BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Depresi
2.1.1. Definisi Major Depressive Disorders (MDD) merupakan sindrom yang ditandai dengan perasaan tertekan atau hilangnya ketertarikan atau perasaan senang dalam kebanyakan aktivitas. Gejala lainnya berupa perasaan tidak berharga atau bersalah, gagasan untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, agitasi psikomotor atau kelambanan psikomotor, insomnia atau hypersomnia, penurunan atau peningkatan berat badan, terganggunya konsentrasi, kesulitan berpikir, dan kehilangan tenaga (American Psychiatric Association, 2000). Dari segi diagnosa, major depressive disorder tidak mengalami perubahan dari DSM-IV ke DSM-V (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012). Berdasarkan DSM-V, Major Depressive Disorders (MDD) merupakan sindrom yang ditandai dengan perasaan tertekan atau hilangnya ketertarikan atau perasaan senang dalam kebanyakan aktivitas. Gejala lainnya berupa perasaan tidak berharga atau bersalah, gagasan untuk bunuh diri, percobaan bunuh diri, agitasi psikomotor atau kelambanan psikomotor, insomnia atau hypersomnia, penurunan atau peningkatan berat badan, terganggunya konsentrasi, kesulitan berpikir, dan kehilangan tenaga (American Psychiatric Association, 2000). Berikut kriteria Major Depressive Episodes menurut DSM-V: A. Lima (atau lebih) gejala berikut hadir selama periode dua minggu dan menampilkan perubahan dari kebiasaan sebelumnya. Setidaknya satu gejala merupakan mood tertekan atau kehilangan ketertarikan atau rasa senang. Gejala yang dihasilkan kondisi medis tidak dihitung. 1. Perasaan tertekan pada sebagian besar waktu, hampir setiap hari, ditunjukkan oleh laporan pribadi (contoh: merasa sedih atau kosong) atau observasi orang lain (contoh: kelihatan takut). Catatan: Pada anak-anak dan remaja, dapat berupa perasaan marah. 7
8
2. Kehilangan ketertarikan atau kesenangan pada sejumlah besar aktivitas, hampir setiap hari (ditunjukkan oleh pendapat pribadi ataupun observasi orang lain). 3. Penurunan/peningkatan berat badan atau perubahan selera makan yang signifikan ketika tidak melakukan diet. 4. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari. 5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (harus dapat diobservasi dan bukan perasaan subjektif) 6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari 7. Merasa tidak berharga atau memiliki rasa bersalah yang berlebihan (mungkin saja bersifat delusi) hampir setiap hari. 8. Penurunan kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, sulit menentukan pilihan, hampir setiap hari. 9. Pikiran tentang kematian yang berulang, pikiran tentang bunuh diri yang berulang, baik tanpa rencana atau dengan rencana yang jelas dalam bunuh diri. B. Gejala menyebabkan kesedihan signifikan atau gangguan dalam pekerjaan, hubungan sosial, ataupun bidang lain yang penting dalam hidup. C. Episode ini tidak terkait dampak psikologis dari penggunaan obat-obatan. D. Kemunculan episode ini tidak diterangkan lebih baik dengan schizophrenia, gangguan delusi, atau psychotic disorder. E. Tidak ada sejarah hypomanic atau manic episode.
2.1.2. Epidemiologi Gejala depresi memiliki variasi dalam kebudayaan yang berbeda. Hal ini mungkin terjadi karena standar yang berbeda mengenai apa yang diterima sebagai ekspresi terterkan dalam kebudayaan tersebut. Untuk contohnya, orang-orang di Korea Selatan lebih jarang menyatakan mood sedih ataupun pikiran bunuh diri bila dibandingkan orang Amerika
9
Serikat (Chang et al., 2008). Pada budaya Asia, gejala depresi tampak dari keluhan letih, lemah, dan sulit konsentrasi (Simon, Goldberg, Von Korff, Ustun, 2002). Pada banyak negara jumlah serangan MDD meningkat secara pasti dari pertengah abad-20 hingga abad-20. Pada saat bersamaan, usia dimulainya serangan depresi menurun. Satu penjelasan yang memungkinkan atas hal ini terletak pada perubahan sosial yang terus terjadi selama 100 tahun terakhir. Hubungan kekeluargaan yang amat erat dan stabilitas pernikahan lebih jarang pada masa ini. Kendati demikian, tidak ada data jelas untuk menjelaskan serangan depresi yang datang semakin awal dalam usia. Di luar jumlah serangan depresi, gejala depresi juga bervariasi sesuai dengan usia. Depresi pada anak-anak seringkali berbentuk keluhan somatis, seperti sakit kepala atau perut. Pada orang dewasa, depresi seringkali berbentuk kesulitan konsentrasi dan kesulitan mengingat. Major Depressive Disorder seringkali diasosiasikan atau muncul bersama gangguan psikologis lain. Sekitar 60% individu yang memenuhi kriteria MDD juga pernah memenuhi kriteria anxiety disorder (Kessler et al., 2003). Kondisi lain yang juga umum untuk muncul bersama MDD termasuk substance-related disorder, sexual dysfunctions, dan personality disorders.
