BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan antar individu. Namun, pada dasarnya semakin dekat hubungan seseorang, kemungkinan adanya konflik yang dapat terjadi. Olson dan DeFrain (2006) mengatakan bahwa konflik yang tidak dapat diatasi akan terus bertambah dan berkembang hingga akhirnya akan menimbulkan suatu krisis. Konflik yang tidak diselesaikan atau tidak dapat diselesaikan dapat berdampak negatif untuk masing-masing invidu. Dampak yang ditimbulkan oleh konflik ini dapat dirasakan langsung pada kehidupan pernikahan pasanagan. Untuk itu diperlukan adanya penanganan atau resolusi konflik Secara sederhana, resolusi konflik didefinisikan sebagai perilaku seseorang saat mengalami suatu konflik (Doorn, 2008). Sedangkan menurut Mindes (2006) resolusi konflik ialah kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan ketrampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan. Resolusi konflik memiliki dampak positif maupun negatif terhadap suatu hubungan, tetapi tergantung dengan bagaimana individu dalam resolusi atau penyelesaian konfliknya. Resolusi konflik yang efektif memiliki karakteristik umum, yaitu proses yang didasarkan pada pembicaraan, bukan kekerasan verbal atau fisik, proses yang mengutamakan kerjasama, bukan perilaku menghindar, kompetitif, jahat atau kasar dan karakteristik yang menghasilkan suatu kesepakatan yang bisa diterima pasangan dan mewakili keinginnan masing-masing pihak. Oleh karena itu resolusi konflik ialah fokus pada topik, fokus pada apa yang terjadi saat ini dan siap untuk memaafkan atau meminta maaf (Epstein, 2005).
2.1.2 Jenis Resolusi Konflik Resolusi konflik telah lama dikonseptualisasikan serta memiliki dua pendekatan yaitu konstruktif dan destruktif. Pada pendekatan konstruktif, resolusi konflik cenderung dilakukan secara kooperatif prososial dan menjaga hubungan secara alami, fokus pada yang terjadi saat ini dibandingkan dengan masalah yang lalu, mengontrol perasaan negative dan positif, mengungkapkan informasi dengan terbuka, menerima kesalahan bersama dan berusaha mencari persamaan- persamaan (Olson & DeFrain, 2006). Sebaliknya, dalam resolusi konflik dengan pendekatan destruktif, mengarah kepada sikap kompetitif, antisosial, cenderung merusak hubungan, memperlihatkan perilaku negatif, kekerasan pasangan dalam mengungkit masalah-masalah yang telah lalu, hanya mengekspresikan perasaan-perasaan negative dan menekankan pada perbedaan-perbedaan tujuan. Pendekatan konstruktif melibatkan interaksi yang bersifat kooperatif, problem-solving behaviors, memiliki niat untuk belajar tentang apa yang pasangan inginkan atau butuhkan, bersedia untuk menyatakan apabila tidak setuju dan fokus pada hubungan bukan pada diri sendiri (Hocker & Wilmot, dalam Epstein 2005). Apabila pendekatan destruktif, pasangan lebih sering mengungkit masalah-masalah yang telah lalu dengan cara mengekspresikan perasaan-perasaan negatif, fokus pada subjek bukan pada masalah yang ada, mengungkapkan selektif informasi dan menekankan pada perbedaan.
2.1.3 Kriteria Resolusi Konflik Epstein
(2005)
menjelaskan
bahwa
terdapat
3
kriteria
yang
menggambarkan resolusi konflik, ialah:
1. Fokus pada topik Situasi dimana setiap pasangan dapat memusatkan perhatian, pandangan, sasaran atau pembicaraan pada pokok masalah yang sedang terjadi.
2. Fokus pada apa yang terjadi Pada kriteria ini tidak jauh berbeda dengan kriteria pertama yaitu dimana individu memiliki pusat perhatian, pandangan, sasaran atau pembicaraan pada sesuatu hal yang sedang terjadi atau sedang dipermasalahkan antar pasangan. 3. Siap untuk memaafkan atau meminta maaf Dalam kriteria ini individu memiliki kesiapan untuk memaafkan pasangan apabila pasangan melakukan kesalahan dan siap juga untuk meminta maaf apabila melakukan kesalahan dengan pasangannya.
