5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Histologi Kulit Kulit adalah organ tunggal yang terberat di tubuh, dengan berat sekitar 16% dari berat badan total dan pada orang dewasa, mempunyai luas permukaan sebesar 1,2-2,3 m2. Kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel yang berasal dari ektoderm, dan dermis, yaitu suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari mesoderm. Batas dermis dan epidermis tidak teratur, dan tonjolan dermis yang disebut papila saling mengunci dengan tonjolan epidermis yang disebut epidermal ridges (rabung epidermis). Dalam bentuk tiga dimensi, interdigitasi ini dapat berbentuk peg-and-socket. Turunan epidermis meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Di bawah dermis, terdapat hipodermis, atau jaringan subkutan, yaitu jaringan ikat longgar yang dapat mengandung bantalan sel-sel lemak, yang disebut panikulus adiposus. Kulit bersifat elastis, kulit dapat mengembang dan menutupi daerah yang luas pada keadaan yang disertai pembengkakan seperti pada edema dan kehamilan. (Junqueira, 2007)
Gambar 2.1. Anatomi Kulit (Sumber : www.newenglandent.com)
2.1.1. Epidermis Epidermis terdiri atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk, tetapi juga mengandung empat jenis sel yang jumlahnya tidak sebanyak jumlah sel Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
6
epitel, yaitu sel Melanosit, sel Langerhans dan sel Granstein, serta sel Merkel. Sel epidermis tidak mempunyai pembuluh darah, sehingga pasokan nutrisinya sepenuhnya
bergantung
pada
jaringan
dermis
dibawahnya
melalui
dermoepidermal junction. (Amirlak, 2013) Dari dermis ke atas, epidermis terdiri atas lima lapisan sel penghasil keratin (keratinosit): • Statum Basale (Stratum Germinativum) Stratum basale terdiri atas selapis sel kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis pada perbatasan epidermis-dermis. Hemidesmosom membantu mengikat sel-sel epidermis itu pada lamina basalis. Stratum basale ditandai dengan tingginya aktivitas mitosis dan bertanggung
jawab
atas
pembaruan
sel-sel
epidermis
secara
berkesinambungan. Epidermis manusia diperbarui setiap 15-30 hari, bergantung pada usia, bagian tubuh, dan faktor lain. (Junqueira, 2007) • Stratum Spinosum Stratum spinosum terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng dengan inti di tengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen. Semua mitosis hanya terbatas pada lapisan yang disebut stratum malpighi, yang terdiri atas strarum basal dan stratum spinosum. Hanya stratum malpighi yang mengandung sel-sel induk epidermis. (Junqueira, 2007) • Stratum Granulosum Stratum granulosum terdiri atas 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang sitoplasmanya berisikan granul keratohialin padat dan granula lamellosum terbungkus-membran. Granul keratohialin berikatan dengan tonofilamen keratin untuk membentuk keratin lunak dan granula lamellosum mengeluarkan material lemak di antara sel-sel dan menyebabkan kulit kedap air. (Eroschenko, 2008) • Stratum Lusidum Tampak lebih jelas pada kulit tebal, stratum lusidum ini bersifat translusen dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
7
sangat gepeng. Organel dan inti tidak tampak lagi, dan sitoplasma terutama terdiri atas filamen keratin padat yang berhimpitan dalam matriks padat-elektron (Junqueira, 2007). Sel tidak memiliki nukleus atau orgnel dan dipenuhi oleh filamen keratin. (Eroschenko, 2008) • Stratum Korneum Lapisan ini terdiri atas 15-20 lapis gepeng berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin. Setelah mengalami keratinisasi, sel-sel hanya terdiri atas protein amorf dan fibrilar dan membran plasma yang menebal; sel-sel ini disebut sel tanduk. Selama keratinisasi berlansung, enzim hidrolitik lisosom beperan pada penghancuran organel sitoplasma. Sel-sel secara terus
menerus
dilepaskan
pada
permukaan
stratum
korneum.
