5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Morfologi Ikan Tambra (Tor tambra) Ciri kelamin sekunder (dimorfisme jenis kelamin) berguna untuk membedakan jenis kelamin jantan dan betina secara morfologis tanpa harus melakukan pembedahan terhadap organ reproduksinya.
Hasil pengamatan terhadap
dimorfisme jenis kelamin ikan tambra mempunyai penampakan yang berbeda antara jantan dan betinanya, yang meliputi ciri primer antara ovarium dan testes maupun ciri sekunder. Perbedaan secara morfologi antara ikan tambra jantan dan betina, antara lain pada bentuk dan warna tubuh, terdapatnya tubus pada pipi ikan jantan, bentuk papilla pada lubang genital. Ciri kelamin sekunder merupakan pengamatan gabungan antara hasil pembedahan terhadap organ reproduksi sebagai pembuktian terhadap ciri secara morfologi. Selain itu jika perut ditekan keluar telur berarti betina dan jika keluar cairan putih susu/sperma berarti jantan (Haryono, 2006). Ikan semah mempunyai bentuk streamline seperti torpedo. Beberapa kerabat ikan semah selain Tor douronensis yaitu Tor soro, Tor tambra dan Tor tambroides. Perbedaan pada diskripsi masing-masing spesies tersebut antara lain T.douronensis: TL. 350, L.1. 21 – 24, cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut, bagian jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong. T.soro: TL 1000, L.1 24-28, sirip dubur lebih pendek sirip punggung, bibir bawah tanpa celah tengah. T. tombro: TL 1000, L.2. 22-24, terdapat sebuah cuping berukuran sedang pada bibir bawah tetapi tidak menyentuh ujung bibir, jari-jari sirip punggung yang mengeras lebih pendek daripada kepala tanpa moncong. Tor tambroides: TL 700 terdapat cuping di pertengahan bibir bawah yang mencapai ujung mulut (Utomo & Krismono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
6
Panjang usus ikan tambra rata-rata 1,5 kali panjang tubuhnya. Menurut Mujiman (2000) apabila usus ikan sedikit lebih panjang dibandingkan panjang total tubuhnya maka tergolong ikan omnivora atau pemakan segala. Ikan tambra bersifat pemakan segala atau omnivora. Hasil pengamatan terhadap kebiasaan makan, maka penyediaan pakan pada proses domestikasi ikan tambra tidak terlalu sulit karena bersifat omnivora. Hal ini telah dibuktikan pada pemeliharaan di akuarium (ex-situ) di Cibinong-Bogor. Ikan tambra tersebut menyukai pakan tambahan berupa cacing beku dan pelet komersial, namun untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal perlu dilakukan uji coba secara khusus mengenai pakan tambahan (Haryono, 2006). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu bobot tubuh, sex, umur, kesuburan, kesehatan, pergerakan, aklimasi, aktivitas biomassa, dan konsumsi oksigen, sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik terdiri dari suhu, salinitas, kandungan oksigen air, buangan metabolit (CO2, NH3), pH, cahaya, musim. Faktor nutrisi termasuk faktor biotik yang meliputi ketersediaan pakan, komposisi pakan, kecernaan pakan, dan kompetisi pengambilan pakan. Nutrisi merupakan faktor pengontrol, dan ukuran ikan mempengaruhi potensi tumbuh suatu individu, sedangkan suhu air mempengaruhi seluruh kegiatan dan proses kehidupan ikan yang meliputi pernafasan, reproduksi, dan pertumbuhan. Suhu air meningkat (sampai batas tertentu), maka laju metabolisme meningkat yang pada gilirannya meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ikan (Haetami et al. 2005).