2.2 Kesiapan Menikah Individu dapat dikatakan telah siap menikah ketika ia telah mampu menyandang peran-peran barunya yaitu sebagai suami atau istri, kemudian berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan (Duvall & Miller, 1985). Puspitasari (dalam Wiryasti, 2004) mengatakan bahwa individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan harus memiliki 2 aspek kesiapan menikah. Jika kedua aspek tersebut telah terpenuhi barulah dapat dikatakan bahwa ia telah siap menikah. Kedua aspek yang dimaksud tersebut ialah aspek kesiapan pribadi yang dilhati dari sejauh mana individu memiliki komitmen terhadap pernikahan dan segala konsekuensinya, yang terakhir aspek kesiapan penunjang. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya yaitu sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004).
2.2.1 Area-area Dalam Kesiapan Menikah Terdapat tujuh area-area dalam kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Wiryasti (2004), yaitu : 1. Komunikasi : pernikahan merupakan persekutuan antara dua individu yang berbeda. Perbedaan diantara kedua individu tersebut harus di akomodasi dan salah satu caranya adalah melalui komunikasi. Menurut Risnawaty (2003), kemampuan untuk mengekspresikan ide dan perasaan serta kemampuan untuk mendengarkan pesan adalah inti dari proses komunikasi. 2. Keuangan : aspek ini merupakan aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan pernikahan. Jika pasangan tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang mampu mencukupi kebutuhan mereka, maka kondisi tersebut dapat menciptakan konflik dalam pernikahan. Masalah keuangan juga berkaitan dengan cara pengaturan dan pengendalian keuangan, serta kapasitas individu untuk membuat kesepakatan yang efektif dalam pengaturan keuangan. 3. Anak dan Pengasuhan : kehadiran anak dapat mempengaruhi hubungan antar pasangan (Risnawaty, 2003). Pengaruh tersebut dapat bersifat positif, seperti memperkuat hubungan dan dapat meningkatkan kebahagiaan
dalam
pernikahan.
Namun
kehadiran
anak
dapat
menyebabkan dampak negatif, apabila pasangan tersebut tidak siap untuk menghadapi kehadiran anak. Masalah anak dan pengasuhan berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak, perencanaan mengenai pola asuh dan pengaruh kehadiran anak. 4. Pembagian Peran Suami-Istri : setiap pasangan memiliki perannya masing-masing, seperti suami peran diluar rumah tangga dan istri peran didalam rumah tangga. Perbedaan persepsi mengenai kedua peran tersebut serta tidak adanya kesepakatan pembagian peran, seringkali dapat menyebabkan konflik didalam pernikah. 5. Latar Belakang Pasangan dan Relasi dengan Keluarga Besar : membangun
relasi
dengan
keluarga
besar
merupakan
proses
penyesuaian diri yang kritis bagi pasangan yang baru menikah. Oleh
sebab itu aspek ini berkaitan dengan seberapa jauh individu mengetahui latar belakang pasangannya, seberapa baik keluarga pasangan menerima individu tersebut dan apakah individu tersebut merasa diterima oleh keluarga pasangannya. 6. Agama : pasangan yang memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap agama menunjukan pernikahan yang lebih berhasil dan memuaskan (Risnawaty, 2003). Aspek agama berkaitan dengan penermpatan nilai agama dalam kehidupan pernikahan, serta apakah janji pernikahan yang dibuat sungguh-sungguh berarti bagi pasangan. 7. Minat dan pemanfaatan waktu luang : Pasangan memiliki minat dan kepentingan yang sama, maka mereka akan lebih mudah untuk saling menyesuaikan diri. Faktor lain selain minat ialah pemanfaatan waktu luang yang dimana pasangan melakukan kegiatan secara bersama-sama dan waktu yang dibutuhkan oleh setiap individu bagi dirinya sendiri. Dari ketujuh area dalam kesiapan menikah tersebut, dapat disimpulkan bahwa individu yang telah siap untuk menikah memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kemampuan komunikasi yang baik, terutama komunikasi yang dilakukan kepada pasangan; telah memiliki perencanaan yang baik mengenai keuangan dan kepemilikan anak serta telah mengkomunikasikan hal tersebut kepada pasangan; telah bersepakat dengan pasangan mengenai masalah pembagian peran suami-istri dan agama; memiliki hubungan yang baik dengan keluarga pasangan; saling memahami minat pribadi dan sepakat mengenai penggunaan waktu luang yang akan digunakan untuk melakukan minat masingmasing, 2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah Holman & Li (1997) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu: 1. Kualitas komunikasi dan level persetujuan antara individu dan pasangan 2. Penerimaan dari significant other (orang tua dan peer) mengenai hubungan yang dijalani oleh individu.
