BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Raru Raru merupakan tanaman kayu hutan yang kayu batangnya selama ini telah lama digunakan masyarakat Tapanuli sebagai bahan bangunan. Lama kelamaan kulit kayu raru digunakan sebagai bahan tambahan ke dalam minuman yang dikenal dengan nama tuak, dan belakangan ini air rebusan daunnya diyakini dapat mengobati luka yaitu dengan cara mencuci luka, dan kulit batangnya diyakini sebagai obat antidiabetik. Tanaman ini tumbuh di daerah tropis kawasan maritim Asia berupa tanaman liar. Di Indonesia bagian Sumatera terdapat berbagai daerah seperti Tapanuli Tengah, Simalungun, dan Tapanuli Utara. Vatica pauciflora Blume berhabitus pohon yang tingginya mencapai 30 m, dengan diameter mencapai 45 cm, ranting mengalah, menggundul dan tidak berkopeng. Penumpu panjang hingga 8 mm, memita (bentuk bidang bersegi empat panjang yang sempit dengan nisbah panjang : lebar melebihi 12 : 1), berlekuk balik. Tangkai daun panjang 10 – 18 mm, daun melanset lonjong, panjang 6,5 – 20 cm, lebar 2,2 – 8 cm, menjangat tipis. Pangkal daun membaji, ujung melancip, panjang hingga 1,5 cm, tulang daun sekunder 5-7 pasang. Malai panjang hingga 9 cm, di ujung atau hampir di ujung (Suyektiningsih, 2009). Tanaman ini banyak jenisnya, yaitu: Cotylelobium melanoxylum
Pierre,
Shorea
bolancarpoides
Symington,
Cotylelobium
lanceolatum craib, Cotylelobium melanoxylon Pierre, Shora maxvelliana King, Vatica songa V.SI, dari famili Dipterocarpaceae,
Garcinia sp dari famili 9
Universitas Sumatera Utara
Guttifera Shorea faguetiana Heim (Gunawan,2009). Gambar jenis pohon dan daun jenis tanaman Raru
(Vatica pauciflora Blume) ini dapat terlihat pada
lampiran 1. 2.1.1 Taksonomi Tanaman Raru Tanaman jenis Raru ini termasuk dalam klasifikasi berdasarkan divisi yaitu Magnoliopita, berdasarkan kelas yaitu Magnoliopsida, termasuk dalam kelompok bangsa Malvales, termasuk dalam kelompok suku Dipterocarpaceae, dan kelompok marga Vatica. Jenisnya disebut Vatica pauciflora Blume. Sinonim dari tanaman ini adalah vatica forbesiana Burck, Vatica lamponga Burck, Vatica ruminate Burck, Vatica sumatrana Slooten, Vatica wallichii Dyer. Daerah tempat tumbuhnya tanaman ini adalah Sumatra dengan sebutan Raru dan Kalimantan dengan sebutan Resak. 2.1.2 Metabolit Sekunder Senyawa organik yang dihasilkan oleh alam terdiri dari senyawa metabolit primer dan sekunder. Metabolit sekunder biasa disebut sebagai senyawa bahan alam atau (Natural product). Biosintesis metabolit sekunder diturunkan dari metabolit primer (gula, asam amino, lemak, dan nukleotida). Metabolit sekunder distribusinya pada tanaman tidak universal artinya tidak terdapat pada seluruh bagian tanaman penghasil. Metabolit sekunder juga spesifik pada tanaman itu sendiri. Misalnya metabolit sekunder seperti aroma bunga mawar hanya terdapat pada bunga mawar tidak terdapat pada bunga lain. Metabolit primer terdistribusi secara universal terdapat pada seluruh tanaman penghasil, dan memberikan keterlibatan langsung pada metabolisme di
10
Universitas Sumatera Utara
dalam sel organisme yang menghasilkan. Metabolit sekunder jauh lebih sedikit terdapat pada tumbuhan maupun hewan dibandingkan dengan metabolit primer. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri dan lingkungannya.
Secara
umum
metabolit
sekunder dalam
bahan
hayati
dikelompokkan berdasarkan sifat dan reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Metabolit sekunder dapat dikelompokkan sebagai: Alkaloid, Terpenoid, Flavonoid, Fenolik, Saponin, Kumarin, Zat warna kuinon, dan Karotenoid (Hanani E, 2010). Alkaloid terdapat pada tumbuh-tumbuhan tersebar luas di berbagai jenis tumbuhan, masing-masing tumbuhan mempunyai keaktifan biologis tertentu. Ada yang dapat digunakan sebagai obat, ada juga yang bersifat racun. Terdapat pada biji, daun, ranting dan kulit batang. Uumumnya tidak berwarna berupa kristal amorf, sedikit berupa cairan. mengandung satu atau lebih atom Nitrogen dalam cincin heterosiklik dan bersifat basa (Sirait, 2007). Terpenoid adalah senyawa yang berasal tumbuhan dan hewan. Terdapat sebagai bermacm-macam senyawa seperti minyak atsiri yaitu monoterpen dan sekuisterpen (C10 dan C15) yang mudah menguap, diterpen (C 20) sukar menguap, sedangkan triterpen, sterol (C 30), dan pigmen karoten (C40) tidak dapat menguap. Terpenoid penting untuk metabolisme pada tumbuhan dan metabolisme tumbuhan. Larut dalam lemak, pada tumbuhan terdapat pada sitoplasma. Senyawa terpenoid diekstraksi dengan eter dan kloroform (Harborn, 1987).