2.2. Populasi dan Habitat Ikan Tambra Kondisi populasi ikan tambra sesuai dengan pendapat Kottelat et al. (1993) dan Rupawan (1999) yang menyatakan bahwa kebanyakan anggota marga Tor yang tersebar di Asia telah mengalami ancaman yang cukup serius, akibat perdagangan yang intensif disertai kerusakan habitat yang makin parah. Tambra merupakan ikan air tawar bernilai tinggi dan perlu segera dikonservasi. Populasi ikan tambra di sebagian besar wilayah Indonesia juga telah mengalami tekanan yang cukup serius, akibatnya saat inihanya tersisa pada spot-spot kecil dengan tingkat
Universitas Sumatera Utara
7
populasi yang rendah terutama di daerah perbukitan yang sulit dijangkau (Haryono & Subagja, 2008). Kelimpahan Tor spp. yang rendah kemungkinan disebabkan oleh penangkapan ikan oleh pendatang yang intensif dan oleh penduduk setempat untuk
memenuhi kebutuhan protein sehari-hari dan dilakukan dengan
menggunakan pukat yang telah dilakukan turun temurun (Rachmatika, 2001). Kondisi serupa terjadi pada ikan kancera (Tor soro) yang merupakan kerabat dekat ikan tambra. Di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, ikan kancera hanya ditemukan pada kolam-kolam yang dikeramatkan, sebaliknya di perairan umum sudah sangat sulit ditemukan. Kancera merupakan ikan yang selamat
dari
ancaman
berkat
kepercayaan
masyarakat
setempat
yang
mengkeramatkan secara turun temurun. Masyarakat setempat menamakan kancera sebagai „Ikan raja‟ atau „Ikan dewa‟ karena semula hanya keluarga kerajaan yang diperbolehkan menikmati kelezatan dagingnya. Peraturan ini secara tidak langsung berdampak positif terhadap keberadaan populasi ikan kancera, sehingga masih tersisa dan dapat hidup dengan bebas pada kolam-kolam pemandian tua di Cigugur,
Pasawahan,
Cibulan,
dan
Waduk
Darmaloka
(Haryono & Subagja, 2008). Satu parameter populasi adalah kepadatan, yaitu jumlah individu per satuan luas. Hasil pengamatan terhadap keberadaan ikan tambra di habitat aslinya rata-rata 1 ekor per 30 kali tebaran jala dan 0,5 ekor per 12 jam pemasangan pukat pada areal sekitar 100 m2, dengan kepadatan rata-rata 1 ekor/100 m2. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa populasi ikan tambra di alam sudah termasuk langka. Struktur populasinya didominasi ukuran anakan (62,7%) dan sisanya ukuran remaja sampai dewasa (Haryono, 2007). Habitat ikan tambra dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan ukurannya, yaitu habitat untuk larva/juvenil, anakan sampai remaja dan dewasa dengan karakteristik sebagai berikut: (1) Habitat larva/juvenile umumnya pada bagian tepi sungai yang ditandai oleh substrat/dasar perairan pasir, arus tenang, warna air jernih, dan dangkal (<50 cm). Hal ini diduga terkait dengan kemampuannya yang masih rendah untuk melawan arusair. Habitat seperti ini juga merupakan tempat bertelurnya ikan tambra (spawning ground). (2) Habitat
Universitas Sumatera Utara
8
ikan ukuran kecil sampai sedang/remaja dengan karakteristik sebagai berikut dasar perairan batuan berdiameter <50 cm, arus air sedang sampai deras, warna air jernih, lebar sungai 15-20m, kedalaman air <1 m, substrat tersusun dari kerikil dan pasir, penutupan kanopi 50-75%. (3) Habitat ikan ukuran besar/indukan, umumnya merupakan lubuk sungai dengan lebar sungai antara 15-20 m, panjang 20-60 m, arus tenang sampai lambat, kedalaman air >1,5 m, dasar perairan batuan, substrat tersusun dari pasir dan kerikil, warna airjernih dan penutupan kanopi >75%. Habitat pemijahan ikan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu phytophils (mempersyaratkan adanya vegetasi), lithophils (mempersyarat dasar perairan batuan dan pasir) dan pelagophils (mempersyaratkan perairan terbuka). Berdasarkan kriteria tersebut maka ikan tambra termasuk ke dalam kelompok lithopils karena memijah pada sungai yang dasarnya batuan dan bersubstrat pasir/kerikil (Haryono & Subagja, 2008).
2.3. Ikan Tambra dan Penyebarannya Ikan sapan atau semah (Tor tambroides) lebih dikenal dengan nama baku „Tambra‟. Jenis ikan ini termasuk dalam suku Cyprinidae bersama-sama dengan ikan mas, tawes dan nilem. Kerabat ikan sapan (Tor spp.) di dunia telah diketahui sebanyak 20 jenis yang tersebar di kawasan Asia, sedangkan di Indonesia terdapat empat jenis, yaitu: Tor tambroides, T. tambra, T. Douronensis, dan T. soro. Sinonim dari genus Tor adalah Labeobarbus, untuk membedakan keempat jenis kerabatikan tambra yang berasal dari Indonesia sementara ini masih berdasarkan ada tidaknya cuping pada bibir bawah dan ukuran cuping itu sendiri. Tambra merupakan ikan konsumsi yang dagingnya tebal, rasanya enak, manis dan kaya minyak ikan, serta harganya sangat mahal. Ukuran tubuh ikan tambra sangat eksotik karena dapat mencapai di atas 30 kg dengan panjang tubuh lebih dari 1 m. Oleh karena ukuran tubuhnya yang sangat besar maka ikan tambra dijuluki sebagai „Kings of the rivers’ (Haryono, 2006). Ikan tambra termasuk ke dalam marga Tor dengan jumlah anggota mencapai 20 jenis yang tersebar di kawasan Asia. Jenis ikan ini mempunyai beberapa sebutan “Mahseer, Kings of the rivers dan Fish of God” sedangkan nama lokal ikan tambra adalah sapan dan semah. Mahseer sangat dikenal sebagai ikan
Universitas Sumatera Utara
9
konsumsi dan untuk olahraga memancing. Di Indonesia memiliki empat jenis, yaitu Tor soro, T. tambra, T. douronensis dan T. tambroides. Membedakan diantara jenis ikan tambra yang berasal dari Indonesia sementara ini masih berdasarkan ada tidaknya cuping pada bibir bawah dan ukuran cuping tersebut (Haryono, 2007).