3. Pendapatan, pendidikan dan usia. Ketika individu sudah memiliki pendapatan (bekerja) dan telah menyelesaikan pendidikan maka individu akan memiliki kesiapan menikah yang lebih baik. 4. Kemenarikan fisik, jika individu merasa bahwa secara fisik ia menarik maka kesiapan menikah yang dimiliki oleh individu tersebut akan menurun.
Selain faktor faktor yang dikemukan oleh Holman & Li (1997) tersebut, DeGenova (2008) juga menemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Usia saat menikah Pasangan yang menikah pada usia remaja biasanya memiliki alasan kenapa individu tersebut menikah ialah hamil diluar nikah dan akhirnya individu tersebut lupa akan tanggung jawabnnya dalam dunia pendidikan dan menerima status sebagai pegawai rendahan. 2. Level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah Level kedewasaan yang dimiliki remaja biasanya tidak cukup dewasa untuk menghadapi hubungan pernikahan dikarenakan kurangnya kemampuan komunikasi, memiliki rasa cemburu yang berlebihan dan kurangnya rasa percaya antar pasangan. 3. Waktu menikah Beberapa pasangan menikah pada waktu yang tidak sesuai dengan waktu yang telah mereka rencanakan, sehingga mereka terkadang merasa kurang bergairah dengan perkawinannya. 4. Motivasi untuk menikah Kebanyakan individu yang ingin menikah, biasanya memiliki motivasi hanya untuk memenuhkan hasrat cinta, companionship,dan keamanan. Tetapi ada juga yang menikah dengan tujuan terbebas dari situasi hidup yang tidak menyenangkan, untuk menyembuhkan ego yang rusak dalam hal rebound.
5. Kesiapan untuk eksklusivitas seksual Pasangan biasanya memiliki keinginan terhadap eksklusivitas seksual, yang dimana apabila seseorang tidak memiliki kesiapan terhadap eksklusivitas seksual maka kemungkinan mereka tidak siap untuk menikah. 6. Emansipasi emosional dari orangtua Individu harus sudah siap memiliki penghasilan tetap dan memberikan penghasilan kepada pasangannya bukan kepada orangtua. 7. Tingkat aspirasi dan derajat pemenuhan pendidikan dan vokasional Seseorang dengan tingkat aspirasi pendidikan dan vokasional yang rendah akan menikah lebih cepat dari pada sewajarnya, karena apabila seseorang memiliki aspirasi yang tinggi, biasanya mereka akan menunda untuk menikah sampai mereka menyelesaikan sekolahnya dan memilih untuk menunda memiliki anak. 2.3 Emerging Adult Emerging adult merupakan sebuah konsep tahap perkembangan yang jelas serta memiliki karakteristik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup. Menurut Arnett (2004) emerging adult bukan merupakan remaja dan juga bukan termasuk ke dalam golongan dewasa, lebih tepatnya lagi emerging adult adalah individu dengan rentang usia 18 sampai dengan 25 tahun dan ditemukan di negara-negara industri dan kota-kota besar. Dalam tahap ini emerging adult memiliki kecendrungan untuk ingin mencoba hal-hal baru dan mendapatkan pengalaman intens dan sensasional dalam kehidupan mereka yang dianggap akan sulit dan didapatkan apabila mereka sudah menikah (Arnett, 2000). Pada tahap ini setiap individu akan lebih menggunakan kualitas-kualitas diri seperti memiliki sikap bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan, pengambilan keputusan secara mandiri, serta mampu terlepas dari ketergantungan secara finansial dari orang tua (Nelson & Barry, 2005). Tahap ini berbeda karena dipengaruhi oleh kebebasan yang relative tidak terikat dengan harapan-harapan yang dapat di eksplorasikan lebih jauh untuk berbagai macam kemungkinnan seperti cinta, pekerjaan dan world views.
2.3.1 Karakteristik Emerging Adult Arnett (2004), menggolongkan 5 kriteria emerging adult yang dapat dilihat dari perilaku seseorang pada tahapan ini, yaitu :
1. The Age of Identity Explorations Karakteristik ini merupakan ciri dari emerging adult, yang pada masa ini sudah mulai mencoba kemungkinan-kemungkinan di hidup mereka dalam area yang bervariasi salah satunya ialah dunia percintaan
dan
pekerjaan.