11
Universitas Sumatera Utara
Fenolik adalah merupakan
senyawa aromatik dengan gugus fungsi
hidroksil. Sisi dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol diduga memiliki hubungan dengan toksisitas relatif menekan terhadap mikroorganisme dengan bukti bahwa hidroksilasi yang meningkat menyebabkan toksisitas yang meningkat pula (Harborn,1987). Flavonoid adalah senyawa polifenol yang memiliki kerangka
karbon
terdiri dari 15 atom karbon. Inti dasarnya tersusun dengan konfigurasi C6 – C3 – C6 yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tak dapat membentuk cincin ketiga. Agar mudah cincin diberi tanda A,B, dan C; atom karbon dinomori menurut sistim penomoran yang menggunakan angka biasa untuk cincin A dan C serta angka beraksen untuk cincin B. Cakupan flavonoid yang sudah diketahui sangatlah luas. Pertama sekali terbentuk pada biosintetis adalah khalkon dan semua bentuk lain adalah turunannya (Markam, 1988). 3` 2` 8 9 7
O
4`
5`
1` 6` 3
10 5
2
C
A
6
B
1
4
O
Gambar 2.1. Kerangka dasar Flavonoid (Markam, 1988). Senyawa flavonoid terdapat hampir dalam semua tumbuhan hijau, terdapat sebagai senyawa campuran dan jarang sekali ditemukan sebagai senyawa tunggal (Harborn, 1987). Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% berupa senyawa fenol, warnanya akan berubah bila ditambah basa atau ammonia sehingga mudah 12
Universitas Sumatera Utara
dideteksi. Mekanisme reaksi glukosa dengan flavonoid pada proses penurunan glukosa darah dengan metoda enzimatis terjadi dalam dua tahap yaitu:
Gambar 2.2.
Mekanisme Reaksi Enzimatis Glukosa dan Fenol.(Munawarah,
2009) Reaksi tahap pertama adalah glukosa direaksikan dengan flavonoid (di alam berbentuk senyawa fenol) dengan metode enzimatis yang menggunakan enzim Glukosa Oksidase (GOD) menghasilkan Energi, Asam Glukonat dan Hidogen peroksida. Reaksi tahap kedua yaitu reaksi Hidrogen peroksida dengan reagen 4-amino-antipirin yang ditambahkan dengan enzim Para Amino-antipirin Peroksidase (PAP) menghasilkan senyawa yang berwarna merah (kuinonimin). Hasil akhir senyawa yang berwarna merah tersebut selanjutnya diukur dengan spektrofotometri dan didapatkan hasil bahwa pada menit ke 30 penurunan kadar 13
Universitas Sumatera Utara
glukosa darah mencapai nilai optimal. Semakin lama waktu pengukuran akan mempengaruhi kepekatan warna dari flavonoid yang bereaksi dengan glukosa (warna semakin pudar) dikarenakan asam glukonat yang dihasilkan menguap (Munawarah, 2009). Saponin adalah senyawa yang larut dalam air, identifikasi saponin sangatlah mudah dalam air bila digojok akan menghasilkan buih sabun. Saponin berasa pahit atau getir, senyawanya dapat membentuk larutan koloida, dapat mengiritasi membran mukosa dan membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Selain itu saponin juga bersifat toksik terhadap ikan dan hewan berdarah dingin lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai racun ikan pada konsentrasi yang rendah, saponin sering menyebabkan hemolisis sel darah merah pada tikus. Saponin juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber sapogenin yang dapat diubah menjadi sterol hewan yang mempunyai manfaat terapeutik antara lain kortison dan kontraseptik sterogen (Harborn, 1987). Kumarin dijumpai pada jenis tumbuhan tinggi dan jarang ditemukan pada mikro organisme, mempunyai kerangka C6 – C3. Dari segi biogenetik kerangka benzoripan-2-on dari kumarin berasal dari asam sinamat melalui reaksi-reaksi ortohidroksilasi dan reaksi laktonisasi (Harborn,1987)
O O
Gambar 2.3. Kumarin 14
Universitas Sumatera Utara
Zat warna Kuinon merupakan heterosikel cincin terpadu yang strukturnya berubah dengan naftalen, terdapat pada tanaman merupakan zat warna. Isokaindina adalah isomer-isomernya yang mengandung Nitrogen (Sirait, 2007). Karotenoid terdapat pada tumbuhan dan hewan, merupakan turunan isoprena yang berantai panjang. Karotenoid yang terdapat dalam tanaman dapat dirubah secara enzimatik menjadi vitamin A oleh kebanyakan hewan. Beta karote ditemukan di dalam sayur-sayuran berwarna dan buah-buahan seperti wortel, ubi jalar dan buah berwarna (Lehninger, 1993). 2.2 Absorbsi Glukosa Dalam Tubuh Telah diketahui terdapat 5 tranporter glukosa yang berbeda-beda yaitu GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4, dan GLUT 5. Molekul- molekul ini mengandung 492-524 asam amino dan afinitasnya terhadap glukosa bervariasi, dan masing-masing transporter di jaringan mempunyai tugas khusus. GLUT 4 adalah transporter di jaringan otot dan adipose yang dirangsang oleh insulin. Dalam sitoplasma sel-sel peka insulin terdapat cadangan molekul GLUT 4, dan bila sel-sel ini terpapar insulin maka glukosa transporter tersebut bergerak cepat ke membran sel. Dan bila rangsangan insulin terhenti maka glukosa transporter tersebut kembali ke sitoplasma (Guyton and Hall, 2007). Ilustrasi dari masuknya glukosa dapat dilihat pada Gambar 2.4.
