BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Organ Reproduksi Wanita
2.1.1. Rongga Panggul Rongga panggul dapat digambarkan sebagai sebuah silinder yang bengkok, kemudian dipotong secara oblik, dan bagian yang terbesar adalah di bagian posterior, dengan bandingan Posterior : Anterior = 2 : 1 ; atau lebih kurang 10 cm : 5 cm. Batas posterior dari rongga panggul adalah bagian anterior dari sakrum yang bagian tepi anteriornya berhubungan dengan korpus vertebra sakralis pertama yang disebut promontorium yang berfungsi untuk penanda pelvimetri klinis; batas lateralnya adalah tulang-tulang iskium, yang apabila bidangnya diperlebar ke bawah, maka akan bertemu di daerah dekat lutut dan insisurainsisura serta ligamentum-ligamentum sakroiskiadika ; batas anteriornya adalah tulang pubis, rami superior asenden tulang iskium, dan foramen obturatoria. Spina iskiadika merupakan petunjuk untuk mengetahui sudah berapa jauh janin masuk ke rongga terbawah panggul (Cunningham, 2006)
Gambar 2-1. Rongga Panggul Wanita Adapula yang kita sebut dengan bidang Hodge, yaitu bidang yang digunakan untuk menentukan seberapa jauh bagian depan janin turun ke dalam rongga panggul. Bidang Hodge terdiri dari 4 bagian, yaitu: H 1 adalah sama dengan pintu atas panggul ; H 2 adalah sejajar dengan H 1 melalui pinggir bawah simpisis pubis ; H 3 adalah sejajar dengan H 1 melalui spina ischiadicae ; H 4 adalah sejajar dengan H 1 melalui ujung os coccygeus. Maka dari itu, apabila
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa kepala sudah turun, itu berarti bahwa posisi kepala sudah sampai di H 3, dan apabila dikatakan bahwa kepala sudah sampai di dasar panggul, maka kepala telah mencapai bidang H 4 (Sastrawinata, 1983).
2.1.2. Organ Reproduksi Wanita a. Ovarium Ovarium merupakan organ yang berbentuk seperti buah almond yang berukuran 2 x 4 x 1,5 cm ini terletak di rongga pelvis wanita, tepatnya di belakang uterus, berfungsi sebagai tempat untuk memproduksi sel germinal dan untuk biosintesis hormon steroid, dan apabila telah mengalami menopause, maka organ ini akan mengecil dan bisa tidak terpalpasi sama sekali (Heffner, 2006 dan Cunningham, 2006). Perempuan pada umumnya memiliki 2 ovarium yaitu di kanan dan kiri dari uterus dan apabila ovum yang berada di ovarium ini mengalami ovulasi, maka ukurannya menjadi lebih besar, dan dapat berdiameter hingga 2,5 cm pada kehamilan umur 4 bulan (Prawirohardjo, 2010). Letak ovarium terletak pada bagian atas rongga panggul yang melekat melalui mesovarium ke ligamentum latum yang bisa kita sebut dengan ligamentum utero-ovarika (Heffner, 2006). Permukaan dari ovarium ini bergantung juga pada usia, yaitu pada usia muda, organ tersebut lunak, permukaannya berwarna putih pudar, dan berkilauan dikarenakan adanya folikel yang kecil dan bening ; sedangkan pada usia tua, seiring berjalannya waktu, permukaan eksterior folikel tersebut dapat berlipatlipat (Cunningham, 2006). b. Tuba Fallopii Tuba Fallopii merupakan suatu saluran yang pada ujung ujungnya melekat ke uterus, pada ujung-ujung yang satunya mempunyai fimbriae yang letaknya dekat dengan ovarium atau disebut dengan bagian yang distal (Heffner, 2006 dan Cunningham, 2006). Tuba Fallopii terdiri atas empat bagian, yaitu : 1) Pars interstitial yang merupakan bagian yang berjalan di dalam dinding uterus; 2) Pars isthmica yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan bagian tuba yang keluar dari dinding uterus dan juga bagian yang lurus dan sempit; 3) Pars ampullaris yang merupaan bagian yang melebar ke lateral dan membentuk huruf S; 4) Infundibulum yang merupakan ujung dari