Pada tahap
ini
emerging
adult
memperjelas identitas mereka dengan belajar lebih banyak tentang diri sendiri dan siapa yang mereka inginkan dalam hidup. Pada tahap ini individu merasa tepat untuk self-exploration, yang dimana emerging adult menjadi lebih mandiri daripada saat mereka remaja. Dalam tahap ini mereka tidak bergantung dengan orang tua dan orang tua sudah lebih memberikan kebebasan serta kepercayaan dalam menjalani tanggung jawab sendiri, seperti memilih jurusan apa yang diminati pada saat kuliah, sudah diizinkan untuk tinggal jauh dari orang tua. Emerging adult juga belum terlalu berkomitmen sebagai seseorang yang dewasa tetapi memiliki kesempatan dalam mencoba banyak hal dan pilihan dalam hal cinta dan pekerjaan. 2. Age of Instability Menurut Arnett (2000), pada tahap perkembangan emerging adult seharusnya individu sudah memiliki sebuah rencana dalam hidup yang akan di bawa dan diwujudkan pada saat dewasa nanti. Namun seiringnya waktu, individu banyak mengalami perubahan rencana yang telah disusun dari awal. Perubahan rencana tersebut sudah menjadi eksplorasi dari diri mereka, contohnya individu memilih untuk mengambil jurusan psikologi pada awal pertama masuk, tetapi setelah pertengahan masa kuliah individu merasa tidak cocok yang akhirnya memilih untuk keluar dan mengambil jurusan yang sesuai dengan dirinya.
Perubahan rencana tersebut juga terjadi dalam hal percintaan, yang dimana banyak individu mengeksplorasi hubungan mereka dan belajar secara lebih dalam tentang hubungan yang mereka inginkan Oleh karena itu, dengan perubahan-perubahan rencana tersebut memperlihatkan terjadinya ketidakstabilan dari kehidupan individu serta bagaimana individu mengeksplor banyak hal dalam hidup mereka. 3. The Self-Focused Age Dalam kriteria ini mengungkapkan suatu fakta bahwa selama masa anak-anak hingga remaja, individu lebih banyak tergantung dan terlibat dengan orang lain tetapi pada tahapan ini individu sudah mampu mandiri, mampu membuat keputusan sendiri dan juga mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri (Arnett, 2004). Individu yang sudah mampu mandiri dan sudah mampu membuat keputusan yang biasanya tidak bergantung lagi dengan orang tua atau orang lain, contohnya individu sudah dapat mengambil keputusan harus berbuat apa ketika dihadapkan dengan konflik, sudah mengetahui rutinitas yang harus dilakukan setiap harinya dan sudah mulai menabung untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. 4. The Age of Feeling In-Between Berdasarkan Arnett (2000), banyak emerging adult yang berada pada perasaan antara dewasa dan remja yang harus memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi dewasa namun sebenarnya belum dewasa secara penuh. Kriteria yang mereka ketahui untuk menjadi dewasa ialah sudah menikah dan memiliki pekerjaan yang mapan dan kriteria seorang remaja yang masih bergantung pada orang tua dan masih belum bisa membuat keputusan. Dengan demikian individu dalam tahap ini masih berada diperiode seperti di masa remaja dan belum sepenuhnya dewasa.
5. The Age of Possibilities Emerging adult merupakan masa dimana terdapat banyak sekali kesempatan serta kemungkinan dalam hidup yang terbuka dan dapat mereka coba mulai dari pekerjaan dan percintaan. Tahap ini adalah bagian yang dipenuhi dengan harapan dan ekspetasi yang luar biasa akan masa depan. Sebagian mimpi mereka diupayakan, diwujudkan dan dicoba dalam kehidupan nyata. 2.4 Pacaran Menurut DeGenova dan Rice (2005) pacaran adalah suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Benokraitis (1996) menambahkan bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Pacaran merupakan kecenderungan yang terjadi pada remaja maupun seseorang yang belum menikah. Pacaran dimulai dari proses pendekatan, pengenalan pribadi hingga akhirnya menentukan tujuan hidup seperti melanjutkan ke jenjang pernikahan karena dalam masa pacaran individu dimungkinkan akan lebih mengenal karakter masing-masing pribadi. Dengan adanya masa ini individu telah lebih dahulu melakukan penyesuaian-penyesuaian sebelum memasuki jejang pernikahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang sesungguhnya ( Ardianita & Andayani, 2005) Burgess dan Cotrell (dalam Landis & Landis, 1963) menyatakan bahwa kebahagiaan dalam pernikahan lebih banyak terjadi pada pasangan yang mempunyai masa perkenalan lebih dari 6 bulan. Dengan masa perkenalan yang semakin lama maka penyesuaian antar pasangan akan lebih baik. Berdasarkan dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai dengan adanya rasa kepemilikan atau keterbukaan diri, adanya keterikatan emosi antara pria dan wanita yang belum menikah dengan tujuan untuk saling mengenal dan melihat kesesuaian antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum menikah.
