BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perairan Pantai Lebih kurang tiga perempat bagian dari permukaan bumi tertutup air. Dari segi ekosistem, dapat dibedakan menjadi air tawar, air laut dan air payau seperti yang terdapat pada muara sungai yang besar. Dari ketiga ekosistem tersebut, air laut dan air payau merupakan bagian yang terbesar, yaitu lebih dari 97%. Sisanya adalah air tawar yang justru dibutuhkan oleh manusia dan banyak jasad hidup lainnya yang membutuhkan untuk keperluan hidupnya (Barus, 2004). Indonesia terdiri dari laut yang wilayahnya sekitar 70%, yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber hayati dan lingkungan yang berpotensial. Keadaan ini merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan di sektor perikanan. Dewasa ini usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terus dilakukan. Dengan adanya perluasan wilayah kedaulatan dan wilayah kekayaan alam perairan Indonesia, yang awalnya 2 juta km2 menjadi 9 juta km2 (Aslan, 1991). Ekosistem pantai terletak pada perbatasan dengan ekosistem darat, laut dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat keras. Sebagai daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat, hempasan gelombang dan hembusan angin menyebabkan pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah darat sehingga membentuk hutan pantai (Asriyana dan Yuliana, 2012). Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia juga mempunyai tatanan geografi laut yang luas dilihat dari topografi dasar lautnya. Laut sama halnya seperti daratan yang dihuni oleh biota, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup. Keberadaan biota laut ini sangat menarik perhatian manusia, bukan saja
Universitas Sumatera Utara
5
karena kehidupannya yang penuh rahasia, tetapi juga karena manfaatnya sangat besar terhadap kehidupan manusia (Romimohtarto dan Juwanna, 2009). Rumput laut merupakan komoditi yang pemanfaatannya cukup luas dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk dikonsumsi secara langsung, maupun sebagai bahan baku berbagai industri sehingga secara komersial, budidaya komoditi tersebut
bersifat
sangat
menguntungkan.
Namun
demikian,
kenyataan
menunjukkan bahwa produksi dalam negeri komoditas tersebut belum mencapai target yang dicanangkan sesuai ketersediaan lahan budidaya potensial yang tersebar pada berbagai perairan di Indonesia (Jaya dan Rasyid, 2009). Perbedaan sifat dan biologis makroalga di Indonesia mengakibatkan pula perbedaan cara penyebaran di wilayah negara Indonesia. Perairan pantai yang potensial di Indonesia, menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap provinsi dapat ditumbuhi makroalga. Beberapa jenis makroalga di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk ekspor utamanya dari genus Eucheuma, Gracilaria, Gelidium dan Hypnea (Aslan, 1991).
2.2.Rhodophyta(Alga Merah) Dari segi morfologinya, rumput laut tidak meperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk thallusmakroalga ada bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan sebagainya. Thalli ini ada yang tersusun uniselluler (satu sel) atau multiseluler (banyak sel). Percabangan thallus ada yang Dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua pada sepanjang thallusutama secara berselangseling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak sperti tulang rawan cartilagenous), berserabut (spongious) dan sebagainya (Aslan, 1991). Alga merah (Rhodophyceae) atau rumput laut merah merupakan kelas dengan spesies atau jenis yang paling banyak dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Tumbuhan ini hidup di dasar perairan laut sebagai fitobenthos dengan
5 Universitas Sumatera Utara
6
menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik ataupun kayu. Kedalamannya mulai dari garis pasang surut terendah sampai sekitar 40 meter. Namun, di laut Mediteranean dijumpai alga merah pada kedalaman 130 meter (Kordi, 2011). Alga merupakan salah satu sumberdaya alam hayati laut yang bernilai ekonomis dan memiliki peranan ekologis sebagai produsen yang tinggi dalam rantai makanan dan tempat pemijahan biota-biota laut (Bold and Wyne tahun 1985 dalam Langoy et al., 2011). Makroalga memiliki manfaat yang sangat banyak digunakan dalam bidang industri, makanan, obat-obatan dan energi.
