BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Komputer Komputer merupakan salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad
ke-20 (Ting, 2005). Sekarang, komputer juga tampil berupa laptop dan netbook. Menurut Blissmer (1985), komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu melakukan tugas menerima input, mengolahnya, dan menyediakan output berupa hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi menjadi data visual yang dapat dilihat dengan menggunakan monitor atau visual display terminal (Humaidi, 2005). Visual Display Terminal (VDT) atau yang biasanya disebut monitor adalah bagian yang biasanya ditatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata pada penggunanya (Fauzia, 2004). Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007) terdapat hampir 1 miliar komputer yang digunakan di dunia. Sekitar 75% pekerjaan di dunia bergantung pada komputer dan 50% rumah memiliki setidaknya sebuah komputer (Kanitkar et al., 2005). Sekitar 100 juta penduduk Amerika Serikat menggunakan komputer untuk pekerjaannya sehari-hari (Izquierdo, 2010). Di Washington, 90% pelajar usia 5-17 tahun dan 60% orang berusia 18 tahun ke atas menggunakan komputer setiap hari dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja, belajar, dan mengakses internet (DeBell et al., 2003). Penelitian Hoesin et al. (2007) pada 2500 orang di 16 kota di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 46,7% pengguna komputer dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja.
2.2.
Computer Vision Syndrome Ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan banyak dikeluhkan pengguna
komputer. Sejak tahun 1986, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan hal ini sebagai growing health problem. Survei yang dilakukan oleh American Optometrist Association (AOA) menunjukkan bahwa lebih dari 10 juta pemeriksaan mata pertahun di Amerika Serikat dilakukan untuk masalah
Universitas Sumatera Utara
penglihatan oleh penggunaan komputer (AOA, 2007). Kumpulan gejala akibat penggunaan komputer disebut Computer Vision Syndrome (CVS) (AOA, 2003; Wimalasundera, 2006; Madhan, 2009). Banyak penelitian menunjukkan benar adanya CVS pada pengguna komputer (Clayton et al., 2005; Khan et al., 2005; Biljana et al., 2007). Sekitar 88-90% pengguna komputer mengalami CVS (Sirikul et al., 2009; Chu et al., 2011). Gejala muskuloskeletal,
CVS dan
dibedakan umum
menjadi
(AOA,
keluhan
2007).
gejala
Penelitian
pada
Zhaojia
mata, (2007)
menunjukkan 25,7% pengguna komputer mengeluhkan gejala muskuloskeletal sedangkan Hiroko (2007) menunjukkan gejala ini dikeluhkan 68,7% pengguna komputer. Zunjic (2004) menunjukkan 80% pengguna komputer mengeluhkan gejala umum terutama nyeri kepala, Aakre (2007) menunjukkan angka 62,5%. Mayoritas, sekitar 75-90%, pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus (Anshel, 2007). Di Indonesia, Amalia (2010) menunjukkan 92,9% pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus. Jenis-jenis gejala oftalmikus yang dapat dialami yaitu mata lelah (astenopia), mata kering, mata merah, mata kabur, mata tegang, mata terbakar, refleks berair, (Dain et al., 1988; Yaginuma et al., 1990; Hikichi et al., 1995; Sitzman, 2005; Blehm et al., 2005; Barar et al., 2007; Bali et al., 2007; Chu et al., Megwas et al., 2009). Menurut Sheedy (2003), gejala oftalmikus CVS dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu gejala internal (sakit dan tegang pada bola mata) dan eksternal (terbakar, iritasi, kering disertai refleks pengeluaran air mata). Berbagai literatur menyebutkan bahwa dalang dari semua gejala ini adalah berkaitan dengan mata kering (Schlote et al., 2004). Terlihat bahwa rincian gejala CVS tumpang tindih dengan gejala sindrom mata kering (Salibello et al., 1995; Shimmura et al., 1999; Doughty, 2001).
2.3.
Sistem Lakrimalis Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular,
Universitas Sumatera Utara
dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan sindrom mata kering (Kanski et al., 2011). 2.3.1. Aparatus Lakrimalis Aparatus atau sistem lakrimal terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus ekskretori (Kanksi et al., 2011; Sullivan et al., 2004; AAO, 2007), yaitu:
Sumber
: Wagner et al., 2006
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Lakrimalis 1.
Aparatus Sekretorius Lakrimalis Aparatus sekretorius lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal aksesorius (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra (kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistim sekresi terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada rangsangan eksternal (Kanski et al., 2003, Sullivan et al., 2004; AAO, 2007). 2.
Aparatus Ekskretorius Lakrimalis Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan
penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan, 2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus, kemudian bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebelum ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikus, terdapat katup Rosenmuller yang
Universitas Sumatera Utara
berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus lakrimalis, air mata akan dieksreksikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang 12-18 mm ke bagian akhirnya di meatus inferior. Di sini juga terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al., 2004; AOA, 2007).
2.3.2. Kedipan Mata 80% dari mata berkedip secara sempurna (komplit), 18% inkomplit, 2% twitch. Bila ditinjau berdasarkan rangsang mengedip, mengedip terdiri dari tiga kategori yaitu: (Acosta et al., 1999; Pepose et al., 1992; Delgado et al., 2003) 1.
Berkedip involunter yaitu berkedip secara spontan, tanpa stimulus, dengan generator kedipan di otak yang belum diketahui secara jelas.
2.
Berkedip volunter yaitu secara sadar membuka dan menutup kelopak mata.
3.
Refleks berkedip adalah berkedip yang dirangsang bila ada stimulus eksternal melalui nervus trigeminus dan nervus fasialis. Berkedip melibatkan dua otot yaitu muskulus levator palpebra superior
dan mukulus orbikularis okuli (AAO, 2007). Aktivasi berkedip melibatkan nukleus kaudatus (Mazzone et al., 2010) dan girus presentralis media (Kato et al., 2003). Dan inhibisi berkedip melibatkan korteks frontal (Stuss et al., 1999; Mazzone et al., 2010).