Tuba Fallopii yang memiliki fimbriae yang berbentuk seperti jari-jari yang berguna untuk menangkap ovum yang keluar dari ovarium dan jatuh di belakang uterus (Heffner, 2006; Cunningham, 2006; Sastrowinoto, 1983). c. Uterus Uterus merupakan sebuah organ muskular yang berbentuk seperti buah pir yang terletak di antara kandung kemih di bagian anteriornya dan rektum di bagian posteriornya. Adapun uterus terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Fundus uteri yang merupakan bagian yang paling proksimal tempat insersinya Tuba Fallopii dan sebagai salah satu patokan untuk mengetahui umur kehamilan pada ibu; 2) Korpus uteri yang merupakan bagian terbesar dari uterus sebagai tempat berkembangnya janin, yang tersusun atas otot-otot dengan 3 lapisan yaitu endometrium di bagian terdalam, miometrium di bagian tengah, dan perimetrium di bagian terluar dari uterus; 3) Serviks uteri yang merupakan bagian terbawah, yang terletak di atas vagina dan terdiri dari jaringan kolagen, jaringan pembuluh darah, dan memiliki serabut otot polos. d. Vagina Vagina merupakan struktur yang menghubungkan antara introuitus vagina dan uterus. Vagina terdiri dari 2 bagian yaitu yang berlipat-lipat yang disebut dengan rugae dan bagian yang lebih keras yang disebut dengan kolumna rogurum. Lipatan-lipatan ini dapat melebar sewaktu melahirkan, sesuai dengan fungsinya yaitu bagian lunak jalan lahir (Trijatmo, 2010 dan Cunningham, 2006).
2.2.
Persalinan Spontan
2.2.1. Definisi Persalinan adalah proses fisiologis dari mulainya kontraksi uterus yang regular untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang berupa janin, selaput, tali pusar, dan plasenta dari dalam uterus yang pada umumnya disertai dengan perubahan
Universitas Sumatera Utara
biokimia pada jaringan ikat, penipisan, dan dilatasi dari serviks oleh karena irama kontraksi serviks yang berfrekuensi, berintensitas, dan berdurasi seimbang (Cheng, 2012; Cunningham, 2006; Sastrowinoto, 1983).
2.2.2. Fisiologi Persalinan Spontan Tanda kehamilan secara umum yaitu mulai dr aktivitas miometrium, yaitu otot polos pada uterus yang memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan janin, sampai dengan kehamilan aterm. Pada waktu menjelang persalinan, terjadi kontraksi otot polos yg terkoordinir dan diselingi dengan suatu periode relaksasi dan berakhir pada waktu pasca partum. Proses fisiologi kehamilan pada semua mamalia bergantung pada aktivitas progesterone untuk mempertahankan tenangnya uterus sampai mendekati waktunya kelahiran dari janin. Kadar progesterone di dalam plasma perempuan hamil justru meningkat sepanjang kehamilan, dan baru menurun setelah kelahiran plasenta yaitu jaringan yang merupaan lokasi sintesis progesteron pada kehamilan manusia (Kusnarman, 2010).
2.2.3. Fase-fase Persalinan Spontan a. Tiga Kala Persalinan WHO menyatakan bahwa persalinan normal memiliki risiko yang rendah, onset yang cepat dengan janin yang keluar dengan presentasi vertex, dan berakhir dengan kondisi ibu dan bayi yang baik selama persalinan berlangsung. Persalinan normal dibagi menjadi tiga kala, yaitu: 1) Kala satu yaitu ketika serviks memendek sampai 0,5 cm dan berdilatasi sebanyak 3-4 cm yang dapat berlangsung selama 3-8 jam, dan lebih singkat pada ibu yang multipara; 2) Kala dua yaitu ketika serviks dilatasi penuh dan diakhiri dengan keluarnya bayi dari vagina yang berlangsung selama dua jam untuk ibu yang nulipara dan kira-kira 1 jam untuk ibu yang multipara; 3) Kala tiga yaitu tahap dimana terjadinya pengeluaran plasenta dengan tanda-tanda keluarnya darah dari vagina dengan jumlah yang banyak (Arya, 2007).