2.2.1. Deskripsi Rhodophyta Rhodophyta berwarna merah sampai ungu, kadang-kadang juga lembayung atau pirang kemerah-kemerahan. Kromotofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna itu tertutup oleh zat warna merah yang mengadakan fluoresensi, yaitu fikoeritrin. Pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin (Tjitrosoepomo, 2009). Struktur thallus pada alga merah tidak memberikan variasi yang besar terhadap jenis lain. Warna merah yang terdapat pada alga ini sangat sederhana setidaknya dalam hal strukturnya sehingga membedakan dengan alga yang lain. Beberapa jenis alga pada Rhodophyta ini yang telah kehilangan warna klorofil memiliki ketergantungan pada substrat tempat hidup alga yang merupakan sebagai sumber nutrisi dari alga merah tersebut (Castro, 2005). Menurut Aslan (1991), alga merah ini ditandai dengan sifat-sifat sebagai berikut: a. Dalam reproduksinya tidak mempunyai stadia gamet berbulu cambuk. b. Reproduksi seksual dengan karpogonia dan spermatia. c. Pertumbuhannya bersifat uniaksial (satu sel di ujung thallus) dan multiaksial (banyak sel di ujung thallus). d. Alat pelekat (holdfast) terdiri dari perakaran sel tunggal atau sel banyak. e. Memiliki pigmen fikobilin yang terdiri dari fikoeretrin (berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru).
6 Universitas Sumatera Utara
7
f. Bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thalli seperti merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. g. Mempunyai persediaan makanan berupa kanji (Floridean starch). h. Dalam dinding selnya terdapat selulosa, agar, carragenan, porpiran dan furselaran. Sebagian besar alga merah adalah tumbuh-tumbuhan laut. Di antara kelompok-kelompok alga laut, alga merah merupakan alga yang memiliki warna yang mencolok. Beberapa diantara jenis alga merah ini terdapat alga merah yang bercahaya. Pigmen-pigmen dari kromatofor terdiri dari klorofil biasa bersamasama dengan xantofil, karotin dan sebagai tambahan fikoeritrin yang merah dan kadang-kadang fikosianin (Romimohtarto dan Juwanna, 2009). Kebanyakan alga merah atau Rhodophyta ini berfilamen, tetapi ketebalan, lebar dan susunan filamennya sangat bervariasi. Biasanya satu rumpun yang padat tampak pada bagian atas batu sebagai substratnya dalam garis pantai yang surut dan perairan dangkal (Castro, 2005). Filum Rhodophyta merupakan alga merah yang termasuk jenis alga yang uniseluler, memiliki filamen yang sederhana atau berserabut kompleks. Pigmen yang ditemukan pada alga ini termasuk klorofil dengan phycobilin dan karotenoid. Alga merah ini tidak memiliki flagel dan cadangan makanannya berupa karbohidrat sitoplasmik dan pati floridean. Alga merah juga termasuk Coralines yang sangat luas dan ekologis pada terumbu karang (Graham dan Wilcox, 2000). Semua pigmen dapat mengabsorbsi cahaya matahari yang akan ditransfer ke klorofil a, sehingga pigmen akan mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis. Di Indonesia alga merah terdiri dari 17 marga dan 34 jenis serta 31 jenis di antaranya telah dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Namun, tidak semua jenis yang dimanfaatkan dapat bernilai ekonomis tinggi dan dibudidayakan. Hasil identifikasi terhadap jenis-jenis rumput laut merah yang tersebar di berbagai perairan Indonesia ditemukan sekitar 23 jenis yang dapat dibudidayakan, yaitu marga Eucheuma 6 jenis, marga Gelidium 3 jenis, marga Gracilaria 10 jenis dan marga Hypnea 4 jenis. Jenis rumput laut di Indonesia yang mempunyai nilai
7 Universitas Sumatera Utara
8
ekonomis penting adalah dari kelas alga merah yang mengandung karaginan dan agar-agar. Alga yang mengandung karaginan (karaginofit) adalah dari marga Euchema, Kappaphycus dan Hypnea, sedangkan yang mengandung agar-agar (agarofit) dari marga Gracilaria dan Gelidium(Kordi, 2011). Kebanyakan Rhodophyta hidup di dalam air laut, terutama dalam lapisanlapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya yang bergelombang pendek. Hidupnya sebagai bentos, melekat pada substrat dengan benang-benang pelekat
atau
cakram
pelekat.