15
Universitas Sumatera Utara
Karbohidrat (Polisakarida) Brush border mikrovili usus
Disakarida α-Glukosidase Monosakarida Absorbsi Glukosa Darah Meningkat Glukosa Masuk ke dalam Sel
Energi
GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3, GLUT 4, GLUT 5
Cadangan (Glikogen dan Adipose)
Gambar 2.4. Masuknya Glukosa ke Dalam Sel 2.2.1 Pengaturan Kadar Glukosa Darah Pada orang normal, pengaturan besarnya konsentrasi glukosa darah pada saat puasa yang pengukurannya dilakukan sebelum sarapan pagi adalah 80 dan 90 mg/100ml darah. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 satu jam setelah makan, namun konsentrasi gula darah akan kembali normal setelah 2 jam makan.
Pada saat kelaparan fungsi glukoneogenesis dari hati menyediakan
glukosa yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa. Pengaturan kadar glukosa darah dapat dilihat sebagai berikut: (1) Hati berfungsi sebagai suatu sistim penyangga glukosa darah yang sangat penting. Pada saat sesudah makan glukosa darah meningkat, sekresi insulin juga meningkat. Sebanyak 2/3 dari seluruh glukosa yang diabsorbsi dari usus dalam waktu singkat akan disimpan di dalam hati sebagai glikogen, beberapa jam 16
Universitas Sumatera Utara
kemudian bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, hati akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati mengurangi fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira 1/3 dari fluktuasi yang dapat terjadi. (2) Fungsi hormon insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistim pengatur umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa normal. Bila konsentrasi glukosa darah meningkat, sekresi insulin akan terjadi, insulin akan merangsang glukosa transporter untuk mentransfer glukosa darah ke sel-sel sehingga kadar glukosa di dalam darah menjadi normal kembali. Sebaliknya pada saat glukosa darah menurun sekresi glukagon akan meningkat, selanjutnya glukagon akan berfungsi merangsang meningkatnya kadar glukosa darah sehingga kembali normal. Hormon insulin dan glukagon berfungsi berlawanan, namun kerjanya berfungsi menormalkan kadar glukosa di dalam darah. (3) Pada keadaan hipoglikemia, timbul suatu efek langsung akibat kadar glukosa darah yang rendah terhadap hipotalamus, yang akan merangsang sistem saraf simpatis. Selanjutnya hormon epinefrin yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan pelepasan glukosa lebih lanjut dari hati. Jadi epinefrin juga membantu melindungi agar tidak timbul hipoglikemia yang berat. (4) Pada saat keadaan diet karbohidrat setelah beberapa hari, sebagai respons terhadap hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi hormon kortisol dan pertumbuhan, kedua hormon ini mengurangi kecepatan pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel tubuh, dan sebaliknya akan menambah jumlah pemakaian lemak sehingga akan mengembalikan kadar glukosa dalam darah kembali normal (Guyton, and Hall, 2007). 17
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Pentingnya Pengaturan Kadar Glukosa Dalam Darah Meski selain glukosa, lemak dan protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi, namun keberadaan glukosa sangatlah penting karena secara normal glukosa merupakan satu-satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina, epitel germinal gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut secara optimal sesuai dengan energi yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, konsentrasi glukosa darah harus dipertahankan untuk mencukupi nutrisi yang dibutuhkan. Perlunya konsentrasi glukosa harus dijaga karena: 1) glukosa dapat menimbulkan sejumlah besar tekanan osmotik dalam cairan ekstrasel, dan bila konsentrasi glukosa meningkat sangat berlebihan, akan dapat mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel. 2) Tingginya konsentrasi glukosa dalam darah menyebabkan keluarnya glukosa dalam air seni. 3) Hilangnya glukosa melalui urin juga menimbulkan diuresis osmotik oleh ginjal, yang dapat mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit. 4) Peningkatan jangka panjang glukosa darah dapat menyebabkan kerusakan pada banyak jaringan, terutama pembuluh darah. Kerusakan vaskular akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol, akan berakibat pada peningkatan resiko terkena serangan jantung, stroke, penyakit ginjal, dan kebutaan (Guyton, and Hall, 2007). 2.2.3 Diabetes Melitus (DM) Diabetes melitus adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi 18
Universitas Sumatera Utara
insulin atau berkurangnya efektivitas biologis dari insulin (atau keduanya). Menurut Francis, and Baxter, 2000, terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus yaitu sebagai berikut:
2.2.3.1 Diabetes Melitus Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes tipe I diyakini terjadi akibat infeksi atau gangguan toksik dari lingkungan yang merusak sel-sel B pankreas pada individu yang memiliki predisposisi genetik di mana sistem kekebalan tubuh yang agresif akan menghancurkan sel-sel B pankreas saat mengatasi agen invasif. Pada Diabetes Melitus tergantung insulin, terjadi gangguan katabolik dimana tidak ada insulin dalam sirkulasi, glukosa plasma meningkat, dan sel-sel B pankreas gagal berespons terhadap rangsang insulinogenik. Tanpa adanya insulin, ketiga jaringan sasaran insulin (hati, otot dan lemak) tidak hanya gagal mengambil zat-zat gizi yang telah diabsorbsi sebagai mana mestinya, bahkan juga terus melanjutkan mengeluarkan glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam aliran darah dari depot cadangannya masing-masing.