Universitas Sumatera Utara
b. Diferensiasi Aktivitas Uterus Selama persalinan, uterus berubah bentuk menjadi dua bagian yang berbeda yaitu segmen atas yang berkontraksi aktif menjadi lebih tebal dan kencang atau keras untuk mendorong janin keluar ketika proses persalinan berlangsung, dan segmen bawah yang berkembang menjadi lebih tipis dan berdilatasi sehingga janin dapat menonjol keluar. Karena pemendekan serat otot yang terus-menerus pada setiap kontraksi, segmen atas uterus yang aktif menjadi menebal dan memuncak tepat setelah ekspulsi janin. Di antara segmen atas yang tebal dan segmen bawah yang menipis, terbentuk lah suatu lingkaran yang disebut dengan cincin retraksi fisiologik, dan apabila segmen bawah uterus terlalu tipis akan terbentuk cincin retraksi patologik atau yang disebut dengan cincin Bandl patologik (Cunningham, 2006). c. Perubahan Bentuk Uterus Setiap kontraksi menghasilkan pemanjangan uterus berbentuk ovoid sepanjang disertai pengurangan diameter horizontal, dan ter jadi efek-efek penting pada proses persalinan yaitu pelurusan kolumna vertebralis janin karena pengurangan diameter horizontal, serabut longitudinal ditarik tegang dank arena segmen bawah dan serviks merupakan satu-satunya bagian uterus yang fleksibel, baian ini ditarik ke atas pada kutub bawah janin (Prawirohardjo, 2010).
Gambar 2-2. Segmen Uterus d. Gaya-gaya tambahan pada persalinan Mengejan adalah reaksi tekanan yang terjadi untuk bayi yang berada di dasar panggul ibu. Perasaan mengejan ini ada kalanya sama dengan perasaan untuk melakukan defekasi sehingga ibu merasa ingin buang air besar pada saat
Universitas Sumatera Utara
merasakan perasaan mengejan untuk yang pertama kalinya. Jika leher rahim belum berdilatasi seluruhnya tetapi sudah sangat tipis, lunak, dan meregang, dianjurkan untuk tidak mengejan karena serviks dapat membengkak sehingga persalinan menjadi terhambat. Maka dari itu, keinginan untuk mengejan dilakukan pada saat serviks sudah berdilatasi seluruhnya (Tias, 2013). f. Pendataran Serviks Pendataran serviks ialah pemendekan dari canalis cervicalis yang awalnya berupa saluran menjadi sebuah lubang. Bagi pemeriksa, pendataran terutama tampak pada portio yang makin pendek dan akhirnya rata dengan majunya persalinan. Pendataran dari serviks ini terjadi dari bagian yang teratas yaitu ostium internum kemudian ke bagian bawahnya, sedangkan ostium externum tidak terjadi pendataran (Sastrawinata, 1983). g. Dilatasi Serviks Ketika kontraksi dan retraksi pada saat persalinan dimulai, segmen atas uterus meregang ke segmen bagian bawah dan bagian atas dari serviks, sementara bagian bawah dari serviks belum mengalami perubahan. Ketika bagian dalam teregang, serviks berdilatasi mulai dari bagian atas ke awah, dan memendek sampai terlihatnya terjadi penonjolan ke vagina, dan akhirnya seluruh serviks menjadi satu bagian dengan uterus (Clayton, 1985).
2.2.4. Pola-pola Perubahan pada Persalinan a. Kriteria Persalinan Normal Tiga bagian fungsional persalinan menurut Friedman adalah persiapan, dilatasi, dan pelvik. Persiapan pada persalinan mungkin sensitif terhadap sedasi dan analgesi konduksi. Pada bagian dilatasi, terjadi dilatasi serviks kecil dan perubahan besar pada matriks ekstraselularnya. Bagian pelvik persalinan mulai bersamaan dengan fase deselerasi dilatasi serviks atau analgesi konduksi. Mekanisme-mekanisme
klasik
persalinan,
yang
melibatkan
pergerakan-
pergerakan utama janin, terutama terjadi selama bagian pelvik persalinan ini. Awal bagian pelvik ini jarang dapat dipisahkan secara klinis dari bagian dilatasi
Universitas Sumatera Utara
