BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Stroke Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (Gofir, 2009) Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke berlangsung sampai satu minggu (Misbach, 1999; dalam Bangun, 2009). 2.2.
Klasifikasi Stroke Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian), yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Defenisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),
perdarahan
intraserebral
(PIS)
non
traumatik,
perdarahan
intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009). Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Adapun klasifikasi tersebut menurut Misbach (1999) dalam Ritarwan (2002) adalah: 2.2.1. Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya 1. Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak. Sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik. a. Perdarahan Intraserebral (PIS). b. Perdarahan Subarachnoid (PSA).
Universitas Sumatera Utara
2. Stroke Iskemik yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Sehingga dapat menyebabkan jaringan otak mati. Sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark. a. Transient Ischemic Attack (TIA). b. Trombosis Serebri. c. Embolia Serebri. 2.2.2. Berdasarkan Stadium atau Pertimbangan Waktu 1. Transient Ischemic Attack (TIA) adalah Suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. 2. Reversible
Ischemic
Neurological
Deficit
(RIND)
adalah Gejala
neurologik yang timbul dan akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu. 3. Stroke In Evolution (Progressing Stroke) adalah Gejala/tanda neurologist fokal terus memburuk setelah 48 jam. 4. Complete Stroke Non-Hemmorhagic adalah Kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi. 2.2.3. Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah 1. Sistem Karotis. 2. Sistem Vertebrobasiler. 2.2.4. Berdasarkan Klasifikasi Gambaran Klinis tipe iskemik (Gofir, 2009) 1. Partial Anterior Circulation Infark (PACI). 2. Total Anterior Circulation Infark (TACI). 3. Lacunar Infark (LACI). 4. Posterior Circulation Infark (POCI). Selain itu stroke dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu, stroke perdarahan (hemoragik) dan stroke iskemik. Dua kategori ini memiliki Suatu kondisi yang berlawanan dimana pada stroke hemoragik, kranium yang tertutup memiliki darah yang terlalu banyak. Sedangkan pada stroke iskemik terjadi gangguan ketersedian darah pada suatu daerah di otak. Sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik dan
Universitas Sumatera Utara
sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark. (Gofir, 2009). 2.3.
Faktor Resiko Menurut The WHO Task Force on Stroke and other Cerebrovascular
Disorders (1989), Faktor stroke iskemik adalah (Gofir, 2009): 2.3.1. Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi: 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Etnis /Ras 4. Hereditas 2.3.2. Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi: 1. Hipertensi. 2. Penyakit jantung. 3. Obesitas. 4. Diabetes mellitus. 5. Hiper-agregasi trombosit. 6. Alcoholism. 7. Merokok. 8. Peningkatan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserida, LDL). 9. Hiperurisemia. 10. Infeksi. 2.4.
Diabetes Melitus Diabetes Melitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan – gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolute atau relatif aktivitas dan/atau sekresi insulin. Gejala – gejala yang khas adalah poliuria, polidipsia, polifagia (WHO, 2000) Diabetes mellitus telah lama menjadi perhatian dari WHO. Penelitian pertama diabetes berskala internasional yang disponsori secara langsung oleh WHO merupakan Penelitian Multinasional Penyakit – Penyakit Vaskular pada
Universitas Sumatera Utara
Diabetes. Pengembangan diabetes mellitus bertalian dengan peningkatan angka kematian dan resiko tinggi berkembangnya penyulit – penyulit vaskuler, ginjal, retina, dan neuropati, yang dapat mengakibatkan kecacatan serta kematian dini (WHO, 2000). Diabetes mellitus atau DM merupakan masalah endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan kesehatan dan juga sudah terbukti sebagai faktor resiko stroke dengan peningkatan resiko relatif pada stroke iskemik 1.6 sampai 8 kali dan pada stroke hemoragik 1.02 hingga 1.67 kali (Antonios & Silliman, 2005). Penelitian prospektif terhadap 3642 pasien yang diamati selama 10.4 tahun mendapatkan resiko stroke berkurang dengan 12% untuk setiap 1% pengurangan hemoglobin A1C, walaupun tidak signifikan secara statistic (P=0.035) (Stratton dkk, 2000). Pada penelitian ini HbA1C menurun dari median 7.9% ke 7.0%. Kemungkinan resiko stroke dapat diperkecil lagi jika penanganan diabetes yang terjadi lebih agresif (Antonios dan Silliman, 2005). 