2.3.3. Dinamika Sekresi Air Mata Eter et al. (2002) menemukan laju pengeluaran air mata dengan fluorofotometri sekitar 3,4 μL/menit pada orang normal dan 2,48 μL/menit pada penderita sindrom mata kering. Nichols (2004a) menunjukkan laju pengeluaran air mata adalah 3,8 μL/menit dengan interferometri. Antara dua interval berkedip, terjadi 1-2% evaporasi, menyebabkan penipisan 0,1 μm PTF dan 20%, pertambahan osmoralitas (On et al., 2006). Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6 -7 µL yang terbagi 3 bagian yaitu (Sullivan, 2002): 1.
Mengisi sakus konjungtiva sebanyak 3-4 µL.
Universitas Sumatera Utara
2.
Melalui proses berkedip sebanyak 1 µL akan membentuk TF (TF) dengan tebal 6-10 µm dan luas 260 mm2.
3.
Sisanya sebanyak 2-3 µL akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm2 dengan jari-jari 0.24 mm (Yokoi et al., 2004). Menurut, Wang et al. (2006) TF digabungkan dari tear meniskus atas dan bawah saat berkedip. Ketebalan TF bersifat iregular pada permukaan okular sehingga tidak ada
ketebalan yang tepat untuk ukuran TF (Wang et al., 2006). Smith et al, (2000) menunjukkan ketebalan berkisar antara 7-10 μm sedangkan Pyrdal et al. (1992) menyatakan TF seharusnya memiliki ketebalan 35-40 μm dan mayoritas terdiri dari gel musin. Palakuru, et al. (2007) menunjukkan bahwa TF berada dalam keadaan paling tebal saat segera setelah mengedip dan berada dalam keadaan paling tipis saat kelopak mata terbuka. Dalam penelitian mereka, angka perubahan ketebalan ini menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok yang disuruh melambatkan kedipan matanya. Mereka menyimpulkan hal ini disebabkan oleh refleks berair yang segera.
2.3.4. Mekanisme Distribusi Air Mata Mengedip berperan dalam produksi, distribusi, dan drainase air mata (Palakuru, et al., 2007). Banyak variasi teori mengenai mekanisme distribusi air mata (AAO, 2007). AAO menganut teori Doane (1981) yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip risleting dan menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus konjungtiva akan bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi (Kanski et al., 2003; Sullivan et al., 2004). Sewaktu kelopak mata mulai membuka, aparatus ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya. Saat kelopak mata atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan terjadi setelah kelopak mata atas telah turun setengah bagian. Kontraksi otot orbikularis okuli untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan tekanan menekan dan mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus inferior. Kanalikuli akan memendek dan menyempit
Universitas Sumatera Utara
serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak seperti memeras. Kemudian, setelah dua per tiga bagian kelopak mata berangsur-angsur terbuka, punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung sampai kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali (Doane, 1981). TF dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka, lapisan lemak ikut terangkat. Berikut ini adalah model pemecahan TF:
Sumber
: Pflugfelder et al., 2004
Gambar 2.2. Model Pemecahan Tear Film
2.3.5. Mekanisme Ekskresi Air Mata Nichols et al. (2005) menyebutkan bahwa ada tiga mekanisme yang dapat menyebabkan penipisan PTF yaitu absorpsi (inward flow ke kornea), tangential flow (pergerakan paralel air mata sepanjang permukaan kornea), dan evaporasi. Tsubota et al. (1992), Mathers et al. (1996), Goto et al. (2003) menunjukkan evaporasi hanya berperan minimal menyebabkan penipisan TF. Akan tetapi, Rolando et al. (1983) dan DEWS (2007) menunjukkan bahwa evaporasi berperan penting menyebabkan penipisan TF. Smith et al. (2008) menyebutkan bahwa hal ini bervariasi sesuai keadaan dan melibatkan kombinasi berbagai mekanisme. Laju evaporasi pada orang normal adalah 0,004 (Craig, 2000), 0,25 (Goto, et al., 2003), 0,89 (Mathers, 1993), 0,94 (Shimazaki, 1995), 1,2 (Tomlinson, 1991), 1,61 (Hamano, 1980), 1,94 (Yamada, 1990). Perlu waktu 3-5 menit untuk ruptur PTF (Kimball, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Air Mata
2.4.1. Tear Film Secara umum, TF (TF) terdiri dari tiga komponen lapisan di mulai dari lapisan terluar yaitu lapisan lipid, lapisan akuos, dan lapisan musin. Model dan susunan TF masih kontroverisal. Sebelum tahun 1994, TF diyakini merupakan lapisan seperti sandwich yang terdiri dari lapisan lemak, akuos, dan musin (Wolff, 1954; Holly dan Lemp, 1977). Pada tahun 1988, Tiffany mengajukan model baru TF dengan 6 lapisan (Tiffany, 1988).
Sumber
: Pflugfelder et al., 2004
Gambar 2.3. Model Tear Film
Sekarang, model TF telah dideskripsikan dengan campuran antara ketiga lapisan ini dengan ketebalan 40 μm. Mayoritas lapisan lemak mengapung diatas, dan campuran lapisan akuos dan musin berada di bawah dalam bentuk gel musin (Gipson, 2004; Nichols, 2004a; Foulks, 2005). 1.
Lapisan lipid Lapisan lipid, tebal 0,1 µm (AAO, 2007), 40-80 nm (On et al., 2006),
dihasilkan oleh kelenjar meibom palpebra superior dan inferior, kelenjar Zeis, dan kelenjar Moll (Sullivan et al., 2004). Lapisan ini terdiri dari sembilan jenis lemak polar dan non polar yang berfungsi melicinkan gerakan palpebra dan mencegah evaporasi sehingga lapisan ini memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas TF (AAO, 2007). Gangguan satu saja lipid menyebabkan ketidakstabilan TF (McCulley et al., 2003). Kelenjar meibom menghasilkan kolesterol yang
Universitas Sumatera Utara
hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Kelenjar Zeis menghasilkan asam lemak untuk mencegah kontaminasi dari kelopak mata (Patel et al., 2003). Kelenjar Moll menghasilkan lemak polar (Nichols, 2004a) untuk mengontrol evaporasi (Patel et al., 2003) dan menurunkan tegangan permukaan (Nagyova et al., 1999). 2.