persalinan. Selain itu, kecepatan dilatasi serviks tidak selalu berkurang ketika telah dicapai dilatasi lengkap; bahkan mungkin lebih cepat (Cunningham, 2006). b. Ketuban Pecah Pecah ketuban yang ditandai dengan semburan cairan yang normalnya jernih atau bisa juga sedikit keruh secara spontan paling sering terjadi pada persalinan aktif. Jika kebetulan selaput ketuban masih utuh sampai pelahiran selesai, janin yang lahir dibungkus oleh selaput ketuban ini, dan bagian yang membungkus kepala bayi yang baru lahir kadangkala disebut sebagai caul (Prawirohardjo, 2010). c. Perubahan pada Vagina dan Dasar Panggul Struktur yang menyokong jalan lahir yang paling penting adalah musculus levator ani dan fasia yang membungkus permukaan atas dan bawahnya, yang dapat dianggap sebagai dasar panggul dan menutup ujung bawah rongga panggul sebagai sebuah diafragma sehingga memperlihatkan permukaan atas yang cekung dan bagian bawah yang cembung. Musculus levator ani berukuran 3-5 mm dan menebal pada tepi-tepi yang melingkari rectum dan vagina dan mengalami hipertrofi selama kehamilan yang dapat teraba sebagai tali tebal yang membentang ke belaang dari pubis dan melingkari vagina sekitar 2 cm di atas himen, dan ketika berkontraksi maka musculus ini akan menarik rectum dan vagina ke arah simfisis pubis sehingga vagina tertutup pada kala satu. Setelah ketuban pecah, teradi peregangan serabut-serabut mm. levatores ani dan penipisan juga peregangan bagian tengah perineum. Ketika perineum teregang maksimal, anus menjadi jelas terbuka dan terlihat sebagai lubang yang berdiameter 2 sampai 3 cm dan menonjol di sisi anterior dinding rektum (Prawirohardjo, 2010). d. Pelepasan Plasenta Kala tiga persalinan yaitu setelah kelahiran janin dan melibatkan pelepasan dan ekspulsi plasenta, maka persalinan aktif telah selesai meskipun uterus masih berkontraksi dengan keras. Tinggi, luas, dan konsistensi dari fundus uteri menjadi berkurang ketika saat dilakukan palpasi. Plasenta masih menempel pada bagian anterior dari fundus uteri dan bagian terbawahnya telah teregang dan tidak menempel sehingga dapat terlepas. Segmen atas masih teraba keras dan
Universitas Sumatera Utara
fundus uteri berada tepat di bawah dari umbilicus. Terdapat dua metode dari pelepasan plasenta, yaitu segmen atas yang berkontraksi dan melepaskan plasenta, biasanya terjadi perdarahan kecil pada saat ini. Kemudian plasenta telah turun ke bagian bawah uterus, sehingga bagian atas teraba keras dan lebih kecil atau sempit. Kemudian plasenta keluar dan bagian bawah dari uterus menjadi kosong, dan kemudian fundus uterus teraba tepat di bawah umbilicus (Hanretty, 2006). e. Mekanisme Ekstrusi Plasenta Bila terjadi pemisahan plasenta tipe sentral, atau tipe biasa, hematoma retroplasenta dipercaya mendorong plasenta menuju ke rongga uterus, pertama bagian tengah dan kemudian sisanya. Dengan demikian, plasenta mengalami inversi dan dibebani oleh hematoma tersebut, kemudian turun. Karena membran di sekitarnya menempel kaku pada desidua, plasenta hanya dapat turun dengan menyeret membran secara perlahan-lahan; kemudian membran-membran tersebut mengelupas bagian perifernya. Akibatnya, kantong yang terbentuk oleh membran tersebut mengalami inversi, dan yang muncul di vulva adalah amnion yang mengilap di atas permukaan lasenta atau ditemukan di dalam kantong inversi. Pada proses ini yang dikenal sebagai ekspulsi plasenta secara mekanisme Schultze, darah dari tempat plasenta tercurah ke dalam kantong inversi tersebut dan tidak mengalir keluar sampai setelah ekstrusi plasenta. Cara ekstrusi plasenta yang lain dikenal sebagai mekanisme Duncan, yakni pemisahan plasenta pertama kali terjadi di perifer, dengan akitbat darah mengumpul di antara membran dinding uterus dan keluar dari plasenta. Pada situasi ini, plasenta turun ke vagina secara menyamping dan permukaan ibu adalah yang pertama kali terlihat di vulva (Cunningham, 2006).
2.2.5. Mekanisme Persalinan Spontan Pada onset persalinan, hampir 96 % janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada presentasi kepala ini ditemukan 58 % ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, 23 % di kanan depan, 11 % di kanan belakang, dan 8 % di kiri belakang. Keadaan ini mungkin disebabkan karena kepala relatif lebih besar dan berat dan juga kemungkinan dikarenakan terisinya ruangan di
Universitas Sumatera Utara
sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid dan rektum, dan bisa juga dikarenakan bentuknya yang lebih besar di bagian atas dan memungkinkan bokong mengisi ruangan tersebut. Teori ini disebut dengan teori akomodasi. Seperti telah dijelaskan terdahulu, 3 faktor penting yang memegang peranan pada persalinan ialah kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengejan, keadaan jalan lahir, dan janinnya sendiri.