(Junqueira, 2007) Pada epidermis terdapat empat jenis sel, yaitu: a. Melanosit Melanosit berasal dari sel krista neural. Melanosit memiliki badan sel bulat, dan dari badan sel tersebut terjulur cabang-cabang yang tak teratur dan panjang ke dalam epidermis, yang berjalan di antara sel-sel stratum basale dan stratum spinosum. Bagian ujung juluran ini berakhir dalam invaginasi sel yang berada di kedua lapisan tersebut. Mikroskop elektron memperlihatkan sel pucat yang mengandung banyak mitokondria kecil, sebuah kompleks golgi yang berkembang baik, dan sisterna pendek di retikulum endoplasma kasar. Hemidesmosom mengikat melanosit ke lamina basalis. (Junqueira, 2007)
b. Sel Langerhans Sel berbentuk bintang ini terutama ditemukan di stratum spinosum epidermis, dan mewakili 2-8% sel-sel epidermis. Sel langerhans merupakan makrofag turunan sumsum tulang yang mampu mengikat, mengolah, dan mempresentasikan antigen kepada limfosit T untuk memicu respon imun. (Junqueira; Eroschenko) Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
8
c. Sel Merkel Sel Merkel biasanya terdapat dalam kulit tebal telapak tangan dan kaki, yang agak menyerupai sel epitel epidermis tetapi memiliki granula padat kecil di dalam sitoplasmanya (Junqueira, 2007). Karena sel ini berhubungan erat dengan akson aferen (sensorik) tidak bermielin, sel ini diduga berfungsi sebagai meanoreseptor untuk mendeteksi tekanan. (Eroschenko, 2008)
d. Sel Granstein Sel Granstein baru-baru ini ditemukan dan berperan sebagai pengatur kerja sel langerhans di kulit menjadi tidak berlebihan. (Sherwood, 2009)
2.1.2. Dermis Dermis terdiri atas jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Dermis disusun atas dua lapisan, yaitu papilare dermis pada bagian superfisial dan retikular dermis pada bagian yang lebih dalam (Amirlak, 2013). Papilare dermis lebih tipis, terdiri dari jaringan ikat yang mengandung kapiler, serat elastis, serat retikulare, dan kolagen. Retikulare dermis lebih tebal, yang terdiri atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada stratum papilare. Dermis mengandung jalinan serat elastin dan serat yang lebih tebal, yang secara khusus ditemukan dalam stratum retikulare. Dari daerah ini muncul serat-serat yang secara berangsur menipis dan berakhir dengan cara menyelip ke dalam lamina basalis. Sewaktu serat ini menuju ke arah lamina basalis, serat ini secara berangsur kehilangan komponen amorf dari elastin, dan hanya komponen mikrofibril yang menyelip ke dalam lamina basalis. Jalinan elastis ini berfungsi bagi kelenturan kulit. (Junqueira, 2007)
2.1.3. Jaringan subkutan Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ dibawahnya, yang mengkinkan kulit bergeser di atasnya. Hipodermis sering mengandung se-sel lemak yang jumlahnya bervariasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
9
sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status gizi yang bersangkutan. Lapisan ini sering disebut juga sebagai fasia superfisial dan, jika cukup tebal, disebut panikulus adiposus. (Junqueira, 2007)
Gambar 2.2. Histologi Kulit (Sumber : www.embryology.med.unsw.edu.au)
2.2. Fisiologi Kulit Pada epidermis mengandung empat jenis sel yaitu melanosit, keratinosit, sel Langerhans, dan sel Ganstein yang mempunyai fungsinya masing-masing. Melanosit menghasilkan pigmen melanin, yang disebarkan ke sel-sel kulit sekitar. Jumlah melanin di dalam tubuh inilah yang menentukan warna kulit manusia. Jumlah pigmen melanin dapat meningkat sementara sebagai respons terhadap pajanan ke berkas sinar ultraviolet (UV) dari matahari. Melanin tambahah ini, melaksanakan fungsi protektif dengan menerap berkas UV yang berbahaya. (Sherwood, 2009) Sel epidermis yang paling banyak adalah keratinosit yang khusus menghasilkan keratin. Sewaktu mati, keratinosit membentuk lapisan luar berkeratin yang protektif. Lapisan berkeratin bersifat kedap udara, cukup kedap air, dan tidak dapat ditembus oleh sebagian besar bahan. Lapisan ini menahan lewatnya segala sesuatu yang lewat dalam dua arah antara tubuh dan lingkungan eksternal. (Sherwood, 2009) Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