ThallusRhodophyta
ini
bermacam-macam
bentuknya, tetapi pada golongan sederhana bersifat heterotrik. Jaringan tubuh belum bersifat sebagai parenkim, melainkan hanya merupakan plektenkim (Tjitrosoepomo, 2009). Banyak jenis biota laut, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dari perairan laut Indonesia yang berpotensi untuk dibudidaya di laut. Beberapa jenis rumput laut yang bernilai ekonomis dan berpotensi atau yang telah dibudidayakan adalah Eucheuma, Gracilaria, Gelidium, Gelidiopsis dan Hypnea. Segi biologi rumput laut ini harus dikuasai yaitu meliputi pola perkembangbiakan dan ekologinya (Romimohtarto dan Juwanna, 2009).
2.2.2. Cara Perkembangbiakan Daur hidup beberapa jenis alga merah sangat majemuk. Pada bentuk-bentuk yang lebih tinggi tingkatnya menjadi pergantian generasi secara morfologik yang teratur. Dalam hal ini dapat saja sporofit dan gametofit kelihatan dari luar sama. Salah satu sifat yang menarik dari perkembangbiakan alga merah ini adalah sama sekali tidak adanya spora atau gamet berenang yang berbulu getar atau bercambuk. Ini merupakan penyimpangan dari kebiasaan yang diikuti oleh perkembangan jasad hidup yang terjadi dalam media air. Hal ini membuat penyebaran dan pertemuan intim antara sel-sel perkembangbiakan tergantung pada arus dan karena itu semuanya tergantung pada faktor kesempatan atau keberuntungan (Romimohtarto dan Juwanna, 2009). Perkembangbiakan dapat secara aseksual, yaitu dengan pembentukan spora dapat pula secara seksual (oogami). Baik spora maupun gametnya tidak
8 Universitas Sumatera Utara
9
mempunyai
bulu
cambuk
sehingga
tidak
dapat
bergerak
aktif
(Tjitrosoepomo, 2009). Pada alga reproduksi aseksual berupa pembentukan suatu individu baru melalui perkembangan spora, pembelahan sel dan fragmentasi. Pembiakan dengan spora berupa pembentukan gametofit dari tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe pembiakan ini umumnya terdapat pada alga merah. Pada alga yang bersel satu (uniseluler) setiap individu mempunyai kemampuan untuk membelah diri dan membentuk individu baru. Pada alga yang multiseluler (bersel banyak) seperti Enteromorpha, Polysiphonia, Gracilaria dan Eucheuma, potongan
thallusnya
mempunyai
kemampuan
berkembang
meneruskan
pertumbuhan (Aslan, 1991). Reproduksi yang terjadi pada jenis alga merah ini terjadi secara aseksual yaitu dengan cara membelah sel atau dengan cara spora, sedangkan proses reproduksi secara seksualnya belum banyak diketahui.