2.1.3. Faktor Penyebab 2.1.3.1. Genetik Sebuah analisa menemuka bahwa rata-rata saudara kembar menyebabkan hereditas MDD. Sekitar 37% kasus depresi dapat dijelaskan dengan genetik. Perkiraan hereditas menjadi lebih tinggi ketika penelitian menggunakan sampel yang lebih parah, seperti pasien yang dirawat dalam rumah sakit (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).
2.1.3.2. Neurotransmitter Pada awalnya, depresi dikaitkan dengan tingkat norepinephrine dan dopamin yang rendah. Depresi juga juga diduga terkait dengan tingkat serotonin yang rendah. Namun, penelitian mengenai antidepressant menunjukkan hal yang berbeda. Pada satu sisi,
10
penelitian tersebut menunjukkan bahwa depresi memang terkait dengan neurotransmitter di atas. Contohnya, antidepressant yang efektif menghasilkan peningkatan langsung serotonin, norepinephrine, dan/atau dopamin. Namun dari segi waktu, depresi tidak dapat dijelaskan hanya dari tingkat neurotransmitter. Antidepressant membutuhkan 7 sampai 14 hari untuk mengurangi depresi. Pada saat itu, tingkat neurotransmitter sudah kembali ke keadaan sebelumnya (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012). Dari bukti-bukti yang ada, penelitian mulai mengarah pada sensitivitas reseptor terhadap serotonin. Studi menunjukkan bahwa menurunkan tryptophan (menyebabkan penurunan serotonin) akan menimbulkan gejala depresi sementara pada individu dengan sejarah depresi. Pemikiran saat ini adalah individu dengan reseptor serotonin yang tidak sensitif akan lebih mudah terkena depresi (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).
2.1.3.3. Faktor Sosial Episode depresi seringkali dipicu oleh kejadian yang menekan. Pada kenyataannya, peneliti telah menemukan bahwa penderita depresi mengalami lebih banyak kejadian yang tidak menyenangkan dibandingkan dengan orang lain dalam satu periode waktu (Comer, 2013). Dalam berbagai studi, 42-67% individu melaporkan bahwa mereka mengalami kejadian yang amat serius sebelum depresi mereka timbul. Kejadian tersebut termasuk kehilangan pekerjaan, sahabat penting, ataupun hubungan romantis (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012). Keadaan lingkungan kerja yang buruk dapat menjadi sumber stress dan membuat individu lebih rentan terhadap depresi. Rasa kesepian dan isolasi dalam lingkungan kerja merupakan salah satu stressor kerja (Shen et al., 2013). Hal ini sejalan dengan kebiasaan penulis kreatif yang jarang bersosialisasi dan lebih memilih isolasi dalam mengerjakan karyanya (Kaufman & Kaufman, 2009). Salah satu stressor yang paling terlihat dalam pekerjaan terletak dalam masalah finansial (Swisher et al., 1998). Stressor lain merupakan kesenjangan antara harapan akan performa kerja dan kenyataannya (Grynderup et al., 2012). Pada penulis, tekanan kerja ini
11
dapat mengambil bentuk dalam kritik negatif akan karya dan rendahnya penjualan karya (Kaufman & Kaufman, 2009).
2.1.3.4. Faktor Kognitif Dalam pendekatan kognitif, depresi timbul karena pola pikir negatif yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini tampak dalam pemikiran seperti “Nilai diri saya tergantung pada performa saya dalam tugas” atau “Bila saya gagal, orang lain akan menjauhi diri saya”. Sikap ini umumnya merupakan hasil dari pengalaman pribadi dan opini orang-orang di sekitar mereka. Adanya kegagalan dalam aktivitas merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan, sehingga pola pikir tersebut tidaklah tepat (Comer, 2013).
