bergerak dari tubulus seminiferus lewat duktus eferen menuju kepala
epididimis.
Epididimis
merupakan
pipa
dan
berkelok-kelok
yang
menghubungkan vas eferensia pada testis dengan duktus eferen (vas deferen). Kepala epididimis melekat pada bagian ujung dari testis dimana pembuluh-pembuluh darah dan saraf masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor epididimis selanjutnya menjadi duktus deferen yang rangkap dan kembali ke daerah kepala. Epididimis berperan sebagai tempat untuk pematangan spermatozoa sampai pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan cara ejakulasi. Spermatozoa belum matang ketika meninggalkan testikel dan harus mengalami periode pematangan di dalam epididimis sebelum mampu membuahi ovum (Frandson, 1995).
Jika spermatozoa terlalu banyak ditimbun, seperti oleh abstinensi (tak ejakulasi) yang lama atau karena sumbatan pada saluran keluar, sel epididimis dapat bertindak
phagocytosis
terhadap
spermatozoa.
Spermatozoa
itu
kemudian
berdegenerasi dalam dinding epididimis. Pada orang vasektomi, epididimis juga berperan untuk memphagocytosis spermatozoa yang tertimbun terus-menerus (di samping makrofag). Terbukti spermatozoa yang diambil dari daerah kaput dan korpus tak fertil, sedang yang diambil dari daerah kauda fertil; sama halnya dengan spermatozoa yang terdapat dalam ejakulat (Yatim, 1994).
2.4 Spermatozoa mencit
Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis, dan bersama-sama dengan plasma semen akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek (middle piece), dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm, sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron).
Kemampuan bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Produksi semen yang tinggi dinyatakan dengan volume semen yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas semen yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan motilitasnya (Hardjopranoto, 1995)
2.4.1 Viabilitas spermatozoa
Spermatozoa mudah sekali terganggu oleh lingkungan yang berubah. Perubahan pH pun merusak sperma, terlebih terhadap asam. kekurangan vitamin E menyebabkan ia tidak bertenaga melakukan pembuahan. Bagi gamet yang membuahi dalam air, ketahanan spermatozoa sangat sedikit sekali ketika mencari ovum. Daya hidup atau
viabilitas merupakan indikator fertilisasi. Bila semen tersimpan lama maka sedikit yang motil (Nalbandov, 1990).
Banyak faktor yang mempengaruhi pembuahan misalnya viabilitas sperma yang rendah sehingga sperma tersebut tidak mampu untuk mengadakan pembuahan. Faktor hambatan ini dapat berasal dari struktur histologi saluran reproduksi pria, struktur sperma yang diperoleh selama di dalam alat genital, enzim-enzim yang terdapat di dalam saluran reproduksi pria serta dalam spermatozoa itu sendiri. Sperma yang belum dewasa maupun bentuk-bentuk yang tidak sempurna tidak akan mampu membuahi (Hafes 1976 dalam Ilyas, 1997).
Viabilitas diukur dengan melihat % motil maju/ml setelah jangka waktu tertentu. Makin lama semen tersimpan makin sedikit yang motil. Penurunan motilitas normal adalah: a. 2-3 jam sudah ejakulasi 50-60% spermatozoa motil maju/ml b. 7 jam sudah ejakulasi: 50% spermatozoa motil maju/ml. Jika setelah 3 jam yang motil kurang dari 50% menandakan adanya gangguan atau kelainan
dalam
genitalia.
Spermatozoa
yang
motilitasnya
rendah
disebut
asthenozoospermia. Jika ejakulasi sering, volume semen dan konsentrasi menurun, tapi tidak menurun ketahanan (Yatim, 1994).
2.4.2 Morfologi spermatozoa
Menurut Rugh (1968), spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait, bagian tengah yang pendek middle piece dan bagian ekor yang sangat panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm sedangkan panjang spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron).
Bentuk spermatozoa abnormal (Gambar 2.4.2) dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk kepala dan ekornya. Menurut Washington et al, (1983), bentuk sperma abnormal pada tikus terdiri dari bentuk kepala seperti pisang, bentuk kepala
tidak beraturan (amorphous), bentuk kepala terlalu membengkok dan lipatan-lipatan ekor yang abnormal.
