BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesiapan Menikah 2.1.1 Definisi Kesiapan Menikah Kesiapan menikah merupakan suatu kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses perkembangan dalam memilih pasangan atau hubungan (Holman dan Li, 1997). Menurut Wiryasti (2004) kesiapan menikah merupakan kemampuan individu untuk menyandang peran baru sebagai suami atau istri digambarkan dengan adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai. Kesiapan ini dianggap penting karena kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih melajang (Williams, et al, 2006). Pada 2-3 tahun awal pernikahan beberapa perubahan akan terjadi sehingga pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri serta menerima diri satu sama lain (William, et al, 2006). Untuk mampu menyesuaikan diri dan menerima perubahan di awal pernikahan tersebut, sebenarnya individu dapat mempersiapkannya sebelum menikah yakni pada tahap perkenalan karena pasangan perlu mengembangkan kemampuan interpersonal dan berbagai pengetahuan tentang perbedaan diantara pasangan tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi kehidupan pernikahan kelak. Sedangkan pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan no.1 tahun 1974 berarti ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (Hadikusuma, 2014). Dapat disimpulkan berdasarkan pengertian mengenai kesiapan serta pernikahan diatas bahwa kesiapan menikah berarti kesediaan individu untuk mempersiapkan diri dalam membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan lawan jenisnya sebagai ikatan suami dan istri dan siap menerima segala perubahan yang mungkin akan terjadi di dalam pernikahan tersebut dengan memiliki tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang diakui secara agama, hukum dan masyarakat sehingga dapat membentuk keluarga yang bahagia. 9
10 2.1.2 Area- area dalam Kesiapan Menikah Berdasarkan kesamaan cakupan area dalam kesiapan menikah yang dikemukakan oleh Holman,dkk (1994) dalam alat ukur PREP-M; serta Olson & Larson (2009) dalam alat ukur PREPARE, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah terdiri dari area-area seperti berikut ini: 1. Komunikasi Area ini menjadi hal yang sangat penting untuk membangun sebuah hubungan (Seccombe, K., Warner, R., L., 2004). Selain itu, Olson dan DeFrain (2006) menambahkan bahwa komunikasi menjadi sesuatu yang penting untuk setiap hubungan dekat, khususnya hubungan antara suami dan istri. Komunikasi yang baik mencakup keterbukaan dan kejujuran dapat membantu pasangan mencapai kesepahaman bersama tentang pernikahan mereka dan dapat membuat hubungan mereka lebih tahan terhadap semua stressor yang berpotensi mengganggu kestabilan hubungan (Seccombe, K., Warner, R., L., 2004). 2. Keuangan Keuangan merupakan stressor yang paling umum dirasakan pasangan dan keluarga, terlepas dari berapa banyak uang yang mereka hasilkan (Olson & DeFrain, 2006). Selain itu, para peneliti menemukan bahwa kesulitan ekonomi dan pengangguran dapat merugikan hubungan keluarga (Gomel, et al, dalam Olson & DeFrain, 2006). Terlebih lagi, 24% perceraian di Indonesia terkait dengan masalah keuangan (www.badilag.com). Masalah yang berkaitan dengan ekonomi memang menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga, dimana kebutuhan hidup dari masing-masing anggota keluarga seperti keperluan rumah, biaya transportasi, makanan, kesehatan, rekreasi, pendidikan dan kebutuhan lainnya diharapkan dapat terpenuhi (DeGenova, 2008). 3. Anak dan pengasuhan Siap untuk menikah berarti siap pula untuk menjalani berbagai konsekuensi, seperti halnya memiliki anak. Namun ternyata, menjadi orangtua bukanlah tugas yang mudah (DeGenova, 2008). Oleh karena itu, pasangan harus memiliki cara yang disepakati bersama mengenai segala hal yang berhubungan dengan perencanaan yang berkaitan dengan anak dan cara pengasuhan (Fowers & Olson 1989). Perencanaan keluarga yang terkait