Gambar 2-3. Sinklitismus: bila arah sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang PAP
Gambar 2-4. Asinklitismus anterior: apabila arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan dengan PAP
Gambar 2-5. Asinklitismus posterior: keadaan sebaliknya dari asinklitismus anterior. His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan serviks membuka mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila his sudah cukup kuat, kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul dalam keadaan seperti gambar di atas. Karena sumbu kepala janin yang tidak simetris
Universitas Sumatera Utara
dengan sumbu lebih mendekati suboksiput, maka tahanan oleh jaringan di bawahnya terhadap kepala yang akan menurun menyebabkan kepala menjadi fleksi di dalam rongga panggul. Kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterine oleh his yang berulang-ulag menyebabkan terjadinya putaran paksi dalam, yaitu kepala mengadakan rotasi, ubun-ubun kecil akan berarah ke depan sampai di dasar panggul, ubun–ubun kecil di bawah simfisis, dan kemudian kepala mengadakan defleksi untuk dapat dilahirkan. Ketika his berlangsung, vulva terbuka sehingga kepala janin menjadi semakin terlihat, perineum menjadi lebar dan menipis sehingga dinding rektum terbuka. Dengan bergabungnya his dan tenaga mengejan dari ibu, mulai tampak bregma, dahi, muka, dan kemudian dagu, dan lahirlah kepala yang langsung mengadakan rotasi ke posisi sebelum putaran paksi dalam terjadi untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak, yang kita sebut dengan putaran paksi luar. Kemudian bahu yang akan melintasi PAP akan menyesuaikan diri dengan bentuk rongga panggul dalam posisi depan belakang, bahu depan yang pertama lahir, dilanjutkan dengan bahu depan, dan lahirlah bayi seluruhnya dan dilakukan penjepitan talipusan dengan klem di kedua uung tali pusat dengan jarak 2 cm dari bayi, kemudian digunting lalu diikat. Umumnya, bila bayi telah lahir lengkap, dia akan segera menarik napas dan menangis. Setelah bayi lahir, uterus mengecil dan berada pada ketinggian kira-kira 2 jari di bawah pusat, dan partus pun memasuki kala III yaitu pada saat frekuensi his berkurang, kemudian uterus mengecil dan tempat perlekatan plasenta dengan dinding uterus akan terlepas yang dapat di mulai dari tengah (terbanyak), pinggir, dan kombinasi. Kala III berlangsung selama 6 sampai 15 menit (Cunningham, 2006 dan Prawirohardjo, 2010).
2.2.6. Komplikasi a. Pada Ibu Pada ibu yang melakukan persalinan spontan, dapat terjadi luka episiotomi ataupun ruptura pada perineum dan perlukaan pada portio. b. Pada Bayi
Universitas Sumatera Utara
Pada bayi yang lahir melalui persalinan spontan, dapat terjadi maulage ringan pada kepala tanpa gangguan pada SSP, kaput suksadenum yang segera menghilang dalam waktu tiga sampai lima hari, dan juga tertelannya air ketuban yang dapat dibersihkan ketika membersihkan jalan nafas (Manuaba, 1998).
2.3. Seksio Sesarea 2.3.1. Definisi Seksio sesarea adalah insisi melalui dinding abdomen dan uterus untuk melahirkan janin. Seksio sesarea dapat juga disebut dengan abdominal delivery (Dorland, 2010). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2005).
2.3.2. Epidemiologi Angka kejadian seksio sesarea di Indonesia menurut survey nasional pada tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22.8% dari seluruh persalinan. Berdasarkan SKDI 1997, hanya 4,3% dari persalinan yang berakhir dengan seksio sesarea, yaitu sebanyak 605 kasus dari 16.217 persalinan (Kasdu, 2005).