Gambar 2.4.2 Morfologi spermatozoa mencit. (a) spermatozoa normal, (b) pengait salah membengkok, (c) sperma melipat, (d) kepala terjepit, (e) pengait pendek, (f) kesalahan ekor sebagai alat tambahan, (g) tidak ada pengait, (h) sperma berekor ganda dengan kepala tidak berbentuk, (i) kepala tidak berbentuk. Perbesaran 800 x. (Wyrobek AJ & Bruce WR , 1975) 2.4.3 Motilitas spermatozoa
Jumlah yang bergerak maju ialah jumlah spermatozoa semua dikurangi jumlah mati. Dianggap normal jika motil maju >40 %. Menurut Yatim (1994) bahwa spermatozoa yang normal % motilnya ialah 63 ± 16 SD, dengan range 10-95%. Ada orang yang spermatozoanya lemah sekali gerak majunya, disebut asthenozoospermia. Jika hampir semua sperma diperiksa nampak mati, tak bergerak, disebut necrozoospermia, berarti orang ini infertil. Tapi ada laporan spermatozoa yang tak bergerak belum menunjukkan mati. Mungkin ada suatu zat cytotoxic atau antibodi yang membuatnya tak bergerak.
Menurut Tadjudin (1988), kategori untuk mengklasifikasi motilitas sperma yaitu: a. Jika sperma bergerak cepat dengan lurus ke muka (dahulu disebut sebagai gerak maju sangat baik/ buruk) b. Jika geraknya lambat/ sulit maju lurus/ bergerak tidak lurus (dahulu disebut sebagai gerak lemah atau sedang) c. Jika tidak bergerak maju
d. Jika sperma tidak bergerak 2.5 Spermatogenesis
Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan, dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan spermatozoa yang akan diproduksi dan masih berada di daerah ekstrak gonad. Karena sel germinal kaya akan alkalin fosfatase untuk mensuplai energi pergerakannya melalui jaringan embrio, maka sel germinal dapat dikenali dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke-9 dan hari ke-10 kehamilan sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lagi mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke-11 dan hari ke-12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Proses diferensiasi dan proliferasi berlangsung di daerah medula testis (Rugh, 1968).
Setiap spermatozoa membawa enzim yang cukup untuk membersihkan jalan melalui cell cumulus menuju matriks jel ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung bergabung ke sel granulosa sel cumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan enzim berlimpah. Proses spermatogenesis ini baru dimulai secara aktif pada hari ke-9 setelah lahir (Rugh, 1968). Volume cairan spermatozoa dapat ditingkatkan dengan rangsangan hormonal, sedangkan menurut Masrizal & Efrizal, (1997) volume cairan spermatozoa dapat dilakukan dengan pengenceran melalui penambahan larutan fisiologis.
2.6 Hormon pada Jantan
2.6.1 Testosteron
Hormon kelamin jantan diekskresikan oleh sel Leydig di dalam jaringan interstitial, jaringan ini terletak di dalam ruang antara tubulus seminiferus. Produk testosteron juga di bawah pengaruh hormon LH yang juga dinamakan ICSH (Intersititial Cell Stimulating Hormone) dari hipofisis. Pengeluaran testosteron bertambah nyata pada pubertas dengan pengembangan sifat-sifat kelamin sekunder yaitu: tumbuhnya jenggot, suara lebih berat, pembesaran genitalia (Syaiffuddin,
1996). Testosteron mempunyai efek memacu pertumbuhan dan perkembangan serta aktivitas fungsional organ asesori, sifat pria, vas deferen, penis dan skrotum. Testosteron yang gagal akan menghambat hipothalamus dan hipofise dalam proses spermatogenesis (Mansur & Moeloek, 1983). Menurut Nalbandov (1990) bahwa, fungsi testosteron ada 3 yaitu: a. Mempertahankan sifat kelamin primer dan sekunder. b. Mempertahankan proses spermatogenesis untuk memproduksi spermatozoa dalam keadaan cukup. c. Menjamin maturasi spermatozoa agar mampu mengadakan fertilisasi.