11 dengan keberadaan anak ini memiliki banyak manfaat, seperti meningkatkan kualitas hidup keluarga, menurunkan pengeluaran rumah tangga, meningkatkan pemberian nutrisi pada anak, meningkatkan kesehatan ibu, serta memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak (Sarwono, 2005). Area ini terdiri dari rencana pasangan untuk memiliki anak, kesepakatan cara pengasuhan, kesiapan menjalankan peran sebagai orangtua, serta pengaruh kehadiran anak terhadap relasi suami-istri. 4. Pembagian peran suami-istri Area ini dijelaskan sebagai persepsi dan sikap dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga (domestik) dan publik, serta kesepakatan dalam pembagiannya. Fowers dan Olson (1989) menjelaskan bahwa kesepakatan tentang peran dan pembagian tugas yang harus dijalani oleh pasangan menjadi hal yang penting, dimana tipe hubungan peran yang sesuai menjadi kunci bagi keintiman dalam hubungan mereka. 5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar Ketika pasangan menikah, mereka menikah tidak hanya dengan pasangannya tersebut, tetapi juga dengan keluarga dan lingkungan sosial dari pasangan masing-masing (Broderick, 1992, 1993, dalam Olson & DeFrain, 2006). Selain itu, dalam memilih pasangan hidup, masyarakat di negaranegara timur seperti Cina dan Jepang biasanya bergantung kepada persetujuan keluarga atau orang-orang di sekitarnya (Hatfield, Rapson, & Martel, 2007, dalam Berk, 2011). Sebagai salah satu negara yang berada di wilayah timur, Indonesia pun menganut nilai-nilai kolektivitas tersebut. Keluarga besar, khususnya orangtua pasangan, memang masih memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan di Indonesia, khususnya dalam pemilihan pasangan untuk dijadikan sebagai suami ataupun istri (Sarwono, 2005). Area ini tercermin dalam latar belakang keluarga, evaluasi terhadap nilai-nilai keluarga besar, sikap keluarga besar terhadap pasangan (sebagai anggota baru dalam keluarga), dan suku bangsa. 6.
Agama Area ini berkontribusi dalam kesuksesan pernikahan, dimana pasangan yang sukses berbagi aktivitas spiritual, kesamaan nilai dan religiusitas, serta pasangan yang memiliki derajat yang tinggi dalam orientasi keagamaan (Hatch, James & Schumm, 1986 dalam DeGenova, 2008). Orientasi
12 keagamaan dapat mempengaruhi stabilitas perkawinan dan kualitas moral melalui bimbingan dan dukungan sosial, emosional, serta spiritual (Robinson, L., C., 1994). Selain itu, Fower dan Olson (1989) menjelaskan bahwa pasangan yang memiliki kesepakatan dalam nilai- nilai agama akan memiliki ikatan yang erat di antara mereka. Kesamaan prinsip agama menjadi hal yang penting dalam pemilihan pasangan di Indonesia karena pencatatan pernikahan hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang memiliki kesamaan keyakinan (Sarwono, 2005). 7. Minat dan Pemanfaatan Waktu Luang Terkait dengan minat dan pemanfaatan waktu luang, Arond dan Pauker (1987, dalam Morris & Carter, 1999) menjelaskan bahwa meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama dengan pasangan dapat mengembangkan intimacy. Selain itu, pemanfaatan waktu luang ini juga berkontribusi dalam memprediksi kepuasan individu pada sebuah hubungan (Fowers & Olson, 1989). 8. Perubahan pada Pasangan dan Pola Hidup Area ini dijelaskan sebagai persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan dan pola hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah Terdapat beberapa faktor dari hubungan sebelum menikah yang mempengaruhi kesiapan individu untuk menikah, seperti yang dikemukakan oleh Wiryasti (2004) merangkum area-area tersebut ke dalam delapan area utama, yakni: komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami isteri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Kedelapan area ini terutama berhubungan dengan penyesuaian yang perlu dilakukan oleh individu dengan pasangannya selama berada di dalam hubungan pernikahan, dimana diketahui bahwa penyesuaian pernikahan juga merupakan salah satu aspek dari kepuasan pernikahan. Selanjutnya Degenova (2008) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu. Faktor-faktor tersebut antara lain:
13 1. Usia saat menikah Pasangan yang menikah pada usia dewasa muda biasanya dikarenakan atas keinginan sendiri bersama pasangannya atau karena paksaan orang tua sehingga biasanya mereka mengabaikan pendidikan serta masa depan mereka. 2. Level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah Usia dewasa muda biasanya tidak cukup dewasa untuk menghadapi hubungan pernikahan dikarenakan kurangnya kemampuan komunikasi, rasa cemburu atau kurangnya rasa percaya terhadap pasangannya sehingga memungkinkan adanya percekcokan di dalam hubungannya kelak. 3. Waktu menikah Beberapa pasangan menikah pada waktu yang tidak sesuai dengan waktu yang telah mereka rencanakan, sehingga mereka terkadang merasa kurang bergairah dengan perkawinan itu sendiri. Seperti pernikahan yang terjadi karena perjodohan yang mungkin tidak diinginkan karena merasa waktunya untuk menikah belum tepat. 4. Motivasi untuk menikah Kebanyakan individu menikah dengan alasan pemenuhan cinta, companionship, dan keamanan namun ada pula yang menikah dengan tujuan untuk dapat terbebas dari situasi hidup yang tidak menyenangkan. Selain itu pernikahan yang terjadi karena perjodohan kecil kemungkinan terdapat motivasi di dalamnya karena salah satu pasangan mungkin tidak menginginkan adanya pernikahan tersebut. 5. Kesiapan untuk eksklusivitas seksual Biasanya pasangan memiliki keinginan terhadap eksklusivitas seksual. Jika seseorang tidak memiliki kesiapan terhadap hal ini maka kemungkinan mereka tidak siap untuk menikah. Pasangan yang menikah karena perjodohan, memungkinkan salah satu individu yang tidak menginginkan dan tidak menerima pernikahan tersebut tidak memiliki keinginan akan eksklusivitas seksual tersebut. 6. Emansipasi emosional dari orangtua Individu harus sudah siap untuk memberikan penghasilan dan afeksi kepada pasangannya bukan kepada orangtua. Sehingga terlihat jelas adanya rasa tanggung jawab terhadap pasangan dalam hal menafkahinya.
14 7. Tingkat aspirasi dan derajat pemenuhan pendidikan dan vokasional Pada umumnya, seseorang dengan tingkat aspirasi pendidikan dan vokasional yang rendah akan menikah lebih awal. Jika seseorang memiliki aspirasi yang tinggi, biasanya mereka akan menunda waktu menikah sampai mereka menyelesaikan sekolahnya dan serta berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan melakukan penundaan untuk menikah dan menunda untuk memiliki anak setelah menikah.
Selain faktor-faktor yang dinyatakan oleh Wiryasti (2004) dan juga Degenova (2008) tersebut, tokoh lain yang juga mengemukakan mengenai faktor-faktor kesiapan menikah adalah Holman & Li (1997), yang menyatakan beberapa faktor sebagai berikut:
1. Kualitas komunikasi dan level persetujuan antara idividu dan pasangan. Penerimaan dari significant other (orang tua dan peer) mengenai hubungan yang dijalani oleh individu. 2. Pendapatan, pendidikan, dan usia. Ketika individu sudah memiliki pendapatan (bekerja) dan telah menyelesaikan pendidikannya maka individu tersebut akan memiliki kesiapan menikah yang lebih baik disbanding dengan yang belum. 3. Kemenarikan fisik Jika individu merasa bahwa secara fisik ia menarik maka kesiapan menikah yang dimiliki oleh individu tersebut akan meningkat.
Pernyataan dua tokoh diatas mengenai faktor-faktor kesiapan menikah terdapat beberapa kesamaan yakni mengenai faktor pendapatan, pendidikan, dan usia. Dan dapat disimpulkan bahwa faktor kesiapan menikah yakni adanya keinginan serta kemampuan individu untuk menjalankan suatu hubungan pernikahan dan mempersiapkan diri untuk memiliki pekerjaan yang baik bagi pihak laki-laki serta kesiapan diri untuk mengurus pasangan serta anak bagi pihak wanita sehingga setiap individu yang ingin melakukan pernikahan harus yakin dan siap untuk menjalankan kehidupan dimasa depan bersama pasangannya kelak.
