4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KARSINOMA NASOFARING 2.1.1 Definisi Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel squamosa (National Cancer Institude, 2009). Kanker ganas nasofaring (karsinoma nasofaring)adalah sejenis kanker yang dapatmenyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang berbeda.Dengan mengetahui tipe sel yang berbeda merupakan hal yang pentingkarena hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yangakan digunakan (Wulan 2012).
2.1.2 Etiologi Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia dan banyak ditemukan
di negara Cina bagian Selatan, Asia, Mediterania dan
Alaska.Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk nonMongoloid,namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per 100.000 penduduk untuk propinsi Guangdong.Penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikanyang diawetkan (diasap, diasin). Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansiyang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogenik.
5
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring,sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasusdi Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orangEskimo di Alaska dan Greenland yang diduga penyebabnya karena memakan
makanan
yang
diawetkan
dengan
nitrosamin
pada
musim
dingin.(International Agency for Research on Cancer,2002). Di Tunisia, insiden KNF relatif meningkat. Di Inggris dan India, insiden KNFhampir sama yaitu sebesar 0,9 per satu juta penduduk, tetapi dalam dua decade terakhir terjadi peningkatan yang sama pada usia yang lebih muda. Insiden yang jarang ditemukan di Jepang, Eropa dan Amerika Utara. Distribusi umur KNF diAmerika Utara dan Mediterania bersifat bimodal, yaitu terjadi peningkatan pada usia 10–20 tahun dan pada umur 40–60 tahun. Insiden KNF pada anak-anak dibawah usia 16 tahun di Cina sebesar 1%–2%, di UK 2%–4%, di Turki 1%–2%, USA10%, Israel 12%, Kenya 13%, Tunisia 14%– 15%, India 11% dan Uganda 18%.Walaupun terdapat angka kekerapan yang bervariasi pada tiap kelompok etnik dangeografis, dari seluruh kanker insiden KNF sebesar 1%–5%, tetapi 20%–50%merupakan keganasan primer di nasofaring pada anak. Pada anak angka median umur untuk perkembangan KNF adalah 13 tahun dan insiden tertinggi terjadi pada laki-laki (rasio laki-laki dan perempuan 2,8:1), dan lebih sering ditemukan pada orang kulit hitam. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda. Pada daerah denganinsiden rendah insiden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, padadaerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknyapada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.(RS. Dharmais Pusat Kanker Nasional ,2009). Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria berbanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Insiden
yang
bervariasi
dari
KNF
berbeda
berdasarkan
letak
geografis,kelompok etnik yang berkaitan dengan genetik dan faktor lingkungan yang juga memegang peranan dalam perkembangan dari KNF.
6
Di Indonesia dengan variasi etnis yang besar, KNF merupakan kanker ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 60%.Insidennya hampir merata di setiap daerah. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun diseluruh Indonesia (survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun1980 secara “pathology based”).Di semua pusat pendidikan dokter di Indonesia dari tahun ke tahun,karsinoma nasofaring selalu menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di setiap daerah.Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebihdari 100 kasus per tahun.Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus pertahun, Makassar 25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15kasus per tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain diIndonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruhIndonesia.
2.1.3 Faktor risiko KNF merupakan penyakit multifaktorial dan belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang kini masih diteliti di antaranya: faktor genetik, infeksi Epstein-Barr virus, diet, dan lingkungan.
2.1.4 Faktor genetik Karsinoma nasofaring tercatat sebagai keganasan yang jarang terjadi di sebagian besar populasi dunia. Namun, keganasan ini tercatat sering terjadi di Cina selatan, Asia Tenggara, Kutub Utara, dan Timur Tengah / Afrika Utara. Distribusi ras / etnis dan geografis khas pada KNF di seluruh dunia menunjukkan bahwa
faktor
lingkungan
dan
sifat-sifat
genetik
berkontribusi
untuk
perkembangan keganasan ini. KNF cenderung teragregasi dalam suatu keluarga pada penelitian di Canton, Provinsi Guangdong, Cina, dengan tidak ada peningkatan pada keganasan lain.Pada penelitian lain di China KNF HLA (human leukocyte antigen) dikaitkan
7
dengan KNF. Keberadaan gen Cina Selatan yang spesifik terkait erat dengandaerah HLA sebagai penentu utama risiko Cina untuk penyakit ini. Risiko relative KNF pada generasi pertama dari penderita KNF adalah 8.0 pada 766 subyek penelitian yang dilakukan di Taiwan. Tendensi familial KNF bisa disebabkan karena faktor genetik dan/atau faktor risiko lingkungan.