2.6.2 Hormon Gonadotropin
Kelenjar hipofisa anterior mengsekresikan dua hormon gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone), dan LH (Luteinizing Hormone) dan keduanya mempunyai peranan penting dalam mengatur fungsi seksual pria (Syaifuddin, 1996). FSH memiliki reseptor pada sel tubulus seminiferus dan diperlukan dalam spermatogenesis. LH memiliki reseptor pada sel interstisial dan menstimulasi produksi serta sekresi testosteron. LH juga disebut ICSH (Interstisial cell stimulating hormone) atau hormon perangsang sel interstisial pada laki-laki (Sloane, 2003).
Berfungsi dalam pengaturan spermatogenesis yaitu dalam perubahan spermatogonia menjadi spermatosit primer kemudian menjadi spermatosit sekunder yang terjadi dalam tubulus seminiferus yang dirangsang oleh FSH dari kelenjar hipofise anterior di testis. Jadi FSH tampaknya mengawali proses proliferasi spermatogenesis dan testosteron yang berdifusi dari sel interstisial masuk ke dalam tubulus seminiferus tampaknya diperlukan untuk pematangan akhir spermatozoa (Guyton, 1996).
Hormon LH merupakan suatu komplek gonadotropik yang bertanggung jawab pada stimulasi sel-sel Leydig pada jaringan interstitial selanjutnya mengadakan respon dengan cara mengekskresikan adrogen (Turner & Baguara, 1988). Dalam kenyataanya bahwa adrogen dapat mempertahankan spermatogenesis pada jantan. Pada
pemeriksaan histologis testis menunjukkan bahwa LH mamalia hanya mampu menstimulasi sel-sel Leydig yang sudah berdiferensiasi, yang ternyata sel-sel tersebut kemudian segera mengalami kelelahan (Nalbandov, 1990).
2.7 Hubungan Testosteron dalam spermatogenesis
Telah diketahui bahwa testosteron merupakan androgen yang secara langsung mempunyai aksi genomik dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen memiliki famili reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription factor. Pada testis RA ada pada sel Leydig, sel peritubular, dan sel Sertoli. Testosteron secara bebas berdifusi melalui membran plasma dan mengikat RA membentuk komplek yang kemudian berinteraksi dengan androgen reseptor element (ARE) pada bagian promotor gen target (Gambar 2.7). Transkripsi gen target dapat diinduksi atau ditekan tergantung pada faktor yang berhubungan dengan ikatan ligand-reseptor complex dengan ARE (Sadate-Ngatchou et al, 2003).
Melalui respon long-term, testosteron mengaktifkan atau menonaktifkan ekspresi gen yang berhubungan dengan perkembangan sel germinal. Seperti peningkatan ekspresi gen protamin 1 dan protein transisi 2 (secara spesifik diekspresikan pada spermatid) terjadi setelah induksi testosteron propionat pada tikus hpg (hypogondal) sehingga meningkatkan kandungan testosteron intratestikular. Selain itu ekspresi gen Pem (gen androgen yang terdapat pada testis dan epididimis) meningkat bersamaan dengan meningkatnya hormon testikular testis (SadateNgatchou et al, 2003). Peningkatan ekspresi gen tersebut mendukung proliferasi dan diferensiasi sel germinal di dalam tubulus seminiferus testis.
Efek nongenomik T dipicu oleh ikatan pada sebuah reseptor membran yang belum dikarakterisasi (nonclassical). Aktivasi second messenger termasuk Ca2+ dan protein kinase, menghasilkan respon cepat secara khas yaitu efek genomik. T melewati membran sel merubah estradiol dengan aromatase yang kemudian terikat dan mengaktifkan ER dan ERβ. DHT masuk ke sel mengikat dan mengaktifkan AR (andogen receptor). Ikatan ligan ER atau AR menghubungkan heat schock protein
(HSP) mereka mengalami perubahan penyesuaian, dimerisasi, dan translokasi ke dalam inti dimana mereka terikat pada tempat spesifik yang diketahui sebagai estrogen response elements (ERE) atau androgen response element (ARE) berlokasi dalam DNA gen inti target menghasilkan efek long-term genomic dari testosteron (Sadate-Ngatchou et al, 2003).
Gambar 2.7 Mekanisme genomik dan nongenomik androgen.