2.3.3. Indikasi Di Amerika Serikat dan Negara industri barat lainnya, riwayat seksio sesarea dan distosia bahu merupakan indikasi utama dilakukannya seksio sesarea. Indikasi lainnya dapat berupa gawat janin, dan letak sungsang pada bayi. a. Power Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga. b. Passanger
Universitas Sumatera Utara
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah). c. Passage Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C (Dewi Y, 2007). d. Gangguan pada Letak Plasenta Gangguan yang dimaksud adalah solutio plasenta yaitu plasenta yang terletak di bawah rahim, menutupi jalan lahir, plasenta previa yaitu plasenta yang lepas sebelum waktunya, dan plasenta accreta yaitu plasenta yang menempel di miometrium (Kasdu, 2003). e. Riwayat Seksio Sesarea Sangat mungkin bagi ibu yang pernah melakukan seksio sesarea untuk melakukan persalinan per vaginam, hanya saja dengan resiko dengan risiko yang tinggi untuk terjadinya ruptur uteri yang berbahaya bagi ibu dan bayi (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1999). f. Distosia Persalinan Analisis distosia persalinan sebagai faktor konstribusi terhadap angka seksio sesarea sulit dilakukan karena heterogenitas inheren pada keadaan ini (Cunningham, 2010). Friedman (1978) mengemukakan bahwa defenisi dari distosia sangatlah bervariasi, dimulai dari kemacetan pembukaan sekunder, kemacetan penurunan janin, sampai istilah yang lebih samar digunakan misalnya disproporsi sefalopelvik dan kegagalan kemajuan. g. Gawat Janin Contoh gawat janin yang dimaksud dalam indikasi untuk dilakukannya seksio sesarea adalah terlilit tali pusat, insufisiensi dari uteroplasenta yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan cerebral palsy ataupun gangguan neurologi dan juga asam basa pada neonatus nantinya (Prawirohardjo, 2010). h. Presentasi Bokong Janin presentasi bokong atau yang kita kenal dengan sungsang mengalami peningkatan risiko prolaps tali pusat dan terperangkapnya kepala apabila dilahirkan
per
vaginam
dibandingkan
dengan
janin
presentasi
kepala.
(Prawirohardjo, 2010).
2.3.4. Mekanisme Seksio Sesarea a. Insisi Abdomen (1). Insisi Vertikal Insisi vertikal garis tengah infraumbilikus adalah insisi yang paling cepat dibuat, yaitu insisi yang cukup panjang dengan taksiran ukuran janin agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Insisi dilakukan sampai ke m. rektus abdominis lamina anterior di level vagina sampai terlhiat fasia di garis tengah yang terbebas dari lemak subkutis. Otot rektus dan piramidalis dipisahkan di garis tengah secara tajam dan tumpul untuk memperlihatkan fasia transversalis dan peritoneum, kemudian peritoneum diangkat dengan dua klem hemostat yang dipasak dengan jarak 2 cm untuk dilihat dan dipalpasi dengan tujuan untuk memastikan usus, omentum, dan kandung kemih tidak menempel. (2). Insisi Transversal/Lintang Kulit dan jaringan subkutan disayat dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas lateral otot rektus, kemudian dipisahkan dari fasia di bawahnya sepanjang 1 cm, kemudian fasia dipotong sesuai dengan panjang insisi. Kemudian tepi superior dan inferior fasia dipegang dengan klem oleh operator untuk memisahkan selubung fasia dari otot rektus di bawahnya, sementara pembuluh darahnya dijepit dan dipotong lalu diikat. Kemudian fasia lanjut dipisahkan sampai mendekati umbilikus agar dapat dibuat insisi longitudinal garis tengah yang ada di peritoneum.
Universitas Sumatera Utara
Insisi dengan cara transversal mempunyai keunggulan dalam nilai kosmetik, tetapi memiliki kekurangan yaitu pada wanita yang pemajanan uterus ketika hamil dan apendiksnya tidak baik (Cunningham, 2006). b. Insisi Uterus Insisi uterus yang dimaksud adalah insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang (Kerr,1926), atau yang lebih jarang, secara vertikal (Kronig,1912). Insisi melintang di segmen bawah memiliki keunggulan, yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari miometrium di bawahnya dan apabila memerlukan ruang yang lebih luas, dapat dilanjutkan hingga ke korpus uteri. Dan juga selama kehamilan berikutnya, insisi vertikal yang meluas ke miometrium atas lebih besar kemungkinannya mengalami ruptur daripada insisi transversal pada saat persalinan. Untuk presentasi kepala, insisi transversal melalui segmen bawah uterus merupakan tindakan pilihan. Insisi transversal juga memiliki kelebihan lainnya yaitu lebih mudah diperbaiki, terletak di tempat yang paling kecil kemungkinannya ruptur disertai keluarnya janin ke rongga abdomen pada kehamilan berikutnya, dan tidak menyebabkan perlekatan usus atau omentum ke garis insisi (Cunningham, 2006).