Lebih jauh, perubahan dalam
metabolisme lemak mengarah pada pembentukan dan akumulasi benda-benda keton. 2.2.3.2 Diabetes Melitus Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes Melitus tipe II merupakan sindroma resistensi insulin. Faktorfaktor yang mengurangi respons terhadap insulin adalah
(1) Penghambat
prareseptor yaitu antibodi insulin, (2) Penghambat reseptor yaitu Autoantibodi reseptor insulin dan Down-regulation reseptor akibat hiperinsulinemia. (3) 19
Universitas Sumatera Utara
Penghambat post-reseptor yaitu Respons yang buruk dari organ-organ sasaran utama yaitu obesitas, penyakit hati, inaktivitas otot dan kelebihan hormonal yaitu glukokortikoid, hormon pertumbuhan, agen-agen kontrasepsi oral, progesterone, somatomamotropin korion manusia, katekolamin, dan tiroksin. Tipe diabetes mellitus digambar seperti gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5. Ilustrasi Tipe Diabetes Melitus (Despopoulos, dan Silbernagl, 1998) 2.2.4 Enzim α-Glukosidase Enzim α- glukosidase memiliki nama kimia α-D-glukosida glukohidrolase merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan glukosa di dalam usus halus manusia. Enzim ini membantu dalam pemecahan rantai polisakarida pada ikatan α (1-6) pada setiap titik percabangan yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim fosforilase. Produk dari aktivitas enzim ini adalah polimer (α1-4) tak bercabang dan satu glukosa. Reaksi ini terjadi setelah aktivitas glikogen phosporilase dan glikogen transferase terjadi. 20
Universitas Sumatera Utara
Pada reaksi inhibisi test α- glukosidase dapat terlihat antihiperglikemia pada setiap ekstrak tanaman yang mempunyai aktivitas antihiperglikemia dimana pada penelitian ini enzim α-glukosidase menghidrolisis p-nitrofenil α-Dglukopiranosida menjadi paranitrofenol yang berwarna kuning dari
glukosa
(Sugiwati, 2009)
Gambar 2.6. Reaksi Enzimatik α-Glukosidase dan p-nitrofenil α-D glukopiranosa. Perkembangan yang terus meningkat pada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia biokimia dan kedokteran, memberikan dampak pada penemuan senyawa baru yang dapat menghambat α-glukosidase secara tepat guna dan cepat. Senyawa ini disebut dengan inhibitor αglukosidase (IAG), IAG tidak mencegah absorbsi karbohidrat dan gula kompleks, tetapi menghambat absorbsinya. Acarbose dan miglitol adalah inhibitor sama memperlambat pemecahan disakarida,
yang mempunyai aplikasi yang sangat luas, seperti informasi
mekanisme kerja enzim α-glukosidase. Hal ini dapat terjadi karena bentuk dan fungsi senyawa IAG yang mirip terhadap enzim α-glukosidase.
21
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Inhibisi Enzim α-glukosidase Senyawa yang dapat menghambat kerja enzim disebut inhibitor enzim. Inhibitor enzim terdiri dari dua jenis utama yang dibedakan dari cara kerjanya. Pertama inhibitor enzim yang saling bersaing dengan substrat memperebutkan pusat aktif, dan kedua inhibitor yang tidak bersaing pada pusat aktif tetapi tidak bereaksi untuk membentuk hasil. Suatu zat yang bersifat sebagai inhibisi bersaing atau kompetitif merupakan molekul yang mirip dengan substrat Reaksi:
E+S
ES (aktif)
E+I
EI (tidak aktif)
Hasil
Dalam bagian ini inhibitor I bersaing dengan substrat S memperebutkan tapak aktif. Menurut azas Le Chatelier, jika S bertambah konsentrasi keseimbangan S harus bertambah dengan mengorbankan EI. Jadi kita dapat membalikkan pengaruh inhibitor kompetitif dengan hanya meninggikan konsentrasi substrat (David S.P, 1989). Acarbose adalah inhibitor enzim α-glukosidase yang bersifat kompetitif dan reversibel di dalam usus manusia (Bischoff H, 1995). Ekstrak dari tanaman raru yang mempunyai bioaktivitas sebagai anti diabetik cara kerjanya mirip dengan acarbose (Gunawan P, 2009). 2.2.6
Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
1. Metode Oksidasi-Reduksi Ion kupri dapat mereduksi glukosa dalam larutan alkali panas dan terbentuk ion kupro. Bila kondisi reaksi dijaga, maka ion kupro yang terbentuk sebanding dengan glukosa yang bereaksi dengan iodium dalam suasana asam dan
22
Universitas Sumatera Utara
kelebihan iodium di dalam blangko dan sampel dititrasi dengan tisosulfat. Selisihnya dengan glukosa yang ada dalam sampel (Aryska, 2008). 2. Metode Kondensasi Glukosa (dan aldosa lain) dapat berkondensasi dengan macam-macam senyawa aromatik dalam suasana asam panas membentuk produk-produk yang berwarna. Hidroksimetilpurpural terbentuk dari glukosa dalam larutan asam kuat panas. Gugus aldehid dari produk ini berkondensasi dengan suatu fenol untuk menghasilkan senyawa hijau yang dapat diukur secara fotometrik (Aryska, 2008).