2.5 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir pada penelitian ini, berawal dari rata-rata usia seseorang yang menikah yaitu 25,7 tahun untuk pria, sedangkan pada wanita usia 22,3 tahun (BKKBN, 2010). Menurut Arnett (2004), Usia tersebut termasuk kedalam tahap emerging adult, dengan rentang usia 18 sampai dengan 25 tahun, yang dimana pada tahap tersebut individu telah mulai memikirkan untuk menuju ke jenjang pernikahan dan mereka optimis bahwa semua rencana hidup akan tercapai nantinya seperti sukses dalam hal pekerjaan dan pernikahan. Seorang emerging adult dalam menjalin hubungan dengan pasangan perlu memiliki resoulsi konflik. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang mengatakan bahwa resolusi konflik diasosiasikan dengan tingkat kepuasan hubungan (Christensen & Heavey, 1990; Epstein, Baucom, & Rankin, 1993; Metz, Rosser & Strapko, 1994). Epstein, et al (2005), menemukan tujuh kompetensi yang harus dimiliki seseorang untuk menciptakan hubungan harmonis atau pernikahan yang sukses, yang salah satunya adalah resolusi konflik. Resolusi konflik ialah fokus pada topik, fokus pada apa yang terjadi saat ini dan siap untuk memaafkan atau meminta maaf (Epstein, 2005). Selain resolusi konflik, agar emerging adult memiliki pernikahan yang berjalan lancar dan bahagia sebenarnya dapat diwujudkan dengan adanya kesiapan menikah. Asumsi tersebut diperkuat oleh literatur yang diungkapkan Mahmudah (2013) yang mengatakan kesiapan menikah penting untuk dimiliki seseorang yang akan menikah agar pernikahan tersebut sukses, stabil dan dapat menurunkan resiko perceraian pada pasangan. Menurut Holman & Li (1997) kesiapan menikah dijelaskan sebagai kemampuan yang dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan. Sehingga, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Holman, Larson, & Harmer, 1994). Resolusi konflik yang baik memiliki tiga kriteria seperti kemampuan untuk fokus pada topik, kemampuan untuk fokus pada apa yang terjadi dan kemampuan untuk siap memaafkan dan meminta maaf, yang dimana ketiga kemampuan tersebut membuat individu juga memiliki kemampuan komunikasi, perencanaan keuangan, perencanaan anak dan pengasuhan, pembagian peran suami istri, latar belakang, agama dan
pemanfaatan waktu luang, yang dimana kemampuan tersebut merupakan kriteria dari kesiapan menikah Hal itu juga didukung oleh penelitian yang mengatakan bahwa Resolusi konflik memiliki kaitan dengan kesiapan menikah, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Bradbury (dalam Schneewind & Gerhard, 2002) bahwa resolusi konflik menjadi prediktor yang paling relevan terhadap kesiapan individu untuk menikah. Kemudian salah satu persiapan yang harus dimiliki individu untuk menikah adalah resolusi konflik yang baik ( Counts, 2003). Berdasarkan penjelasan diatas, peniliti ingin mengetahui hubungan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult. Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 2.1.
Resolusi Konflik
Emerging Adult
Kesiapan Menikah
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan antara Resolusi Konflik dengan Kesiapan Menikah pada Emerging Adult
2.5 Hipotesis Berdasarkan tinjuan pustaka di atas hipotesis penelitian yang dapat di ajukan adalah terdapat hubungan yang signifikan antara resolusi konflik dengan kesiapan menikah pada emerging adult.