2.3.5. Komplikasi a. Pada Ibu (1). Infeksi puerperal Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas, bersifat berat seperti peritonitis, sepsis dsb. (2). Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri ikut terbuka, atau karena atonia uteri. (3). Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paruparu, dan sebagainya sangat jarang terjadi. (4). Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura
Universitas Sumatera Utara
uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah seksio sesarea klasik (Kasdu, 2003). (5). Endrometritis Endometritis adalah peradangan pada endometrium. b. Pada Bayi Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang lahir dengan seksio sesarea antara lainnya adalah hipoksia, depresi pernafasan, sindroma gawat pernafasan, dan trauma persalinan (Bobak, 2005).
2.4. Neonatus 2.4.1. Defenisi Neonatus adalah bayi baru lahir (newborn) dengan umur empat minggu setelah kelahiran dan selama masa itu mengalami perubahan dan pertumbuhan yang sangat menakjubkan (Dorland, 2012 dan Hamilton, 1995).
2.4.2. Penatalaksanaan Kelahiran a. Perawatan Segera Pada saat kepala bayi lahir dengan cara per vaginam ataupun dengan seksio sesarea, segera bersihkan wajah dan sedot hidung bayi tersebut. Begitu tali pusat sudah diputuskan, bayi segera ditelentangkan dengan kepala lebih rendah dan dibalik ke samping di inkubator. b. Evaluasi Janin Yang perlu dievaluasi sebelum dan selama proses kelahiran adalah status kesehatan ibu, komplikasi prenatal, komplikasi persalinan, usia gestasi, lamanya persalinan, lamanya pecah ketuban, jenis, jumlah, waktu, dan rute pemberian obat-obatan, jenis dan lamanya anastesi, dan setiap kesulitan pada kelahiran. Kemudian bayi diinspeksi untuk setiap kelainan yang terlihat. Petugas mengamati pernafasan dari dekat dan memeriksa frekuensi denyut jantung bayi dengan cara auskultasi pada dada atau pada pangkal tali pusat.
Universitas Sumatera Utara
Metode yang dilakukan untuk mengevaluasi kondisi neonatus adalah dengan nilai APGAR yang akan kita bahas pada sub bab selanjutnya (Cunningham, 2006).
2.4.3. Perilaku Bayi Baru Lahir Perubahan-perubahan yang akan terjadi pada bayi dibagi oleh Bobak (2005) menurut karakteristik, antara lain: a. Sistem Kardiovaskuler Sistem kardiovaskuler yang berubah adalah foramen ovale, duktus arteriousis, dan duktus venosus yang menutup ; arteri umbilikalis dan arteri hepatica yang menjadi ligamen. Frekuensi denyut jantung bayi rata-rata 140 kali/menit saat lahir, sedangkan sistolik bayi baru lahir ialah 78 mmHg dan tekanan diastolik rata-rata adalah 42 mmHg. b. Sistem Hematopoesis Haemoglobin bayi baru lahir berkisar antara 14,5 sampai 22,5 g/dl dam haematokrit bervariasi dari 44% sampai 72%. Leukosit janin dengan nilai hitung sel darah putih sekitar 18.000/mm3 merupakan nilai normal saat bayi lahir. c. Sistem Pernafasan Paru-paru bayi cukup bulan mengandung sekitar 20 ml cairan/kg. setelah pernafasan mulai berfungsi, nafas bayi menjadi dangkal dan tidak teratur, bervariasi dari 30-60 kali/menit. d. Sistem Ginjal Bayi baru lahir memungkinkan untuk tidak mengeluarkan urin selama 12 sampai 24 jam. Pada bayi baru lahir, frekuensi berkemih terjadi sebanyak 6 sampai 10 kali dalam 24 jam dengan warna urin yang pucat menunjukkan masukan cairan yang cukup. e. Sistem Gastrointestinal Bising usus bayi dapat didengar pada saat satu jam setelah lahir. Kapasitas lambung bervariasi dari 30 sampai 90 ml. f. Sistem Hepatika
Universitas Sumatera Utara