10
Dua jenis sel epidermis lain juga berperan dalam imunitas. Sel langerhans adalah sel dendritik yang berfungsi sabagai sel penyaji antigen. Sebaliknya sel Granstein berfungsi sebagai “rem” terhadap respon imun yang diaktifkan oleh kulit. (Sherwood, 2009) Epitel berlapis dengan lapisan tanduk yang ada pada epidermis melindungi permukaan tubuh terhadap abrasi mekanik dan membentuk sawar fisik terhadap patogen atau mikroorganisme asing. (Eroschenko, 2008) Epidermis juga membentuk vitamin D jika terdapat sinar matahari. Jenis sel yang menghasilkan vitamin ini belum diketahui dengan pasti. Biasanya diperlukan suplemen Vitamin D dalam makanan karena kulit umumnya tidak terpajan ke sinar matahari dalam jumlah memadai untuk menghasilkan jumlah zat esensial ini secara adekuat. (Sherwood, 2009) Dermis mengandung banyak pembuluh darah dan ujung saraf khusus. Pembuluh dermis tidak saja memasok nutrisi ke dermis dan epidermis, tetapi juga berperan besar mengatur suhu tubuh. Diameter pembuluh-pembuluh ini dapat dikendalikan sehingga jumlah pertukaran panas antara pembuluh darah permukaan kulit dan lingkungan eksternal dapat diubah-ubah. Reseptor di ujung perifer serat saraf aferen di dermis mendeteksi tekanan, suhu, nyeri dan input somatosensorik lain. Ujung saraf eferen di dermis mengontrol diabetes pembuluh darah, ereksi rambut, dan sekresi kelenjar eksokrin kulit. (Sherwood, 2009)
2.3. Striae Distensae Striae distensae ditandai dengan ruam-ruam atrofi halus berbentuk linear di daerah-daerah kerusakan kulit yang dihasilkan oleh peregangan kulit. Striae dimulai dengan bentuk yang livid (keunguan), bergerigi, garis linear yang kemudian akan menjadi berwarna putih dan menyerupai scar atrophic. (Abele, 1985)
2.3.1. Etiologi Striae Distensae Walaupun penyebab pastinya belum diketahui, beberapa teori penyebab yang
dikemukakan
adalah
hiperadrenokortikoid
termasuk
orang
yang
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
11
menggunakan kortikostreoid topikal, pembentukan kulit yang abnormal, dan peregangan yang terus-menerus dari kulit. (Hahler, 2006) Etiologi pasti dari striae ini masih kontroversional dan sebagian disebabkan dari klinis di mana striae muncul. Striae merupakan hasil akhir dari status fisiologis yang beragam, termasuk kehamilan, kelebihan adrenokortikoid dan perubahan pada kebiasaan tubuh, yang bisa dilihat pada perubahan berat badan yang cepat, dan diduga juga adanya kecenderungan faktor genetik. (Singh, 2005) Terjadinya striae sangat dihubungkan dengan obesitas. Terdapat prevalensi yang tinggi pada orang dewasa obese dan anak-anak, tetapi pembentukan striae pada remaja tidak dihubungkan dengan obesitas, tetapi lebih ke tanda keremajaan, seperti pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut kemaluan, dan menarche. Pada penelitian penyakit kulit pada anak-anak dengan transplantasi organ, striae yang dipicu steriod hanya ditemukan pada remaja dan tidak pada anak yang lebih muda. Striae terlihat pada 90% wanita hamil, akibat dari gabungan faktor hormonal (hormon adrenokortikal, estrogen, dan relaksin) seiring dengan meningkatnya tekanan pada jaringan ikat. Pemuda pengangkat beban juga mempunyai striae pada bahu mereka. Striae juga mucul pada pasien hypercortisolism
pada
Cushing’s
syndromedan
pada
orang-orang
yang
menggunakan steroid topikal. (Singh, 2005) Telah diteliti juga bahwa striae distensae terjadi pada keadaan cachetic, seperti pada tuberkulosis, typhoid, dan setelah diet pengurangan berat badan yang intens. Striae juga bisa terlihat pada pasien anorexia nervosa. Pada kasus yang jarang striae ditemukan pada patien positif human immunodeficiency virusyang menerima protease inhibitor indinavir, pasien penyakit hati kronik, dan striae yang idiopatik. (Singh, 2005)