15 2.2 Emerging Adult 2.2.1 Definisi Emerging Adult Emerging adulthood yakni merupakan suatu tahapan transisi antara remaja akhir ke dewasa. Pada fase perkembangan ini individu mengalami eksplorasi dengan melakukan eksperimen terhadap pekerjaan dan seseorang yang akan menjadi role model mereka dalam kehidupan (Arnett, 2012). Tahapan ini terjadi dalam rentang usia antara 18-25 tahun. Pada masa usia Emerging Adult, individu mulai memikirkan hubungan yang lebih intim dan menuju pernikahan (Arnett, 2012). Menurut teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson, pada masa dewasa muda individu dihadapkan pada tugas perkembangan intimacy versus isolation, yang merefleksikan pikiran dan perasaan individu untuk membangun komitmen permanen dengan pasangan intim. Salah satu bentuk komitmen permanen tersebut diwujudkan dalam bentuk pernikahan.
2.2.2 Karakteristik Emerging Adult Arnett mendefinisikan bahwa pada tahapan ini individu mengalami proses pencarian jati diri berbagai arah kehidupan seperti pekerjaan dan pandangaan terhadap dunia. Arnett merumuskan emerging adulthood sebagai konsep tahap perkembangan yang jelas, yang memiliki karakteristik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup (Arnett, 2012). Arnett (2012) merumuskan mengenai lima karakteristik dari emerging adulthood: 1. Eksplorasi identitas, khususnya pada cinta dan pekerjaan. Tahap emerging adulthood adalah masa dimana perubahan identitas terjadi pada banyak individu. 2. Ketidakstabilan, dimana pada tahapan ini sering terjadi ketidakstabilan dalam masalah percintaan, pekerjaan dan edukasi. 3. Fokus diri, mereka dalam tahapan sudah mempunyai fokus diri terhadap kepatuhan sosial, membatasi komitment dengan orang lain untuk mandiri dalam menjalankan kehidupan mereka. 4. Perasaan diantara (feeling in-between), mereka dalam tahapan ini merasa bukan lagi remaja namun juga belum seorang dewasa sepenuhnya.
16 5. Usia dengan penuh kemungkinan, sebagai tahapan bagi seseorang yang ingin mentransformasi hidupnya.Ada dua cara emerging adulthood dalam merubah hidupnya : •
Optimis terhadap masa depan mereka, merupakan suatu kesempatan untuk membuat suatu perubahan mereka kepada arah kehidupan mereka yang lebih positif.
•
Kemunculan kedewasaan dikarenakan fase kesulitan pada proses perkembangan seseorang dan fase dewasa memberikan kesempatan untuk memetakan kehidupan mereka ke arah yang lebih positif.
2.3 Kebudayaan Arab di Indonesia dan pernikahan etnis Arab Negara Indonesia dengan berbagai macam suku dan budaya yang ada dapat menjadi pengaruh atau faktor dalam membentuk budaya perkawinan yang bermacam-macam. Salah satunya yang kita ketahui adalah perkawinan endogamy atau sesama etnis. Perkawinan endogami adalah suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya memperbolehkan anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari golongan sendiri atau satu etnis. Tegasnya pernikahan endogami ini adalah pernikahan satu etnis atau pernikahan antar kerabat atau pernikahan yang dilakukan antar sepupu (yang masih memiliki satu keturunan) baik dari pihak ayah sesaudara (patrilineal) atau dari ibu (matrilineal). Kaum kerabat boleh menikah dengan saudara sepupunya karena mereka yang terdekat dengan garis utama keturunan dipandang sebagai pengemban tradisi kaum kerabat. Faktor yang paling utama dalam kebudayaan ini adalah kepentingan untuk mempertahankan kemurnian darah keluarga dari suku, etnis atau golongan lain yang tidak diinginkan. Dalam sistem ini, posisi wanita keturunan Arab khususnya sangat tidak diuntungkan. Sebagai objek perjodohan, keputusan hanya tergantung pada keluarga khususnya Ayah sebagai pihak pengambil keputusan. Suara atau pendapat wanita yang bersangkutan tidak bisa dipertimbangkan. Pengaruh yang muncul terhadap kedudukan dan posisi wanita keturunan Arab adalah adanya inferioritas pada