Lapisan akuos Lapisan akuos, tebal 6-7 µm, merupakan 90% komponen TF. Mayoritas
lapisan akuos diproduksi oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesorius dengan tambahan sekresi air dan elektrolit dari sel epitel di permukaan okular (Patel et al., 2003). Kelenjar aksesorius dan sel epitel okular menghasilkan elektrolit inorganik untuk mengatur tekanan osmotik mata dan pH mata saat membuka (7,37,6) dan menutup (6,8); substansi organik seperti protein (albumin, globulin, transferin, imunoglobulin, betalisin, lipokalin, glikoprotein, laktoferin, transferin, histamin,
lisozim),
metabolit,
dan
oksigen.
Lipokalin
berfungsi
untuk
menciptakan suasana hidrofobik agar lapisan lipid dapat melekat di atas lapisan akuos (Patel et al., 2003; Nichols, 2004a). 3.
Lapisan musin Lapisan musin, tebal 0,002-0,005 µm, diproduksi oleh sel goblet, kelenjar
Henle, kelenjar Manz pada limbus, epitel sekretori di permukaan konjungtiva dan sel sekretori non globlet yang berfungsi membentuk glikokaliks. Glikokaliks membentuk dasar yang hidrofilik bagi TF sehingga dapat membasahi kornea (Krenzer et al., 2000). Epitel sekretori di permukaan konjungtiva membentuk musin transmembran. Gel dibentuk sel goblet, kelenjar Henle, dan kelenjar Manz pada limbus yang dirangsang P2Y2 (Cowlen et al., 2003; Gipson, 2004).
2.4.2. Komposisi Air Mata Air mata terdiri dari 98,2% air dan 1,8% zat lainnya (On et al., 2006). Dalam keadaan normal, cairan air mata bersifat isotonik dengan osmolalitas 295309 mosm/L (On et al., 2007). Konsentrasi glukosa pada air mata 2,5-5 mg/dL dan urea 0,04 mg/dL. Suhu air mata normal 35°C (Smith et al., 2000). Indeks refraksi 1,336 (AAO, 2007) yang merupakan komponen yang cukup besar dalam menjamin refraksi bayangan sempurna jatuh tepat di retina (Kanski et al., 2003).
Universitas Sumatera Utara
pH air mata normal 7,25-7,35 (AAO, 2007) dengan pH terendah saat mata terbuka karena kornea menghasilkan lebih banyak karbon dioksida dan terperangkap dalam pool TF (On et al., 2006). Ketegangan permukaan air mata 43,6 ± 2,7 dyne/cm. Dalam keadaan mata kering, ketegangan permukaan bisa naik menjadi 49,6 ± 2,2 dyne/cm (Tiffany et al., 1989).
2.4.3. Fungsi Tear Film Secara garis besar, fungsi TF adalah sebagai penunjang imunitas (Gipson et al., 2004), melapisi dan melindungi melapisi dan melindungi kornea (precorneal TF atau PTF) dan konjungtiva (preocular TF)
dari friksi saat
berkedip (Patel et al., 2003), melindungi permukaan okular dari gangguan kimia dan biologis (Nichols, 2004a), mempertahankan kekuatan refraksi dari kornea fokus dan bagus (Kanski et al., 2003), dan memberi oksigen dan nutrien pada kornea yang avaskular (Bron, 2005).
2.5.
Sindroma Mata Kering
2.5.1. Definisi Sindroma Mata Kering Sindroma Mata Kering (SMK) adalah kumpulan gejala akibat gangguan pada air mata dan permukaan okuler yang menyebabkan ketidaknyamanan pada mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan TF (DEWS, 2007). SMK biasanya menunjukkan keluhan yang samar-samar dan bila tidak diobati atau dihentikan dapat berlangsung terus-menerus kronis menimbulkan kerusakan yang irreversibel terutama pada permukaan okular (Koh et al., 2008).
2.5.2. Epidemiologi Sindroma Mata Kering Epidemiologi sindroma mata kering meningkat dari tahun ke tahun. Prevalensi SMK berkisar 7,4-57,89%. bergantung pada penelitian mana yang diambil, bagaimana penyakit didiagnosis, dan populasi mana yang disurvei (Gayton, 2008). Empat penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi SMK berkisar antara 5-30% dengan total 4,91 juta penduduk berusia di atas 50 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Studi besar Women’s Health Study and Physician’s Health Study menunjukkan prevalensi SMK di Amerika Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria, (Schaumberg et al., 2003; 2009). Salisbury Eye Study menunjukkan angka 14,6% pada populasi berusia 48-91 tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita (Schein et al., 1997). The Beaver Dam population-based study menemukan prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65 tahun (Moss et al., 2000). Penelitian Hom (2004) pada Hispanik menunjukkan prevalensi yang cukup besar yaitu 24,6%. Di Kanada, prevalensi berkisar 25% (Doughty et al., 1997), di Australia, prevalensi 7,4% (McCarty et al.,1998) dan 16,6% pada tahun 2003 (Chia et al., 2003). Di Shanghai, prevalensi sindrom mata kering 33,78% pada wanita dan 24,11% pada pria dengan faktor risiko yang memperberat, diantaranya adalah jenis kelamin wanita, umur di atas 50 tahun, penggunaan lensa kontak, penggunaan anti histamin (Tian et al., 2009). Jie et al. (2009) di Beijing menunjukkan prevalensi 21% dengan dengan faktor risiko utama perempuan berusia tua dan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Di Jepang, prevalensi berkisar 12,3% pada mahasiswa (Uchino et al., 2008). Di Taiwan, Shihpai menunjukkan prevalensi 33,7% dengan faktor risiko utama umur dan jenis kelamin wanita (Lin et al., 2003). Di Malaysia, prevalensi sindrom mata kering 14,4% (Jamaliah et al., 2002). Di Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada penduduk berusia di atas 21 tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok, dan pterigium (Lee et al.., 2002). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Chaironika (2011) menemukan 76,8% prevalensi SMK pada wanita yang telah menopause.