2.1.5 Infeksi Virus Eipstein-Barr (EBV) Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili Herpesvirus yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster.KNF adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV.Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus dimana virus memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi DNA EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing periode infeksi.
2.1.6 Diet Beberapa penelitian juga menunjukkan, bahwa mengonsumsi ikan asin menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya kanker atau karsinoma nasofaring (KNF).Salah satu zat yang terkandung dalam ikan asin yang disebut nitrosamin adalah faktor penyebabnya. KNF ditemukan endemik di negara China selatan yang sebagian besar penduduknya mengonsumsi ikan asin.Dalam suatu penelitian di China selatan, terungkap bahwa penduduk desa yang banyak makan ikan asin ternyata tinggi pula angka penderita karsinoma nasofaringnya.
8
Khusus di Eropa, angka kejadian karsinoma nasofaring sangat jarang, bahkan sampai sekarang belum ditemukan kasus KNF pada orang kulit putih.Ikan asin di China selatan dan Indonesia memang ada perbedaan. Yang jelas, kadar toksinnya itu. Di Indonesia belum ada penelitian yang mengatakan kalau ikan asin sebagai faktor penyebab. Penelitian lain menunjukan bahwa konsumsi mentega tengik, lemak dan daging domba tengik yang diawetkan(quaddid) di Afrika, dikaitkan dengan peningkatan risiko KNF yang signifikan.Selain itu, konsumsi sayuran matang dan ikan yang diawetkan secara industry dikaitkan dengan penurunan risiko. Dalam analisis multivariat, hanya mentegatengik, sayuran lemak domba tengik yang secara signifikan terkait dengan KNF.Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan seperti daging dan ikan, terutama pada musim dingin juga meningkatkan kadar kejadian karsinoma nasofaring ini.Dalam kaitan dengan zat penyebab yang mungkin, dinyatakan bahwa terdapat keterlibatan asam butirat, yang merupakan aktivator potensial EBV.
2.1.7 Lingkungan Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.
2.1.8 Anatomi nasofaring Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 cm, tinggi 4 cm dan antero-posterior 2-3 cm. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke antero-
9
superior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring. Padadinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba Eustachius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran.
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering KNF.Pada atap nasofaring sering terlihat lipatanlipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak submukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).
10
2.1.9 Histologi nasofaring Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringanlimfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringanlimfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel” Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaringatas empat macam epitel : 1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium " 2. Epitel torak berlapis "Stratified Columnar Epithelium ". 3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium" 4. Epitel torak berlapis semu bersilia "Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ". Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para ahli.60 % persen darimukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng "Stratified Squamous Epithelium", dan 80 % dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateraldan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapisgepeng dan torak bersilia.Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempatyang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
2.1.10 Histopatologi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh WHO sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. 2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.Pada umumnya batas sel cukup jelas.
11
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas.Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). 2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
2.1.11 Gejala Klinis Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih terbatas di nasofaring, yaitu:
2.1.12 Gejala Dini Gejala Telinga: 1. Kataralis/sumbatan tuba Eutachius Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. 2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
12
Gejala Hidung: 1. Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan.Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. 2. Sumbatan hidung Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya hingus kental.
Gejala Mata dan Saraf: diplopia dan gerakan bola mata terbatas.
2.1.13 Gejala Lanjut 1. Limfadenopati servikal Tidak semua benjolan leher menandakan pemyakit ini.Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri.Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh.Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan.Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati rasa) di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan
13
lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh. 3. Gejala akibat metastasis jauh Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring.Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru.Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.
2.1.14 Stadium Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992). 1. T = Tumor primer T0
-
Tidak tampak tumor
T1
-
Tumor
terbatas
pada
satu
lokalisasi
saja
(lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain). T2
-
Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring.