17 diri mereka, meskipun memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan dan berpendapat untuk menentukan masa depan. Berdasarkan kenyataan yang ada pada lingkungan keluarga peneliti sendiri, biasanya perjodohan berawal dari pihak laki-laki yang berkeinginan untuk meminang pihak wanita yang biasanya ada ikatan hubungan darah seperti contohnya saudara perempuan pihak ibu memiliki anak laki-laki dan berminat untuk meminang kami selaku pihak perempuan. Ibu dari pihak lakilaki biasanya membuka pembicaraan dengan pihak keluarga wanita untuk menyampaikan bahwa anak laki-lakinya tertarik untuk meminang anak perempuan tersebut yang bukan lain merupakan keponakannya sendiri. Setelah ada pembicaraan tersebut, ayah dan ibu pihak perempuan berfikir beberapa waktu untuk memberi keputusan dan juga sekaligus menyampaikan keinginan ibu dan keluarga dari pihak laki-laki tersebut. Jika ayah menyetujui permintaan tersebut, maka akan berlanjut pada lamaran dari keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak wanita. Selanjutnya tidak membutuhkan waktu lama jika kedua calon pasangan sudah sama-sama siap maka akan ada acara seserahan dan tidak lama kemudian dilangsungkanlah acara pernikahan tersebut. Budaya yang demikian ketat mengakibatkan muncul masalah-masalah psikologis seperti tekanan batin yang turut berpengaruh pada kehidupan sehari-hari dan biasanya terjadi pada pihak wanita. Kemungkinan besar pihak wanita tidak bahagia dengan pernikahannya karena tidak adanya hak untuk memutuskan siapa yang dipilihnya untuk menjadi pasangan hidupnya. Pernikahan dengan suku lain ada juga yang membawa kebahagiaan, meskipun memerlukan proses panjang dari pihak keluarga untuk menerima pernikahan tersebut karena. Proses panjang tersebut karena pernikahan dengan suku lain dianggap tidak sesuai budaya dan adat keturunan Arab sehingga sulit untuk diterima. Sementara pernikahan dengan sesama keturunan Arab belum tentu menjamin kebahagiaan. Meskipun ada yang bisa lancar membina keluarga, namun ada juga yang berakhir perceraian dikarenakan tidak adanya kesiapan diri pada pasangan terutama pada pihak wanita.
18 2.4 Kerangka Berpikir Di Indonesia selain kaya akan budaya, namun etnisnya pun beragam. Bukan hanya etnis dari penduduk pribumi tetapi ada juga etnis keturunan asing yang telah lama menetap di Indonesia dan menyebar diberbagai daerah, dengan melewati proses sejarah yang sangat panjang seperti etnis Tionghoa dan Arab. Dari beberapa macam etnis yang ada di Indonesia tersebut, penulis tertarik untuk mengulas lebih jauh tentang etnis Arab dan budaya pernikahannya. Masalah mengenai perjodohan antar saudara pada masyarakat keturunan Arab (perkawinan endogami) sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga kita. Perkawinan endogami berarti suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya memperbolehkan anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari golongan atau etnis itu sendiri. Dari pemukiman Arab inilah tampak budaya yang mereka bawa dari negeri asal mereka. Dimana mereka membatasi pernikahan antara wanita keturunan mereka dengan pria yang bukan keturunan Arab (pribumi), karena bagi mereka wanita keturunan Arab derajatnya lebih mulia, lebih tinggi dari pada bukan keturunan Arab (pribumi). Inilah konsep bagi orang-orang Arab dan juga bagian kultur di negeri mereka, dan mereka jaga sampai sekarang (Siregar, 2009). Alasan lain juga dijabarkan oleh Sari, dkk (2008) yaitu karena masih bergantung pada hubungan keluarga, isolasi geografis atau stratifikasi sosial, budaya dan alasan yang paling fundamental dari beberapa alasan tersebut