2.2.3. Manfaat Rhodopyta Makroalgamerupakan salah satu sumber daya hayati yang sangat potensial untuk dikembangkan dan tersebar wilayah perairan Nusantara terutama di daerah pesisir intertidal dan pulau-pulau karang. Makroalga atau yang lebih dikenal dengan seaweed mempunyai fungsi untuk dapat mempertahankan keragaman sumber daya hayati laut, memiliki peranan penting
baik dari segi biologis, ekologis
maupun ekonomis (Rumansara, 2012). Makroalga yang tergolong Rhodophyta beberapa diantaranya mengandung bahan yang cukup penting yaitu carrageenan. Carragenophyta adalah kelompokmakroalga penghasil carrageenan. Kelompok ini antara lain Chondrus, Gigartina dan Eucheuma. Dalam dunia industri carrageenan berbentuk garam bila bereaksi dengan sodium, kalsium dan potasium yang akan menghasilkan agar-agar dan algin (Aslan, 1991). Pemanfaatan alga sebagai biodiesel dalam memanfaatkan biodiesel yang berasal dari tanaman daratan, yaitu kutub yang berorientasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan kutubyang cenderung mengkonversi lahan untuk bahan baku biodiesel dari tanaman sebagai energi terbaru. Keberadaan rumput laut
9 Universitas Sumatera Utara
10
sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatanlahan daratan. Kegunaan rumput laut itu sangat luas dan dekat sekali dengan kehidupan manusia (Suparmi dan Sahri, 2009). Agar-agar merupakan suatu asam sulfurik, ester dari galaktan linier. Bentuk gel diekstrak dari Agarophyt berasal dari kelompok Rhodophyta. Penghasil agar-agar antara lain Gracilaria, Gelidium, Ahnfeltia, Pterocladia dan dari jenis Achanthopeltis. Agar-agar tidak larut dalam air dingin, tetapi larut dalam air panas. Pada temperatur 32-39oC berbentuk bekuan (solid) dan tidak mencair pada suhu di bawah 85oC. Dalam industri farmasi agar-agar berguna sebagai pencahar atau peluntur dan kultur bakteri. Dalam industri kosmetik digunakan dalam pembuatan salep, cream, sabun dan pembersih wajah atau lotion. Beberapa industri lain memanfaatkan agar-agar sebagai bahan tambahan, misalnya pada industri kertas, tekstil, fotografi, semir sepatu, tapal gigi, pengalengan ikan atau daging dan juga untuk kepentingan mikrotomi, museum dan kriminologi (Aslan, 1991). Eksplorasi sumber alternatif biopigmen selain dari tumbuhan dan makroorganisme lain perlu terus diupayakan, mengingat pigmen memiliki berbagai macam bioaktifitas yang menguntungkan bagi manusia. Eksplorasi potensi rumput laut sebagai sumber biopigmen alternatif, diharapkan dapat menambah potensial keragaman pigmen yang telah ada. Warna thallus rumput laut yang berbeda-beda sebagai salah satu ciri morfologinya, diduga merupakan manifestasi dari pigmen yang disintesis oleh rumput laut. Agen pemberi warna rumput laut tersebut merupakan pigmen, seperti klorofil dan karotenoid, serta beberapa pigmen unik lainnya (Suparmi dan Sahri, 2009). Makroalga memiliki manfaat yang sangat banyak yang digunakan dalam bidang industri, makanan, obat-obatan dan energi sehingga permintaan untuk komoditi makroalga semakin meningkat. Untuk memenuhi keperluan tersebut tidak hanya bergantung pada potensi produksi alam saja, tetapi masyarakat harus melakukan budidaya
makroalga, sehingga spesies-spesies makroalga tersebut
diketahui potensinya dan pengembangan produksinya sesuai yang diperlukan (Sulistijo dalam Langoy et al., 2011).
10 Universitas Sumatera Utara
11
2.3. Faktor Fisik dan Kimia Perairan Pada suatu perairan hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai besar. Kehidupan orgnaisme air sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air.
Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh terhadap
organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor fisik-kimia tanah. Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002). Kehidupan biota laut naik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan mikroba selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling berpengaruh satu sama lain atau terdapat satu faktor yang lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain. Seperti pada muara atau sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan sebaliknya. Faktor-faktor fisik yang perlu diperhatikan pada lingkungan perairan sebagai tempat kehidupan biota laut adalah
salinitas,
suhu,
cahaya,
derajat
keasaman
dan
gerakan
air
(Romimohtarto dan Juwanna, 2009). Sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Bermacammacam faktor fisik-kimia dapat mempengaruhi pertumbuhan kelangsungan hidup, dan produktivitas tumbuhan teresterial maupun perairan. Faktor-faktor yang sangat penting bagi tumbuhan tersebut ialah cahaya, suhu dan kadar zat-zat hara. Kisaran suhu di biosfer teresterial dapat mencapai suatu tingkat yang dapat mempengaruhi produktivitas. Hubungan yang mempengaruhi nilai produktivitas dengan faktor fisik kimia yaitu seperti suhu, penetrasi cahaya dan intensitas cahaya matahari, pH air (derajat keasaman), DO (oksigen terlarut), BOD, COD kandungan nitrat dan fosfat (Nybakken dalamSitorus, 2009). Pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut baik secara tersendiri amupun berkombinasi terhadap vegetasi tumbuhan makroalga akan tercermin dari kondisi keragaman
dan
kelimpahan
jenis,
produktivitas
dan
reproduksitivitas
pertumbuhannya. Faktor-faktor pencahayaan, suhu, substrat, gerakan air, kadar garam dan gerakan air merupakan lima faktor penting dalam penentuan diversitas dan kualitas pertumbuhan makroalga (Atmadja, 1999).
11 Universitas Sumatera Utara
12
2.3.1. Suhu Menurut Nybakken (1988), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu dan biasanya dipengaruhi oleh suhu massa air di sekitarnya. Massa air permukaan di wilayah tropik yaitu 20-30oC. Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air yang sangat dipengaruhi temperatur. Semakin naik temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).
2.3.2. Salinitas Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai memiliki variasi yang sempit, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo. Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi, sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah. Di daerah pantai dan laut yang tertutup sebagian, salinitas lebih bervariasi dan mungkin mendekati 0 (Nybakken, 1988). Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumputlaut berkisar antara 15-35 ppm (Aslan, 1991). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga yang mempunyai toleransi yang besar terhadap salinitas (eurihalin) akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan makroalga yang mempunyai toleransi yang kecil terhadap salinitas (stenohalin) (Alam, 2011).
12 Universitas Sumatera Utara
13
2.3.3. Intensitas Cahaya Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi siat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004). Cahaya matahari masuk menembus permukaan laut dan menerangi lapisan permukaan laut mengakibatkan terjadinya perubahan intensitas sehingga memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan alga. Cahaya yang menerangi
daratan
atau
lautan
biasanya
diukur
dalam
luxmeter
(Romimohtarto dan Juwanna, 2009). Alga memiliki kisaran toleransi dan respon terhadap intensitas cahaya. Alga dapat memutih jika berada di bawah intensitas cahaya yang tinggi, sementara itu pertumbuhan alga menjadi terhambat jika tumbuh pada daerah yang memiliki intensitas cahaya yang rendah (Fretes et al., 2012).
2.3.4. Penetrasi Cahaya Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus, 2004). Pencahayaan yang ada kaitannya dengan proses fotosintesis bergantung pada kecerahan dan kedalaman air yang mempengaruhi intensitas cahaya. Kehadiran dan kelimpahan alga di daerah terumbu karang, tampaknya berkurang pada tempat-tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut (Atmadja, 1999).
13 Universitas Sumatera Utara
14
2.3.5. Derajat Keasamaan (pH) Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Makroalga membutuhkan pH yang baik untuk pertumbuhannya. Kisaran pH selama penelitian berkisar 8
–
8,5 dan kisaran ini sangat baik untuk
pertumbuhan makroalga. Makroalga masih dapat tumbuh dan berkembang optimal pada kisaran pH 8 – 8,9 (Serdiati dan Widiastuti, 2010). Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap organisme aquatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak, 2012).
2.3.6. Oksigen Terlarut Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air.
Semua
tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuhtumbuhan yang ada dalam air. Oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya sampai ke badan air tersebut (Suin, 2002). Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum (Barus, 2004).
14 Universitas Sumatera Utara