2.1.4. Dampak Depresi memiliki berbagai konsekuensi berat. Bunuh diri merupakan salah satu bahaya nyata. MDD juga merupakan salah satu penyebab disability paling tinggi(Murray & Lopez, 1996), berdampak besar dalam bentuk penurunan produktivitas. MDD juga terkait dengan resiko masalah kesehatan, termasuk kematian akibat penyakit medis. Terdapat bukti kuat bahwa depresi terkait dengan penyakit jantung.
2.2.
Episode Mania/Hypomania
2.2.1. Definisi Mania/hypomania dapat digambarkan sebagai mood puncak dalam bipolar disorder. Dalam episode mania/hypomania, seorang individu dapat merasa euphoria dan bertenaga (American Psychiatric Association, 2000). Dari segi diagnosa, gejala mania dan hypomania tidak mengalami perubahan dari DSM-IV ke DSM-V (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012). Berdasarkan DSM-IV, berikut adalah kriteria sebuah episode mania: A. Periode tidak wajar pada individu yang jelas berbeda. Secara persisten individu menunjukkan elevated, expansive, atau irritable mood dan adanya peningkatan
12
tenaga atau aktivitas yang bertujuan. Hal di atas bertahan setidaknya selama satu minggu dan tampak pada sebagian besar waktu, hampir setiap hari (atau selama durasi apapun jika perawatan rumah sakit diperlukan). B. Selama periode gangguan mood dan peningkatan tenaga atau aktivitas, tiga (atau lebih) gejala berikut (empat bila hanya ada mood irritable) tampak jelas dan menunjukkan perubahan dari perilaku biasanya: 1. Self-esteem berlebih atau grandiosity. 2. Menurunnya kebutuhan tidur (contohnya merasa telah beristirahat cukup hanya dengan tidur 3 jam). 3. Lebih banyak bicara dari biasanya atau tekanan untuk terus berbicara. 4. Banyak gagasan yang bermunculan atau perasaan subjektif akan pikiran yang berpacu. 5. Perhatian mudah teralihkan (contohnya perhatian terlalu mudah teralihkan oleh stimulus luar yang tidak penting ataupun relevan), sesuai laporan observasi ataupun laporan pribadi. 6. Peningkatan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu (dapat saja tujuan sosial, pekerjaan, sekolah, atau seksual) atau agitasi psikomotor (contohnya aktivitas tanpa tujuan). 7. Keterlibatan berlebih dalam aktivitas menyenangkan yang memiliki resiko buruk (seperti membeli barang secara berlebihan, melakukan investasi bisnis yang merugikan, melakukan tindakan seksual yang tidak pantas). C. Gangguan mood cukup parah untuk menyebabkan kesulitan dalam hubungan sosial atau fungsi pekerjaan. Ataupun, adanya kebutuhan perawatan rumah sakit untuk mencegah individu melukai diri sendiri, atau adanya psychotic features. D. Episode tidak terkait dampak psikologis dari penggunaan obat-obatan.
Elevated mood dalam manic episode merupakan perasaan amat bahagia. Meskipun demikian, perasaan ini akan terlihat berlebihan bagi orang yang mengenal baik individu tersebut (American Psychiatric Association, 2000).