yaitu alasan ekonomi. Berdasarkan penelitian sebelumnya praktik pernikahan endogami memiliki dampak yang lebih besar terhadap anak yang akan dilahirkan, dari pada keuntungan yang diperoleh dari pernikahan endogami itu sendiri. Jika ditinjau dari aspek kesehatan . para peneliti genetik dan medis Perveen, dkk yang di kutip oleh Farzana (2012) mengatakan bahwa pernikahan kerabat harus dihindari. Hal ini dikarenakan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut memiliki peningkatan resiko secara fisik, terbelakang mental dan berafiliasi dengan cacat seperti asma, kebutaan, tuli, eksim, epilepsi, penyakit sel sabit, kanker tertentu dan juling mata. Sehubungan dengan hal di atas Sennel (2013) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa pernikahan kerabat atau endogami jika dilihat dari aspek medis atau kesehatan anak, memiliki pengaruh yang sangat besar. Bukan sekedar kecacatan fisik, namun juga memberikan efek terhadap kecerdasan anak. Sederhananya anak-anak yang dilahirkan memiliki kemungkinan terkena efek intelektual, fisikal, keterbelakangan mental, dan emosi, bahkan penyakit yang sering menimbulkan kematian yang lambat dan menyakitkan.
19 Terkait hal di atas mengenai bahaya pernikahan dengan kerabat atau sesama etnis secara medis, masyarakat modern keturunan Arab sendiri sudah banyak yang melanggar sistem pernikahan tersebut karena alasan lain yakni pernikahan dengan sesama etnis Arab dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak seseorang dalam hal pemilihan pasangan. Dalam masalah ini pihak wanita dari keturunan Arab tersebut merasa dirugikan karena tidak mendapat hak untuk memutuskan sendiri apakah ia setuju atau tidak dengan pernikahan yang akan dilaksanakannya kelak. Dimana pihak ayahlah yang berperan dalam pengambilan keputusan sehingga sangat besar kemungkinan tidak kesiapan menikah dalam diri wanita keturunan Arab tersebut. Hal ini merupakan keharusan bagi wanita keturunan Arab untuk menikah dengan pria Arab dan larangan menikah dengan pria yang bukan dari golongan Arab, ini merupakan salah satu identitas mereka. Jika ada yang melanggar hal tersebut maka terdapat sanksi moral di dalamnya. Sanksi tersebut dapat berupa pengucilan, pengasingan, maupun dihapuskan dari garis keturunan keluarga. Fenomena ini diangkat karena peneliti tertarik untuk melihat perbedaan kesiapan menikah antara wanita keturunan Arab yang akan menikah dengan etnis Arab dan bukan etnis Arab. Karena dipersulitnya pihak wanita keturunan Arab yang ingin menjalankan pernikahan dengan yang bukan etnis Arab dan diharuskannya mereka menikah dengan kebudayaan yang sudah lama dipertahankan yakni pernikahan dengan kerabat atau satu etnis. Dan kebetulan peneliti merupakan wanita keturunan Arab dan berusia dewasa muda dimana banyak sekali terjadi pernikahan sesama etnis (antar saudara atau kerabat) atau pun yang menikah dengan yang bukan berasal dari keturunan Arab di lingkungan peneliti sehingga peneliti memilih kerabat serta teman kerabat peneliti yang mengalami fenomena ini sebagai subjek penelitian. Dimana penelitian ini bertujuan untuk melihat serta mengetahui apakah ada atau tidak perbedaan kesiapan menikah wanita keturunan Arab emerging adult yang akan menikah dengan etnis Arab dan bukan etnis Arab. Berdasarkan pernyataan beberapa penelitian sebelumnya serta fenomena yang ada disekitar lingkungan penulis, asumsi yang dihasilkan adalah terdapat perbedaan kesiapan menikah wanita keturunan Arab emerging adult yang akan menikah dengan etnis Arab dan bukan etnis Arab. Berikut gambaran berupa bagan mengenai asumsi penulis :
20
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Etnis Arab
Kesiapan menikah wanita keturunan Arab emerging adult
Bukan Etnis Arab