2.4.1. Epidemiologi Tingkat prevalensi diabetes mellitus sangat tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosa 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetic. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2.5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita serangan jantung. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vascular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterine pada ibu – ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat (Price dan Wilson, 2006). Diabetes yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan gangguan siklus haid pada wanita. Pengobatan terbaik adalah dengan mengendalikan kadar gula darah pada batas normal (Wiknjosastro dkk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kadar gula kulit (glukosa kulit) merupakan 55% kadar gula darah (glukosa darah) pada orang biasa. Pada diabetes, rasio meningkat sampai 69 – 71% dari glukosa darah yang sudah meninggi. Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55% keadaan ini yang dinamakan sebagai diabetes kulit (Juanda dkk, 2007). 2.4.2. Klasifikasi Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 2006). Diabetes dibagi menjadi : a. Diabetes Mellitus Tipe – 1 Diabetes tipe – 1 adalah diabetes mellitus yang tergantung insulin (IDDM). IDDM ditandai dengan defisiensi mutlak insulin, onset gejala yang berat timbul secara mendadak, cenderung menjadi ketosis, dan untuk menopang kehidupan tergantung pada insulin dari luar. Usia saat timbulnya gejala klinis biasanya dibawah 30 tahun, meskipun gangguan dapat terjadi di semua usia. Sering dikenal dengan juvenile – onset diabetes (WHO, 2000). b. Diabetes Mellitus tipe – 2 Diabetes tipe – 2 adalah diabetes mellitus yang tak tergantung insulin (NIIDM). Mencakup hampir 85% dari semua kasus diabetes di negara – negara maju, dan sebagian besar kasus di negara – negara berkembang. Diagnosa untuk orang – orang eropa biasanya dibuat sesudah usia 40 tahun. Diagnosa dapat ditegakkan bila kadar glukosa darah puasa meningkat sampai batas yang diterima sebagai diagnostik diabetes. DM tipe – 2 ini kebanyakan disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas (WHO, 2000). c. Diabetes Melitus Gestasional (DMG) Diabetes Gestasional adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau baru ditemukan pada waktu hamil. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu yang menderita diabetes gestasional adalah preeklampsi, seksio sesarea dan terjadinya DM tipe – 2 dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pada janin dapat meningkatkan resiko terjadinya hiperbilirubinemia, trauma persalinan, hipoglikemia, hipokalsemia, dan dapat juga menyebabkan kecacatan dan kematian pada janin. (Saifuddin dkk, 2008) d. Tipe khusus lain, seperti (Price dkk., 2006) : · Kelainan genetik pada sel beta. · Kelainan genetik pada kerja insulin : Sindrom resistensi insulin berat. · Penyakit pada eksokrin pankreas. · Penyakit endokrin : Cushing Syndrom, Akromegali. · Obat- obatan yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta. · Infeksi. 2.5.
Pengaturan Glukosa Darah Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan
diabsorbsi, terutama dalam duodenum dan jejunum prosimal. Setelah diabsorbsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa, (2) menyintesis glukosa, dan (3) melakukan glikolisis. Jumlah glukosa yang yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan digunakan oleh jaringan-jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon yaitu (1) hormon yang merendahkan kadar glukosa darah, yaitu insulin yang dibentuk oleh sel-sel beta di pulau langerhans pankreas (Gambar 2.1), dan (2) hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah, ada glukagon yang disekresi oleh sel- sel alfa pulau langerhans, epinefrin yang disekresikan oleh medulla adrenal dan jaringan kromafin lain, glukokortikoid yang disekresikan oleh korteks adrenal dan Growth Hormone (GH) yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior (Gambar 2.2) (Price dan Wilson, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Hati
Insulin
Glikogen Glukosa
G L U K O S A
Pankreas Sel Beta
Insulin Reseptor-Reseptor Aktivasi pembawa glukosa
Gambar .2.1. Sekresi Insulin
Hati
Glukagon
Glikogen Glukosa
