BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi 2.1.1. Definisi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial, sistol ≥ 140 mmHg dan diastol ≥ 90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII Kategori
Tekanan darah sistol
Tekanan darah diastole
< 120
< 80
Prahipertensi
120 – 139
80 – 89
Hipertensi derajat 1
140 – 159
90 – 99
Hipertensi derajat 2
≥ 160
≥ 100
Normal
2.1.2. Etiologi Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui peyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, sistem renin angiotensin, sistem saraf otonom, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti merokok, alkohol, obesitas, dan lain-lain (Lauralee, 2001). 2. Hipertensi sekunder, terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, misalnya 1) Penyakit ginjal : glomerulonefritis akut, nefritis kronis, penyakit poliarteritis, diabetes nefropati, 2) Penyakit endokrin : hipotiroid,
Universitas Sumatera Utara
hiperkalsemia, akromegali, 3) koarktasio aorta, 4) hipertensi pada kehamilan, 5) kelainan neurologi, 6) obat-obat dan zat-zat lain (Lauralee, 2001). . 2.1.3. Patofisiologi Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006). Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial antara lain : 1) Curah jantung dan tahanan perifer Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).
2) Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh
Universitas Sumatera Utara
ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat
dan tinggi osmolalitasnya.
Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
Universitas Sumatera Utara
4) Disfungsi Endotelium Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif Banyak
sistem
vasoaktif
yang
mempengaruhi transpor
natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator
yang
potensial,
begitu
juga
endothelin.
Endothelin
dapat
meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis,
platelet,
dan
fibrinolisis.
Diduga
hipertensi
dapat
menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005). 2.1.4. Faktor Resiko
Universitas Sumatera Utara
Hampir setengah abad yang lalu, Irvin H. Page yang terkenal dengan teori mosaic of hypertension menguraikan bahwa, hipertensi merupakan” penyakit pengaturan tekanan yang diakibatakan oleh multifaktorial” (Majid, 2005). Dengan kemajuan dalam penelitian mengenai hipertensi ternyata masih banyak lagi faktor yang berperan dalam mekanisme pengaturan tekanan darah yang belum termasuk dalam teori mosaic. Multifaktorial yang dihubungkan dengan patogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari 3 elemen penting yaitu : 1. Faktor genetik 2. Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas 3. Adaptasi struktural yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan tekanan yang lebih tingi dari fungsi normalnya. Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural kadang-kadang dipercepat oleh faktor genetik (Majid, 2005). Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer. 1. Faktor genetik a.
Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai
maupun dari penelitian, misalnya: - Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita hipertensi. - Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia sebelum 50 tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga derajat pertama yang hipertensi sebelum usia 50 tahun. - Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneosly hypertensive rat (SHR) Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan hypertensive rat strain (MHS) menunjukkan bahwa dua turunan tikus tersebut mempunyai faktor genetik yang secara genetik diturunkan sebagai faktor penting timbulnya hipertensi, sedangkan turunan yang lain menunjukkan faktor kepekaan terhadap garam yang
Universitas Sumatera Utara
juga diturunkan secara genetik sebagai faktor utama timbulnya hipertensi (Majid, 2005).
b. Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain : defek transport Na pada membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan aktivitas saraf simpatis yang merupakan respon terhadap stress (Majid, 2005).
2. Faktor lingkungan a. Keseimbangan garam Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi hipertensi primer. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari, prevalensi hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung GFR (glomerula filtrat rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu dimana pressure natriuresis mengalami “reset” dan dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengeksresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang berpengaruh (Majid, 2005).
b. Obesitas Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif diantara obesitas (terutama upper body obesity) dan hipertensi. Bagaimana mekanisme obesitas menyebabkan hipertensi masih belum jelas. Akhir-akhir ini ada pendapat yang menyatakan hubungan yang erat diantara obesitas, diabetes melitus tipe 2, hiperlipidemia dengan hipertensi melalui hiperinsulinemia (Majid, 2005).
c. Stress
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara stress dan hipertensi primer diduga oleh aktivitas saraf simpatis (melalui cathecholamin maupun renin yang disebabkan oleh pengaruh cathecolamin) yang dapat meningkatkan tekanan darah yang intermittent. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan dibuktikan, pemaparan terhadap stress membuat binatang tersebut hipertensi (Majid, 2005).
d. Lain-lain Faktor-faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras (Majid, 2005). 3. Adaptasi perubahan struktur pembuluh darah Perubahan adaptasi struktur kardiovaskular, timbul akibat tekanan darah yang meningkat secara kronis dan juga tergantung dari pengaruh trophic growth (angiotensin II dan growth hormon) (Majid, 2005).