13
Expansive mood ditandakan dengan antusiasme tanpa henti untuk melakukan interaksi interpersonal, seksual, ataupun interaksi yang berkaitan dengan pekerjaan. Contohnya, seorang dalam expansive mood dapat memulai pembicaraan mendalam dengan orang asing tanpa direncanakan. Contoh lainnya adalah penjual yang menawarkan produknya pada orang lain ketika hari masih subuh (American Psychiatric Association, 2000). Selain mania, episode hypomania juga merupakan bagian dari mood disorder. Terdapat sejumlah kriteria, sebelum seorang individu dapat dinyatakan mengalami episode hypomania (American Psychiatric Association, 2000). Kriteria tersebut adalah: A. Periode tidak wajar pada individu yang jelas berbeda. Secara persisten individu menunjukkan elevated, expansive, atau irritable mood dan adanya peningkatan tenaga atau aktivitas yang bertujuan. Hal di atas bertahan setidaknya selama satu minggu dan tampak pada sebagian besar waktu, hampir setiap hari (atau selama durasi apapun jika perawatan rumah sakit diperlukan). B. Selama periode gangguan mood dan peningkatan tenaga atau aktivitas, tiga (atau lebih) gejala berikut (empat bila hanya ada mood irritable) tampak jelas dan menunjukkan perubahan dari perilaku biasanya: 1. self-esteem berlebih atau grandiosity. 2. Menurunnya kebutuhan tidur (contohnya merasa telah beristirahat cukup hanya dengan tidur 3 jam). 3. Lebih banyak bicara dari biasanya atau tekanan untuk terus berbicara. 4. Banyak gagasan yang bermunculan atau perasaan subjektif akan pikiran yang berpacu. 5. Perhatian mudah teralihkan (contohnya perhatian terlalu mudah teralihkan oleh stimulus luar yang tidak penting ataupun relevan), sesuai laporan observasi ataupun laporan pribadi. 6. Peningkatan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu (dapat saja tujuan sosial, pekerjaan, sekolah, atau seksual) atau agitasi psikomotor.
14
7. Keterlibatan berlebih dalam aktivitas menyenangkan yang memiliki resiko buruk (seperti membeli barang secara berlebihan,melakukan investasi bisnis yang merugikan, melakukan tindakan seksual yang tidak pantas). C. Episode ini dapat dikaitkan pada perubahan aktivitas individu. D. Gangguan dalam mood dan aktivitas dapat terlihat oleh orang lain. E. Episode ini tidak cukup parah untuk menyebabkan individu dirawat di rumah sakit atau melempuhkan kemampuan sosial dan pekerjaan. Bila ada psychotic features, episode ini digolongkan manic. F. Episode tidak terkait dampak psikologis dari penggunaan obat-obatan.
2.2.2. Epidemiologi Mania/Hypomania Individu yang berada dalam episode mania memiliki kebutuhan untuk meluapkan emosi yang kuat secara aktif. Mood mereka yang bersifat ‘euphoria’ akan tampak tidak sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Kendati demikian, tidak semua penderita mania menunjukkan kebahagian, beberapa dapat menjadi amat pemarah, terutama ketika merasa ambisinya dihalangi (Comer, 2013). Pada satu penelitian, peneliti meminta psikiater dari Amerika Serikat, India, dan Inggris untuk menonton rekaman wawancara dan menilai tingkat gejala manic. Psikiater dari Amerika Serikat dan India cenderung untuk melihat gejala yang lebih parah dibandingkan psikiater dari Inggris. Kebudayaan mungkin membentuk kecenderungan untuk melabel perilaku sebagai gejala manic (Mackin, Targum, Kalali, Rom, Young, 2006). Lebih dari setengah penderita bipolar melaporkan episode mania pertama mereka sebelum usia 25 (Merikangas et al., 2011). Dari segi jenis kelamin, jumlah laki-laki dan perempuan yang mengalami episode mania/hypomania tidak terlalu berbeda. Sekitar dua per tiga orang yang telah didiagnosa dengan episode mania juga memenuhi kriteria anxiety disorder dan lebih dari satu per tiga melaporkan sejarah substance abuse (Altshuler et al., 2010).
15
2.2.3. Faktor Penyebab Pendekatan psychodynamic menyatakan bahwa mania, sama seperti depresi, muncul dari hilangnya objek kesayangan. Beberapa orang menyikapi kehilangan tersebut dengan menjadi depresi, lainnya mengingkari kehilangan tersebut dan menjadi manic. Kendati demikian, penjelasan yang paling valid dapat ditemukan dalam pendekatan biologis (Comer, 2013).
2.2.3.1. Genetik Studi silsilah keluarga menyatakan bahwa individu dapat mewariskan kecenderungan mania dan depresi (American Psychiatric Association, 2013). Terdapat 40% kemungkinan episode mania bila memiliki saudara kembar dengan gangguan tersebut. Bila seorang individu mengalami mania dan depresi maka terdapat kemungkinan 5-10% anggota keluarga intinya mengidap gangguan tersebut (Comer, 2013).