3. Metode Enzimatik Kadar glukosa darah diukur dengan metode enzimatik (glukosa oksidase) menggunakan alat glukometer. Prinsip kerja penggunaan alat ini yaitu : oksigen dengan bantuan enzim glukosa oksidase mengkatalis proses oksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hydrogen peroksida. Dalam reaksi yang kedua, enzim peroksidase mengkatalisis reaksi oksidasi kromogen (akseptor oksigen yang tidak berwarna), kemudian oleh hydrogen peroksidase membentuk suatu produk kromogen teroksidasi berwarna biru yang diukur dengan glukometer. Tes strip pada glukometer mengandung bahan kimia glukosa oksidase ≥0,8 IU; garam naftalen asam sulfat 42 μg; dan 3-metil-2-benzothiazolin hidrazon. Glukosa + O2 + H2O <=======> Asam Glukonat + H2O2 (Aryska, 2008).
23
Universitas Sumatera Utara
2.2.7 Pengobatan Diabetes Melitus Secara teoritis, pengobatan Diabetes Melitus tipe I adalah dengan memberikan insulin secukupnya sehingga metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada pasien dapat senormal mungkin. Insulin tersedia dalam berbagai bentuk. Insulin “regular” mempunyai durasi kerja yang lamanya 3 sampai 8 jam, sedangkan insulin dalam bentuk lainnya (yang dipresipitasikan dengan seng atau dengan berbagai derivat protein) diabsorbsi secara lambat dari tempat penyuntikannya dan oleh karena itu mempunyai efek yang lamanya 10 sampai 48 jam.
Biasanya, pasien diabetes tipe I yang berat setiap harinya diberi dosis
tunggal insulin yang mempunyai daya kerja lama untuk meningkatkan seluruh metabolisme karbohidrat sepanjang hari. Lalu bila kadar glukosa darah naik terlalu tinggi, misalnya pada waktu makan, dapat diberikan tambahan insulin regular di hari tersebut.
Jadi, pola pengobatan pasien disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing individu. Pada orang dengan Diabetes Melitus tipe II, diet dan olah raga biasanya direkomendasikan untuk menurunkan berat badan dan mengurangi resistensi insulin. Jika upaya tersebut tidak berhasil, obat-obatan dapat diberikan untuk meningkatkan sensivitas insulin atau untuk merangsang produksi insulin pankreas. Akan tetapi, pada beberapa orang, insulin dari luar harus digunakan untuk mengatur kadar gula darah. Di masa lalu, insulin yang digunakan untuk pengobatan dihasilkan dari pankreas hewan. Akan tetapi, insulin manusia yang dihasilkan dari rekombinasi proses DNA telah dipergunakan secara luas karena sebagian pasien mengalami
24
Universitas Sumatera Utara
reaksi imunitas dan sensitisasi terhadap insulin hewan, sehingga membatasi efektivitas insulin hewan tersebut (Gayton and Hall, 2007). 2.2.8 Insulin Insulin dihasilkan oleh sel β pada pulau langerhans pankreas dan disekresikan ke dalam darah sebagai reaksi langsung terhadap keadaan hiperglikemia. Pemberian insulin dilakukan apabila pankreas dari pasien tidak dapat bekerja memproduksi insulin secara maksimal. Insulin tidak dapat digunakan secara oral karena terurai oleh enzim-enzim protease di lambung, maka selalu diberikan sebagai injeksi. Dalam hati dirombak dengan cepat, plasma t½ nya hanya 5-10 menit, maka kerjanya hanya pendek, lebih kurang 40 menit. Efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negative dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Guyton and Hall,2007).
2.2.9
Obat Antidiabetes Oral Obat Oral untuk antidiabet tediri dari 5 golongan (Francis, and Baxter,
2000), dan memiliki cara kerja yang berbeda. Golongan-golongan tersebut adalah (1) Golongan Sulfonylurea. Golongan ini bekerja dengan menstimulir sel-sel β secara langsung untuk mempertinggi sekresi insulinnya. Secara garis besar obat 25
Universitas Sumatera Utara
ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel βpankreas. Obat-obat golongan ini hanya efektif pada pasien diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya masih aktif. Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah: glibenklamida, glipizida, glikazida, glimepirida, glikuidon. (2)
Golongan
Biguanida.
Golongan
ini
bekerja
menghambat
glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa jaringan. Berbeda dengan sulfonylurea, biguanida tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan pada penderita yang kegemukan. (3) Meglitinida. Meglitinida kerjanya merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas. Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hypoglikemik generasi baru yang kerjanya mirip sulfonylurea. Pada umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obatan anti diabetik oral lain. (4) Glukosidase inhibitor. Enzim menghambat kerja enzim-enzim yang mencerna karbohidrat, sehingga tidak semua karbohidrat dicerna menjadi glukosa dalam darah, obat golongan ini yaitu Acarbose, Miglitol. (5) Thiazolidinedion. Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin berikatan dengan PPARG (Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin.