T3
-
Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb)
T4
-
Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
TX
-
Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
2. N =Nodule (Pembesaran kelenjar getah bening regional) N0
-
Tidak ada pembesaran
N1
-
Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan
14
N2
-
Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan
N3
-
Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral, maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
3. M = Metastasis M0
- Tidak ada metastasis jauh
M1
- Terdapat Metastasis jauh
Stadium I : T1 dan N0 dan M0
Stadium II : T2 dan N0 dan M0
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Tis : Karcinoma in situ 2. T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi 3. T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding posterosuperior dan dinding lateral
15
4. T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring 5. T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial (atau keduanya)
2.1.15 Diagnosis Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu KNF, protokol di bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor : 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (Pemeriksaan nasofaring dan neurooftalmologi) 2. Pemeriksaan penunjang (Biopsi, radiologi, dan serologi)
Hal-hal yang dapat ditanyakan pada anamnesis : •
Gejala dini
•
Penyakit terdahulu ( peradangan pada THT )
•
Riwayat terdapatnya kanker dalam keluarga
•
Riwayat kontak dengan zat karsinogen
•
Lingkungan dan gaya hidup
Pemeriksaan Fisik •
Inspeksi/ palpasi: benjolan pada leher (lateral)
•
Massa di nasofaring (rinoskopi, laringoskopi)
•
Otoskopi, tes pendengaran
•
Pemeriksaan saraf cranial
Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologi konvensional foto tengkorak potongan anteropostoriolateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fosa serebri media.
16
2. CT-Scan leher dan kepala Merupakan pemeriksaan yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor.Pada stadium dini terlihatasimetri torus tubarius dan dinding posterior nasofaring. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metatasis jauh. 3. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadapvirus Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA. 4. Pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaringbelum jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibatmetastaisis KNF. 5. Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : dari hidung atau dari mulut. 6. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy ). Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung.Kemudian dengan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. 7. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metatasis.
2.1.16 Penatalaksanaan 1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring.Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Syarat-sarat bagi penderita yang akan di radioterapi: •
Keadaan umum baik
•
Hb> 10 g%
17
•
Leukosit> 3000/mm3
•
Trombosit> 90.000 mm3
Tujuan pre operatif terapi: 1. Mencegah metastasis ke perifer 2. Mengecilkan volume tumor sehingga menjadi operable 3. Perdarahan berkurang karena vaskularisasi tumor berkurang Tujuan post operasi: Mengatasi sisa sel Ca
Efek radiasi terhadap beberapa jaringan: Kulit 1. Dermatitis akut
: Terkelupasnya selaput lendir fibrinous, kulit hitam merah dan edema. Epilasi permanen dengan dekstruksi epidermis, ulserasi, nyeri.
2. Dermatitis Kronis
: Kulit
kering,
hipertrofi/keratosis,
veruka vulgaris. Ca 3. Late Dermatitis Accute effect
: Pigmintasi,
atrofi,
talengiektasi,
ulserasi dan epitelioma. Sistem hemopoetik dan darah Efek langsung pada sel darah / pada jaringan hemopoitik
Sistem Pencernaan 1. Reaksi eritematus pada selaput lendir yang nyeri 2. Disfagia 3. Reaksi fibrinous pada selaput lendir dengan nyeri yang lebih hebat 4. Nausea, muntah, diare, ulserasi dan perforasi (Dosis di tingkatkan)
18
Alat Kelamin 1. Sterilitas 2. Kelainan kelamin 3. Mutasi gen
Mata 1. Konjungtivitis dan keratitis 2. Katarak
Paru-paru 1. Batuk dan nyeri dada 2. Sesak nafas, fibrosis paru
Tulang 1. Gangguan pembentukan tulang 2. Osteoporosis 3. Patah Tulang (dosis ditambah)
Syaraf 1. Urat saraf menjadi kurang sensitive terhadap stimulus 2. Mielitis 3. Degenerasi jaringan otak
2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi.Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.Diseksi leher dilakukan jika masih ada
19
sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
2.1.17 Prognosis Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti: •
Stadium yang lebih lanjut
•
Usia lebih dari 40 tahun
•
Ras Cina dari pada ras kulit putih
•
Adanya pembesaran kelenjar leher
•
Adanya kelumpuhan saraf otak
•
Adanya kerusakan tulang tengkorak
•
Adanya metastasis jauh
2.1.18 Komplikasi Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel.Hal ini terjadi akibat pendesakan tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan terganggunya fungsi tuba. Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah jarang sekali terjadi. Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau
20
menghilang dan gangguan-gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran akan membaik kembali. Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga menurunkan pendengaran, baik bertipe konduksi maupun persepsi.
2.1.19 Pencegahan 1. Ciptakan lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar pergantian udara (sirkulasi udara) lancar. 2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil zat-zat kimia, asap industry, asap kayu, asap rokok, asap minyak tanah dan polusi lain yang dapat mengaktifkan virus Epstein bar. 3. Hindari mengonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan yang merangsang selaput lender. 4. Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.
.