2.2.3.2. Neurotransmitter Pada tahun 1960, dokter mengira bahwa mania disebabkan oleh aktivitas berlebih norepinephrine. Karena aktivitas serotonin seringkali terjadi bersama norepinephrin dalam depresi, banyak yang mengira bahwa mania juga terkait dengan tingkat serotonin yang tinggi. Kendati demikian, korelasi seperti itu tidak ditemukan. Pada nyatanya, penelitian membuktikan bahwa mania terkait dengan aktivitas rendah serotonin, sama seperti depresi. Tingkat serotonin yang rendah dan aktivitas norepinephrine tinggi mungkin mengarah pada mania (Comer, 2013).
2.2.3.3. Struktur Otak Studi otopsi telah mengidentifikasi sejumlah kelainan bentuk otak pada individu dengan sejarah episode mania. Contohnya basal ganglia dan cerebellum individu ini cenderung untuk lebih kecil dari biasanya. Selain itu, amygdala, hippocampus, dan prefrontal cortex juga memiliki kelainan struktur. Masih belum jelas peran kelainan
16
struktur ini dalam sejarah mania. Mungkin saja mereka menyebabkan kelainan neurotransmitter atau sebaliknya, kelainan struktur otak ini disebabkan oleh neurotransmitter penderita mania (Comer, 2013).
2.2.4. Dampak Mania serta hypomania termasuk gangguan mental yang paling berat. Satu per tiga orang tetap tidak memiliki pekerjaan selama satu tahun penuh setelah dirawat untuk mania. Terdapat tingkat bunuh diri yang tinggi pada penderita bipolar I dan bipolar II. Satu dari empat individu dengan bipolar I dan satu dari lima orang dengan bipolar II melaporkan pernah mencoba melakukan bunuh diri (Merikangas et al., 2011). Individu dengan sejarah episode mania memiliki resiko tinggi untuk menderita berbagai masalah medis, termasuk penyakit jantung, diabetes melitus, obesitas, dan penyakit tiroid (Kupfer, 2005). Permasalahan medis yang muncul seringkali cukup parah. Individu yang dirawat karena episode mania memiliki kemungkinan dua kali lipat meninggal karena masalah medis bila dibandingkan dengan individu yang tidak menderita mood disorder (Kring, Johnson, Davison, Neale, 2012).
2.3
Penulis Kreatif
2.3.1
Definisi Penulis kreatif merupakan individu yang melakukan ekspresi seni dengan imajinasi
untuk menyampaikan suatu makna melalui penggunaan narasi ataupun naskah drama (Kaufman & Kaufman, 2009). Ekspresi seni ini mencakup pembuatan syair, fiksi (novel, cerita pendek), naskah untuk permainan teater/drama, dan non-fiksi kreatif (memoar atau essay).
17
2.3.2
Atribut Kepribadian Penulis Terdapat atribut-atribut kepribadian yang umum dalam penulis (Piirto, 2002).
Atribut ini diambil secara kualitatif melalui wawancara, biografi, dan memoar dari 7.355 penulis. Atribut kepribadian penulis menurut Piirto (2002) yaitu: a) Ambisi dan iri hati. Penulis membutuhkan ambisi untuk mendorong mereka, namun ambisi ini seringkali menimbulkan perasaan tidak mampu dan cemas. Hal ini mungkin disebabkan oleh intimasi penulis akan karyanya. Penolakan yang mereka terima atas karya mereka ketika berusaha menerbitkan dapat berujung pada peningkatan ambisi yang disertai dengan rasa iri. Di balik dorongan untuk terus melanjutkan profesi penulis kreatif, terdapat rasa iri akan kesuksesan yang lain. Seorang penyair, Louis Simpson mengatakan bahwa pertemanan antara penulis tidak akan bertahan lama. Ia mengatakan bahwa penulis akan membenci kritik dari penulis lain dan mencurigai adanya rasa iri atau usaha untuk menjatuhkan karya mereka. Penyebab lainnya akan rasa iri dalam penulis juga disebabkan oleh perenungan mengenai pencapaian sebagai seorang penulis. b) Kepedulian akan isu filosofis: estetika dan etika Secara etis dan moral, banyak penulis yang tampak peduli dengan makna hidup dan pencarian atas kebenaran serta keindahan. Dalam proses penulisan kreatif, masalah filosofis mengenai makna hidup menjadi satu dengan kekhawatiran akan apa yang menjadikan manusia seorang manusia. Materimateri mengenai pemahaman penulis akan etika, moral, dan keindahan dapat ditemukan secara mudah dalam tulisannya. c) Kejujuran dalam pandangan politik dan sosial Penulis sering menarik perhatian, kemungkinan karena kemampuan mereka untuk berekspresi. Penulis cenderung untuk terbuka dalam menyatakan pandangan politik mereka dan berani untuk mengambil resikonya. Sepanjang sejarah, penulis menunjukkan seringkali menunjukkan sifat pasifis, liberal, atau sayap kiri. Banyak penulis yang menyuarakan sikap anti perang dan mendukung
18
kebebasan. Untuk alasan ini pula, banyak penulis yang diasingkan oleh pemerintah dalam sejarah. d) Psikopatologi Sejumlah penulis kreatif mungkin saja gila dan marah. Tes kepribadian yang dilakukan Barron pada 1963 menunjukkan bahwa penulis menunjukkan banyak karakteristik manic-depressive ataupun schizophrenic. Penulis kreatif ditandai “menyimpang” dari populasi umum. Penulis terkemuka tampaknya memiliki kecenderungan schizoid, depressive, hysterical, psychopathic, ataupun tidak memiliki selera seksual yang kaku.