2.4. Faktor Fisika Kimia Air Menurut KPPL (1992) bahwa suhu perairan yang baik bagi kehidupan ikan kurang dari 300C, kandungan oksigen terlarut (DO) >5 ppm, kekeruhan <50mg/l, kesadahan <60 mg/l, alkalinitas 25-40 mg/l, nitrat<10, besi <1 mg/l, merkuri <0,002 mg/l (Haryono & Subagja, 2008). Kandungan oksigen terlarut merupakan perubahan mutu air paling penting bagi organisme air, pada konsentrasi lebih rendah dari 50 ℅ konsentrasi jenuh, tekanan parsial oksigen dalam air kurang kuat untuk mempenetrasi lamela, akibatnya ikan akan mati lemas. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakkan (Fitria, 2012). Suhu memegang peranan penting dalam mempengaruhi laju pertumbuhan organisme air tawar. Suhu air dapat berpengaruh terhadap sistem kerja enzim dan derajat metabolisme dalam tubuh organisme air. Suhu yang melebihi kisaran suhu optimal dapat meningkatkan konsumsi 02 yang disebabkan peningkatan suhu tubuh serta laju metabolisme (Kurniasih, 2008). Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan adalah 27-32 oC. Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan. Suhu air berkisar antara 35-40 oC merupakan suhu kritis bagi kehidupan organism yang dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28,2oC sampai 34,6oC dan pada
Universitas Sumatera Utara
10 malam hari suhu berkisar antara 12,8oC sampai 30oC. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (Haetami et al. 2005). Ikan semah hidup di perairan hulu sungai, berair deras dan jernih, kadar oksigen lebih dari 6 mg/l, pH=7. Induk dewasa sering tinggal di lubuk sungai, saat memijah mencari perairan yang berbatu, larva semah sering dijumpai di sela-sela batu (Utomo & Krismono, 2006). Toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermacammacam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7-9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton, pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S, pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Haetami et al. 2005). Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium, pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004). Amoniak (NH3) merupakan hasil perombakan asam-asam amino oleh berbagai jenis bakteri aerob dan anaerob. Jika kadar amoniak dalam air terlalu tinggi, karena proses perombakan protein tidak berlangsung dengan baik,
Universitas Sumatera Utara
11
sehingga menghasilkan nitrat, maka air dikatakan mengalami pengotoran. Amoniak dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan dan organisme perairan lainnya. Kadar amoniak yang rendah baik untuk kehidupan ikan tetapi kadar amoniak 2 sampai 7 ppm dapat mematikan beberapa jenis ikan. Kadar amoniak yang baik untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya adalah kurang dari 1 ppm. Tetapi kalau kadar amoniak di suatu perairan kurang dari 0,5 ppm, maka pertumbuhan ikan akan terlambat (Sriharti, 2012). Kadar amonia dan nitrit pada pengukuran awal cukup tinggi dan berada di atas ambang batas aman untuk ikan, sedangkan pada periode akhir menunjukkan kondisi yang cukup aman. Kadar ammonia yang tidak merugikan kelangsungan hidup ikan dalam jangka waktu yang panjang adalah 0,025 mg.l-1, sedangkan kadar nitrit yang aman untuk kondisi sistem akuarium adalah 0,1 mg.l-1. Tingginya kadar nitrit dan ammonia pada periode awal diduga sebagai akibat sistem filter masih baru, yang mana pada filter masih terjadi proses mineralisasi. Pada tahap awal, di dalam filter biologi akan berlangsung proses mineralisasi senyawaan organik oleh bakteri heterofilik yang mengkonversinya menjadi ammonia (Lukman et al. 2012).
Universitas Sumatera Utara