BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rheumatoid Artritis
Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium.Ia bisa menyebabkan kerusakan sendi jangka panjang, nyeri kronik, kehilangan fungsi dan kecacatan. ( American Rheumatism Association ) Rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. Ia biasanya menyerang pada kelompok dewasa produktif, umur antara 20 hingga 40, dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas. ( World Health Organization , WHO ) 2.2 Epidemiologi Rheumatoid Artritis Studi deskriptif epidemiologi RA menunjukkan prevalensi populasi 0,5% - 1% dan insiden tahunan yang sangat variasi (12-1,200 per 100,000 per populasi) tergantung jenis kelamin, ras, etnik dan tahun. Prevalensinya antara 0,3% dan 1% dan lebih sering pada wanita di sesebuah negara membangun.Dalam jangka masa 10 tahun belakangan, kurang lebih 50% pasein di negara-negara membangun tidak bisa memenuhi tanggungjawab sosial seperti bekerja sepenuh masa. Di Indonesia,prevalensi RA dikaji secara survey rumah-ke-rumah dengan nyeri muskuloskeletal dalam total populasi pedalaman 4683 dan kota 1071 subjek, umur 15 tahun dan ke atas di Jawa Tengah.Subjek-subjek yang diidentifikasi mengalami nyeri sendi periferal lebih dari 6 minggu durasi (82 pria dan 129 wanita) di periksa oleh rheumatologis dan tes serologi dan x-ray di lakukan.Prevalensi untuk RA definit mengikut criteria American Rheumatism Association (ARA) adalah 0,2% di pedalaman dan 0,3% di kawasan kota ( Darmawan J.,2002).
Universitas Sumatera Utara
Tingkat keparahan dari kasus-kasus yang di diagnosa di indikasi oleh klasifikasi fungsional Steinbroker dari gred dua dan tiga, dan arthritis erosif pada x-ray tangan,gred 2-4.Kadar prevalensi penyakit RA yang rendah dibanding dengan yang dijumpai di negara-negara membangun adalah kerana perbedaan struktur umur dari populasi dan ekspetansi hidup yang lebih rendah.Selain itu, dijumpai juga Evidence of High Mortality pada penyakit ini.Ini disebabkan oleh dampak dari kemerosotan sosio-ekonomi, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi yang intermiten dan
infeksi kronis dalam
komunitas yang sering wujud.Faktor-faktor ini harus di ambil kira saat menilai prevalensi RA yang rendah dalam survey di negara-negara membangun lainnya ( Darmawan J., 2002). 2.3. Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis rheumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi. 1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. 2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam. 4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
Universitas Sumatera Utara
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal.
Sendi-sendi
besar
juga
dapat
terserang
dan
mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi. 6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodulanodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodulanodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organorgan lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak (Daud R. 2002). 2.4 Kriteria Diagnosa Rheumatoid Artritis Menurut American Rheumatism Association, 1987 diagnosa arthritis reumatoid dapat dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari kriteria yang sekurang-kurangnya sudah berlangsung selama 6 minggu. Kriteria tersebut adalah: 1.Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak 1 jam 2.Arthritis pada tiga atau lebih sendi 3.Arthritis sendi-sendi jari tangan 4.Arthritis yang simetris 5.Nodul rheumatoid
Universitas Sumatera Utara
6.Faktor rheumatoid dalam serum 7.Perubahan-perubahan radiologik, seperti: a. Pembengkakan jaringan lunak b. Erosi c. Osteoporosis artikular 2.5 Pemeriksaan Laboratorium Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa RA. 1.Pemeriksaan cairan synovial a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih. b. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%). c. Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
2. Pemeriksaan kadar sero-imunologi a. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis. b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
Universitas Sumatera Utara
3.Pemeriksaan darah tepi a. Leukosit : normal atau meningkat sedikit b. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis. c. Trombosit meningkat. d. Kadar albumin serum turun dan globulin naik. e. Protein C-reaktif biasanya positif. f. LED meningkat. 2.5.1 Protein C-Reaktif (CRP) Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahanperubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi ( rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung ( pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada kehamilan trimester terakhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral. Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah sebagai sistem deteksi dini kemungkinan infeksi.
Universitas Sumatera Utara
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran
tertinggi
yang
masih
terjadi
aglutinasi.
Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara
kuantitatif
menggunakan
NycoCard
readerII.
Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan ( Laboratorium Kesehatan , 2009). 2.5.2 Laju Endap Darah (LED) Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut laju sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat. Pemeriksaan LED dipertimbangkan kurang spesifik daripada CRP karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut,
Universitas Sumatera Utara
dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah klinis yangmuncul. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen daripada metode Wintrobe. Selain itu, Internasional Committee for Standardization
in
Hematology
(ICSH)
merekomendasikan
untuk
menggunakan metode Westergreen. LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit (rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2 kecepatan sedimetasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat rendah. Prosedur pemeriksaan adalah seperti berikut : 1. Metode Westergreen o
Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
o
Sampel
darah
yang
telah
diencerkan
tersebut
kemudian
dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0. o
Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun sinar matahari langsung.
o
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.
2. Metode Wintrobe
Universitas Sumatera Utara
o
Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amoniumkalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
o
Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur sampai tanda 0.
o
Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
o
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
Nilai Rujukan 1. Metode Westergreen : o
Pria : 0 - 15 mm/jam
o
Wanita : 0 - 20 mm/jam
2. Metode Wintrobe : o
Pria : 0 - 9 mm/jam
o
Wanita 0 - 15 mm/jam
Beberapa keadaan atau penyakit yang berpengaruh dalam peningkatan dan penurunan LED adalah : •
Penurunan kadar : polisitemia vera, CHF, anemia, mononukleus infeksiosa, defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Bayi baru lahir (penurunan fibrinogen), gula darah tinggi, albumin serum, fosfolipid
serum,
penurunan
suhu.
Pengaruh
obat
:
Etambutol
(myambutol), kinin, salisilat (aspirin), kortison, prednison. •
Peningkatan kadar : artiritis reumatoid, demam rematik, MCI akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), penyakit Hodgkin, mieloma multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepatitis, sirosis hati, inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis), SLE, kehamilan (trimester kedua dan ketiga), menstruasi, keberadan kolesterol, fibrinogen, globulin, peningkatan suhu. Pengaruh obat : Dextran, metildopa (Aldomet), metilsergid (Sansert), penisilamin (Cuprimine), prokainamid (Pronestyl), teofilin, kontrasepsi oral, vitamin A. ( Laboratorium Kesehatan , 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.6 Tatalaksana Rheumatoid Artritis Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan RA yang sempurna, saat ini pengobatan pasa pasien RA ditujukan untuk : •
Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
•
Mencegah terjadinya destruksi jaringan
•
Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
•
Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
2.6.1 Pengobatan farmakologik Setelah diagnosis RA dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama. 1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama. 2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan: a. Aspirin Pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
Universitas Sumatera Utara
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya. 3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka. Jenis-jenis yang digunakan adalah: a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik. b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enterik digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia. c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus. d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg.
Universitas Sumatera Utara
Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis. e. Obat imunosupresif atau imunoregulator. Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian. f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu 2.6.2 Operasi Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien RA umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya. 2.6.3 Rehabilitasi
Universitas Sumatera Utara
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien RA dengan cara: · Mengurangi rasa nyeri · Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi · Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot · Mencegah terjadinya deformitas · Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri · Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain. Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan RA telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan RA.
Universitas Sumatera Utara