e) Depresi Contoh depresi dalam penulis kreatif amat berlimpah, terbukti dari memoarmemoar yang berisi tentang rincian dampak depresi. Akhir yang sedih dalam bunuh diri merupakan realita bagi banyak penulis. Meskipun mereka memperkaya kehidupan pembaca, penulis seringkali rawan terhadap sifat selfabusive dan self-destructive. f) Empati Penulis seringkali menuangkan masalah dunia sebagai bagian dari mereka sendiri. Seorang seniman tampaknya dapat memahami perjuangan orang lain dengan mudah. Rasa empati yang dalam ini mungkin berkontribusi pada depresi penulis. g) Selera humor Terdapat kecerdasan untuk menangkap humor dalam penulis, umumnya humor secara verbal. Kejelian untuk melihat hal yang tidak sesuai, kemampuan untuk menyampaikannya, ironi dalam mengesampingkan tragedi dan melihat sisi jenakanya, semua menyatakan selera humor yang tampak dalam penulis.
19
2.3.3. Writer’s Block Dalam proses menulis, seorang penulis kreatif dapat mengalami kesulitan untuk melanjutkan karyanya. Kendati perhatian dan usaha yang mereka lakukan, mereka tetap berhadapan dengan sebuah halaman kosong. Keadaan tidak mengetahui apa yang harus ditulis ataupun bagaimana cara melanjutkan tulisan dikenal dengan nama writer’s block (Kaufman & Kaufman, 2009). Writer’s block merupakan pengalaman yang berbeda untuk setiap penulis. Dengan mengakui keberagaman ini, telah dilakukan pembagian jenis writer’s block (Barrios, 1987). Jenis writer’s block dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Type 1: Dysphoric/Avoidant Type Penulis jenis ini mengeluarkan berbagai emosi tertekan. Data kuesioner menunjukkan berbagai perasaan tertekan yang diasosiasikan dengan menulis. Perasaan tersebut mencakup marah, takut, kebingungan, mengkritik diri sendiri, dan letih. Selain itu juga terdapat hilangnya perasaan positif ketika menulis. Penulis ini memiliki imajinasi kuat, namun kualitas ini tidak digunakan untuk menulis. Alih-alih, kemampuan ini malah memperkuat gejala depresi mereka. Mereka sering membayangkan diri dalam keadaan bersalah dan tidak tenang. Hal itu menyebabkan kesulitan dalam menjaga struktur karya tulis mereka. Kehilangan hubungan interpersonal dan rasa malu di masa lalu berperan dalam pengalaman depresi yang dialami saat ini. Demoralisasi ini menghambat kemampuan untuk fokus dalam menulis. Pada saat bersamaan, ketidakmampuan menulis berarti hilangnya cara untuk merasakan kendali diri dan rasa pencapaian. Penulis jenis ini akan menjadi amat kesepian dan terisolasi dari orang lain. Proyek menulis, meskipun dibenci, telah menjadi teman utama mereka sehari-hari.