2.3.2. Patogenesis Striae Distensae Patogenesis pembentukan striae masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga terjadi akibat peregangan kulit yang progresif yang merangsang perubahan matriks ekstraseluler kulit, termasuk fibrilin, elastin, dan kolagen (Rongioletti, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
12
2003). Arem dan Kisher meyatakan bahwa striae dibentuk dari perlukaan kulit di mana kolagen kulit ruptur. Pada penelitian, Sheu et al. menemukan terjadi perubahan elastolisis yang berurutan diikuti dengan degenerasi sel mast pada fase awal striae distensae. Perubahan inflamasi diduga terjadi pada fase awal, dengan edema kulit dan pembendungan perivaskular limfositik. Pada fase berikutnya, terjadi atrofi epidermal dan hilangnya rabung jaringan. Kemudian, folikel rambut dan turunan kulit di bagian kulit lainnya menjadi tidak ada. Area striae berbatas tegas dari kulit sekelilingnya oleh daerah padat yang tipis, eosinofilik, berkas kolagen, dan berbentuk horizontal terhadap permukaan kulit secara paralel. Terjadi peningkatan kadar glikosaminoglikan, dan serat elastin pada papilari dermis sangat berkurang bila dibandingkan dengan kulit yang normal. (Singh, 2005)
2.3.3. Gambaran Klinis Striae Distensae Striae berbentuk skar linear dengan panjang beberapa sentimeter dan lebar antara 1-10 mm. Pada fase awal, striae berbentuk lesi yang timbul berwarna merah muda/ungu tanpa ada penekanan, tetapi lambat laun striae menjadi lebih pucat, tertekan, dan berkeriput halus. (Rongioletti, 2003) Striae pada umumnya terletak pada lengan atas, daerah paha, daerah perut dan lumbosakral, tetapi bisa juga mengenai daerah lain, termasuk wajah, daerah lekukan pada striae yang disebabkan oleh Cushing’s syndromeatau terapi steroid. Pada wanita hamil, striae terdapat pada daerah abdomen dan payudara. Pada obesitas, striae lebih ringan dengan atrofi yang lebih sedikit dari striae pada pasien Cushing’s syndrome. (Singh, 2005) Pada penelitian yang dilakukan Bertin et al. pada tahun 2013, ditemukan bahwa terdapat penipisan papillare dermis pada kulit yang terkena striae distensae dibandingkan kulit normal. Penipisan dari papillare dermis ini tergantung dari tingkat keparahan striae distensae.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
13
2.3.4. Diagnosa Striae Distensae Diagnosa stria distensae dilakukan dengan melihat apakah terdapat garisgaris yang berbentuk linear di bagian tubuh. Perlu dibedakan dengan linea focal elastolisis, dimana lesinya berwarna kuning dan dapat diraba. (Rongioletti, 2003) Pada fase awal striae, dapat ditemukan garis skar berbentuk linear berwarna keunguan atau merah muda dengan panjang beberapa sentimeter di daerah predileksinya, yaitu seperti di perut, lengan, paha, dan di daerah bokong. Garis ini disebut striae rubra. Tetapi setelah beberapa lama, garis tersebut mengalami atrofi dan mengalami pengerutan. Garis ini akan berubah menjadi warna putih dan disebut sebagai striae alba.
2.3.5. Pengobatan Striae Distensae Beberapa jenis pengobatan sudah diterapkan, diantaranya: • Diet dan Olahraga Hubungan antara diet dan olahraga dalam mengurangi jumlah striae masih dalam penelitian lebih lanjut, karena sedikitnya data yang menunjukkan hubungan antara keduanya (Elsaie, 2009). Pengurangan berat badan dengan diet atau kombinasi dengan diet dan latihan tidak menunjukkan perubahan derajat dari striae distensae. (Singh, 2005) • Obat-obat Topikal (Elsaie, 2009)
Tretinoin Pada umumnya, pengobatan tretinon menunjukkan perbaikan pada saat diberikan pada fase akut striae daripada saat fase kronik.
Krim Hidran/Krim pelembab Penggunaan krim hidran sebagai terapi dari striae masih diteliti lebih lanjut apakah memberikan efek yang signifikan dari striae.