26
Universitas Sumatera Utara
2.3 Isolasi, Elusidasi, dan Penentuan Struktur Kimia Isolasi dan elusidasi adalah suatu metoda pemisahan
dan untuk
menentukan struktur kimia. Untuk tanaman yang memiliki aktivitas daya hambat enzim α-glukosidase, isolasi dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian dilakukan pemisahan secara kromatografi, selanjutnya dilakukan elusidasi. Untuk penentuan struktur kimia digunakan dengan metode spektroskopi, dengan menggunakan alat instrumen UV, IR, RMI, dan Massa (Underwood, 2002). 2.3.1 Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan substansi dari campuran dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Ekstraksi dapat dilakukan dengan pelarut organik terhadap bahan segar atau bahan yang telah dikeringkan. Pada prinsipnya senyawa polar diekstraksi dengan pelarut polar, senyawa semi polar diekstraksi dengan menggunakan pelarut semi polar, dan senyawa non polar diekstraksi dengan menggunakan pelarut non polar. Berdasarkan energy yang digunakan, ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara panas dan dingin, tergantung pada kestabilan senyawa yang diisolasi supaya tidak rusak (DEPKES RI., 1995). 2.3.2 Metode Pemisahan dan Pemurnian Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan yang mempunyai keuntungan dalam pelaksanaannya lebih sederhana, penggunaan waktu yang singkat dan terutama karena mempunyai kepekaan yang tinggi serta kemampuan memisahkan yang tinggi, dibandingkan metode pemisahan yang lain seperti destilasi, kristalisasi, pengendapan ekstraksi dan lain-lain. 27
Universitas Sumatera Utara
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam system yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat yang menunjukkan perbedaan motilitas disebabkan perbedaan adsorbs, partisi, kelarutan,tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik. Secara umum teknik kromatografi didasarkan pada distribusi zat terlarut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang tereluasi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melalui media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai penyerap, atau dapat bertindak melarutkan zat sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan cairan pada suatu penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam. Pemisahan ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu (1) Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan secara fisikokimia yang digunakan secara luas untuk pemisahan dan identifikasi senyawa obat. Proses pemisahan terjadi akibat perbedaan distribusi komponen campuran di dalam fase gerak dan fase diam atau dengan kata lain berdasarkan perbedaan afinitas dan absorbs senyawa pada fase diam dan fase gerak (Meyer, 2004). Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Syarat fase 28
Universitas Sumatera Utara
diam yang baik yaitu seragam, tidak larut dalam fase gerak dan zat terlarut. Fase diam yang sering digunakan adalah silika gel, alumina dan selulosa. Silika gel umumnya mengandung zat tambahan kalsium sulfat untuk mempertinggi daya lekatnya, dimana zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah itu pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan fase gerak, selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi. Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut dan bergerak di dalam fase diam karena adanya daya kapiler. Pemakaian campuran pelarut dengan tingkat polaritas berbeda dapat memberikan daya pemisahan yang baik karena daya kembangnya dapat disesuaikan dengan semua jenis senyawa. Pada KLT, pemilihan fase gerak berdasarkan pada deret eluotropik, yaitu deret yang disusun menurut kemampuan elusi naik sebanding dengan kenaikan polaritas. KLT dapat digunakan pertama untuk mengetahui secara kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dan kedua untuk menjajaki system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau High Performance Liquid Cromatografi (HPLC) ( Meyer, 2004). (2) Kromatografi Kolom. Pada Kromatografi Kolom, zat penyerap (sorpsi) dimampatkan secara merata ke dalam kolom berupa tabung yang dapat terbuat dari kaca, logam atau plastik, dimana bagian bawahnya dilengkapi satu kran untuk mengendalikan laju aliran zat cair. Sebagai bahan sorpsi digunakan bahan yang 29
Universitas Sumatera Utara
sama dengan kromatografi lapis tipis yaitu silika gel, aluminium oksida, poliamida, selulosa, selanjutnya arang aktif dan gula tepung. Sejumlah sediaan yang diperiksa diperiksa dilarutkan dengan sedikit pelarut, ditambahkan ke dalam puncak kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam penyerap. Zat berkhasiat diserap dari larutan oleh bahan penyerap secara sempurna berupa pita sempit pada puncak kolom. Dengan mengalirkan pelarut lebih lanjut, dengan atau tanpas tekanan udara, masing-masing bergerak turun dengan difraksinasi dan fraksi yang mengandung zat yang sama disatukan. Adapun laju gerakan zat dipengaruhi oleh daya adsorbs zat penyerap, ukuran partikel dan luas permukaan, sifat dan polaritas pelarut, tekanan yang digunakan serta suhu system kromatografi (Roth, 2000). 2.3.3
Metode Penentuan Struktur Kimia Spektrofotometri
adalah
pengukuran
serapan
atau
emisi
radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu yang monokromatis dari suatu zat baik dalam bentuk molekul atau atom. Spektrum biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya yang panjang gelombang tertentu melalui larutan encer suatu senyawa dalam pelarut yang sesuai dan tidak mengganggu penyerapan, misal air atau etanol (Underwood, 2002). Untuk menentukan struktur kimia suatu senyawa dapat digunakan metode spektroskopi UV-Vis, Spektrofotometri Fourier Transform Infra Red (FT-IR), Spektrometri Massa, dan Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (RMI). Spektrofotometri UV-VIS yaitu pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190 nm -380 nm) atau daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380nm -780 nm).