20
2. Type 2: Guilty/Interpersonally Hindered Type Kelompok penulis ini dikenal tidak memiliki banyak gangguan menulis di masa lalu. Mereka dikenal untuk kebiasaan kerja yang baik, ketekunan, dan kapasitas untuk melakukan lamunan yang konstruktif. Ketika mengalami block, mereka melaporkan tingkat kenikmatan rendah dalam menulis. Mereka juga mengakui peningkatan signifikan dalam permusuhan dan rasa kesal terhadap orang lain. Meskipun demikian, mereka menyatakan sikap positif pada proyek menulis mereka. Kesulitan penulis Type 2 tampaknya bersifat interpersonal dan ditandai dengan self-inhibition. Penulis ini biasanya terjebak di antara keinginan untuk personal achievement dan rasa tanggung jawab subjektif terhadap anggota keluarga yang dipersepsikan rentan. Mereka amat menyesuaikan diri dengan orang lain dan menghindari menjadi objek dari rasa iri. Tantangan proyek mereka adalah untuk menyeimbangkan keadaan agar tidak terlihat melampaui orang lain. Penulis ini menghindari kesuksesan besar dan menganggap penonjolan diri dapat menghancurkan hubungan interpersonal.
3. Type 3: Constricted/Dissmissive/Disengaged Type Penulis Type 3 menyangkal adanya perasaan cemas ataupun marah dalam usaha menulis mereka. Penulis ini menolak attachment dengan teman penulis dan mereka juga mengabaikan kemungkinan adanya keuntungan dari pertemanan dengan penulis yang lebih berpengalaman. Mereka juga kurang kreatif atau kurang mampu membuat ide orisinil dan tengah terjebak dalam proyek menulis yang membutuhkan tingkat orisinalitas tinggi. Wawancara dengan penulis jenis ini menunjukkan bahwa mereka tidak memandang tinggi proses menulis sendiri. Mereka menciptakan kesan bahwa mereka menggunakan sedikit emosi dan imajinasi. Individu ini bersikap sinis dan meremehkan kolega mereka dan karir mereka sendiri.
21
4. Type 4: Angry/Dissapointed Type Penulis ini memiliki ekspresi negatif yang tinggi. Rasa permusuhan, pesimisme, dan kebencian seringkali disertai perilaku seperti memecahkan barang, menendang, dan mudah kesal dengan orang lain. Penulis Type 4 cenderung menggunakan alkohol ataupun obat-obatan ketika menulis. Dibandingkan dengan penulis lainnya, penulis Type 4 memiliki tingkat kecemasan, depresi, keluhan somatis, dan perasaan paranoid paling tinggi. Kendati demikian, mereka memandang pekerjaan menulis mereka sebagai hal yang amat berharga dan menguntungkan. Penulis Type 4 tampak amat memperhatikan identitas dan kelayakan mereka. Kepedulian ini sebagian besar bersifat narsistik. Perjuangan mereka berpusat pada usaha menulis untuk mempertahankan gambaran diri yang ideal. Seringkali penulis ini memiliki kesuksesan atau pencapaian besar di masa lalu, tetapi saat ini tengah takut kehilangan status tersebut. Penulis Type 4 berada dalam pencarian atas jati diri di masa lalu. Mereka mencari pemujaan dan perhatian. Rasa marah yang mereka tunjukkan mungkin merupakan bentuk penyalahan diri sendiri karena tidak dapat meneruskan hidup ideal. Mereka terbebani oleh kesuksesan masa lalu yang gagal dipertahankan.