Obat topikal lainnya Banyak obat yang beredar di masyarakat, tetapi efekasi dari obatobat tersebut belum pernah di uji pada penelitian.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
14
• Lasers dan Light Devices Penggunaan laser yang sekarang banyak digunakan adalah 585-nm flash-lamp-pumped pulsed-dye laser (PDL), yang dilaporkan dapat meningkatkan kolagen pada matriks ekstraseluler. Tetapi pada pasien berkulit yang lebih gelap, pengobatan ini sebisa mungkin dihindari karena dapat menyebabkan perubahan pigmen setelah pengobatan. (Elsaie, 2009)
2.4. Obesitas 2.4.1. Definisi Obesitas Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi dimana perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian-bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Ganong W.F, 2003). Obesitas adalah suatu keadaan kelebihan massa jaringan lemak dan keadaan ini dan menyebabkan berbagai penyakit kronis dan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Penyebab utama dari obesitas adalah perbedaan pada kesembangan energi dalam jangka waktu lama. Ketidakseimbangan itu diakibatkan konsumsi lemak yang cukup tinggi, makanan padat energi dan minuman manis, kurangnya aktivitas fisik, dan mengikuti sedentary lifestyle yaitu gaya hidup yang jarang berpindah-pindah atau jarang bergerak. (NSW, 2011)
2.4.2. Prevalensi Obesitas Obesitas sudah menjadi masalah yang global yang mengenai kira-kira 300.000.000 orang di seluruh dunia. Prevalensi ini meningkat baik di negara maju ataupun negara berkembang. Obesitas dapat mengenai semua orang pada semua umur dan semua tingkat sosioekonomi. (WHO, 2007) Di Indonesia, menurut data Riskesdas tahun 2013, prevalensi penduduk lakilaki dewasa (>18 tahun) obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
15
dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (15,5%).
2.4.3. Etiologi Obesitas • Faktor Genetik Maes et all. meneliti bahwa variabilitas untuk peran faktor genetik terhadap obesitas adalah 50%-90%.
Tetapi, negara industri seperti
Amerika Serikat menyatakan bahwa faktor genetik adalah faktor utama dari penyebab kasus epidemik obesitas. (Racette et al, 2003) • Faktor Lingkungan dan Kebiasaan Sekarang gaya hidup manusia menjadi gaya hidup yang tidak memerlukan aktivitas fisik yang banyak, sehingga pengeluaran energi menjadi sedikit. Ditambah lagi, kebiasaan sekarang yang gemar mengonsumsi makanan dan minuman dengan jumlah kalori yang cukup tinggi. Kedua hal itu membuat ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang keluar. Kelebihan energi itu akan disimpan dalam bentuk triasilgliserol atau asam lemak yang akan disimpan pada jaringan lemak. (Racette et al, 2003)
2.4.4. Patogenesis Obesitas Dalam keadaan normal, ada mekanisme fisiologis di jaringan lemak yang mempengaruhi penyimpanan lemak dan reseptor (adipostat) di hipotalamus. Ketika penyimpanan lemak berkurang, maka sinyal adipostat menjadi berkurang, lalu hipotalamus meresponnya dengan rasa lapar. Begitu juga sebaliknya. Salah satu yang merangsang sinyal tersebut adalah hormon leptin yang dihasilkan pada jaringan lemak. Pada obesitas, terjadi peningkatan leptin, tetapi mengalami resistensi dari leptin. Mekanisme resistensi leptin belum diketahui. Beberapa data mengatakan leptin tidak dapat melewati sawar darah otak jika jumlahnya berlebihan. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
16
leptin signalling inhibitor, seperti SOCS3 dan PTP1b, berperan dalam resistensi leptin. (Flier dan Maratos-Flier, 2008)