Semua molekul
dapat
30
Universitas Sumatera Utara
mengabsorbsi radiasi dalam daerah UV-Vis karena mengandung elektron yang dapat dieksitasi ke tingkat energy yang lebih tinggi. Senyawa yang mengandung ikatan sigma seperti pada ikatan tunggal C-C akan tereksitasi pada panjang gelombang sangat pendek di bawah 150 nm berada di luar daerah ukur spektrofotometer sehingga tidak akan menimbulkan serapan. Senyawa memiliki elektron phi (π ) (mempunyai ikatan rangkap) dan mempunyai pasangan elektron bebas lebih mudah tereksitasi dan menyerap pada panjang gelombang
yang
lebih
tinggi
sehingga
menimbulkan
serapan
pada
spektrofotometer. Spektrofotometri digunakan untuk menganalisis struktur dan memberikan petunjuk adanya gugus kromofor, menetapkan kadar, menggunakan serapan maksimum dari kurva absorbsi, memeriksa kemurnian, memeriksa langsung konsentrasi analit (Pare & Belanger, 1997). Spektrofotometri Infra Red (IR) yaitu daerah radiasi spektrofotometri IR berada pada bilangan panjang gelombang 12800-10 cm-1. Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam IR dekat (12800-4000 cm-1; 3,8-12 x 1014 Hz; 0,78-2,5 mikrometer), daerah IR tengah (4000-200cm-1; 3,8-12 x104 Hz, 2,5-50 mikrometer), daerah IR jauh (200-10 cm -1; 60-3 x 10 11 Hz; 50-1000 mikrometer). Daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah 4000-690 cm -1 yang biasa disebut infra tengah (Khopkar, 1990) Spektrofotometri IR mempunyai 2 macam instrument yaitu
(1)
Spektrofotometer IR dispersive, adalah spektrofotometri yang menggunakan monokromator untuk memisahkan frekuensi individu yang melewati sampel sehingga absorbs dari masing-masing frekuensi dapat diukur.
31
Universitas Sumatera Utara
(2) Spektrofotometer Fourier-transform, adalah spektrofotometri yang dalam instrumennya tidak dipisahkan radiasinya, tetapi hampir semua panjang gelombang mencapai detektor secara bersamaan yang disebut Fourier-transform, yang digunakan untuk mengubah hasil spectrum IR menjadi khas. Yang digunakan sebagai pengganti monokromator adalah interferometer yang dapat memisahkan radiasi menjadi dua bagian dan menghubungkannya kembali sehingga variasi intensitas yang keluar dapat diukur sekali. Beberapa keuntungan spektrofotometer Fourier-Transform dibandingkan
dengan spektrofotometer
dispersive adalah menghasilkan spektrum yang lebih cepat, resolusi yang lebih baik, dapat mengukur sampel dalam jumlah yang sangat sedikit (Silverstein, 2002). 3. Spektrometri Massa Spektometri yang menggunakan penguraian senyawa organik dan perekaman pola fragmentasi menurut massanya. Uap cuplikan berdifusi ke dalam system spectrometer massa yang bertekanan rendah, kemudian diionkan dengan energi yang cukup untuk memutuskan ikatan kimia. Dalam spektrometri massa reaksi pertama suatu molekul adalah ionisasi awal sebuah elektron. Hilangnya sebuah elektron menghasil ion molekul. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul dan menyebabkan terbentuknya ion organik. Ion organik yang dihasilkan oleh penembakan elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Umumnya spektrum massa diperoleh dengan mengubah senyawa suatu sampel menjadi ion-ion yang bergerak cepat yang 32
Universitas Sumatera Utara
dipisahkan berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (m/e). Proses ionisasi menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif dimana massa yang terdistribusi spesifik terhadap senyawa induk. 4. Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (RMI) Spektrometri magnetic inti (RMI) merupakan metode yang sering dipakai dalam mempelajari struktur molekul. Untuk melengkapi bagian-bagian lain dari suatu molekul organik yang tidak diketahui (unknown Compound) dapat digunaka RMI yang memberikan informasi yang berguna dalam penentuan struktur yaitu RMI 1 dimensi terdiri dari RMI proton (1H), RMI karbon (13C), DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Transfer). Prinsip RMI proton adalah inti atom hidrogen mempunyai sifat-sifat magnet, bila suatu senyawa mengandung hydrogen diletakkan dalam bidang magnet yang sangat kuat dan diradiasi menggunakan radiasi elektromagnetik maka inti atom hydrogen dari senyawa tersebut akan
menyerap energi melalui suatu proses absorpsi yang
dikenal dengan resonansi magnet. Penyerapan gelombang pada fenomena Resonansi Maknetik Inti RMI atau NMR (Nuclear Magnetic Resonance), Terjadi bila inti menyerah terhadap medan magnet yang digunakan untuk merubah arah orientasi spin (Silverstein, 2005). Spektrum RMI karbon dan DEPT memberikan informasi jenis atom karbon primer (CH3), sekunder (CH 2) tersier (CH), dan kuarterner (q). DEPT merupakan salah satu tipe spektra RMI karbon yang memberikan informasi jumlah karbon dari CH3, CH2, CH dan C yang diukur berdasarkan sudut pengukuran RMI karbon. Hasil penelitian DEPT pada sudut 1350 menunjukkan bahwa sinyal karbon CH3 dan CH mengarah ke atas, sedangkan CH 2 mengarah ke 33
Universitas Sumatera Utara
bawah, Untuk mengetahui perbedaan CH3 dan CH dilakukan pengukuran pada sudut 900. Pergeseran Kimia (Chemical shift, δH). Pergeseran Kimia adalah parameter yang digunakan pada RMI (proton dan Karbon) yang mempunyai karakteristik untuk posisi proton dan karbon di dalam struktur kimia δH adalah pergeseran kimia untuk proton (0 – 10 ppm), δC adalah pergeseran kimia untuk Karbon (0 – 200). Penyidikan pergeseran kimia pada RMI proton adalah spektra-spektra proton/hidrogen dari: CH 3
CH 3
CH 2
CH2
&
CH 2
CH
H C
&
C H
&
C
C
&
C
&
0 - 100 ppm
90 - 200 ppm
C H C O
160 - 200 ppm
40 - 60 ppm
Faktor- faktor yang mempengaruhi letak pergeseran kimia (δH) adalah (1) Faktor intra molekul. -Pengarunh Induksi (Induksi melalui ikatan atau melalui induksi ruang), makin besar keelektronegatifan, makin besar δH maka CH3 δ ± 1,0 ppm, (CH3)4Si = 0 ppm, CH3-I = 2,16 ppm, CH3-F
= 4,26 ppm. Pengaruh
resonansi CH2 adalah δH ± 2 −4 ppm.