2.5.3. Klasifikasi Sindroma Mata Kering Sindroma Mata Kering (SMK) dapat dikategorikan menjadi episodik dan kronik. SMK episodik yaitu mata kering yang dialami akibat lingkungan atau pekerjaan, dan bersifat sementara. SMK kronik yaitu mata kering yang dipicu
Universitas Sumatera Utara
oleh sesuatu dan bersifat menetap. SMK episodik dapat berlanjut ke mata kering kronik (Gayton, 2009). Menurut DEWS (2007), SMK dapat dikategorikan menjadi aquoeus deficient dan evaporative dry eye. Aqueous tear deficient dry eye adalah kelompok mata kering yang disebabkan karena kurangnya produksi air mata walaupun evaporasinya tetap berjalan normal. Evaporative dry eye adalah kelompok mata kering yang disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak terjadi gangguan pada proses produksinya. Banyak sekali etiologi yang dapat mencetuskan kedua hal ini, baik yang bersifat autoimun, obat, maupun lingkungan Klasifikasi ini cukup membingungkan sebab sindrom mata kering sering merupakan gabungan antara keduanya (DEWS, 2007).
Sumber
: DEWS, 2007
Gambar 2.4. Klasifikasi Sindroma Mata Kering
Universitas Sumatera Utara
2.5.4. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering Faktor risiko SMK dibagi dua yaitu, milleu interieur dan milleu esterieur. Milleu interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar (Sullivan et al., 2004b). Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar. Kelembaban lingkungan yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan cepatnya evaporasi. Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan mikroskop, dokter radiologi, atau pengguna komputer. Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab SMK: 1.
Usia Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi
kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002, 2004c). Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino et al. (2007) yang menemukan adanya penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang tua. Zhu et al. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat menurunkan transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel asinar merembes keluar dan menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom. Akan tetapi, penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya perbedaan tes Schrimer antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39 tahun dan 40-53 tahun (p<0,05). 2.
Jenis kelamin Hampir semua penelitian epidemiologi sindrom mata kering menunjukkan
prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause (Versura et al., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001). 3.
Pengguna lensa kontak Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley et
al., 2000). Pemakaian lensa kontak memisahkan PTF menjadi dua bagian sehingga tidak ada musin di pre lens dan tidak ada lapisan lipid di post lens
Universitas Sumatera Utara
sehingga SMK sering dialami (Nichols et al., 2003). Selain itu, Tutt (2000) menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa kontak dengan alat aberometer. 4.
Merokok Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus
dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004). Asap rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan okular (Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002). Moss et al. (2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok. 5.
Ruangan ber-AC SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang
tinggi karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang (Wolkoff et al., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan yang ber-AC (Schaumberg et al., 2003).
2.6.
Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering Sindroma mata kering akibat penggunaan komputer memang bukan suatu
masalah yang serius karena mata dapat beradaptasi yang kembali normal sebagaimana mestinya. Akan tetapi, dialaminya SMK yang sering dan repetitif dapat berdampak buruk pada ketajaman penglihatan dan kesehatan permukaan okuler (Kaido et al., 2007 dan Koh et al., 2008). Penelitian Filipina menunjukkan korelasi 0,256 antara lama penggunaan komputer dengan timbulnya keluhan SMK (p=0,003). Fenga et al. (2008) menunjukkan angka korelasi 0,358. Berikut ini disajikan bagan patofisiologi timbulnya mata kering akibat penggunaan komputer:
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Komputer Mata dipaksa fokus
Mata lelah
Frekuensi berkedip ↓
Kelopak mata lelah berkedip
Hipofungsi lakrimal
Evaporasi air mata ↑
Sementara
Akuous ↓, Musin ↓, Lipid ↓
Akous ↓
PTF tidak stabil
Hiperosmolaritas
IL-1, TNF-α, MMP-9
Break up time ↑ Pemecahan TF distribusi irregular Ruptur PTF ↑
Kompensasi berkedip
Ruptur semakin luas
Friksi permukaan okular ↑
Evaporasi semakin ↑
MAP, NFKb
Kompensasi gagal Frekuensi berkedip ↓↓ Dialami berulang-ulang Permukaan okular rusak Gambar 2.5. Patofisiologi
Sindroma
Mata
Kering
pada
Pengguna
Komputer
Berbagai literatur berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip saat menggunakan komputer (Ziemssen et al., 2005; Anshel, 2007; Himebaugh et al., 2009). Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas permukaan okular terpapar, lebar palpebra terparar, dan besar penguapan sesuai kegiatan akan disajikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan Okular, Lebar Palpebra, dan Besar Penguapan Air Mata pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan Menggunakan Komputer Kegiatan