Hati pada bayi baru lahir dapat dipalpasi sekitar 1 cm di bawah batas kanan iga karena hati merupakan organ yang besar dan menempati sekitar 40% dari rongga abdomen. g. Sistem Imun Selama tiga bulan pertama kehidupannya, bayi dilindungi oleh kekebalan pasif yang diterima dari ibu. Bayi mulai mensintesa IgG dan mencapai sekiar 40% kadar IgG orang dewasa pada usia 1 tahun. IgA, IgD, dan IgE diproduksi secara lebih bertahap dan kadar maksimum tidak dicapai sampai pada masa kanak-kanak dini. h. Sistem Integumen Epidemis dan dermis tidak terikat dengan baik dan sangat tipis pada bayi baru lahir. Verniks kaseosa juga berfusi dengan epidermis dan berfngsi sebagai lapisan pelindung. Lanugo halus dapat terlihat di wajah, bahu, dan punggung. i. Sistem Skelet Kepala bayi cukup bulan berukuran ¼ dari panjang tubuh dengan lengan sedikit lebih panjang daripada tungkai. j. Sistem neuromuskular Pengkajian perilaku saraf neonatus terutama merupakan evaluasi refleks primitif dan tonus otot. k. Respon Sensorik Saat lahir, pupil bayi bereaksi terhadap rangsangan cahaya dan penglihatan refleks mengedip dengan mudah. Bayi akan berespon terhadap suara ibunya, hal ini merupakan respon akibat mendengar dan merasakan gelombang bunyi suara ibunya selagi ia berada di dalam rahim. Semua bagian tubuh bayi berespon terhadap sentuhan terutama wajah, mulut, tangan, dan telapak kaki. Bayi baru lahir memiliki system kecap yang berkembang baik dan larutan yang berbeda menyebabkan bayi memperlihatkan ekspresi wajah yang berbeda. Indera penciuman bayi baru lahir sudah berkembang baik saat bayi lahir dan memberikan reaksi yang sama dengan reaksi orang dewasa bila diberi bau yang menyenangkan (Bobak, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.5. APGAR 2.5.1. Definisi Skor APGAR merupakan singkatan dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration. Skor APGAR merupakan ungkapan tentang keadaan bayi baru lahir dalam angka, biasanya ditentukan pada 60 detik pertama setelah lahir (Dorland, 2012). Skor APGAR merupakan system nilai untuk mengevaluasi bayi yang diterapkan pada satu menit dan 5 menit setelah lahir (Cunningham, 2010). Skor APGAR merupakan singkatan cepat untuk melaporkan status bayi dan respon bayi terhadap resusitasi (The American Academy of Pediatrics, 2013).
2.5.2. Sistem Penilaian APGAR Nilai APGAR menit pertama menentukan perlu atau tidaknya resusitasi segera. Kondisi yang baik terdapat pada rentang nilai APGAR 7-10 dan tidak memerlukan bantuan selain penyedotan nasofaring sederhana. Bayi dengan nilai APGAR 4-6 pada menit pertama akan menunjukkan depresi pernafasan, lemas, dan tampak pucat sampai biru. Namun, frekuensi denyut jantung dan iritabilitas refleksnya baik. Bayi dengan nilai 0-3 biasanya mempunyai denyut jantung yang lambat sampai tak terdengar dan respon refleks rendah atau tidak ada. Resusitasi, termasuk ventilasi buatan, sebaiknya segera dimulai. Bayi lemas, apnoe, dan sering berlumuran mekonium, dan biasanya denyut jantung di bawah 100. Nilai APGAR 5-menit, khususnya perubahan nilai antara 1 dan 5 menit, bermanfaat sebagai indeks untuk efektifnya upaya resusitasi. Penyebab tersering rendahnya nilai APGAR adalah asfiksia, seksio sesarea, dan adanya cairan pada jalan nafas bayi. Apabila bayi memiliki skor APGAR yang rendah, bayi tersebut memerlukan oksigen dan pembebasan jalan nafas agar bayi dapat bernafas, rangsangan fisik untuk meningkatkan denyut jantungnya kembali ke normal. Pada umumnya, rendahnya skor pada menit pertama akan menjadi lebih baik pada menit ke-5. Skor APGAR tidak menentukan kesehatan anak di masa yang akan datang (Haddad, 2011 dan Cunningham, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2-6. Tabel Skor APGAR
2.5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Skor APGAR Pengobatan pada ibu dan kondisi janin yaitu malformasi neuromuskuler atau serebral yang dapat menurukan tonus dan usaha bernafas, trauma lahir, kelainan bawaan, infeksi yang dapat menurunkan tonus, warna, dan usaha terhadap resusitasi, hipoksia, hipovolemia, dan kelahiran premature dapat mempengaruhi nilai APGAR. Nilai APGAR adalah suatu ekspresi keadaan fisiologis bayi baru lahir dan dibatasi oleh waktu (Rulina, 2010).
Universitas Sumatera Utara