Tabel 2. 1 Perbandingan jenis-jenis penulis yang mengalami writer’s block Type 1
Type 2
Type 3
Type 4
Kekacauan
Dikhianati
Gairah
Kekecewaan
Perasaan utama
Anxiety/
Guilt/Inhibition
Detachment/
Shame/Rage
yang
Depression
Konsekuensi menulis yang ditakutkan
ditampilkan
Constriction
22
Kesulitan
Ketidakmampuan Perasaan yang
Pemisahan diri
Kegagalan
utama
untuk
saling
dari sumber
untuk
membangun dan
bertentangan
imajinasi dan
melaksanakan
mengatur pikiran
mengenai
emosi
ambisi pribadi
serta perasaan
pelaksanaan ambisi pribadi
Kaitan
Isolasi diri,
Terpaku pada
Tidak peduli
Tidak sabar,
interpersonal
berduka
harapan orang
secara sopan
mencari
lain
2.4
pengakuan
Kerangka Berpikir
Gambar 2. 1 Kerangka berpikir
Penelitian yang dilakukan melibatkan variabel gangguan depresi dan mania/hypomania pada subjek penulis kreatif. Variabel tersebut dipilih karena banyaknya gejala mania dan depresi yang dapat muncul dalam proses menulis kreatif. Seorang penulis kreatif menuangkan aspirasi dan imajinasi mereka melalui narasi dalam media tertulis. Dimulai dengan pencarian ide dan perencanaan cerita, seorang penulis kreatif dapat dibanjiri oleh berbagai gagasan dan kemungkinan alur cerita. Dalam mengerjakan tulisannya seorang penulis dapat menjalankannya dengan fokus penuh dan
23
istirahat yang minim. Ketika menerima pujian dari pembaca, seorang penulis dapat merasakan peningkatan self-esteem. Perasaan-perasaan yang dipandang positif tersebut merupakan bagian dalam gejala episode manic dan hypomanic. Salah satu studi paling awal mengenai topik ini menemukan bahwa terdapat lebih banyak penulis yang pernah dirawat karena episode mania dan depresi, bila dibandingkan dengan sampel kontrol (Andreasen & Canter, 1974). Gejala-gejala dalam episode manic dan hypomanic mencakup rasa self-esteem berlebih atau grandiosity, kebutuhan tidur menurun, tekanan untuk berbicara, pikiran yang berpacu, meningkatnya aktivitas dengan tujuan tertentu, dan melakukan aktivitas yang menyenangkan secara berlebih (American Psychiatric Association, 2000). Di sisi lain, pekerjaan penulis kreatif juga membuatnya rentan terhadap depresi. Seorang penulis dapat memandang karyanya secara negatif, mengandung narasi yang tidak cukup baik untuk membawakan konsep cerita ataupun tidak menarik. Pola pikir ini seringkali diperkuat ketika terdapat kritik keras terhadap karya atau ketiadaan pembaca yang memberikan perhatian. Di luar itu, writer’s block (ketidakmampuan dalam melanjutkan tulisan) juga memiliki peran dalam menekan seorang penulis kreatif. Tidak seperti seorang penulis akademis, ketakutan akan halaman kosong tidak dapat dilampaui dengan mengikuti panduan penulisan ilmiah, kolaborasi antar peneliti, ataupun menggunakan riset-riset terdahulu untuk mendukung penelitian saat ini. Reputasi mereka sebagai seniman dapat saja bergantung sepenuhnya pada imajinasi. Dalam penulisan akademis, menggunakan referensi dan pemikiran orang lain merupakan penelitian. Dalam penulisan kreatif, tindakan seperti itu merupakan plagiarisme (Kaufman & Kaufman, 2009). Ketika writer’s block terjadi, umumnya perasaan-perasaan senang dalam menulis akan hilang. Seorang penulis dapat berkutat dengan halaman kosong selama berjam-jam, menulis dan menghapus tulisan mereka secara berulang-ulang (F. Razi, komunikasi pribadi, 24 Maret 2015). Usaha yang dirasakan tidak membuahkan ini seringkali dirasakan “membuang-buang waktu” dan membuat penulis merasa tertekan. Studi di Swedia juga menunjukkan bahwa orang-orang yang menekuni profesi penulis memiliki kemungkinan
24
lebih besar untuk menderita unipolar depression dan mania bila dibandingkan dengan populasi (Kyaga et al., 2011, 2012). Perasaan-perasaan negatif dalam proses menulis ini dapat mengarah pada timbulnya depresi apabila perasaan tersebut menjadi berlebih dan tidak tertahankan (Shen et al., 2013). Depresi merupakan keadaan tertekan yang ditandai dengan tingkat kesedihan tinggi, tidak bertenaga, merasa tidak berharga, bersalah, dan kehilangan rasa senang (American Psychiatric Association, 2000). Bahkan ketika seorang penulis berhasil melampaui segala halangan dan menyelesaikan karya mereka, berbagai hal masih dapat menghantui. Penulis mungkin merasa “besar” ketika karya mereka disambut dengan pujian dan kesuksesan. Namun rendahnya antusiasme pembaca dan buruknya penjualan dapat menjadi stressor bagi penulis (Kaufman & Kaufman, 2009). Pendapatan yang rendah dan hasil pekerjaan yang kurang dihargai terbukti mengacu pada depresi (Swisher et al., 1998).