Istirahat
Berbicara
Membaca
Menggunakan komputer
a. Bawah b. Sejajar c. Atas
Frekuensi berkedip (kali/menit) 22 ± 9 (Tsubota et al., 1993) 16 ± 4 (AOA, 2007) 16,8 (Schlote et al., 2004) 21,5 ± 10 (Doughty, 2001) 11,62 (Schaefer et al., 2009) 10 ± 6 (Tsubota et al., 1993) 7,5 ± 6,1 7±7 (Tsubota et al., 1993) 6,6 ± 4,8 (Schlote et al., 2004) 5,75 (Schaefer et al., 2009)
Interval antara dua kedipan (detik)
Luas permukaan okular (cm2)
Lebar palpebra (mm)
2,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993)
Besar penguapan air mata (x 10-7 g/s per cm2) 4,1 ± 1,4 (Goto et al., 2003)
4,9 ± 1.49 (Schaefer et al., 2009)
1,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993)
10.42 ± 7,78 (Schaefer et al., 2009)
2,3 ± 0,5 (Tsubota et al., 1993)
1,2 ± 0,27 (Tsubota et al., 1995) 2,2 ± 0,39 (Tsubota et al., 1995) 3,0 ± 0,33 (Tsubota et al., 1995)
5,7 ± 0,98 (Tsubota et al., 1995) 9,4 ± 0,14 (Tsubota et al., 1995) 12,1 ± 1,2 (Tsubota et al., 1995)
5,6 ± 1,8 (Tsubota et al., 1995) 7,8 ± 2,2 (Tsubota et al., 1995) 8,0 ± 1,7 (Tsubota et al., 1995)
Universitas Sumatera Utara
Kumpulan data di atas menunjukkan pengurangan frekuensi berkedip dan memanjangnya interval antara dua kedipan saat menggunakan komputer. Hal ini menyebabkan luasnya permukaan okular yang terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi (Doughty, 2001; Goto et al., 2003; Abelson et al., 2005; Himebaugh et al., 2009; Schaefer et al., 2009). Selain itu, saat menatap komputer, terutama sejajar ataupun dengan tatapan ke atas, permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar sehingga terjadi penguapan terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer sejajar dan ke atas dibandingkan saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat (Schaefer et al., 2009). Walaupun pada data hanya dijumpai sedikit peningkatan evaporasi pada penderita mata kering, hal ini sudah dapat menggangu kestabilan dinamika air mata dan gangguan pada permukaan okular (Nakaishi et al., 1999; Goto et al., 2003). Fokus bekerja pada sesuatu ditemukan berkaitan dengan frekuensi berkedip. Bahkan, banyak penelitian yang menjadikan frekuensi berkedip sebagai indikator terhadap kelelahan dan keberatan mental terhadap pekerjaan (Scerbo et al., 2001). Pengurangan frekuensi berkedip ini belum jelas mekanismenya. Para peneliti berpendapat bahwa hal ini ada kaitannya dengan pacemaker sistem saraf pusat yang diaktifkan karena pemusatan perhatian dan pandangan (Acosta et al., 1999; Doughty, 2001). Akan tetapi, kaitan ini menjadi sangat unik sebab indikator peningkatan dan penurunan frekuensi berkedip tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan (Affandi, 2005). Misal, frekuensi berkedip terus meningkat seiring pemfokusan yang lebih berat saat menyetir (Andreassi, 2006). Akan tetapi, kebanyakan frekuensi berkedip menurun seiring dengan memberatnya beban mental (Hankins et al., 1998; Lipp, et al., 2000; Orden et al., 2001; Wilson et al., 2002; Ebite et al., 2009). Seperti halnya saat penjahat sebenarnya mengisi kuesioner mengenai kejahatan yang ia lakukan, akan lebih berat beban pikiran dan terjadi pengurangan kedipan mata (Leal et al., 2010). Saat menggunakan komputer, mata dipaksa untuk memfokuskan kerja pada komputer, stuck at that point, sehingga frekuensi berkedip berkurang (Goldsborough, 2007). Kelelahan mata yang berlebihan akibat terus menatap
Universitas Sumatera Utara
komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Kaneko et al., 2001; Caffier et al., 2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak sempurna. Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu ruptur TF (Tomlinson et al., 2002). Di sisi lain, terdapat teori yang menyatakan, di mana saat fokus bekerja terhadap sesuatu, sistem saraf simpatis akan diaktifkan dan terjadi induksi sekresi dopamin. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan kedipan mata berkurang. Dopamin adalah neurotransmitter yang berhubungan dengan induksi fisiologi mengedip spontan (Taylor, 2002). Selain itu, terdapat cahaya terang akan mensupresi produksi hormon melatonin. Melatonin seharusnya berfungsi sebagai inhibitor sekresi dopamin pada sistem limbik (Sandyk et al., 1990; Nakayama et al., 1998). Walaupun demikian, sampai sekarang tetap dibuktikan penurunan berkedip seiring meningkatnya intensitas dan beban mental saat menggunakan komputer. Frekuensi mengedip yang berkurang menyebabkan berkurangnya juga input sensori ke kelenjar lakrimal sehingga terjadi gangguan pada kelenjar lakrimal akibat lama tidak digunakan. Keadaan ini disebut disuse athropy (Nakamura et al., 2005). Tong et al. (2010) menunjukkan disfungsi kelenjar meibom pada pengguna komputer pada tahap lanjut. Nakamura et al. (2010) melakukan percobaan dengan menggunakan hewan coba mencit. Manipulasi efek monitor komputer dilakukan dengan cara terus-menerus memberi kipasan angin pada mencit yang digantungkan pada ayunan. Penelitian ini menunjukkan adanya hipofungsi dari kelenjar lakrimal pada SMK akibat penggunaan komputer. Gambaran histopatologi kelenjar lakrimal dengan mikroskop elektron menunjukkan pengurangan jumlah sel asinar, pembesaran sel asinar akibat vesikel sekretori pada sitoplasma, dan berkurangnya jumlah
retikulum
endoplasma.