(2) Pengaruh Intra molekul, pengaruh medium isotop (pelarut). Gejala ini diakibatkan oleh adanya gaya Vander Walls dan mempunyai sekitar 0,1 ppm. Pengaruh suhu yaitu suhu yang lebih tinggi ataupun suhu yang lebih rendah, δH 34
Universitas Sumatera Utara
akan berbeda dengan suhu ruang. Pengaruh anisotropi δ H pada senyawa alkena lebih besar dampak yang dipengaruhi oleh faktor elektronegatifitas. CH = 9,5 -10 ppm, C-CH- = 5 - 6 ppm. Benzen = 7 - 8 ppm. Pengaruh sterik/ruang yaitu Gugus yang terletak di atas/bawah bidang ikatan rangkap, δH lebih kecil (<) dibandingkan yang terletak yang bukan tepat/ di bawah bidang. 5. RMI 2 Dimensi (COSY, HMQC, dan HMBC) Spektrum RMI 2 Dimensi seperti COSY (Correlation Spectroscopy); HMQC (Hetero Multiple Quantum Connectivity) dan HMBC (Hetero Multiple Bond Connectivity) adalah spektra turunan dari RMI 1dimensio (proton dan karbon). COSY digunakan untuk melihat korelasi antara proton dengan proton, HMQC digunakan untuk melihat korelasi proton dengan karbon, sedangkan HMBC adalah korelasi diantara proton dan karbon sampai 2 – 3 ikatan (Schraml, 1990). 2.4 Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Metode BSLT adalah metode yang sederhana dan mudah dilakukan untuk menguji senyawa bioaktif dari bahan alam dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach, baik untuk uji toksisitas, insektisida dan uji awal untuk senyawa sitotoksik atau anti tumor. Penggunaan larva udang Artemia salina Leach, untuk uji aktivitas biologi sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak saat itu metode ini banyak digunakan untuk studi lingkungan, toksisitas dan penapisan senyawa bioaktif di dalam ekstrak tanaman. Uji bioaktivitas dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach memiliki spektrum aktivitas farmakologi, 35
Universitas Sumatera Utara
mudah dilakukan, sederhana, cepat dan tidak memerlukan biaya besar dengan tingkat kepercayaan 95%. Dalam metode BSLT, toksisitas senyawa anti tumor dinyatakan dengan nilai LC 50, yaitu konsentrasi senyawa yang memberikan tingkat mortalitas sebanyak 50%. Senyawa aktif akan memberikan mortalitas tinggi. Semakin kecil nilai LC50 maka semakin besar toksisitasnya. Cara yang dilakukan sejumlah larva udang ditetaskan kemudian kedalam wadah yang berisi larva udang dimasukkan ekstrak tanaman yang akan diuji, kemudian dihitung mortalitasnya. Dalam metode BSLT, toksisitas suatu senyawa dengan nilai LC50, yaitu konsentrasi senyawa yang memberikan tingkat mortalitas sebanyak 50%. Senyawa aktif akan memberikan mortalitas tinggi. Semakin kecil nilai LC50 maka semakin besar toksisitasnya. Suatu sampel dikatakan sangat toksik terhadap larva udang Artemia salina Leach apabila mempunyai LC 50 < 30 μg/mL, toksik apabila mempunyai LC50 30-1000 μg/mL dan tidak toksik apabila mempunyai LC 50 > 1000 μg/mL (Steven,dan Russell, 1993). 2.4.1 Uji Aktivitas Penghambatan Enzim α-Glukosidase Secara In Vitro Jika skrining potensi antidiabetes berbagai ekstrak tumbuhan dengan jumlah sampel yang banyak dilakukan langsung pada hewan coba tentunya akan membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu penelitian yang cukup lama. Metode enzimatik in vitro untuk menentukan kemampuan suatu ekstrak tumbuhan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase merupakan alternatif yang lebih cepat untuk skrining awal dan kemudian hanya ekstrak yang benar-benar berpotensi diuji dengan in vivo pada hewan percobaan (Matsui, 2001). Untuk mengetahui mekanisme kerja penghambatan enzim α-glukosidase, dapat dilakukan dengan 36
Universitas Sumatera Utara
metode Kawanishi yaitu model penghambatan pemecahan substrat p-nitrofenol-αD-glukopiranosida menjadi p-nitrofenol berwarna kuning dan glukosa. Aktivitas enzim diukur berdasarkan serapan p-nitrofenol yang dihasilkan dengan spektrofotometri UV-sinar tampak pada λ400 nm (Matsui, 2001). Selanjutnya apabila telah dapat diketahui bahwa suatu ekstrak tanaman itu dapat memperlihatkan hambatan terhadap enzim α-Glukosidase untuk penelitian lanjutan sebagai suatu senyawa yang mempunyai bioaktivitas antidiabetik dilakukan percobaan dengan menggunakan hewan percobaan.
37
Universitas Sumatera Utara