2.1.5. Kerusakan Target Organ Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: 1. Penyakit ginjal kronis 2. Jantung a. Hipertrofi ventrikel kiri b. Angina atau infark miokardium c. Gagal jantung 3. Otak a. Strok b. Transient Ischemic Attack (TIA) 4. Penyakit arteri perifer 5. Retinopati (Yogiantoro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006). 2.1.6. Penatalaksanaan Terapi Farmakologi 1. Diuretik Mula-mula obat ini mengurangi volum ekstraseluler dan curah jantung. Efek hipotensi dipertahankan selama terapi jangka panjang melalui berkurangnya tahanan vaskular, sedangkan curah jantung kembali ke tingkat sebelum pengobatan dan volum ekstraseluler tetap berkurang sedikit (Benowitz, 1998). Mekanisme yang potensial untuk mengurangi tahanan vaskular oleh reduksi ion Na yang persisten walaupun sedikit saja mencakup pengurangan volum cairan interstisial, pengurangan konsentrasi Na di otot polos yang sekunder dapat mengurangi konsentrasi ion Ca intraseluler, sehingga sel menjadi lebih resisten terhadap stimulus yang mengakibatkan kontraksi, dan perubahan afinitas dan respon dari reseptor permukaan sel terhadap hormon vasokonstriktor (Benowitz, 1998). Efek Samping Impotensi seksual merupakan efek samping yang paling mengganggu pada obat golongan tiazid. Gout merupakan akibat hiperurisemia yang dicetuskan oleh diuretik. Kram otot dapat pula terjadi, dan merupakan efek samping yang terkait dosis (Benowitz, 1998).
Golongan obat a. Tiazid dan agen yang sejenis ( hidroklorotiazid, klortalidon)
Universitas Sumatera Utara
b. Diuretik loop (furosemid, bemetanid, asam etakrinik) c. Diuretik penyimpan ion K, amilorid, triamteren, spironolakton.
2. Beta adrenergik blocking agents (betabloker) Jenis obat ini efektif terhadap hipertensi. Obat ini menurunkan irama jantung dan curah jantung. Beta bloker juga menurnkan pelepasan renin dan lebih efektif pada pasien dengan aktivitas renin plasma yang meningkat (Benowitz, 1998). Beberap mekanisme aksi anti hipertensi di duga terdapat pada golongan obat ini, mencakup : 1) Menurunkan frekuensi irama jantung dan curah jantung 2) Menurunkan tingkat renin di plasma 3) Memodulai aktivitas eferen saraf perifer 4) Efek sentral tidak langsung Efek Samping Semua betabloker memicu spasme bronkial, misalnya pada pasien dengan asma bronkial. Golongan Obat a. Obat yang bekerja sentral (metildopa, klonidin, kuanabenz, guanfasin) b. Obat penghambat ganglion (trimetafan) c. Agen penghambat neuron adrenergik (guanetidin, guanadrel, reserpin) d. Antagonis beta adrenergik (propanolol, metoprolol) e. Antagonis alfa-adrenergik (prazosin, terazosin, doksazosin, fenoksibenzamin, fentolamin) f. Antagonis adrenergik campuran (labetalol)
3. ACE-inhibitor (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors) Cara kerja utamanya ialah menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron, namun
juga
menghambat
degradasi
bradikinin,
menstimulasi
sintesis
Universitas Sumatera Utara
prostaglandin vasodilating, dan kadang-kadang mereduksi aktivitas saraf simpatis (Benowitz, 1998). Efek Samping Batuk kering ditemukan pada 10 persen atau lebih penderita yang mendapat obat ini. Hipotensi yang berat dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, yang dapat mengakibatkan gagal ginjal. Golongan obat: Benazepril, captopril,
enalapril,
fosinoplir,
lisinopril,
moexipril,
ramipril,
quinapril,
trandolapril (Benowitz, 1998).
4. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) Efek samping batuk tidak ditemukan pada pengobatan dengan ARB. Namun efek samping hipotensi dan gagal ginjal masih dapat terjadi pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral dan hiperkalemia (Benowitz, 1998). Golongan obat: Candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, valsartan. 5. Obat penyekat terowongan kalsium (calcium channel antagonists, calcium channel blocking agents, CCT). Calcium antagonist mengakibatkan relaksasi otot jantung dan otot polos, dengan demikian mengurangi masuknya kalsium kedalam sel. Obat ini mengakibatkan vasodilatasi perifer, dan refleks takikardia dan retensi cairan kurang biladibanding dengan vasodilator lainnya (Benowitz, 1998). Efek samping Efek samping yang paling sering pada calcium antagonis ialah nyeri kepala, edema perifer, bradikardia dan konstipasi. Golongan obat : Diltiazem, verapamil.
2.2 Infark miokard 2.2.1. Definisi
Universitas Sumatera Utara
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung. Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah (Oemar, 1996). Anatomi pembuluh darah jantung dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Anatomi arteri koroner jantung Sumber: NewYork-Presbyterian Hospital 2.2.2. Etiologi Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Infark miokard tipe 1 Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi. 2. Infark miokard tipe 2 Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard. 3. Infark miokard tipe 3 Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat. 4. a. Infark miokard tipe 4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard. b. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. 5. Infark miokard tipe 5 Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.
2.2.3. Patofisiologi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005). Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005). Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005). Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005). 2.2.4. Gejala Klinis Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat
Universitas Sumatera Utara
ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996). Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat (Hanafiah, 1996). Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat (Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal (Irmalita, 1996).
2.2.5. Diagnosis Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu 1. Adanya nyeri dada Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa. 2. Perubahan elektrokardiografi (EKG) Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005).
Universitas Sumatera Utara
3. Peningkatan petanda biokimia. Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).
Universitas Sumatera Utara