Pengurangan
sel
asinar
menyebabkan
berkurangnya fungsinya untuk eksositosis vesikel sekretori air mata (Wu et al., 2006). Selain itu, pembesaran vesikel sekretori dan berkurangnya jumlah retikulum endoplasma menyebabkan hilangnya struktur kelenjar asinar yang
Universitas Sumatera Utara
normal (Nguyen et al., 2004). Pada manusia yang menderita SMK, Obata et al. (1995) juga menemukan gambaran histopatologi yang sama. Kesemua hal di atas menyebabkan gangguan pada TF. Reduksi dari salah satu lapisan saja dapat memperburuk dan menggangu stabilitas lapisan lain (Gayton, 2009). Hipofungsi lakrimal menyebabkan berkurangnya sekresi akuos penyusun TF. Hal ini menyebabkan peningkatan osmoralitas air mata akibat berkurangnya air yang menjadi 90% penyusunnya. Peningkatan osmoralitas air mata menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB. Kemudian kedua mediator ini akan merangsang dilepaskannya sitokin inflamasi IL-1, TNFα, dan MMP-9 (Li et al., 2004; Luo et al., 2005, Paiva et al., 2006). Sitokin inflamasi tersebut ditemukan juga dalam air mata dan kelenjar lakrimal (Jones et al., 1994; Nakamura et al., 2006). Sitokin-sitokin inflamasi ini akan menyebabkan apoptosis dari sel epitel, termasuk sel goblet (Argueso et al., 2002; Brignole et al., 2002). Berkurangnya sel goblet akan menyebakan defek pengeluaran musin sehingga TF akan terganggu. Sebagai kompensasi, sitokin-sitokin inflamasi ini juga akan menstimulasi nervus trigeminus untuk merangsang refleks pengeluaran air mata dan refleks berkedip (Qian et al., 2004). Begley et al. (2003) menyebutkan bahwa osmoralitas yang meningkat akan merangsang kemoreseptor untuk meneruskan sinyal refleks berkedip melalui nervus trigeminus. Namun, musin sudah berkurang dan TF telah tidak stabil, sehingga refleks berkedip justru akan menambah friksi gesekan antara kelopak mata dan permukaan okular dan akan memperparah inflamasi dan kerusakan. Penipisan ketiga lapisan TF juga akan semakin cepat (Patel et al., 2003). Bila mata kering ini berlangsung terusmenerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif sehingga tidak ada lagi refleks kompensasi (Abelson et al., 2002). Tanpa dan dengan kompensasi, kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Benitez et al., 2007). Di sisi lain, pengurangan frekuensi berkedip dan pemanjangan interval antara dua kedipan akan meningkat akan menyebabkan permukaan okular terpapar dengan udara luar meluas (Tsubota et al., 1993, 1995; Ziemssen et al., 2005; Abelson et al., 2002, Schaefer, 2009). Evaporasi akan meningkat sehingga kecepatan penipisan lapisan TF meningkat. Interval kedipan mata juga
Universitas Sumatera Utara
memanjang melebihi BUT dan terjadi sebelum periode berkedip setelahnya (Schaefer et al., 2009). Dengan evaporasi meningkat dan waktu pembentukan TF yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF, TF akan pecah dan SMK mulai dialami (Wolkoff et al., 2005; Kimball et al., 2009). Evaporasi yang berlebihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan osmoralitas mata kering (Craig et al., 2000). Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah akibat evaporasi juga dapat mencetuskan ruptur TF (Wolkoff et al., 2005). Pemecahan TF pada orang normal biasanya dimulai dari daerah inferior, sedangkan pada penderita mata kering biasanya pada bagian sentral dan superior akibat efek langsung dari evaporasi berlebihan (Himebaugh et al., 2009). Pemecahan TF juga terjadi secara irregular meninggalkan tepi TF tanpa dukungan TF bagian tengah. Ruptur PTF akan terjadi dalam waktu yang singkat dan menginduksi ruptur yang semakin luas lagi. Kerusakan pada permukaan okular juga akan timbul (Naranayan et al., 2006). Musin yang berkurang akibat evaporasi berlebihan menyebabkan terbentuknya dry spot yang dapat menginduksi refleks pengeluaran air mata sebagai kompensasi (Gipson et al., 2004). Selain itu, penurunan suhu di permukaan kornea akibat evaporasi juga merangsang saraf termosensitif dan menginduksi kompensasi refleks berkedip (Hirata et al., 2010). Kompensasi refleks berkedip disertai pengeluaran air mata akan mengatasi keadaan mata kering. Akan tetapi, bila hal ini dialami terus-menerus setiap hari, air mata tidak lagi seadekuat kompensasi awal. Refleks berkedip bahkan akan menyebabkan peningkatan kerusakan mekanik akibat gesekan berlebihan kelopak mata pada permukaan okuler (Yokoi et al., 2008; Ward et al., 2010) sebab adanya evaporasi berlebihan dan hipofungsi lakrimal. Jadi, refleks berkedip malah akan melengkapi lingkaran setan dari serangkaian perjalanan SMK.
2.7. Lama Penggunaan Komputer dan Sindroma Mata Kering Peningkatan jumlah keluhan oftalmikus dan lamanya waktu bekerja ditemukan berkaitan erat (Nakazawa et al., 2002; Sen et al., 2007). Banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan erat antara lama penggunaan
Universitas Sumatera Utara
komputer terhadap perburukan gejala mata kering (DEWS, 2007; Uchino et al., 2008). Namun, hasil yang dilaporkan cukup bervariasi. Selain itu, belum jelas dibedakan antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus, per hari, atau riwayat lama penggunaan komputer. Penelitian University of South Carolina mengategorikan penggunaan komputer ringan < 2 jam, sedang 2-4 jam, dan berat > 4 jam per hari. Penelitian Taylor (2007) di 16 negara di dunia menunjukkan rata-rata lama penggunaan komputer per harinya adalah sekitar 5 jam. Penelitian Sen et al. (2007) menunjukkan hampir setengah dari pengguna komputer menggunakan komputer secara terus-menerus tanpa istirahat lebih dari 2 jam per harinya. Penelitian Hoesin et al. (2007) di 16 kota di Indonesia menunjukkan rata-rata penggunaan komputer di Indonesia kurang dari 5 jam per hari. Di Bantul, 7% pengguna komputer menggunakan komputer dalam intensitas yang rendah, 3% dengan intensitas sedang, dan 83% dengan intensitas tinggi. (Indriawati et al., 2008). Penelitian Dewi et al. (2009) di kantor samsat Palembang menunjukkan 75% pekerja menggunakan komputer menggunakan komputer lebih dari 4 jam. Sen et al. (2007) menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama penggunaan komputer terus-menerus dengan sindroma mata kering. Akan tetapi, kaitan dengan lama penggunaan komputer rata-rata per hari tidak begitu bermakna. Dengan menggunakan kuesioner berskala 1-10 ditunjukkan bahwa gejala yang paling sering dialami adalah kelelahan pada mata dengan skor 4,5; terbakar pada mata 3,3; gangguan pemfokusan mata 2,7. Angka tertinggi 7 didapatkan pada gejala terbakar pada mata pada pengguna komputer lebih dari 6 jam per hari. Nakamura et al. (2010) juga menunjukkan adanya hubungan antara riwayat lama penggunaan komputer dengan p= 0,012. Penelitian Shima et al. (1993) menunjukkan peningkatan gangguan mata pada pekerja pengguna komputer lebih dari 1 jam per hari. Broumand et al. (2008) menunjukkan perburukan gejala pada pengguna komputer lebih dari 2 jam per hari. Penelitian Kanitkar et al. (2005) dan Amalia et al. (2010) menunjukkan SMK dialami pengguna komputer lebih dari 3 jam per hari. Penelitian Fenga et al. (2007) menunjukkan mata kering mayoritas dialami pengguna komputer lebih
Universitas Sumatera Utara
dari 4 jam per hari. Penelitian Uchino et al. (2008) menunjukkan keluhan SMK menunjukkan hasil yang signifikan pada pelajar pengguna komputer lebih dari 4 jam per hari dengan mayoritas pelajar wanita dan pengguna lensa kontak. Penelitian Nakazawa et al. (2002) dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan bermakna keluhan mata kering pada pekerja pengguna komputer lebih dari 5 jam/hari. Penelitian Hanne et al. (1994) dan Shigenori et al. (2002) menunjukkan baru timbul keluhan mata kering pada pengguna komputer lebih dari 6 jam. Penelitian Sen et al. (2007) menunjukkan gejala mata kering umumnya dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah 6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus. Parwati (2004) menyatakan gejala oftalmikus timbul setelah 2 jam penggunaan komputer secara terus-menerus. Akan tetapi, penelitian Sadri (2003) dengan menggunakan tes Schirmer tidak menunjukkan adanya perbedaan sekresi air mata sebelum dan setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus. Penelitian Hiroko (2007) menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer atas kejadian SMK. Sen et al. (2007) menyatakan bahwa gejala SMK umumnya dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah 6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus. Berbagai penelitian di atas menunjukkan variasi antara pada pengguna komputer intensitas yang bagaimanakah bisa memberikan hasil yang signifikan terhadap kejadian SMK. Bahkan, penelitian objektif mata kering dengan uji stabilitas air mata prekorneal, kondisi lapisan lemak air mata, tidak menunjukkan adanya hubungan dengan lama bekerja menggunakan komputer. Tes Schirmer baru menunjukkan hubungan yang bermakna pada penggunaan komputer > 8 jam/hari (Nakamura et al., 2010). Gejala yang berhubungan dengan SMK yaitu mata terasa kering, mata lelah, mata terasa terbakar, mata terasa perih, mata terasa gatal, mata merah, mata berair, penglihatan kabur sesaat (kembali dengan berkedip), fotofobia (sensitif terhadap cahaya), dan seperti ada benda asing (AOA, 2002; DEWS, 2007). Berikut ini adalah proporsi setiap gejala SMK yang dialami pengguna komputer:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Gejala Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer Gejala Mata terasa kering
Mata lelah
Mata terasa terbakar Mata terasa perih Mata terasa gatal Mata merah Mata berair
Penglihatan kabur sesaat (kembali dengan berkedip)
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya) Seperti ada benda asing (berpasir)
2.8.
Keluhan (%) 47 56 66 85 46,4 51 65 69,7 76,8 90,4 97,8 28,1 79 31,51 5,48 40,6 61,2 19,68 56,8 66,4 5,1 10,3 10,96 50 52 34,8 0
Sumber Jamalilah et al., 2002 Hiroko, 2007 Dehghani et al., 2008 Murtopo et al., 2005 Bhanderi et al., 2008 Fenga et al., 2007 Dehghani et al., 2008 Hiroko, 2007 Amalia et al., 2010 Shofwati et al., 2010 Bali et al., 2007 Edema et al., 2010 Dehghani et al., 2008 Megwas et al., 200 Megwas et al., 2009 Edema et al., 2010 Bali et al., 2007 Megwas et al., 2009 Edema et al., 2010 Bali et al., 2007 Broumand et al., 2008 Megwas et al., 2009 Mocci, 2001 Edema et al., 2010 Sirikul et al., 2009 Bali et al., 2007 Megwas et al., 2009
Jam Istirahat Bagi Pengguna Komputer “Istirahat”, satu manuver yang paling tepat untuk mencegah SMK akibat
lama penggunaan komputer (Balci et al., 2003; Blehm et al., 2005). Akan tetapi, masih sedikit penelitian mengenai jam istirahat yang ideal. Perlu diingat pula bahwa interupsi yang terlalu sering akan membawa dampak yang kurang efektif terhadap pekerjaan yang sedangan dikerjakan. NIOSH (1981) dan OSHA (1997) menganjurkan setiap 2 jam, seorang pengguna komputer harus beristirahat 10 menit. Waktu istirahat lain yang dianjurkan cukup bervariasi yaitu 10 menit setiap 50 menit (Karwowski, 1994), 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1984), 30 menit setiap 3½ jam (Asfour, 1987), 5 menit setiap 1 jam (Kanitkard et al., 2005), dan 15 menit setiap 2 jam (Andriana, 2010). Istirahat 5 menit setiap 30 menit atau 10 menit setiap jam
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan peningkatan produktivitas yang sama dan agar tidak mengganggu pekerjaan dipilih 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1994). Istirahat juga dapat diikuti dengan relaksasi menurut rumus 20-20-20. Waktu istirahat 20 detik setiap 20 menit dengan cara melihat ke arah lain yang berjarak kira-kira 20 kaki dan bisa sambil mengedipkan mata 10 kali. Relaksasi mata lain adalah dengan cara melihat ke tempat yang jauh 10-15 detik, kemudian melihat ke tempat yang dekat 10-15 detik dan ulangi kembali selama 10 kali (Mayoclinic, 2006). Di Indonesia, waktu kerja maksimal adalah 8 jam, break setengah jam setiap 4 jam, dan rest 8 jam (Menteri Tenaga Kerja RI, 1993). Belum ada regulasi secara spesifik mengenai batas waktu penggunaan komputer bagi pekerja di Indonesia. Di Belanda, pengguna komputer dibatasi menggunakan komputer maksimal 6 jam per hari dan bahkan bagi pekerja bank yang menggunakan komputer, jam kerja dibatasi 5 jam per hari (Taylor et al., 2007)
2.9.
Diagnosis Sindrom Mata Kering pada Pengguna Komputer Sering sekali hasil pemeriksaan SMK secara subjektif berbeda dengan
pemeriksaan objektif (Jamaliah et al., 2002; Nichols et al., 2004b; Savini et al., 2008). Kebanyakan tes diagnostik tidak distandardisasi sehingga menimbulkan hasil yang berbeda-beda dalam setiap penelitian. Tidak ada kesepakatan mengenai gold standard dan cut-off value tiap-tiap pemeriksaan SMK (Foulks et al., 2003). Selain itu, SMK yang ringan tidak akan memberikan hasil yang patologis pada tes Schirmer, tes BUT, mapun tes objektif lain sebab penderita masih dapat mengompensasi dengan refleks berair sehingga SMK timbul hilang (Palakuru, et al., 2007). Walaupun demikian, pengelompokkan derajat keparahan SMK secara umum menurut DEWS (2007) harus memenuhi kriteria tes subjektif dan tes objektif. Kriteria tes subjektif berupa gejala SMK dan kriteria tes objektif berupa tanda SMK. Nichols (2004b) dan DEWS (2007) menyebutkan bahwa SMK dapat didiagnosis dari kumpulan gejala yang biasanya dilakukan melalui instrumen kuesioner. Schaumberg (2007) melakukan validasi pada kuesioner SMK yang
Universitas Sumatera Utara
tersebut dibuat dengan berlandaskan Visual Analogue Scale (VAS). Kuesioner tersebut disebut Symptoms Assessment in Dry Eye (SANDE) Questionnaire. Sebelumnya, Pearce et al. (2005) telah menyebutkan bahwa keluhan gejala sindrom mata kering lebih sensitif dianalisis dengan VAS dibanding pertanyaan kategori seperti langsung menyuruh responden mencontreng ringan, sedang, dan berat tanpa parameter yang jelas. Visual Analogue Scale juga banyak digunakan sebagai indikator keberhasilan terapi sindrom mata kering (Asbell et al., 2006). Lima puluh dua penderita yang terdiagnosis SMK diberikan kuesioner SANDE untuk evaluasi hasil pengobatan selama 2 dan 4 bulan. Hasil statistik menunjukkan regresi yang menurun. Validasi dilakukan dengan uji statistik Tukey, analisis Bland-Altman, dengan dengan hasil 50% titik-titik pada plot berjarak tidak lebih dari 10 mm, 80% tidak lebih dari 20 mm, dan 95% berjarak tidak lebih dari 30 mm. Reliabilitas menunjukkan nilai inter-class correlation coefficient 0,53-0,76 dengan memberikan kuesioner beberapa hari setelah pemberian kueseioner pertama sekali. Salamanca et al. (2010) juga menggunakan kuesioner SANDE dalam menilai gejala SMK pada penelitiannya. Menurut Pates et al. (2003), nilai VAS 0-<40 termasuk SMK ringan, nilai VAS 40-<70 termasuk SMK sedang, nilai VAS termasuk 70-100 berat. Penelitian Garcia et al. (2007) menunjukkan rata-rata penderita SMK menunjukkan nilai VAS sebesar 43,04. Asbell et al. (2006) menyebutkan bahwa penderita mata kering biasanya mengeluhkan ketidaknyamanan pada mata dalam rentang 70-100. Visual Analogue Scale untuk menilai keparahan SMK biasanya dibuat dalam bentuk garis lurus vertikal sepanjang 100 mm dengan nilai 0 di paling bawah dan 100 di paling atas. Nilai 0 menunjukkan tidak ada keparahan sedangkan nilai 100 menunjukkan sangat parah (Williams et al., 2010). Responden dipersilahkan untuk memberikan tanda silang (X) pada garis tersebut yang mengindikasikan seberapa parah gejala SMK ia alami. Nilai keparahan diukur dengan penggaris dengan mengukur jarak antara nilai 0 dan tanda silang (Schaumberg et al., 2007). Tidak ada perbedaan menggunakan skala 100 mm dan 150 mm (p< 0,01) (Chaput et al., 2010). Kuesioner lain yang terkenal seperti McMonnies Dry Eye History Questionnaire, Dry Eye Questionnaire (DEQ),
Universitas Sumatera Utara
Canada Dry Eye Epidemiology Study (CANDEES), Ocular Surface Disease Index (OSDI), Women’s Health Study questionnaire, dalam hal ini tidak cocok untuk menilai SMK pada pengguna komputer sebab SMK yang dinilai berkaitan dengan aktivitas sehari-hari sedangkan SMK pada pengguna komputer biasanya hanya bersifat temporer tetapi muncul dengan pola repetitif.
2.10. Komplikasi Sindroma Mata Kering SMK dan perjalanan penyakitnya
menyebabkan kerusakan pada
permukaan okular (DEWS, 2007). Baik SMK temporer maupun permanen akan menurunkan produktivitas kerja, meningkatakan kesalahan dalam bekerja sehingga pekerjaan yang dilakukan tidak memuaskan (AOA, 2003). Pada kasus yang lanjut dapat timbul erosi permukaan okular seperti penipisan kornea, ulkus kornea, dan perforasi. Kadang bisa juga terjadi infeksi bakteri sekunder yang dapat berakibat parut dan neovaskularisasi pada kornea yang makin menurunkan pengihatan bahkan kebutaan (AAO, 2003, Albietz et al., 2004; Diller et al., 2005).
2.11. Prognosis Sindroma Mata Kering Penelitian telah menunjukkan SMK mempengaruhi fungsi penglihatan, aktivitas rutin, fungsi sosial dan fisik, produktivitas kerja, pembiayaan penyakit, dan kualitas hidup. Ukuran kualitas hidup ditemukan menurun secara signifikan pada penderita mata kering (Pflugfelder et al., 2004; Miljanovic et al., 2007). Pada penelitian Schiffman et al. (2003) dengan skala 0 sampai dengan 1 dengan 0 berarti kualitas hidup sangat buruk dan 1 menunjukkan kualitas hidup sangat baik, menunjukkan bahwa mata kering ringan mempunyai skor 0,81; mata kering sedang 0,78; mata kering berat 0,72; di mana nilai ini hampir sama dengan kualitas hidup penderita angina sedang yang menunjukkan skor 0,75. SMK yang berulang terus-menerus akan mengakibatkan penglihatan yang berfluktuasi dan akan menggangu ketajaman penglihatan dan sensitivitas kornea (Huang et al., 2002; AOA, 2003). Hal ini akan mengganggu kegiatan sehari-hari. Jadi, perlu pencegahan primer untuk menghindari SMK dengan istirahat yang adekuat setelah menatap layar monitor.
Universitas Sumatera Utara