Kortisol l
G L U K O S A
Pankreas Sel Alfa
Epinefrin
Adrenal
Reseptor Glikogen GH Hipofisis
Gambar .2.2. Sekresi Glukagon
Universitas Sumatera Utara
Dikutip dari: Price Sylvia A. and M.Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6.Vol. II. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. pp. 63: 1259 – 1274. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Peningkatan kadar gula darah berbanding lurus dengan diabetes mellitus yang dapat kita ketahui dari tes toleransi glukosa oral (OGTT). Kemampuan sesorang untuk mengatur kadar glukosa plasma agar tetap dalam batas – batas normal dapat ditentukan melalui tes (1) kadar glukosa serum puasa, dan (2) respons glukosa serum terhadap pemberian glukosa (Tabel 2.1) (Price dan Wilson, 2006). TABEL 2.1. Tes Toleransi Glukosa Kadar Dalam Plasma
Glukosa Normal
GTT*
DM
Gula Darah Puasa
70-110
110-125
>126
2 Jam Setelah Pemberian
110-140
140-199
>200
Glukosa 75 gr *GTT : Gangguan Toleransi Glukosa Dikutip dari: Lumbantobing, S.M, 2007. Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Diagnosa DM dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium gula darah puasa dan pemeriksaan gula darah setelah makan (beban glukosa). Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD) puasa dan sewaktu. Pasien diminta puasa 8-10 jam sebelum pemeriksaan gula darah. Pada umumnya pasien juga akan diminta untuk mengumpulkan sample urinnya. Hal ini ditujukan untuk mendeteksi adanya glukosa dalam urin. Karena selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160 – 180 mg/dl, glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hampir semuanya direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Bila kadar glukosa dalam darah melebihi dari 180 mg/dl maka sebagian akan dibuang melalui urin atau yang biasa disebut sebagai glikosuria. Gangguan toleransi glukosa harus diwaspadai sebagai
Universitas Sumatera Utara
gejala awal DM. perubahan pola hidup dan pemeriksaan laboratorium berkala sangat dianjurkan. 2.6.
Penilaian Pengontrolan Glukosa Darah Metode yang digunakan untuk menetukan pengontrolan glukosa darah pada
semua tipe diabetes adalah dengan pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar glukosa meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat. Dapat dilakukan test HbA1C untuk menetukan kadar glukosa dalam hemoglobin (Tabel 2.2) (Price dan Wilson, 2006). TABEL 2.2. Tes HbA1c Normal/ Kontrol Glukosa
Glikat hemoglobin (%)
Nilai Normal
3.5 – 5.5
Kontrol Glukosa baik
3.5 – 6.0
Kontrol Glukosa Sedang
7.0 – 8.0
Kontrol Glukosa Buruk
> 8.0
Dikutip dari: Price Sylvia A. and M.Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6.Vol. II. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. pp. 63: 1259 – 1274. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Kontrol hiperglikemia yang tidak adekuat dapat didefinisikan sebagai kadar hemoglobin A1c >7.0 %. Sampai saat ini tujuan umum penanganan diabetes dengan target HbA1C ke 7.0% masih dipakai pada orang dewasa untuk mencegah resiko makrovaskular. 2.7.
Patofisiologi Diabetes dengan Komplikasi Stroke
Universitas Sumatera Utara
Komplikasi jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh – pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh – pembuluh besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati diabetic) dan saraf – saraf perifer (neuropati diabetic), otot – otot serta kulit. Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologi berupa arterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Sehingga terjadilah hiperglikemia berat dan apabila melebihi ambang batas reabsorbsi oleh ginjal maka timbullah glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang (polifagia) mungkin akan timbul dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan cairan elektrolit. Ketika tubuh kehilangan cairan maka darah mengalami kepekatan yang membuat darah menggumpal atau dengan kata lain mengalami trombosis. Trombosis adalah proses kompleks yang berhubungan dengan proses terjadinya aterosklerosis yang selanjutnya dapat menghasilkan penyempitan pembuluh darah yang mengarah ke otak (Gambar 3.3) (Price dan Wilson, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Defisiensi Insulin Penurunan Pemakaian Glukosa Hiperglikemia Glikosuria Osmotik Diuresis Dehidrasi Viskositas Darah Trombosis Artherosklerosis
Mikrovaskuler
Makrovaskuler
Jantung
Serebral
Ekstremitas
Stroke Gambar.2.3. Patofisiologi Stroke dengan Faktor Resiko DM
Universitas Sumatera Utara