2.4.5. Diagnosa Obesitas Obesitas dapat ditegakkan dengan menggunakan Body Mass Iindex (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT), yang didefinisikan sebgai berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2). (WHO, 2003) Selain BMI, cara untuk menentukan obesitas adalah dengan mengukur lingkar pinggang untuk menilai resiko penyakit yang berhubungan dengan berat badan. Lingkar pinggang berkaitan erat dengan IMT, pengukuran dengan menggunakan pengukur pita, dan dapat mengestimasi lemak pada abdomen. Lemak pada abdomen berkaitan erat dengan resiko penyakit daripada lemak pada organ lain dalam tubuh. (Racette et al, 2003)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
17
Obesitas dibagi menjadi beberap klasifikasi menurut tabel di bawah ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik (Sumber : IPD, 2009) Risiko Ko-Morbiditas Klasifikasi
Lingkar Perut
IMT (kg/m2)
<90 cm (laki-laki)
≥90 cm (laki-laki)
<80 cm (perempuan
≥80 cm (perempuan
Rendah (risiko
Berat Badan
<18,5
Kurang
meningkat pada
Sedang
masalah klinis lain)
Kisaran Normal Berat Badan Lebih
18,5-22,9
Sedang
Meningkat
≥23,0
•
Berisiko
23,0-24,9
Meningkat
Moderat
•
Obes I
25,0-29,9
Moderat
Berat
•
Obes II
≥30,0
Berat
Sangat berat
2.4.6. Penatalaksanaan Obesitas • Perubahan Gaya Hidup
Makan lebih banyak buah dan sayur, dan polong-polongan serta gandum
Olahraga atau melakukan aktivitas fisik sedikitnya 30 menit dalam sehari
Mengurangi makanan berlemak dan manis
Berpindah dari mengonsumsi lemak hewani ke lemak nabati. (WHO, 2003)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
18
• Terapi Farmakologi Terapi farmakologi digunakan jika terapi secara non farmakolgi (perubahan gaya hidup) gagal menurunkan berat badan yang berarti. Obat yang digunakan obat yang menekan rasa lapar, tetapi penggunaan obat harus dibatasi paling lama 12 minggu. Obat yang digunakan adalah sibutramine yang bekerja dengan menghambat pemasukan makanan dengan menghambat pemasukan serotonin dan norepinefrin: dan orlistat yang bekerja menghambat hormon lipase dari pankreas, sehingga menyebabkan pengurangan penyerapan triasilgliserid. • Operasi Tindakan operasi dilakukan pada kasus obesitas yang berat atau obesitas sedang yang sudah menimbulkan penyakit komorbiditas. Operasi yang banyak dilakukan adalah pemotongan lambung, sehinnga meminimalkan makanan yang masuk. (Racette et al, 2003)
2.5. Hubungan Striae Distensae Dengan Obesitas Obesitas adalah peningkatan jumlah sel lemak akibat ketidakseimbangan dari energi yang masuk dan energi yang keluar (NSW, 2011). Sel lemak tersebut akan disimpan di jaringan hipodermis atau jaringan subkutis yang berada di bawah dermis (Junqueira, 2007). Peningkatan jumlah sel lemak yang berlebihan ini akan menyebabkan peregangan dari kulit. Peregangan kulit yang terjadi berlebihan ini membuat perlukaan pada kulit sehingga menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan di kulit. Degranulasi sel mast yang berlebihan akan merusak kolagen dan serat elastin pada matriks ekstraseluler kulit. (Alaiti, 2014) Peregangan yang berlangsung terus menerus dan progresif dari kulit menyebabkan perubahan pada komponen matriks ekstraseluler kulit, termasuk fibrilin, elastin, dan kolagen. (Rongioletti, 2003) Perubahan pada serat elastis, penyusun matriks ekstraseluler kulit, inilah yang berperan dalam pembentukan stretch mark. Jumlah kolagen elastin, dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
19
fibronektin akan berkurang; sehingga menyebabkan hilangnya jaringan elastik pada kulit dan akan menyebabkan strie distensae. (Tung, 2013) Jadi, obesitas menyebabkan peregangan belebihan pada kulit yang akan menimbulkan perlukaan pada kulit. Perlukaan ini akan memicu degranulasi dari sel mast yang berlebihan yang akan merusak dan menimbulkan perubahan dari sel matriks ekstraseluler kulit. Komponen sel matriks ekstraseluler kulit, termasuk fibrilin, elastik, dan kolagen, akan berkurang jumlahnya dan menyebabkan hilangnya jaringan elastik pada kulit. Hilangnya jaringan elastik inilah yang diduga menyebabkan pembentukan striae distensae. (Alaiti; Rongioletti; Tung)
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara